20/12/12

Kisah Cinta Seorang Teman

Malam ini saya bertemu dengan seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Seorang teman yang selalu ceria dan tersenyum tanpa memperlihatkan beban hidup yang ditanggungnya. Seorang teman yang sedang susah dan sedang gembira di saat yang bersamaan. Sambil menyantap makan malam di pinggir jalan kami bercerita satu sama lain tentang hidup dan kisah cinta yang tak pernah pasti. Dan kisahnya ini memikat saya seperti sebuah drama klasik:

. . .

Aku sudah berpacaran dengannya mungkin terhitung 5 tahun. Kami beda agama, namun itu tidak menjadi masalah yang signifikan bagi kami. Kami membuat kesepakatan sebelum kami mulai beranjak ke tingkat yang lebih serius selepas kelulusanku SMA. Orang tua kami sudah sepenuhnya memberikan tanggung jawab kepada kami. 

"Kalian sudah besar, kalian sendiri yang menentukan, dan kami hanya bisa merestui," itulah yang terucap dari mulut orang tua kami ketika aku sengaja mempertemukan kedua orang tua kami di satu malam untuk makan bersama dan membahas hubungan kami. 

Pada akhirnya aku mengatakan bahwa dia harus ikut denganku jika memang ingin cinta ini terus tumbuh. Tetapi sejauh ini kami berada di jalur masing-masing dahulu, memikirkan segalanya, karena hidup bukankah masih panjang? Semuanya terasa sempurna saat itu. 

Masuknya aku ke jenjang perkuliahan menjadi titik balik bagi kami berdua. Saat itu ayahku masih bekerja dan orang tua pacarku masih berada pada masa kejayaannya. Seringkali teman-teman pacarku mengejekku karena hanya berkendaraan motor ke kampus sedangkan dia naik mobil, tetapi aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Yah, wajarlah, dia anak seorang pengusaha sukses dan wajahnya yang cantik memang sepantasnya mendapatkan perlakuan lebih. Toh dia sendiri tak ada masalah dengan aku yang hanya membawa motor, yang penting kan cinta yang kuberikan kepadanya.

Takdir ternyata memiliki rencana lain terhadap kehidupan kami berdua. Orang tua pacarku mengalami musibah, dan bisnisnya terpaksa harus terhenti. Pada awalnya semua masih bisa kami lalui bersama, dia masih kuat menghadapi situasi, dan aku masih bisa berkonsentrasi kuliah. Tetapi kemudian semua memburuk. Ketika masa ujian tiba, pacarku mengeluh tak bisa melaksanakan ujian. Setelah kuselidiki, ternyata dia belum membayar uang kuliah. Dengan kondisi seperti ini akhirnya aku meminta tolong orang tuaku untuk membantunya. Dan kehidupan terus berlangsung, dia tak lagi membawa mobil, hanya sepatunya yang bisa mengantarnya ke tempat tujuan.

Pernah suatu ketika dia mengeluh tidak bisa mengerjakan tugas karena tidak memiliki laptop dan harus meminjam kepada teman-temannya. Aku dengan sigap menawarkan laptopku untuk dia gunakan. Seminggu, dua minggu, ternyata tidak kunjung kembali dan aku merasa terganggu. Akhirnya aku berinisiatif untuk membelikannya laptop, yah, yang murah-murah saja. Keadaan ini pun terus bejalan dan berkembang ke tahap yang tidak aku inginkan. Entah kenapa aku sampai membelikannya sepeda motor waktu itu. Dia memang tidak pernah meminta, hanya mengeluh, tapi malah itu yang membuatku tidak berdaya. Dan dengan kondisi keuanganku yang masih disokong oleh orang tuaku mungkin aku terlalu sombong.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, semua masih berjalan seadanya. Tapi tiba-tiba takdir kembali mempermainkan kami. Ayahku mengatakan bahwa dirinya akan segera pensiun, dan aku menjadi satu-satunya yang bisa diharapkan untuk membiayai pendidikan kedua adikku. Terpaksa aku harus segera mencari pemasukan untuk hidupku dan adik-adikku. Dan setelah mencari kesana kemari akhirnya kesempatan datang juga. Dosenku menawarkanku untuk ikut dalam kegiatan proyeknya dan tanpa menunggu aku langsung mengikutinya. Aku sangat terbantu dengan itu.

Pertengahan tahun 2012 tibalah hari dimana aku harus ke luar negeri untuk studi banding. Dia sangat manja sebelum keberangkatanku dan aku menyukainya. Dia mengantarku ke bandara dan dengan penuh cinta dia mengikhlaskan kepergianku. Awalnya hubungan kami tidak ada masalah, tetapi kemudian hubungan kami terhambat. Dia mulai tidak membalas emailku dengan alasan sibuk ini dan itu. Aku merasakan ada sesuatu yang salah. 

Ketika aku kembali ke tanah air, aku mencoba menghubunginya dan tidak bisa. Sebulan berlalu dengan hubungan kami yang dihiasi oleh alasan sibuknya. Hingga suatu hari aku berpikir untuk mengajaknya pergi ke luar negeri berdua selama seminggu. Dia tidak menolak, dan aku menyiapkan segalanya. Kami berdua bak seperti bulan madu, tak ada masalah yang berarti untuk menikmati terbitnya matahari di menara kembar. Kami sangat mesra dan melupakan segalanya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya di hari kepulangan kami, apa sebenarnya yang terjadi, dan masihkah dia menganggap serius hubungan kami? Dan dia pun menjawab bahwa dia tidak bisa menjalani hubungan ini lebih jauh lagi. Dia tidak bisa pindah agama dan mengikutiku. Aku mengerti akan hal itu, dan aku menerima tawarannya untuk mencoba terus menjalani hubungan kami apa adanya.

Sepulangnya kami ke tanah air, dia kembali menjadi orang sibuk. Tiga hari kemudian sahabat pacarku menelpon, "Kamu sebaiknya jangan lagi hubungi dia. Jauhi dia, dia tidak baik untukmu," kata sahabat pacarku. 

"Kenapa?" tanyaku.

"Lihat facebook," jawabnya.

Ternyata takdir belum selesai bermain denganku. Aku melihat statusnya dengan pria lain yang dulu pernah aku kenalkan di rapat organisasi. Ya, aku selalu mengajaknya untuk ikut rapat denganku jika dia tidak ada kegiatan. Hatiku hancur.

Aku menceritakan semuanya kepada orang tuaku, dan jodoh mungkin tidak datang secepat yang aku duga. Teman-temanku semua murka, mereka kenal siapa aku dan pacarku. Mereka tidak suka dengan semua ini dan ingin membantuku membalaskan dendam. Bagiku, apa artinya? Semua sudah terjadi dan tidak ada yang perlu dipaksa, apalagi kekerasan. Aku hanya bisa bersyukur sekarang. Coba jika semua ini tidak terjadi, apakah aku masih bisa membeli mobil ini? Apakah aku masih bisa membiayai adik-adikku? Bukankah takdir selalu memainkan permainan yang adil bagi semua? Toh sekarang dia sudah mendapatkan pacar yang diinginkannya, seorang anak pengusaha sukses yang mungkin bisa mengembalikan hidupnya seperti sedia kala.

16/12/12

Kontrak Politik

"Segala kebijakan yang demokratis itu selalu populis," kata seorang teman saya yang sedang menjabat posisi penting di kampus. Memang betul adanya hal itu, tapi kemudian apakah sesuatu yang demokratis dan populis selalu memberikan hasil yang terbaik? Mungkin ini adalah keluhan saya yang kesekian kalinya mengenai politik. Saya seringkali kecewa dalam menghadapi proses politik, mungkin saya tidak cocok menjadi politisi. Tetapi masa bodoh dengan itu, sebentar lagi masa jabatan saya akan selesai dan saya ingin memberikan yang terbaik bagi semua orang.

Bulan Desember adalah bulan penuh kegiatan politik. Yang lama akan segera tergantikan dengan yang baru, tapi yang menjadi masalah adalah proses transisinya yang seringkali menodai makna politik itu sendiri. Baik pemilihan Presiden Mahasiswa maupun Ketua Himpunan Jurusan, ada saja kegiatan yang mewarnai proses politik tersebut. Tentu hal itu tidak saja yang bersifat positif, tetapi juga ada yang negatif.

Saya pernah membaca tulisan seorang senior saya mengenai Kabinet Pelangi. Sebuah istilah untuk penyusunan kabinet yang terbentuk dari seluruh lapisan elemen tanpa memandang mana yang lebih diprioritaskan, atau singkatnya bersifat representatif. Jika berbicara mengenai teori, kabinet pelangi adalah sesuatu yang baik untuk badan eksekutif karena bersifat demokratis dan representatif. Yang menjadi masalah adalah kapabilitas dari masing-masing individu yang mewarnai kabinet tersebut apakah bisa dihandalkan? Atau lebih detailnya, bisakah mereka saling bekerjasama?

Orang-orang yang merasa dirinya representatif cenderung memiliki ambisi dan ego yang besar. Ya, saya merasakan hal ini sendiri sebagai salah satu anggota badan legislatif. Presiden ataupun Ketua Himpunan pada dasarnya memiliki hak untuk memilih kabinetnya secara prerogatif. Tanpa melakukan kabinet pelangi pun (yang teknisnya biasanya dilakukan melalui rekruitmen terbuka) sebenarnya dia bisa memilih dan menunjuk langsung. Yang menjadi masalah kan bagaimana lapisan-lapisan golongan yang istilahnya tidak mendapatkan kursi di kabinet tersebut melakukan protes. Ujung-ujungnya biasanya akan mengatakan bahwa kabinetnya otoriter atau hanya milik dari satu golongan. Padahal, masalah fungsi representatif bisa terjawab dengan kehadiran badan legislatif.

Yang saya catat dari tulisan senior saya adalah ketika dia mengatakan bahwa kabinet pelangi tidak melulu bergerak dengan baik. Dia lebih memilih kabinet yang mungkin terkesan hanya milik satu golongan tetapi memiliki hasil kinerja yang lebih baik. Jika ditinjau lebih lanjut, ini kan masalah bagaimana hasil kinerja kabinet tersebut dapat melayani seluruh golongan, tidak perlu melihat bagaimana proses rekruitmennya. Karena sepengalaman saya bekerja di badan legislatif yang beriringan dengan badan eksekutif, rekruitmen terbuka tidak selalu memberikan yang terbaik, dan dalam kasus saya malah pernah memberikan masalah dualisme jabatan dan orang-orang yang kurang berkualitas di dalam kabinet. Saya percaya bahwa setiap orang memiliki preferensi mengenai siapa saja orang-orang yang memang bisa bekerja bersamanya.

Ini menjadi satu lagi faktor yang jarang terlihat bagi masyarakat mengenai fungsi eksekutif dan legislatif. Ketika eksekutif yang memiliki kewajiban untuk mengeksekusi atau sebagai eksekutor, harusnya masyarakat melihat ke-representatif-an dari para pejabat melalui badan legislatif. Toh, legislatif memang selalu memiliki garis hierarkis diatas eksekutif. Melalui badan legislatif, seharusnya tiap-tiap golongan melihat kesempatan ini sebagai jalur penyuaraan aspirasi ataupun akses kepentingan. Setiap golongan tidak perlu khawatir ketika badan eksekutif tidak melaksanakan kabinet pelangi jika mereka memiliki perwakilan di badan legislatif. Inilah fungsi yang sering terlewatkan dan terlupakan. Padahal kepentingan-kepentingan tiap golongan bisa diperjuangkan melalui badan legislatif.

Saya sangat menghargai bagaimana setiap calon melakukan strategi untuk mendapatkan suara. Ketika kontrak politik atau janji-janji saat kampanye tidak teraktualisasikan, maka itu adalah saat-saat paling menyedihkan dari proses politik. Memang dalam perjalanannya ini akan sangat mudah untuk dielak dengan alasan fleksibilitas dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana dengan konsistensi? Apakah janji hanya berarti sebagai sesuatu yang dapat dilanggar?

Pada akhirnya, kekecewaan saya memuncak pada ideologi masing-masing aktor politik. Saya dan beberapa teman saya selalu berasumsi bahwa politik merupakan salah satu cara yang legal dan mungkin sangat bisa dioptimalkan untuk memperbaiki kondisi yang ada. Pelayanan adalah makna utama dari politik. Kita menjabat untuk melayani. Jangan jadikan politik sebagai ajang eksistensi ataupun ajang korupsi. Memang akan sangat sulit atau bahkan mustahil untuk menjadikan politik hal yang bersih dan putih, murni sebagai tempat untuk melayani. Menjadi pejabat yang sukses dan manusia yang manusiawi di saat yang bersamaan memang berat. Tetapi itu bukan berarti tidak mungkin kan?

03/12/12

IR Book Club

Selamat malam! Bagaimana kabar kalian? Sudah sebulan saya tidak menulis, maaf ya. Malam ini saya akan bercerita tentang proyek rahasia saya, haha, yang sebentar lagi tidak akan menjadi rahasia karena kalian akan tahu. Beberapa minggu ini memang sangat sibuk untuk saya dan teman-teman HI UGM, karena selain ada acara besar PNMHII, kami masih berada di tengah pergeseran peta politik. Teman-teman pengurus akan segera digantikan oleh generasi baru, sebuah awal baru. Tetapi semua itu tidak menghentikan saya untuk terus bergerak menjadi lebih baik, karena itulah saya membuat proyek rahasia ini.

Berawal dari sebuah buku dan perbincangan dengan beberapa teman, saya menginisiasi sebuah proyek. Beberapa bulan yang lalu saya membeli sebuah buku, "Plato dan Platypus Walk Into A Bar" di Periplus. Sebuah buku filsafat yang dikemas dalam sebuah lelucon dan bergaya lucu itu menarik perhatian saya dan teman-teman saya. Sampai sekarang bukunya masih belum di tangan saya karena masih dipinjam, huhu. Setelah membaca buku tersebut, saya dan teman-teman (memang ini bukan pertama kalinya) berbincang-bincang mengenai buku-buku yang dibaca oleh teman-teman. Memang ternyata buku-buku yang dimiliki dan dibaca oleh teman-teman bukan buku sembarangan dan bukan buku yang mudah ditemui di toko-toko karena mayoritas merupakan buku impor. Dari situlah saya berpikiran, mengapa tidak ada sebuah pertemuan untuk membahas isi-isi buku tersebut?

Jujur, saya adalah orang yang malas membaca buku yang sudah dibaca oleh teman-teman. Karena saya lebih suka mendengar isi dan ceritanya dari teman-teman. Saya merasa cukup dengan itu, sehingga saya tidak perlu membaca buku tersebut dan bisa move on ke buku selanjutnya yang lebih menarik dan tidak umum, haha. Memang kritikan terhadap saya tidak lepas dari interpretasi isi buku yang berbeda-beda oleh para pembaca, namun saya tidak pernah mempermasalahkan itu.

Saya seringkali merasa pusing, kepala ini serasa terlalu penuh isinya setiap kali selesai membaca buku. Saya ingin membicarakannya dengan orang lain. Pernahkah kalian merasakan hal yang sama? Karena itulah saya membuat klub buku ini:


Saya ingin teman-teman HI UGM memiliki wadah untuk bertemu, membicarakan buku, membagikan pengetahuan mereka, dan mengkritisinya bersama tanpa harus merasa takut dicap sebagai orang yang sok tahu, sok pintar, dan lain sebagainya. Seperti itulah angan-angan saya, hehe. Teknisnya, saya sebenarnya ingin menjadikan ini sesuatu yang eksklusif untuk teman-teman HI, karena sebuah komunitas atau klub buku akan sangat efektif apabila dia terdiri dari orang yang tidak terlalu banyak. Saya mengestimasikan sekitar 8-15 orang saja. Tetapi jika animonya banyak, ya mau bagaimana lagi? Haha.

Saya ingin teman-teman membawa satu buku mereka terlepas dari apapun genre-nya, mau serius, novel, buku kuliah, atau bahkan majalah juga tidak apa, untuk diceritakan kemudian dikomentari bersama. Saya memiliki teman yang memang cenderung lebih senang atau bahkan lebih mengerti isi buku ketika isinya diceritakan ketimbang dibaca. Karena itulah klub buku ini berdiri berdasarkan kebebasan dan kesukarelaan. Untuk dinamika selanjutnya mungkin tergantung pesertanya. Saya berencana untuk membuat acara ini rutin sebulan sekali, tetapi setelah berbicara dengan banyak orang, akan lebih baik jika diadakan setiap minggu.

Well, itulah proyek rahasia saya, haha. Jika tertarik silahkan hubungi saya. Siapa tahu kita bisa mengundang penulis-penulis besar untuk memberikan insight kepada kita para penggemar buku dalam bentuk kertas?

12/11/12

Perpisahan

Hingga malam tiba barulah kita akan berpisah.
Di tengah meriahnya pesta, di tengah suka cita, ingatlah kami yang pernah bersama kalian.

28/10/12

Hujan

Pagi itu hujan mendatangi Jogja. Ya, sudah lama tidak hujan di tanah sang Sultan. Telpon genggamku berdering. "Ah, pasti kekasihku," pikirku. Ternyata nomer tidak dikenal yang menyapaku pagi itu. Seperti kenangan lama yang manis. Entah berapa tahun yang lalu, yang pasti aku masih mengingatnya. Dia menyapaku dengan tanda senyuman di pesan singkat. Dengan suaranya yang jernih terkadang dia membangunkanku. Sama seperti dirinya yang menemani hari-hariku sekarang.

Hujan tak akan pernah lama datang menjenguk. Tetapi sejalan dengan doa manusia, dia tetap dibutuhkan. Tapi sayang, di masaku, hujan itu terlalu lebat. Memberikan ingatan yang buruk mengenai petir, badai, halilintar, dan awan hitam. Dia pergi meninggalkan kenangan, meskipun awalnya dia datang membawa harapan. Sama seperti dulu, kau datang ketika hujan.

Hujan itu sudah lalu sayang, tapi aku tak akan berbohong bahwa mungkin badai akan kembali. Setidaknya sekarang kita bisa menikmati pelangi.

23/10/12

Penjaga Makam

Oh ya, lentera ini menemaniku setiap malam di tengah jaga.
Menjaga para teman lama yang sudah tiada.
Di bawah sinar rembulan yang indah dan fana.

Ayo sahabat, mari berkeliling, kan ku tunjukkan rumahku.

Tanah yang lembut dan gembur sangat mahal harganya.
Yang teratur dan yang terjaga.
Ketimbang yang tandus dan keras di sebelah sana.

Ayo sahabat, mari berkeliling, kan ku tunjukkan rumahmu.

Oh ya, teman lama mari berbicara, tentang luka dan duka.
Sudah tiada?
Ya, ragamu tak akan pernah kembali ke dunia.

Ayo sahabat, kita kunci gerbang neraka dan surga.
Malam ini cukup sampai sini saja.

Bosan aku mendengar tangis sendu yang dibuat-buat itu.
Bukankah kita akan sama-sama menuju satu titik tertentu?
Tinggal menunggu waktu.

21/10/12

Jokowi dan Jakarta

Jakarta sudah mendapatkan Gubernur barunya. Gubernur yang akan mengemban segudang masalah dan akan menjadi kambing hitam ketika sesuatu tidak berjalan sesuai ekspektasi masyarakat Jakarta. Jokowi yang jauh-jauh datang dari Solo saya pikir sudah mengetahui hal ini. Tingkat kesibukan, temperamen, dan ego masyarakat ibukota tentu jauh berbeda dengan masyarakat Solo. Apa yang bisa dilakukan oleh Jokowi dalam masa 5 tahun jabatannya sebagai Gubernur Batavia?

Indonesia merupakan negara berkembang atau sekarang masyarakat dunia lebih senang menggunakan efimisme late-comers country. Sebagai ibukota, Jakarta mempresentasikan keadaan Indonesia secara utuh. Ya, sangat utuh. Kesenjangan sosial, distribusi kekayaan yang tidak merata, ledakan penduduk, korupsi, semua ada di ibukota. Semua yang melanda Indonesia ada di Jakarta. Busung lapar? Kemiskinan? Kriminalitas? Apa lagi yang tidak ada di Jakarta? Kota yang hidup 24 jam ini tak lelah menghibur sekaligus menggerogoti jiwa-jiwa malang manusia yang ada di dalamnya.

Mulai dari lalu lintas
Saya pernah melihat sebuah kutipan yang sangat menggugah di internet: 

"A developed country is not a place where the poor have cars. It's where the rich use public transportation" -Mayor of Bogota

Dari sebuah kutipan yang sederhana ini, terlintas di pikiran saya, "Jokowi harus mulai dari permasalahan lalu lintas Jakarta". Berangkat dari asumsi awal saya mengenai Jakarta sebagai representasi Indonesia, jika Jokowi mampu mengubah Jakarta menadi lebih baik, maka Indonesia akan menjadi lebih baik. Salah satu permasalahan terbesar Jakarta adalah padatnya lalu lintas, membengkaknya jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, dan tidak efektifnya transportasi publik. Dan Jokowi harus bisa menyelesaikan masalah ini untuk menjawab doa-doa masyarakat Jakarta.

Yang tersulit dari penanganan masalah lalu lintas adalah bagaimana caranya membuat orang-orang kaya di Jakarta mempercayai dan menggunakan transportasi publik. Mempercayai dan menggunakan adalah dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan dalam hal ini. Pemerintah daerah (Pemda) Jakarta harus mampu membuat mereka percaya terlebih dahulu mengenai keamanan, kenyamanan, serta efektivitas transportasi publik. Ini bisa dilakukan dengan penayangan iklan serta sosialisasi yang gencar oleh Pemda kepada masyarakat Jakarta, terutama orang-orang kaya Jakarta atau mereka yang lebih suka menggunakan mobil pribadi. Bagi saya, TransJakarta belum bisa menjadi jawaban atas permasalahan ini. Jokowi harus mencari alternatif lain, dan semoga rencana Monorail dapat menjadi jawabannya. Sistem lalu lintas yang baik akan memudahkan seluruh kegiatan di ibukota.

Memanusiakan ibukota
Istilah memanusiakan ibukota yang sering dibicarakan oleh teman-teman saya, para pemerhati Jakarta, sudah menjadi bahan pembicaraan sehari-hari. Kesenjangan sosial yang sangat jelas terlihat di ibukota perlu diperhatikan oleh Jokowi. Jokowi harus bisa bersikap tegas dalam masalah ini. Banyaknya warga kota lain yang mengadu nasib di ibukota pasca lebaran selalu menjadi tradisi yang ada setiap tahun. Ini bukan berarti saya menyalahkan mereka yang mengadu nasib sepenuhnya, tetapi bagaimana Pemda menangani perpindahan penduduk ini yang perlu diwaspadai. Harus ada prosedur dan syarat yang jelas mengenai sistem "mengadu nasib" ini. Jokowi harus mampu mengatur arus perpindahan penduduk, baik yang keluar maupun masuk ke dalam ibukota.

Kepedulian masyarakat Jakarta yang terus menurun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk juga harus menjadi salah satu rencana kerja Jokowi. Memanusiakan ibukota berarti menyadarkan kembali masyarakat ibukota bahwa mereka adalah manusia yang harus bersosialisasi dan peduli satu sama lain. Tingginya tingkat kesibukan di Jakarta membuat masyarakatnya sangat egois dan menjunjung tinggi privasi. Mereka tidak mau diganggu oleh hal-hal sepele seperti rapat warga atau kerja bakti, dan uang selalu menjadi hal pertama yang mereka gunakan sebagai jawaban. Memang ini tidak akan bisa diselesaikan dalam jangka waktu dekat, melalui pendidikan, iklan, dan pendekatan oleh Pemda kepada masyarakat akan mampu menjadi jawaban yang tepat. Sebelum memanusiakan masyarakat ibukota, Jokowi harus mampu memanusiakan jajarannya.

Semangat Jokowi!
Permasalahan ibukota adalah representasi permasalahan negara. Roda ekonomi yang berputar di ibukota harus tetap dijaga untuk terus berputar sembari membenahi jalananannya yang rusak dan kotor. Saya percaya Jokowi membawa angin perubahan bagi Jakarta, tetapi saya tidak yakin beliau membawa angin perubahan yang baik saja. Seringkali kita menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah yang baru. Saya dan masyarakat Jakarta tentunya berharap banyak kepada sang Gubernur. Jangan pernah berhenti berharap selama kita percaya adanya Tuhan. Semangat Jokowi!

15/10/12

Paradoks Hidupku

Malam ini rasanya bulu kudukku merinding tidak karuan, brrrr! Bukan, bukan karena ada hal-hal gaib. Tapi karena dia. Dia yang aku dekati, aku ambil hatinya, aku cintai, dan aku rindukan.

"Jangan, aku kenal dengan dia" katanya.

Serentak aku merinding, keringat dingin tubuhku. Tak ada lagi rahasia, tak ada lagi privasi. Tembok-tembok itu telah runtuh. Diruntuhkan atau runtuh dengan sendirinya? Haruskah runtuh? Gawat! Inikah arti kesetiaan? Inikah arti cinta? Inikah rasa yang kelak akan menjadi-jadi ketika aku menikah? Ataukah ini arti dari obsesi? Oh tidak!

Aku mencintaimu, tapi aku ingin bebas. Ini masalahku yang tak pernah terselesaikan dari dulu. Aku melihat yang lain dengan pembenaran atas nama kebebasan. Aku terjebak, lagi. Dalam euforia menuju satu tahun, ini semakin menjadi-jadi. Apakah kau mengakses seluruh akun media sosialku? Apakah kau terus membuntutiku? Apa gerangan yang membuatmu seperti ini? Apakah kau tak lagi percaya padaku? Aku takut.

Ya, aku takut tak bisa mencintai yang lain. Aku takut pintu kesempatan yang diceritakan orang-orang itu akan tertutup selamanya, tapi aku juga takut kehilanganmu. Takut kehilangan seluruh perhatianmu dan seluruh cintamu.

Ini paradoks hidupku.

14/10/12

Kehilangan: Harta, Kesehatan, dan Karakter

“Ketika kita kehilangan harta, kita hanya kehilangan sedikit. Ketika kita kehilangan kesehatan, kita kehilangan banyak. Tetapi ketika kita kehilangan karakter diri kita, kita kehilangan segalanya.”

Guru saya pernah mengatakan hal tersebut ketika saya duduk di bangku SMP. Pernyataan yang sangat membingungkan saat pertama kali saya dengar. Bagaimana bisa ketika kita kehilangan harta, kita hanya kehilangan sedikit? Padahal harta merupakan akumulasi kekayaan dan kepemilikan dari usaha kita selama bertahun-tahun. Dan sakit, ya, kata lain dari kehilangan kesehatan, mengapa kita bisa kehilangan banyak? Padahal kita dengan cepatnya bisa sembuh dari suatu penyakit. Dan karakter? Apa itu karakter? Mengapa ketika kita kehilangannya kita akan kehilangan segalanya? Sekiranya begitulah pemikiran saya ketika duduk di bangku SMP. 

Seiring berputarnya waktu, kata-kata guru saya terus terngiang di pikiran saya. Setiap kali saya melihat berita mengenai kebakaran di suatu tempat di televisi, pada akhir berita sang pembawa berita akan selalu berkata, “Kerugian dari kebakaran mencapai...”, dan jika beruntung, “Tidak ada korban dalam peristiwa kebakaran tersebut”. Kata-kata tersebut kembali berputar di pikiran saya. Mengapa harus beruntung? Bukankah mereka tetap saja kena sial akibat kebakaran tersebut? Bayangkan, mereka kehilangan tempat tinggal, harta, dan mungkin masa depan mereka. Kenapa sang pembawa berita masih mengatakan itu suatu keuntungan?

Hingga tiba suatu saat ketika bos ayah saya menjadi korban tindak kriminal. Ketika itu beliau sedang mengendarai mobil pribadinya, beliau berhenti di lampu merah, dan tepat pada saat malam yang sepi itu mobilnya dikelilingi oleh banyak pemuda. Tanpa menunggu, pemuda-pemuda tersebut memecahkan kaca mobil beliau dan membajak mobilnya. Beliau pun keluar dari mobil dengan tangan hampa. Dompet, telpon genggam, dan seluruh arsip bisnisnya hilang bersama mobilnya yang dibajak. Ketika cerita tersebut disampaikan, secara refleks saya bertanya kepada ayah saya, “Kenapa tidak melawan?”, kemudian ayah saya hanya tersenyum dan mengusap rambut saya. 

Ternyata hidup tidak semurah itu. Hidup tidak bisa dibeli dan juga tidak bisa dijual. Hidup merupakan suatu berkah dan kutukan di saat yang bersamaan. Saya sadar bahwa harta bisa dicari lagi ketika hilang, tetapi kesehatan merupakan hal yang mungkin hanya Tuhan yang bisa memberikannya kembali kita ia hilang. Itulah mengapa ketika kita kehilangan kekayaan, kita kehilangan sedikit, namun ketika kita kehilangan kesehatan, kita kehilangan banyak.

Lalu bagaimana dengan karakter? 

Manusia tercipta begitu berbeda, kita tak ada yang sama persis ketika diciptakan oleh Tuhan. Kita menjadi pionir-pionir penggerak dari hal-hal yang kita percayai. Kita melakukan apa yang menjadi minat dan bakat kita. Kita bersosialisasi dan mencari kehidupan yang kita inginkan melalui hal-hal tersebut. Karakter adalah ciri khas, dia adalah gambaran mengenai siapa kita. Analogi dan manifestasi dari pikiran kita. Kita dipercaya dan saling mempercayai karena karakter. Dari sinilah saya bisa mengatakan pentingnya karakter. 

Saya tidak bisa melihat sisi lain dari karakter kecuali kepercayaan. Kepercayaan yang terbangun dari karakter yang secara konsisten terus ada. Konsistensi karakter yang terbentuk karena kejujuran kita terhadap apa yang kita rasakan. I’m sad when I’m sad, I’m happy when I’m happy, I’m angry when I’m angry. Kita tidak boleh berbohong kepada diri kita sendiri. Kita berperilaku apa adanya, karena hanya dengan begitulah karakter kita bisa terbentuk. Kepercayaan akan terjalin, dan orang-orang mengetahui kejujuran kita. 

Ketika kita berbohong kepada diri sendiri, kita kehilangan karakter kita. Kita kehilangan kepercayaan yang kita butuhkan untuk mendapatkan hidup yang kita inginkan. Kita kehilangan harta dan kehidupan, kita kehilangan segalanya. Maka, jujurlah kepada diri sendiri. Kita merasa sedih, kecewa, dan menyesal saat kita kehilangan. Apapun bentuk dari kehilangan tersebut, jujurlah, dan orang-orang di sekitarmu akan mengerti.

12/10/12

Para Serigala

Sejatinya pria adalah serigala. Kami adalah pemburu hebat yang siap menerjang mangsa, sendiri maupun berkelompok. Kami bisa bekerja sama, namun satu-dua dari kami mungkin menginginkan jatah yang lebih banyak ketimbang yang lain. Bukankah para serigala licik?

Kami pandai merayu, seperti alunan panggilan kepada sang rembulan di saat malam penuh bintang. Kami bisa menjadi manja tetapi tetap bisa diandalkan. Kami adalah serigala yang setia jika kebutuhan kami terpenuhi. Tetapi kami ekspansionis, tak mudah merasa puas, dan terkadang sangat ambisius. Kami mengejar kesempurnaan di tengah ladang sang penggembala domba. Yang putih, yang mulus, yang sintal dan menggoda. Ketika kami sudah berhasil mendapatkan satu, kami tetap memandang rerumputan hijau itu yang penuh dengan domba. Mata penggembala yang semakin larut semakin merapat memberi kesempatan untuk mencuri satu-dua domba, lagi?

Tak akan ada habisnya jika bercerita tentang para serigala. Matanya yang menyala setiap malam menarik mangsanya mendekat penuh rasa penasaran. Ya, kami memang penuh dengan daya tarik. Daya tarik yang memikat dan mematikan. Kami mencium kalian penuh dengan gairah, mencengkeram kalian dengan cakar-cakar kami yang manis. Hitungan detik, kalian tak akan merasakan sakit lagi.

Beberapa dari kami mungkin lebih licik lagi. Ada yang mengenakan bulu-bulu domba demi berada di tengah ladang. Sang penggembala mungkin tahu atau mungkin tidak. Berpura-pura menjadi domba mungkin terdengar menggelikan tapi beberapa dari kami berhasil melakukannya. Kami tetap mendapatkan daging kalian yang lezat. Oh ya, jangan lupa hati kalian yang lembut, bagian favorit kami. Kami mungkin menyantapnya di awal atau akhir masa berburu.

Aku tak ingin menjadi serigala lagi, aku ingin belajar menjadi manusia. Menjadi tuan para serigala, menjadi penggembala domba yang baik. Yang mengalunkan nada seruling bambu lebih indah dari alunan kepada sang rembulan. Aku ingin menjadi satu yang setia. Tapi naluri tak pernah bisa berbohong. Aku juga pernah, dan mungkin akan menjadi salah satu dari para serigala itu, lagi.

02/10/12

Memelihara Setan Kecil di Hati Kita

Saya percaya bahwa di setiap hati semua orang hadir sesosok setan kecil yang nakal dan kadang suka menggoda kita. Hanya saja orang-orang kadang malu untuk mengakuinya atau saya lebih suka menggunakan istilah naif. Setan kecil ini merupakan kumpulan dosa-dosa idaman kita, sesuatu yang terlarang tetapi ingin sekali kita lakukan dan kita penuhi.

Kenapa sih saya nulis kayak beginian di tengah malam?

Dulu saya pernah berpikir bahwa untuk menjadi yang terbaik, saya harus mengalahkan kakak saya. Mengalahkan dalam artian positif. Kakak saya adalah seseorang yang menurut saya paling dekat untuk saya bisa lampaui. Beliau gagal masuk PTN waktu itu, dan ketika saya telah berhasil masuk PTN, saya beranggapan bahwa misi telah sukses. Tapi waktu terus bergulir, kadang terasa lama, kadang terasa sangat cepat. Kemudian tibalah waktu saya untuk berbicara dengan orang tua saya. Sewaktu itu saya kesal sekali, jengkel karena dari kecil hingga sekarang saya tidak pernah mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pekerjaan orang tua saya, saya tidak pernah diajari apa yang mereka kuasai, dan tidak pernah tahu apa yang dimiliki orang tua saya. Kala itu, ayah saya dengan singkat berbicara seperti ini, "Buat apa sih kamu tahu? Kamu mau sombong? Ini belum saatnya. Ada saatnya nanti kamu tahu, baik tahu dari kami maupun dari orang lain. Kami cuma ingin membuat kamu tetap rendah hati". Sejak saat itulah saya tahu bahwa saya harus bisa melampaui dan menjadi lebih baik dari orang tua saya.

Terus apa kaitannya dengan setan kecil yang tadi kita bicarakan di awal tulisan?

Sebetulnya agak memalukan jika saya harus berkata bahwa saya sedang mengalami krisis kepribadian. But the hell with that, saya orang yang terbuka dan saya pikir ini perlu untuk ditulis. Berkaitan dengan cerita saya tadi, saya sadar bahwa ada satu lagi tahap yang harus bisa saya lalui sebelum bisa melampaui orang tua saya. Ya, ini akan terdengar sangat klise, tapi sebelumnya kita harus bisa mengalahkan diri kita sendiri. Dan sekarang saya berada di fase ini. Saya berdiri di depan tembok kokoh bertuliskan "Aku" yang menghalangi jalan saya. I'm stuck.

Belakangan ini saya senang bermain-main dengan setan kecil di hati saya. Saya selalu menganalogikan dia sebagai sesosok pria keren, pintar, kuat secara fisik, dan berengsek di saat yang bersamaan. Kenapa berbentuk seperti itu? Karena saya ingin diri saya seperti itu. Hasratlah yang membentuk setan kecil ini, bukan kebutuhan. Saya percaya setiap orang punya analogi yang berbeda-beda tentang bentuk setan kecil mereka. Analogi simpelnya seperti Naruto dan Kyuubi-nya. Back to the topic, bagaimana saya bisa bermain dengan setan kecil saya? Simply dengan mengizinkan dia menggunakan tubuh saya. Teknisnya saya membiarkan diri saya memenuhi hasrat saya, saya membiarkannya berkembang. Dan ini yang menjadi masalah, he grows too strong to be handled. Akuilah, kita rindu dengan setan kecil kita di hati yang paling dalam. Setan kecil ini ikut memberikan warna ke dalam hidup kita. Dia terlibat dalam pembentukan karakter kita, dia adalah suara hati yang tak terdengar. Dia adalah bisikan jahat yang menggoda. Dia adalah mimpi dan impian kotor kita. Akuilah. Tak ada yang salah dalam mengakuinya, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita menghadapinya. Dan inilah tembok "Aku" yang perlu saya lewati. 

Saya selalu melihat diri saya sebagai sebuah forum. Di sana ada saya, saya, dan banyak lagi saya. Saya berpakaian dalam tema yang berbeda. Saya yang mengenakan baju formal, saya yang mengenakan baju religius, saya yang mengenakan baju santai, dan lain-lain. Mereka adalah impian saya, karakter saya yang terlepas dari tubuh inti saya dan hidup sendiri-sendiri namun satu. Itulah wujud multi-personality kita. Terkadang kita ingin menjadi sesuatu, seseorang, atau sosok yang bahkan mungkin kita tidak pernah bisa wujudkan. Mereka membentuk kita, mereka adalah kita. 

Dua hal yang saya mengerti, saya harus mampu menjadi lebih baik dari saya yang lain untuk bisa melewati tembok "Aku". Tapi ingat, si setan kecil ini akan selalu ada, dia hidup dan menunggu waktu untuk meng-take over tubuh kita. Setan kecil yang lucu dan nakal. Dia yang sedih karena menjadi kambing hitam dari pembenaran dosa-dosa kita. Dia yang tidak pernah diizinkan bermain. Berbicaralah sesekali dengannya di cermin, dia akan tersenyum padamu. Dan jika tergoda, dia akan berbicara seperti ini kepada kita: "Kenapa sih kamu lakukan hal-hal yang baik? Kamu bisa jadi aku yang lepas, bebas, dan bahagia. Dirty things you've done will be my fault. Salahkan semua dosa kepadaku, biarkan aku menjadi kamu."

I always keep the little devil inside me alive. I play with him. It's to remind me not to be like him. To remind me that I can use him. I am better than just a little devil. Or maybe I already am a devil?

Three Days Grace - Animal I Have Become

24/09/12

Ketika Tiba Waktuku Untuk Menghilang

"Tak ada yang abadi"

Selama ini mungkin aku takut, mungkin aku menghindari kenyataan. Aku tak pernah ingin mendekati cermin yang besar di kamarku. Noda-noda hitam, kerut-kerut di dahi, rambut yang tumbuh di sekitar mulut dan daguku, serta rambut yang memutih mungkin petunjuk yang aku abaikan. Bukankah ini waktu yang dinantikan?

"Seperti alunan detak jantungku, tak bertahan melawan waktu"

Seberapa lama aku melupakannya? Melupakan peringatan dari sang pencipta, yang satu, yang duduk di kursi singgasana langit. Yang menciumku setiap kali aku sujud dan tersenyum setiap kali aku lupa.

"Dan semua keindahan yang memudar atau cinta yang telah hilang"

Sudah berapa lama aku hidup, mungkin aku sudah tidak peduli. Apakah ini terlalu cepat bagiku untuk menyadarinya? Aku belum siap. Aku belum siap menghadapi dunia yang keras. Aku belum siap melepas titel mahasiswaku. Aku belum siap menghadap orang tuaku. Aku belum siap hidup dalam rutinitas yang baku. Aku belum siap. Belum siap kehilangan yang aku miliki sekarang.

"Takkan selamanya tanganku mendekapmu"

Tetapi aku harus siap. Suka tidak suka, senang tidak senang, semua akan berlalu begitu cepat. Teman-temanku akan menghilang, satu per satu. Hanya mereka yang siap yang bertahan. Hanya mereka yang peduli yang menetap di hati.

"Biarkan aku bernafas sejenak sebelum hilang"

Jiwa yang damai, tentramlah dalam hembusan angin. Rasakan panasnya matahari, sejuknya hujan, dan dinginnya malam. Karena mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Mungkin tak akan ada kesempatan lagi setelah itu. Dekaplah mereka yang kamu cintai, yang kamu sayangi, dan yang kamu kasihi.

"Jiwa yang lama segera pergi, bersiaplah para pengganti"

Esok adalah hari yang suci. Begitu juga dengan lusa. Lihatlah mereka yang menanti jiwa-jiwa baru. Tersenyumlah pada mereka. Waktuku untuk menghilang akan segera tiba. Menghilang dari kampus yang aku cintai, menghilang dari kota yang aku sukai, menghilang dari canda tawa yang ramah, dan menghilang dari wajah yang cantik itu.

"Tak ada yang abadi"

Peterpan - Tak Ada yang Abadi

10/09/12

Jika Saja

Jika saja Facebook dan Blog merupakan sebuah film, maka aku tak tahu akan ada berapa seri, episode, ataupun season film itu dibuat.
Jika saja Twitter dan Tumblr merupakan sebuah buku, maka aku tak tahu akan ada berapa halaman ataupun jilid buku itu dibuat.
Jika saja Instagram merupakan sebuah album foto, maka aku tak tahu akan setebal ataupun sebesar apa album foto itu dibuat.

Zaman sudah canggih ya? Hidup kita sudah tidak sama lagi. Kini, semua orang punya cerita sendiri-sendiri. Atau mungkin aku yang lupa bahwa semua orang memang punya kisahnya sendiri? Ah biarlah orang-orang sibuk dengan kisahnya sendiri-sendiri. Aku pun juga begitu.

Jika saja ada seseorang yang mau melihat film tentang kisah kita, membaca buku tentang kisah kita, dan melihat album foto tentang kisah kita, bukankah kita akan senang? Apalagi jika dia adalah seseorang yang kita cari. Yang kelak, film, buku, dan album fotonya digabungkan dengan milik kita. Ah, indah bukan?

08/09/12

Magang Ala Public Relation

Pada tanggal 9 Juli lalu, saya memutuskan untuk magang di kala teman-teman yang lain sedang berlibur. Kenapa saya magang? Alasan mendasarnya adalah karena saya tidak tahu harus melakukan apa selama liburan. Di samping itu, semester 4 menurut saya adalah waktu yang pas untuk magang. Selain karena sudah memiliki sedikit pengetahuan dari 2 tahun kuliah, juga karena setelah ini tidak akan ada waktu lagi. Semester 6 saya akan KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan semester 7-8 saya harus segera menyusun skripsi untuk mengejar deadline lulus kuliah.

Proses pencarian magang saya agak sedikit ngawur memang. Ketika mahasiswa dari universitas lain sudah memasukkan proposal untuk magang dari jauh-jauh hari sekitar 1-6 bulan sebelum magang, saya mengajukan surat magang seminggu sebelum saya magang. Perlu digarisbawahi bahwa HI UGM tidak mewajibkan mahasiswanya untuk magang dan ini murni niatan saya untuk magang.

Nasib surat magang saya ternyata sampai hingga ke sebuah hotel bintang 4 di Surabaya. Kenapa saya memilih untuk bekerja di bidang swasta? Awalnya sebelum saya memutuskan untuk magang, saya sudah bertanya-tanya dengan beberapa senior di kampus. Pengalaman-pengalaman mereka magang di badan pemerintah sepertinya kurang begitu menyenangkan, sehingga saya memutuskan untuk mencoba magang di bidang swasta dengan harapan mendapatkan pengalaman yang lebih baik. Ketika saya dipanggil untuk melakukan wawancara, saya langsung berangkat ke Surabaya. Dan ternyata saya diterima magang selama satu bulan. And it begins.

Ekspektasi
Saya berangkat ke Surabaya dengan membawa surat pengajuan magang posisi Public Relation. Setidaknya itu yang saya harapkan. Dan setelah saya selesai wawanara dengan Public Relation Manager (orang-orang kantor biasa menyebutnya PRM), saya diberitahu bahwa di tempat saya magang ternyata PR disatukan dengan departemen Sales & Marketing atau SM. Awalnya saya tidak keberatan karena selain saya bisa belajar tentang PR, saya juga bisa mengintip aktivitas SM.

Kenapa PR? Saya juga agak bingung ketika mengajukan surat magang ke tempat saya magang, saya harus mengisi posisi apa. Dan sebagai anak HI, menurut saya disiplin ilmu yang paling dekat di bidang swasta adalah sebagai PR.

Salah satu pengertian PR (Maria) adalah sebuah posisi yang bertugas melakukan kegiatan yang bertujuan memperoleh itikad baik, kepercayaan, saling adanya pengertian, dan citra yang baik dari publik. Selain itu (Rosady Ruslan), PR juga memiliki beberapa tujuan, yakni:
  1. Menumbuhkembangkan citra perusahaan yang positif untuk publik.
  2. Mendorong tercapainya saling pengertian antara publik dengan perusahaan.
  3. Mengembangkan sinergi fungsi pemasaran dengan PR.
  4. Efektif membangun pengenalan dan pengetahuan merek.
  5. Mendukung pemasaran.
Dengan bekal pengetahuan diatas yang saya dapat dari internet ketika wawancara, saya kira saya telah memiliki gambaran mengenai posisi PR. Menurut saya, seorang PR ketika sudah bertugas, tidak dapat lagi berperan sebagai individu biasa lagi, tetapi dia mewakili perusahaan, atau kiasan kasarnya, segala tindak tanduknya adalah perilaku perusahaan itu sendiri. Memang tanggungan menjadi PR sangat berat karena seringkali akan mendapatkan perhatian media massa lebih dari karyawan dengan posisi yang lain.

Realita
Seperti anak magang lainnya, selama seminggu awal bisa dibilang saya tidak berada di posisi PR, haha. Fotokopi ini itu, mengantar barang, dan beberapa kali ke pantry adalah tugas saya. Saya tidak terlalu kaget ketika melaksanakannya, karena saya tahu senior saya ada yang banyak merasakan pengalaman yang lebih pahit dari ini, jadi saya santai saja menjalankannya.

Minggu kedua barulah saya mulai diperkenalkan dengan beberapa kegiatan yang berbau PR. Sayangnya, kegiatan-kegiatan PR ternyata tidak jauh dengan SM, dan parahnya saya tidak bisa membedakan mana yang seharusnya menjadi tanggung jawab PR dan mana yang menjadi tanggung jawab SM. Hal ini diakibatkan oleh tergabungnya PR dalam departemen SM.

Saya mulai menelpon klien-klien untuk menawarkan produk terbaru yang tempat magang saya sediakan dan mulai memasuki database kantor. Setidaknya hal ini berguna bagi saya, karena ternyata menelpon klien itu tidak semudah yang saya bayangkan. Ada yang harus dikejar beberapa kali, menggunakan nada dan kosakata yang baik, serta penjelasan yang dapat memuaskan klien. Usaha saya ini terbayar ketika tempat magang saya mengadakan buka puasa bersama dengan para klien. Saya dapat mencuri-curi informasi mengenai lowongan kerja dari mereka.

(Buka puasa bersama klien)

Minggu ketiga dan keempat berlalu sangat cepat bagi saya. Saya bertugas menemani tim SM dan PRM pergi ke beberapa tempat klien untuk memberikan ta'jil sebagai bentuk perhatian perusahaan. Selain itu, saya juga bertugas untuk mengecek surat kabar setiap hari, apakah ada berita yang menyebutkan nama perusahaan atau tidak. Biasanya hal ini disebut sebagai media coverage. Hari terakhir saya magang, yakni 9 Agustus ternyata bertepatan dengan ulang tahun tempat saya magang. Dan kesempatan ini saya gunakan untuk berpamitan kepada teman-teman sesama magang, teman-teman pegawai, supervisor saya (PRM), dan juga bos-bos di perusahaan (Director dan juga General Manager).

(Saya dan General Manager)

Catatan
Selama saya magang, tentunya saya memiliki sedikit kesulitan dan juga catatan tersendiri bagi teman-teman magang secara umumnya, dan tempat-tempat magang pada khususnya. Dua hal yang menjadi kesulitan bagi saya adalah masalah inisiatif dan juga waktu. Sebagai anak magang yang baru tahu keadaan dunia kerja, kita seringkali berpikiran untuk menunggu perintah dari supervisor ataupun atasan. Tetapi perlu diperhatikan bahwa sebenarnya mereka pun mengharapkan kita untuk mengerti peran kita dan juga berani berinisiatif untuk meringankan tugas mereka. Ini yang sering menjadi keraguan saya dan seringkali menjadi penyebab dimarahinya saya, haha.

Masalah waktu, keberadaan saya selama satu bulan, saya rasa tidak mencukupi bagi saya khususnya dan anak magang lain pada umumnya untuk mengerti betul tugas-tugas kita. Dan ini yang menyebabkan mengapa seringkali supervisor ataupun atasan-atasan tempat kita magang enggan atau setengah-setengah dalam memberikan pengetahuannya ke kita. Toh, kita cuma sebulan atau paling lama 6 bulang magang, kita bisa dikasih tahu apa? Apa manfaatnya? Padahal, jika kita benar-benar dikasih tahu dengan jelas, tentu kita bisa mengerti kan? Jika dilihat dari sudut pandang lain, ini seperti meremehkan kita sebagai mahasiswa.

Dan catatan terakhir saya, melakukan pekerjaan seperti fotokopi dan juga mengantar barang janganlah kita pandang sebagai sebuah hal yang mendiskreditkan kita, melainkan sebagai sebuah usaha bagi kita untuk mengenal orang-orang di tempat kita magang dan juga lokasi-lokasi yang perlu kita ketahui. Saya, misalkan, harus mengantarkan surat-surat ke bagian keuangan, stockist, dan satu-dua kali mengunjungi kantor atasan-atasan. Jika ada kesempatan, kita bisa menjalin hubungan lebih dekat dan mencari-cari informasi yang kita butuhkan dengan orang-orang tersebut.

Atasan-atasan saya di tempat magang memberitahu saya bahwa magang hanyalah sepersekian persen saja dari pengalaman kerja yang sebenarnya, dan saya rasa ini benar. Magang seringkali diartikan sebagai tempat pelatihan mental kita para mahasiswa untuk bisa meninggalkan dunia studi atau akademik dan mulai memasuki dunia kerja.

Credits
  • Terima kasih pak GM yang mau berbicara dengan bahasa Inggris dengan saya dan memberikan saya kesempatan untuk berkembang.
  • Terima kasih Emak (Director of Sales & Marketing) yang telah mengajarkan saya arti sabar.
  • Terima kasih kepada Mama San (Supervisor saya, PRM) yang telah mau menerima saya magang, hehe.
  • Terima kasih Teteh (Sales & Mareketing Manager) karena telah memberikan saya wejangan-wejangan yang indah.
  • Terima kasih Mba As (Asisten Director of Sales & Marketing) yang telah mengajarkan saya untuk disiplin dan tegas.
  • Terima kasih Om Yud dan Mba Dinar (Desain Grafis) yang telah mencerahkan suasana di kantor dengan candaan kalian.
  • Terima kasih Mba Mel dan Mba Shabrina (Banquet) yang juga telah memberikan cerita-cerita dan motivasi kisah perjalanan karir kalian.
  • Terima kasih Mba Rara (Penanggung jawab klien) yang telah memberikan saya tentang gambaran kenyataan anak PTN dan PTS di dunia kerja.
  • Terima kasih Mba Ratna (Universitas Petra) yang nemenin hari-hari magang saya di kantor.

(Saya dan segenap tim departemen SM)

07/09/12

Mengutuk

Aku mengutuk siang dan sang surya!
Yang dengan senang membakar dunia dengan panas, menciptakan kekeringan dan dahaga.
Tersenyum mengundang kematian.

Aku mengutuk malam dan sang rembulan!
Yang dengan senang menggelapkan mata dan menciptakan dingin yang menembus tulang rusukku.
Mempersilahkan pencuri, pembunuh, hantu, dan monster berkeliaran.

Aku mengutuk waktu!
Yang dengan senang berjalan dengan cepat dan lambat secara bersamaan.
Tanpa bisa diatur dan dikendalikan.

Aku mengutuk hidup!
Yang penuh dengan kekecewaan, ketidakpastian, dan kekejaman.
Terkutuk!

31/08/12

Born To Lose

"I'm no one's hero, so just forget my name."*

Beberapa dari kita mungkin memang dilahirkan untuk "kalah". Beberapa dari kita mungkin memang diciptakan untuk tidak dikenang, terlupakan. Saya mungkin menjadi salah satunya, atau kalo boleh saya bilang, "kita". Dalam derasnya optimisme yang melanda diri saya dan lingkungan sekitar, tiba-tiba angin pesimisme menyelinap secara perlahan. Ya, hanya karena sebuah keraguan, pesimisme memasuki hati saya.

Dilupakan memang menjadi sebuah hal yang tidak menyenangkan bagi setiap manusia. Bayangkan, berapa banyak pertanyaan mengenai eksistensi manusia yang berujung pada jawaban pengukuhan diri atau agar diingat sepanjang masa? Buku, karya tulis, rumus, karya ilmiah, lukisan, dan lain-lain tercipta agar nama seorang anak manusia dapat diingat sepanjang matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Jika pikiran saya sedang tidak bermain dengan diri saya, maka karya-karya tersebut, tanpa bersikap naif, bukan semata hanya untuk memberikan yang terbaik bagi umat manusia, tetapi juga mencari keuntungan berupa kehormatan dan pengukuhan diri.

Kenapa kita ingin diingat? Ingin menang? Ingin menjadi sesuatu yang penting, berguna, dan dibutuhkan? 

Dalam setiap diri kita, egositas berkembang dan memakan kita menjadi sesuatu yang diinginkan oleh orang lain, oleh keluarga, masyarakat. Lalu siapa kita sebenarnya? People want to see what they want to see and hear what they want to hear. Bagaimana jika mereka dipaksa untuk melihat dan mendengar apa yang mereka tidak inginkan? Bagaimana jika kita bukan menjadi bagian yang diinginkan oleh masyarakat? Oleh dunia? Apakah kita tergolong sebagai pecundang?

Untuk menjadi yang diingat, menjadi pemenang, kita harus menjadi yang terbaik, atau setidaknya yang "lebih". Hanya mereka yang extraordinary yang akan terus diingat, baik dalam hal positif maupun negatif. Sejarah dan agama mencatat itu semua. Bagaimana dengan mereka yang biasa-biasa saja? Mereka yang mencari aman dan tak ingin terlibat masalah? Mereka yang terlahir tidak untuk menjadi juara, mereka yang selalu mendapatkan posisi nomer dua, sebagai asisten, pendamping, ataupun wakil.

Coba bayangkan itu. Tak adakah tempat untuk kita? Kita pastinya sudah berusaha untuk menjadi extraordinary, mencoba menjadi salah satu yang diingat oleh orang lain. Tetapi jika istilah born to lose memang ada, bagaimana?

Ah, mungkin ini hanya selentikan lagu The Devil Wears Prada. Mungkin ini buah hasil salah satu dari tujuh dosa, yakni "Envy". Mungkin ini hanya efek angin malam. Mungkin ini hanya pesimisme sesaat yang akan hilang jika menonton acara Mario Teguh. Mungkin.

*Inspired by The Devil Wears Prada's song, titled Born To Lose

The Devil Wears Prada - Born To Lose

14/08/12

Skenario Terakhir

Malam itu dingin, di pinggir pantai dia sudah menunggu.

"Egak pakai jaket?" tanyaku memecah desiran ombak.
"Nda," jawabnya singkat sambil berlahan mengubah arah pandangannya dari laut kepadaku.

Matanya tetap menawan seperti pertama kali aku melihatnya. Tanpa kacamata, tatapannya selalu bisa menembus isi hatiku.

"Jadi, bagaimana?" tanyaku sambil menghampirinya.
"Nda tau," balasnya sambil memelukku.
"Waktunya sudah tiba, bukankah kita sudah saling tahu?" balasku sambil memeluknya erat.

Tubuhnya yang langsing, ringkih, dan sesaat seperti rapuh, memikat hatiku di tengah segala kekurangannya.

"Jika aku mencintaimu yang berbeda denganku, apa itu salah?" tak terasa air matanya mulai turun membasahi pundakku.
"Tidak. Tak ada yang salah," jawabku.

Malam itu aku hanya ingin berdua dengannya, jauh dari keramaian. Memikirkan segala hal yang sudah kami lewati, baik dan buruk, suka dan duka. Di tengah derasnya kemajuan zaman, sepertinya kami berada di dua arus yang berbeda. Tradisi dan agamanya tak akan pernah bisa mengizinkanku memasuki dunianya. Tetapi cinta membuka ruang dan dimensi baru bagi kami untuk bisa bersatu, meski hanya sepersekian persen dari seluruh waktu yang diberikan Tuhan.

Sebelum matahari terbit, kami pasti berlayar. Entah itu menggunakan satu kapal, atau dua kapal yang berbeda tujuan.

27/07/12

Datang, Singgah, dan Pergi

Rene Descartes, seorang filsuf di abad 17 pernah berkata, “Cogito ergo sum”, yang artinya, "karena saya berpikir maka saya ada". Melalui kutipan yang singkat ini, Descartes menyumbang pemikirannya mengenai pertanyaan eksistensi seorang manusia di dunia. Melalui kutipan sederhana ini jugalah saya akan menjelaskan mengenai apa yang saya cari melalui tulisan saya.

Kita berpikir karena kita bertanya. Pertanyaan yang muncul di benak kita disebabkan oleh rasa ingin tahu (curiosity) manusia yang tidak pernah padam. Kemampuan manusia untuk berpikir terus berkembang seiring zaman. Fenomena demi fenomena dipertanyakan dan dicari penjelasannya yang kemudian berubah menjadi suatu pemikiran. Pemikiran-pemikiran ini kemudian berkembang menjadi suatu tindakan nyata yang membentuk peradaban kita. Teknologi, budaya, dan hukum merupakan sedikit dari banyaknya manifestasi nyata dari perkembangan pemikiran manusia. Perkembangan pemikiran tersebut membantu manusia keluar dari zaman kegelapan, dimana irasionalisme dan takhayul mengurung dan menguasai nasib hidup kita sebagai manusia merdeka.

Suatu pemikiran tidak serta merta langsung dapat diterima secara mentah-mentah, bahkan ada yang dapat dipatahkan. Pertanyaan dan pembuktian diperlukan untuk memperkuat dan pada akhirnya menerima pemikiran tersebut. Dengan kata lain, perdebatan, diskusi, dan kritik menjadi faktor-faktor penting pembentukan suatu pemikiran.

Menulis merupakan wujud nyata usaha manusia untuk menuangkan pemikirannya, baik dengan tujuan untuk mempengaruhi pemikiran orang lain ataupun sebagai sumbangan terhadap peradaban. Bagi saya, menulis merupakan media penuh kebebasan untuk menuangkan pemikiran. Karena saya bukan orang yang pandai berbicara untuk mengutarakan pemikiran saya, maka menulis menjadi pilihan yang cocok bagi saya.

Manusia bukanlah makhluk sempurna, begitu juga dengan saya. Pemikiran-pemikiran yang saya tuangkan dalam tulisan tidak mungkin sempurna dan mungkin akan menimbulkan kontroversi. Karena itulah melalui tulisan kita dapat mengundang diskusi, perdebatan, dan kritik yang diperlukan sebagai media untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dengan membentuk pemikiran yang lebih konstruktif.

Jika Descartes berkata, “karena saya berpikir maka saya ada”, mungkin saya akan merubahnya menjadi, “karena saya menulis maka saya ada”. Alasan inilah yang menjadi motivasi sekaligus harapan saya. Hanya dengan menulis kita dapat diingat dan hidup abadi melalui karya-karya tulisan kita. Seperti seorang pengelana, kita lahir di dunia hanya untuk sementara, hanya datang untuk singgah kemudian pergi. Kenapa tidak meninggalkan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi orang lain?

14/05/12

Konsep Tuhan #2

Jika pada tulisan saya sebelumnya, saya mengajukan argumen betapa aktif Tuhan itu, pada tulisan saya kali ini saya akan menawarkan argumen yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Argumen ini sebenarnya diajukan oleh teman saya, dan saya akan mencoba mengembangkannya.

Dalam buku History of God, Karen Armstrong sempat menawarkan teori "tanpa sebab" adanya Tuhan. Tuhan ada tapi tidak ada yang tahu mengapa Dia ada. Saya agak lupa siapa yang mencetuskannya pertama kali, antara Plato atau Aristoteles, yang pasti filsuf Yunani. Berangkat dari sini, saya ingin mengembangkan peran Tuhan dari yang ada tanpa sebab, menjadi ada dan merupakan seorang spektator.

Kenapa spektator? Argumen ini akan saya kaitkan kepada perkataan Baron of Holbach, yang lagi-lagi saya kutip dari buku Karen Armstrong, yakni "religion created Gods because people could not find any other explanation to console them for the tragedy of life in this world". Manusia merupakan mahkluk terpintar yang pernah ditemukan sampai sekarang. Kemampuan manusia dalam beradaptasi dan berpikir menjadi kelebihan utamanya untuk mampu bertahan dari teori seleksi alam milik Darwin. Manusia sering mengandalkan ilmu sains untuk menjelaskan banyak hal, sayangnya, ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan menggunakan ilmu sains. Agama dan konsep Tuhan merupakan cara untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu sains tersebut. Mungkin itu sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Baron of Holbach secara garis besarnya.

Spektator dalam tulisan saya dimaksudkan sebagai hal yang tidak terpisah dari penciptaan alam semesta. Tuhan menciptakan alam semesta, tetapi Dia tidak melakukan apapun untuk mengubah apa yang sudah dibuatnya. Dia hanya melihat dari singgasananya. Pada saat penciptaan alam semesta, dunia sudah dibuat dengan rinci akan siklus yang tak akan berhenti. Di satu sisi memang ini terdengar seperti ketiadaan hari akhir atau kiamat. Dunia akan tetap ada, tetapi dia akan bersiklus secara terus-menerus. Dari satu zaman es, ke zaman es lainnya, dari zaman dinosaurus, ke zaman dinosaurus lainnya, dan terus-menerus bersiklus. Tapi ketiadaan manusia dalam hal ini saya aminkan adanya hari akhir atau kiamat. Hari kiamat untuk manusia itu ada, tetapi bukan untuk alam semesta. Mahkluk lain akan mengisi apa yang ditinggalkan oleh manusia. Dan Tuhan pada sesi ini akan tetap sebagai spektator. Dia hanya melihat siklus ini terus terjadi untuk waktu yang tidak ditentukan.

Pada akhirnya, manusia sendirilah yang menentukan akan seperti apa peradabannya berlangsung. Kerusakan alam, global warming, dan lain-lain merupakan hasil dari perbuatan manusia sendiri. Sejalan dengan itu, siklus alam terus berputar. Yang bisa dilakukan manusia adalah terus bertahan dari seleksi alam-nya Darwin.

Sebagai penutup, saya mau mengaitkan argumen ini dengan adanya kepercayaan bahwa ada mahkluk lain yang lebih dulu hidup dan bahkan lebih maju dan canggih peradabannya daripada manusia. Misteri Atlantis mungkin bisa menjadi contoh peradaban tersebut. Bagaimana kemudian jika hal itu benar? Bahwa ada yang lebih dulu hidup dan berkembang sebelum manusia, hingga mencapai suatu titik dimana mereka mencapai hari akhirnya? Dan manusia menjadi siklus berikutnya dari perhitungan awal Tuhan? Sekian.

13/05/12

Social Monster

Permasalahan politik tidak akan jauh dari masalah sosial. Itu sebabnya di UGM ilmu sosial dan ilmu politik disatukan dalam satu fakultas. Mungkin juga di beberapa universitas lainnya. Mengapa demikian? Saya tidak akan membahas hubungan antara ilmu politik dan ilmu sosial di tulisan saya kali ini. Kesempatan ini akan saya gunakan untuk menuliskan opini saya tentang orang-orang sosial, terutama mereka yang tergolong social monster.

Saya bukan orang yang ahli dalam ilmu sosial ataupun ilmu politik, ini hanya opini saya saja lho. Menurut saya, orang-orang sosial itu ada banyak macamnya. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang sosial itu ada yang tidak mudah/sulit bersosialisasi! Ya, saya akan membahasnya sedikit di sini, tapi bahasan utama saya adalah mengenai orang sosial yang tergolong social monster. Ini adalah istilah yang mungkin saya gunakan, mungkin juga sudah ada yang lebih dulu menulis tentangnya, untuk orang-orang yang pandai bersosialisasi, atau bahkan karena terlalu pandainya sampai dibilang monster.

Jangan kaget jika bertemu orang sosial (orang yang mendalami ilmu sosial) yang tidak pandai bersosialisasi. Dalam beberapa literatur, hal ini dibahas secara mendalam oleh para ahli. Bagi saya, alasan utama mereka tidak pandai bersosialisasi adalah mungkin karena mereka merupakan pengamat sosial. Saya pernah mendengar seorang dosen saya bercerita, peneliti ilmu sosial (orang sosial) ada yang sifatnya takut/tidak mau bertemu dengan objek penelitiannya. Dia lebih memilih untuk mengkajinya secara studi literatur ketimbang penelitian lapangan. Entah mengapa demikian. Tapi itu nyata! Yang mau saya perjelas di sini adalah, ada lho orang sosial yang tidak pandai bersosialisasi. Jadi jangan taruh stereotype bahwa semua orang sosial itu pandai bersosialisasi. Itu semua kembali pada individu masing-masing.

Nah, sekarang kita sampai pada inti pembahasan. Istilah social monster saya gunakan untuk orang-orang yang terlalu pandai bersosialisasi. Mengapa terlalu pandai? Ya, ada orang yang bahkan ketika dia berbicara, dia mampu memakan nafsu berbicara lawannya. Kita akan menemukan ini pada orator-orator ulung, diplomat-diplomat, atau bahkan provokator. Saya pernah atau bahkan sering bertemu dengan social monster ini. Jika kita dekat dengannya, kita selalu ingin mendengar kata-katanya, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu seperti wahyu yang keluar dari mulut nabi, seringkali sulit untuk dibantah. Mungkin itu biasa, yang luar biasa adalah ketika kita selalu mengharapkan kehadirannya di setiap acara. Kita selalu dapat dibuat menganga dengan kata-kata para social monster ini. Hebat kan? Contoh yang paling tepat adalah Mario Teguh. Jika kita tidak mengenal agama, mungkin kita bisa mengatakan beliau adalah nabi, haha. Kata-katanya selalu menginspirasi kita bukan?

Social monster ini sendiri tidak jarang memiliki kemampuan mematahkan argumen atau memakan nafsu berbicara lawannya. Mengapa memakan nafsu berbicara? Karena apa yang ingin kita katakan sudah terwakili oleh kata-katanya. Dan hebatnya lagi, ini bisa digunakan untuk memprovokasi orang-orang di sekitarnya. Penggerakkan massa adalah contoh nyata tindakan provokasi para social monster. Jika digunakan untuk demo yang benar tentu tidak mengapa, tapi bagaimana jika digunakan untuk hal-hal yang tidak baik seperti menghasut seseorang?

Kemampuan social monster ini ada yang didapat dari bakat/sejak lahir sudah memiliki kemampuan ini, ada yang didapat melalui pengalaman, dan ada juga yang memang sengaja dipelajari. Berapa banyak sekarang buku-buku yang membahas tentang tata cara bicara seorang social monster? Semua orang sekarang bisa menjadi social monster. Dan dari sini, ada satu lagi argumen yang ingin saya tawarkan. Menurut saya, tidak bisa ada lebih dari satu social monster dalam suatu forum. Karena jika ada, akan menimbulkan friksi atau bahkan aura yang bertentangan. Meskipun demikian, tidak jarang ditemukan dua social monster dalam satu forum, tetapi yang terjadi adalah, hanya ada satu social monster yang aktif. Dalam kata lain, ada yang mengalah.

Pada akhirnya, social monster adalah sebuah istilah. Apakah baik atau buruk itu terserah kepada pandangan Anda. Bagi saya, social monster adalah keinginan dan usaha dari setiap individu untuk menjadi individu yang lebih dapat dikenal dan diterima masyarakat.

Melukis

Beberapa hari yang lalu saya baru saja mengunjungi museum Affandi yang ada di Yogyakarta. Affandi Koesoema adalah seorang maestro lukisan terkenal dari Indonesia pada tahun 1940-1990. Beliau juga menjadi saksi atas perjuangan Indonesia dalam memerdekakan diri. Salah satu karyanya yang terkenal pada saat masa perjuangan adalah poster "Boeng Ajo Boeng!" yang sejarahnya menurut saya lucu. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan berkunjung ke museum Affandi.

Ketertarikan saya terhadap seni rupa mungkin sudah ada sejak saya duduk di bangku SD. Kakak saya adalah inspirasi saya, kami berdua dulu senang menggambar bersama. Dari sana saya seringkali secara sengaja menggambar di halaman paling belakang buku pelajaran saya. Tapi entah semenjak kapan saya berhenti menggambar. Dan terkadang, perasaan ingin menggambar selalu menghantui saya.

Saya selalu menganggap seni sebagai kekurangan saya. Bukan maksudnya saya tidak menyukai seni, bahkan mungkin saya sangat menyukai seni, tapi mungkin terkadang saya kurang memahaminya. Maksud saya dengan kekurangan adalah saya selalu bingung jika ditanya bisa apa dalam seni. Berseni bisa banyak artinya, tidak hanya menggambar atau hanya bermusik. Berseni teater atau akting juga bisa disebut seni. Masalahnya, saya tidak menguasai satu pun.

Kunjungan saya ke museum Affandi membangkitkan gairah saya untuk berseni. Memang, saya pernah diajarkan bermain gitar oleh kakak saya yang juga menginspirasi saya untuk menggambar, tapi tidak terlalu serius. Sekarang saya merasakan dilema untuk menjawab permasalahan ini. Haruskah saya mendalami permainan gitar saya? Atau saya belajar melukis dari nol? Jujur saya lebih condong ingin melukis karena lebih bisa mengekspresikan apa yang ada dalam perasaan saya. Tetapi kemudian, dengan ketersediaan waktu dan biaya, apakah semuanya memungkinkan?

Seorang sahabat pernah berkata, "tidak ada kata terlambat untuk belajar". Mungkin melukis bisa menjadi sisi lain kehidupan saya. Atau mungkin juga Anda?

11/05/12

Mungkin Kami Memang Tidak Ingin Kamu Pergi

Sedih, bukan bosan. Kami bukannya tidak mau anakku, kami hanya takut jika kamu benar-benar pergi jauh dari pelukan kami. Pernarkah terbersit di pikiranmu semua ini? Tidakkah kamu akan rindu dengan kami?

Setiap kali kamu membuka pintu putih rumah kita, kamu menyalami kami dengan senyum dan mencium kedua pipi kami. Kami rindu kamu anakku, kami mungkin tidak mengatakannya, kami hanya mengekspresikannya. Mami buatkan kamu masakan yang kamu suka dan papa ajak kamu berbicara tentang hal-hal kesukaanmu, politik dan hukum. Kakak-kakakmu bukannya juga sudah mencurahkan rindunya padamu? Mereka mengajakmu pergi dan bermain. Tentu, malam adalah saat yang paling tepat untuk berkumpul. Papa dan kakak-kakakmu pulang kerja, dan mami selesai memasak masakan untuk makan malam. Kita bersenda gurau dan mengobrol bersama di atas meja makan kesayangan kita.

Sore itu, kamu bilang pada kami ingin mencari beasiswa ke luar negeri. Kami langsung sepakat berkata tidak usah. Bukan, bukan karena kami tidak memiliki cukup uang untuk membiayaimu, kamu sendiri juga memaksa mencari beasiswa penuh. Kami khawatir, khawatir kamu terpesona dengan dunia luar. Seperti ayah Siddharta Gautama, seperti kisah Bubble Boy, kami hanya orang tua yang khawatir.

Jika kamu sakit bagaimana? Apakah kamu sudah makan? Apakah di sana akan selalu dingin? Kami akan selalu ingat kebiasan-kebiasan kamu yang baik maupun buruk. Kami adalah darah dagingmu, kami tahu. Kamu suka sekali dengan selimut, meskipun ketika tidur malam, paginya kamu berkeringat kepanasan. Kami tahu kamu harus mandi selama 30 menit setiap pagi. Kami selalu ingat jam makan malammu yang ngawur jika kami tidak paksa. Jangan tanya bentuk kasih sayang, karena kami tidak bisa mendefinisikannya.

Mungkin memang kami yang tak mau kamu pergi. Maafkan kami.

Konsep Tuhan #1

Beberapa hari belakangan saya sempat mengobrol dengan beberapa teman mengenai konsep Tuhan. Apakah benar Tuhan itu ada? Darimana asalnya? Apa tujuan keberadaannya? Semua pertanyaan itu bukan berarti kami, saya khususnya, meragukan keberadaan Tuhan, tetapi adalah hal wajar bagi manusia untuk bertanya-tanya. Bukankah itu yang membedakan kita dengan mahkluk lainnya?

Ada banyak sekali pendapat mengenai konsep keberadaan Tuhan. Mungkin saya akan membuat ini menjadi tulisan berseri. Yang pertama, saya akan mencoba menjelaskan konsep Tuhan yang saya dapat dari sebuah game.

Pernah bermain game Black & White? Ya, sebuah game PC yang bergenre strategi ini menempatkan kita sebagai sosok Tuhan bagi berbagai macam umat. Game ini berawal dari sebuah drama ketika ada anak manusia yang tenggelam dan kemudian dikelilingi oleh sekelompok ikan hiu. Orang tua anak itu kemudian berdoa untuk mendapat pertolongan Tuhan, dan saat itulah permainan dimulai. Uniknya, konsep Tuhan ini berawal dari sebuah doa yang sederhana. Satu Tuhan kemudian tercipta dari sebuah dimensi lain dimana partikel-partikel hitam putih berkumpul. Permainan kemudian berlangsung, tujuan utamanya adalah untuk mengalahkan Tuhan lain dengan cara membuat para pemujanya beralih menjadi memuja kita.

Dari permainan game ini, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu ada banyak. Tetapi hanya beberapa yang dapat bertahan karena mereka saling berebut pemuja. Intinya, pujaan yang dipanjatkan menjadi sumber utama kekuatan untuk bisa melakukan berbagai macam keajaiban. Musibah seperti gempa bumi, badai, dan lain-lainnya merupakan wujud peperangan antar Tuhan tersebut dalam memperebutkan kekuasaan.

Jika kita kaitkan dengan kehidupan di dunia yang sebenarnya, banyak sekali konsep Tuhan yang berbeda-beda antara kaum yang satu dengan yang lainnya, contoh seperti masyarakat Mesir kuno yang percaya terhadap dewa Ra, Anubis, dan lain-lain, masyarakat Yunani kuno yang percaya terhadap dewa Zeus, Hades, dan lain-lain, masih banyak contohnya. Seiring dengan perkembangan kemudian dewa-dewa ini tidak bisa memenuhi keinginan manusia. Hipotesis saya kemudian lahir agama-agama monotheis dengan Tuhan yang baru akibat jawaban dari doa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Karena pengikutnya banyak, Tuhan monotheis ini kemudian dapat menghancurkan peradaban kepercayaan kaum-kaum kuno tersebut. Seperti kisah Musa yang menghancurkan Firaun, Isa atau Yesus yang menghancurkan Romawi, dan lain-lain.

Baiklah, sekian tulisan saya mengenai konsep Tuhan yang pertama. Perlu diingat, ini hanya sekedar opini. Saya perlu menekankan hal tersebut karena belakangan ini di Indonesia sering terjadi pembatasan berpendapat, apalagi jika berkaitan dengan soal agama. Akhir kata, selamat malam.

09/05/12

Aku Bukan Padi

Bukankah kita sama?
Kita sama-sama menua dari waktu ke waktu.
Ilmu yang kita dapatkan apakah akan berguna?
Hanya Tuhan yang tahu.

Bukankah kita sama?
Kita sama-sama memegang amanat dan janji buta.
Tanpa tahu masa depan, menerka masa depan.

Mungkin aku bukan padi, yang merunduk ketika semakin berisi?
Mungkin aku mangkuk. yang terisi lalu kosong lagi?
Atau mungkin aku pipa tua, yang hanya bisa menghisap tanpa ada isi?

Aku tak bisa sepertimu yang menatap langit luas dan menerjang ombak.
Aku tak tega memotong kata dari setiap mulut yang berbicara.
Aku bukan panglima yang berdiri penuh keberanian dan kebijaksanaan.
Dengan serdadu-serdadu yang membela dari belakang dan dari depan.

Hidupku tak sepadat dan semenarik kata-kata dalam gulungan perkamen para wisudawan.
Mungkin aku hanya berusaha mencari hidup yang lain.
Melewati pagi yang penuh dengan awan.
Dan malam, malam yang kunanti penuh dengan kedamaian.

Para Monster, Dewa, dan Alat Ajaib

Suatu hari, hiduplah 4 monster raksasa di suatu pegunungan. Mereka tidak bisa hidup rukun, selain karena mereka memiliki ukuran yang besar, mereka juga memiliki kebiasaan yang aneh.

Yang paling tua, berwarna abu-abu, sukanya berpergian dan menyendiri, jika diganggu dia akan mengamuk. Yang kedua, berwarna ungu, sukanya berbicara tetapi tidak mau mendengar. Yang ketiga, berwarna hijau, sukanya makan apa saja. Dan yang paling kecil, berwarna merah, sukanya tidur.

Suatu ketika saat mereka bertengkar, turunlah seorang dewa. Dewa itu memarahi mereka karena seringkali saling bertengkar satu sama lain. Untuk mencegahnya, maka sang dewa memberikan masing-masing monster tersebut sebuah alat ajaib. Yang tertua diberikan sebuah gelas ajaib yang berisi air berbagai macam rasa buah. Jika habis, maka akan dengan sendirinya terisi kembali dengan rasa buah yang berbeda. Yang berwarna ungu, diberikan bantal yang barang siapa memakainya maka dia tak akan bisa tidur. Yang berwarna hijau diberikan sebuah gulungan perkamen yang berisi kata-kata bijak. Dan yang paling kecil, diberikan sebuah cermin yang bisa melihat kemauan seseorang.

Selepas perginya sang dewa, monster-monster tersebut mencoba alat-alat ajaib tersebut. Yang tertua membawa gelas itu kemanapun dia pergi, suatu ketika dia haus dan meminumnya. Lalu dia berpikir, gelas ini akan jauh lebih bermanfaat apabila diberikan kepada adiknya yang suka makan. Yang berwarna ungu tidak suka dengan bantal tersebut, karena baginya tidak ada manfaatnya sama sekali. Dia pikir akan lebih baik jika diberikan kepada adiknya yang tukang tidur. Yang berwarna hijau malah bingung dengan makna kata-kata yang ada di gulungan perkamen, karena dia tidak punya petunjuk maka ia meminta kakak tertuanya untuk menjelaskan kepadanya arti dari setiap kata-kata tersebut. Dan yang terkecil tidak peduli dengan cerminnya, dia tetap tidur dengan pulas.

Ketika yang tertua kembali ke pegunungan untuk menemui sang adik yang berwarna hijau, dia memberikan gelasnya. Sang adik kemudian meminumnya terus, terus, dan terus. Karena sibuk meminumnya, ia menyadari bahwa ia tidak lagi lapar. Dan ketika ia sadar, ia berhenti meminumnya dan memeluk kakaknya. Dia pun meminta kakaknya untuk menjelaskan arti kata-kata bijak yang ada di gulungan perkamennya. Sang kakak yang terbiasa menyendiri dan memaknai berbagai macam fenomena alam, mengerti betul kata-kata bijak tersebut. Seiring dengan menjelaskannya kepada adiknya, sang kakak menjadi tahu akan arti kebijaksanaan.

Sedangkan yang berwarna ungu dengan kesal membawa bantalnya kepada adiknya yang berwarna merah. Dengan diam-diam, si kakak mengangkat kepala adiknya dan menaruh bantalnya dibawah kepala sang adik. Terbangunlah si kecil dari tidurnya. Tetapi karena malas, dia tetap merebahkan tubuhnya tetapi tidak dapat tidur. Sedangkan kakaknya yang tertawa melihat adiknya yang malas, tidak sengaja menengok ke cermin ajaib milik adiknya. Saat dia melihat cermin tersebut, sang kakak tahu bahwa sebenarnya yang dia inginkan adalah untuk didengar oleh orang lain, dan untuk itu dia harus belajar untuk mendengar orang lain terlebih dahulu.

Setelah saling tukar, keempat monster tersebut saling berbagi. Yang tertua kemudian menceramahi ketiga adiknya dengan bijak, yang ungu karena dia ingin didengar, maka ia mendengar kakaknya dengan baik, dan seiring dengan itu dia belajar untuk berbicara lebih bijak lagi. Yang terkecil menjadi tidak malas dan mau bangun dari rebahannya. Dan ketika mereka semua haus, yang hijau memberikan gelasnya untuk diminum bersama. Ketika mereka lelah, mereka bisa menggunakan bantalnya untuk beristirahat tanpa harus menjadikan mereka malas.

Pada akhirnya, mereka secara bersama-sama melihat pada cermin keinginan. Ketika mereka berempat bercermin, tidak ada yang istimewa. Mereka hanya melihat diri mereka berempat di depan cermin. Mereka kebingungan. Dan saat itu juga dewa turun menemui mereka dan menjelaskan kepada mereka. Sebetulnya yang mereka inginkan sejak awal adalah untuk hidup bersama secara rukun. Setelah keempatnya sadar akan keinginan mereka, sang dewa mengambil kembali alat-alat ajaib tersebut. Seiring waktu, keinginan mereka untuk hidup bersama secara rukun menjadi sebuah kebutuhan. Kebutuhan untuk hidup bersama secara rukun dan saling melengkapi.

08/05/12

Motivasi Untuk Menjadi Seorang Pemimpin

Pagi ini saya mengobrol dengan seorang teman yang super, beliau tidak lain juga adalah pimpinan organisasi yang saya ikuti. Ghufron Mustaqim, nama yang mungkin tidak asing lagi didengar. Beliau akan pergi ke Washington DC untuk mengikuti pertemuan summit para pemuda di dunia. Perannya dalam summit tersebut membuatnya menguasai sedikit banyak materi ketahanan pangan Indonesia. Berawal dari sana, obrolan kami meluas hingga masalah kepemimpinan.

Saya dan beliau kemudian berbicara singkat mengenai kepemimpinan. Bagi saya, sosok pemimpin muncul karena dua alasan. Yakni adanya dorongan dari luar dan dorongan dari dalam. Saya megambil contoh dua pemimpin hebat, Sukarno dan Barack Obama. Menurut saya, Sukarno memiliki latar belakang yang pas untuk bisa menyebutnya sebagai seorang pemimpin yang lahir akibat adanya dorongan dari luar. Dan Barack Obama yang sempat merasakan hidup di Indonesia memiliki cerita tersendiri tentang jiwa kepemimpinannya.

Dilahirkan untuk menjadi pemimpin
Kumpulan cerita yang saya baca dan saya dengar, membuat saya memiliki pendapat bahwa Sukarno dilahirkan dalam lingkungan yang membangun dirinya untuk menjadi seorang pemimpin. Darah biru mengalir kental di dalam dirinya dan Sukarno seringkali telah diramalkan untuk menjadi seorang pemimpin besar. Hal ini kemudian saya pandang sebagai cara doktrinasi yang terjadi di lingkungan tumbuh besarnya Sukarno. Seiring dengan perkembangan, Sukarno yang terbiasa dianggap sebagai calon pemimpin, memimpikan impian para raja Jawa, yakni menyatukan Nusantara.

Kita dapat melihat bahwa lingkungan sangat berpengaruh bagi Sukarno, ditambah lagi lingkungan dimana dia belajar politik. Sukarno memiliki awal yang baik untuk dapat menjadi seorang pemimpin. Lingkungannya turut andil dalam proses pembangunan jiwa kepemimpinannya. Sukarno hanya perlu menjalankan takdirnya, yang kemudian dapat dia realisasikan dengan dukungan dari berbagai pihak.

Bermimpi untuk menjadi pemimpin
Lain cerita dengan Barack Obama. Sebuah tayangan televisi yang menceritakan biografi singkat Barack Obama pernah menceritakan bagaimana sengsaranya hidup Obama kecil. Perceraian orang tua jelas akan memiliki dampak yang fundamental bagi sang anak, meskipun terkadang dapat ditutupi dengan berbagai hal. Takdir membawa Obama kecil ke Indonesia, dan yang menarik dari tayangan televisi yang waktu itu saya tonton, Barack Obama kecil seringkali meniru pidato Presiden Suharto. Dari sini kita bisa melihat bagaimana usaha Obama kecil untuk bermimpi menjadi seorang pemimpin.

Berlanjut pada masa remajanya, Obama sering melakukan orasi di kampus. Salah satu tayangan yang saya tonton menunjukkan kepiawaiannya dalam berpidato saat dia masih kuliah. Keahliannya dalam memimpin berkembang seiring dengan pengalamannya dalam menjalani hidup. Jangan lupa bahwa isu ras menjadi isu yang hangat dibicarakan ketika Obama sebagai calon presiden kulit hitam dirumorkan menjadi calon terkuat dalam bursa pemilihan. Menurut saya, pengalamannya hidup di negara yang plural (Indonesia) membuat Obama tidak takut menghadapi isu tersebut. Dan pengalamannya hidup dengan keadaan seadanya (bahkan bisa dikatakan miskin) membuatnya memiliki strategi keuangan yang unik untuk membiaya dirinya ketika masa kampanye.

Motivasi dan ambisi
Perbincangan saya dengan kak Ghufron (beliau adalah senior saya di HI UGM) berlanjut pada permasalahan motivasi. Menurutnya, baik faktor eksternal maupun internal seseorang untuk menjadi seorang pemimpin akan kembali pada permasalahan motivasi. Seberapa besarkah motivasi yang dimiliki seseorang untuk mencapai keinginannya (dalam hal ini menjadi seorang pemimpin) itu yang penting. Lanjutnya, seorang pemimpin belum tentu orang yang paling pintar atau paling kuat dalam kelompok/pergaulannya. Dari argumen ini, kita bisa melihat bagaimana motivasi berperan besar dalam menutupi kekurangan sosok seorang pemimpin.

Dan jangan lupa, motivasi berbeda dengan ambisi. Seringkali kita salah mengartikan ambisi sebagai motivasi. Motivasi merupakan suatu gejolak/keinginan yang muncul akibat adanya panggilan hati/merasa dibutuhkan. Berbeda dengan ambisi yang kurang lebih sama, tetapi perbedaannya terletak pada ego. Emosi berperan lebih besar dalam ambisi, dan seperti yang kita tahu bahwa emosi seringkali membawa dampak yang kurang baik dalam suatu hal, dan dalam hal ini kepemimpinan yang didasari oleh emosi juga tidak terlalu baik.

06/05/12

Budaya Pesugihan

Berawal pada perbincangan dengan seorang penjaga warung makan burjo di tengah malam, tema pesugihan pun saya bahas kemudian dengan sepupu saya yang sedikit banyak mengetahui hal-hal mistis.

Waktu itu tengah malam, penjaga burjo kebetulan sedang menyetel acara mistis di televisi. Dan saya datang untuk memesan makan malam. Awalnya kami bercerita tentang hal-hal biasa, kemudian saya memancing dia untuk bercerita mengenai pesugihan.

"Masa sih a' (sebutan untuk teman/orang yang lebih tua dalam bahasa Sunda) ada yang begituan?" tanya saya memancingnya.

"Iya a', saya mah udah biasa sama yang begituan." jawabnya sambil memberikan teh hangat pesanan saya.

"Coba cerita dong a' pengalaman tentang pesugihan yang kayak gitu."

"Dulu nih ya a', saya pernah jadi kenek (kondektur) bis malam. Nah waktu itu saya sama sopirnya lagi istirahat di pangkalan. Si bos dateng sama anak buahnya, saya masih bangun tapi pura-pura tidur. Bos nyuruh anak buahnya buat mutusin kabel rem coba a', katanya buat nyari tumbal. Besoknya saya langsung ngundurin diri, takut saya mah." cerita si penjaga burjo sambil menonton televisi.

"Terus gimana bisnya?" tanya saya penasaran.

"Besoknya mah beneran tuh, bisnya langsung kecelakaan, ada yang meninggal. Yang begituan mah biasa a' dalam bisnis transportasi. Hari ini ada bis yang hancur, makan korban, tapi besokannya langsung beli 10 bis baru yang bagus."

"Waduh, gawat bener tuh."

"Iya a', yang lebih parah lagi mah bisnis kontraktor a', saya pernah diceritain sama temen, serem banget."

"Gimana ceritanya a'?"

"Waktu itu temen saya lagi ngaduk semen a', trus ngeliat mandornya lagi ngawasin temennya temen saya yang lagi ngecor. Nah kan pake truk molen tuh a' yang ngangkut bahan buat cor-coran, si mandornya langsung nendang temennya temen saya itu a' ke tempat cor-corannya, jadi langsung ketimbun gitu. Serem a', mati langsung disitu. Gak ada yang tahu, jadi rahasia umum itu mah di dalam bisnisnya."

"Astaga, beneran itu?"

"Iya a'..." jawabnya menutup perbincangan kami.

Pesugihan merupakan suatu cara untuk memperkaya diri melalui cara-cara mistis. Memang, di dunia yang sudah modern ini, terkadang hal-hal tersebut dirasa tidak lagi relevan ketika teknologi sudah berkembang pesat. Tetapi lain cerita di Indonesia. Bagi saya, pesugihan sudah menjadi suatu budaya yang sulit dihilangkan, bahkan dengan berkembangnya teknologi dan pendidikan.

Saya sempat berbincang dengan sepupu saya mengenai ini. Menurutnya, pesugihan memang suatu hal yang lumrah dalam bisnis. Dia juga mengatakan bahwa sebenarnya melakukan pesugihan itu mudah dan cepat. Memperkaya diri dengan hal-hal seperti itu sangat cepat dan mudah dilakukan, asalkan yang melakukan mau menerima konsekuensinya.

Semua agama mengajarkan hal-hal yang baik dan benar. Jika kita lihat dari kacamata agama, seringkali usaha/proses lebih diutamakan ketimbang hasil/tujuan. Untuk menjadi sukses memang tidak mudah, harus susah dulu, belajar dulu, mungkin jatuh dulu sebelum bangkit. Pesugihan dalam hal ini menjadi sebuah cara untuk memotong jalur proses sehingga langsung mendapatkan hasil yang memuaskan.

Kemudian, pesugihan membuat seseorang menjadi tidak lagi merasakan hidup yang benar-benar hidup. Seringkali tumbal/pengorbanan harus dilakukan untuk memenuhi syarat. Sialnya, terkadang pengorbanan harus dilakukan terhadap orang-orang terdekat kita, seperti teman atau anggota keluarga. Perilaku ini, menurut saya, didorong oleh rasa putus asa akibat sulitnya menempuh jalan menuju kesuksesan. Manusia seringkali putus asa dan tersesat karena impiannya yang tak kunjung tercapai.

Perbincangan saya dengan sepupu saya tidak berhenti disana. Kami mulai mencoba melihat menggunakan perspektif modern. Akhirnya kami melihat persamaan antara budaya pesugihan dengan kapitalisme. Kapitalisme yang seringkali dikatakan sebagai sebuah sistem yang menguntungkan segelintir orang/suatu kelompok dan merugikan banyak pihak, tak jarang memakan korban. Banyak kemudian pengusaha-pengusaha yang bangkrut akibat kapitalisme dan kemudian meninggal.

Hal ini kemudian dapat kita sandingkan dengan budaya pesugihan. Saya menyebutnya sebagi budaya kapitalisme primitif. Dimana pesugihan merupakan usaha untuk menguntungkan satu pihak tertentu dengan cara memakan korban secara literal. Jangan-jangan orang Barat yang mengadopsi sistem kapitalisme belajar dari budaya pesugihan? Haha, entahlah.