30/04/12

Ilmu Itu Bebas

Selamat malam, sepertinya sapaan kali ini akan terbawa bersama dengan angin dingin yang turun beriringan dengan hujan deras di Jogja. Kali ini saya akan menulis tentang pendidikan di Indonesia. Haha, saya akan coba untuk membawakannya dengan nada yang tidak terlalu serius dan semoga tulisan ini dapat dinikmati dengan sambil lalu.

Beberapa hari belakangan saya berbicara ringan dengan seorang teman, mungkin lebih. Intinya, kami berbicara tentang penjurusan kami di SMA dulu. Saya yang merasa berkhianat, hehe, karena memiliki ilmu dasar IPA di SMA dan sekarang bersemayam di jurusan Ilmu HI FISIPOL UGM, mencoba mencari tahu kepingan informasi mengenai penjurus-jurusan, hehe, pendidikan di Indonesia. Dan perlu diingat, saya tidak melakukan ini dalam rangka penelitian yang artinya dikaji secara serius melainkan hanya tulisan opini yang mungkin hanya sekedar omong kosong belaka. Tapi tentunya tulisan ini tidak tertutup untuk komentar, as always, feel free to comment. :)

SMA: IPA/IPS?
Di masa saya (karena masa orang tua saya berbeda) penjurusan di tingkat SMA itu berkutat pada dua ilmu ini saja. Tetapi belakangan saya tahu bahwa ada teman (yang sekarang juga di HI UGM) ternyata dulunya berjurusan IPB (Ilmu Pengetahuan Bahasa). Entah ini saya yang bodoh, kurang informasi, atau bagaimana, ternyata pembukaan jurusan di SMA teman saya itu hanya memenuhi minimal kuota pembukaan kelas Bahasa, yakni 10 orang (kemudian dia cerita kalo ternyata hanya ada 9 orang di angkatannya).

Saya melihat hal ini sebagai permasalahan informasi dan gengsi. Remaja SMA tentu pernah merasakan bagaimana dahsyatnya kekuatan gengsi di antara orang tua kita mengenai penjurusan ini. Stereotype yang entah sejak kapan adanya, membuat orang tua kita "memaksa" kita untuk masuk ke IPA karena stereotype anak IPA itu pintar. Well, I guess gak semua anak IPA itu pintar (apalagi saya, wekekekek), apalagi kalo kita udah stereotyping kalo anak IPS itu gak lebih pintar dari anak IPA (wah, salah banget tuh, pasti anak IPS pada marah kalo dibilangin gitu). Gengsi ini yang kemudian membuat orang tua kita mengarahkan kita untuk masuk ke jurusan IPA. Hal ini kemudian didukung oleh "diskriminasi" yang dilakukan beberapa sekolah dengan membuka kelas IPS yang lebih sedikit jumlahnya ketimbang kelas IPA. Bayangin kalo hal ini terus berlanjut, bisa-bisa kelas IPS akan sirna seperti kelas Bahasa, haha.

Yang aneh kemudian, saya tidak tahu sejak kapan kelas Bahasa sirna keberadaannya di banyak sekolah. Padahal, 11 tahun yang lalu di SMA saya (kakak saya juga dulu sekolahnya sama kayak saya) ada kelas Bahasa. Dan uniknya, informasi teman saya yang lulusan kelas Bahasa bilang bahwa sebenarnya kelas Bahasa bisa dibuka jika minimum kuota (10 orang) siswa yang berminat terpenuhi. Lalu kenapa kelas Bahasa seakan-akan menghilang dari peradaban? Saya juga tidak tahu alasannya, hehe.

Kuliah: Banyak Jurusan, Sedikit Pekerjaan
Berbeda dengan permasalahan di masa SMA, kuliah memiliki permasalahan yang lebih serius, yakni mengenai pekerjaan. Indonesia memiliki banyak universitas yang berkelas (UGM bahkan mengincar title World Class Research University), tapi permasalahannya lulusan dari universitas-universitas tersebut yang notabene memiliki banyak jurusan tidak melulu atau bahkan jarang mendapatkan pekerjaan yang selaras dengan ilmu yang mereka dapatkan di kala kuliah.

Apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan Indonesia? Ya masa dapet pendidikan Ilmu HI tapi dapet kerjaan jadi bankir? Haha, but this is the fact. Indonesia merupakan negara berkembang yang masih tidak terlalu memikirkan lulusan jurusan apa, melainkan bisa apa. Kita dibeli (dipekerjakan) bukan karena skill kita, tapi karena raga kita dapat memenuhi kekosongan perusahaan atau institusi-institusi pemerintah. Disuruh apa mau asalkan gaji tetap turun. Kalo begini ceritanya, jangan heran banyak lulusan-lulusan terbaik Indonesia yang lebih milih kerja di luar negeri yang sesuai dengan bidangnya.

Tetapi ada kabar baik juga nih, dalam perkembangannya, kita bisa melihat institusi-institusi pemerintah mencari/membuka lowongan kerja sesuai dengan yang mereka butuhkan, contohnya Kemenlu sering mencari lulusan HI dan sastra, tetapi belum semuanya mengaplikasikan ini. Mungkin kita berada di jalur yang benar, namun kita bergerak tidak pesat. Ini mungkin bisa menjadi kajian menarik buat beberapa pemerhati pendidikan.

Ini Tentang Ilmu
Bagi saya permasalahan ini sebenarnya ada pada persepsi kita mengenai ilmu itu sendiri. Coba saya kupas satu-satu ya permasalahannya. Kalo di jenjang SMA, (regardless kurikulum dan lain-lain) sebenarnya kelas Bahasa masih ada apabila banyak yang berminat (dan tahu) untuk mengadakan kelasnya. Cukup kumpulkan siswanya kemudian ajukan surat permohonan. Jika ini bisa dilaksanakan oleh kelas Bahasa, kenapa ilmu lain tidak? Ilmu seni misalnya? Saya melihat ilmu sebagai sesuatu yang bebas dan umur remaja SMA bagi saya sudah cukup dewasa untuk mengerti mana yang mereka sukai, minati, dan mana yang mereka butuhkan. Persoalan penjurusan (yang hanya ada dua mayoritas) ini menurut saya merupakan pembunuhan terhadap mimpi (mungkin juga tidak sih).

Persoalan kedua mengenai pekerjaan memang sangat kompleks. Indonesia merupakan negara Timur yang budaya KKN-nya masih sangat kental. Unsur rekan dan famili dalam masalah pekerjaan sangat umum. Selain masalah birokrasi, kesadaran akan kebutuhan para ahli juga harus segera diperhatikan. Mau sampai kapan Indonesia mengandalkan banyak ahli-ahli dari luar negeri? Padahal lulusan-lulusan terbaiknya ngalor ngidul mencari pekerjaan yang tidak jelas, tidak sesuai dengan bidangnya, atau bahkan dipakai negara lain. Hehe, kita tutup sampai sini ya. Mari kita cermati lebih jauh mengenai pendidikan Indonesia.

29/04/12

Tiga Kelemahan Pria: Harta, Kekuasaan, dan Wanita

Saya lupa siapa yang pertama kali mengatakan hal ini kepada saya, tapi saya masih ingat betul tentang ketiganya. Tulisan ini saya tujukan sebagai media untuk berbagi sesama lelaki, uhuk, yang mungkin mulai menyadari keberadaan ketiganya sangat berbahaya, menarik, menantang, dan sangat candu. Ayo kita mulai!

Harta
Kenapa sih salah satu kelemahan pria adalah harta? Seriously, sebagai kepala keluarga dan pemimpin, seorang pria memiliki tanggung jawab untuk dapat memenuhi kebutuhan dirinya, keluarganya, dan kelompoknya. Tentu dengan harta kita bisa melakukan semua itu. Kita tahu apa saja yang bisa dilakukan dengan harta, bahkan manusia pun bisa kita beli, haha.

Sayangnya, dalam usaha untuk mendapatkan harta sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan, pria seringkali terjatuh dalam perangkap. Korupsi adalah salah satu contoh murni usaha seorang pria untuk mendapatkan harta tetapi terkena perangkap, haha. Saya lebih suka melihat ini sebagai fenomena keserakahan manusia. Ya, manusia memang sangat sulit untuk puas dan dalam konteks harta, siapa yang tidak mau menjadi kaya? Apalagi menjadi kaya secara mendadak? Banyak cara yang dilakukan untuk memenuhi hasrat ini, menggunakan ilmu hitam, korupsi, hingga menipu pun sering dilakukan pria-pria yang sudah sangat putus asa.

Keadaan memang sering memaksa kita untuk melakukan hal yang tidak baik. Kemiskinan, kurangnya akses ekonomi, hingga paksaan untuk tetap menjaga citra diri sering menjadi alasan utama untuk melakukan hal-hal yang telah saya sebutkan sebelumnya. Tetapi di sinilah tantangannya, bagaimana kita bisa mengakali hal tersebut yang menjadikan kita manusia yang lebih baik.

Kekuasaan
Berbicara tentang kekuasaan tentu tidak akan ada habisnya. Dari dulu hingga sekarang pembahasan tentang kekuasaan tidak pernah selesai. Banyak literatur-literatur yang memberikan kita cara-cara untuk mendapatkan kekuasaan. Kenapa kekuasaan? Permasalahan manusia tidak pernah jauh dari kekuasaan. Hanya berkutat seputar mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Sebelumnya mungkin ada baiknya kita menyamakan pemikiran sebelum berbicara lebih banyak mengenai kekuasaan. Di sini saya akan membahas mengenai legitimasi kekuasaan/jabatan dan tingkat pengaruh. Jadi agar lebih nyambung di antara kita, halah, kita samakan dulu definisi kekuasaan seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya.

Posisi penting/strategis sering kali diperebutkan oleh manusia, khsusnya pria. Saya akan mencoba mengaitkan hal ini dengan teori maskulinitas dan pemenuhan kebutuhan yang sebelumnya saya jelaskan pada bagian harta. Tentu jabatan yang memiliki posisi strategis akan memudahkan pria untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, berbeda dengan konsep yang saya jelaskan pada bagian harta mengenai pemenuhan kebutuhan. Berbicara mengenai kekuasaan berarti berbicara mengenai keinginan. Apapun yang kita inginkan bisa didapatkan jika kita memiliki kekuasaan.

Keinginan yang dapat kita penuhi dengan kekuasaan tidak melulu melalui penempatan posisi strategis politis. Menjadi pejabat publik atau pengusaha bukan satu-satunya pintu gerbang kekuasaan. Seringkali kekuasaan kita lihat sebelah mata sebagai bagian dari politik. Seiring perkembangan zaman, manusia mendapatkan kekuasaan dari berbagai macam cara. Menjadi musisi terkenal misalnya, artis, ketua adat, atau bahkan dukun, wekekekek. Kekuasaan dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Dan sesuatu tersebut juga dapat kita maknai sebagai pengaruh. Pengaruh ada dari pemberian legitimasi kekuasaan atau bakat, seperti bakat memimpin dan kharisma.

Tidak berhenti di sana, sesuai janji saya, saya akan mengaitkan hal ini dengan pemenuhan kebutuhan. Selain pemenuhan keinginan, kekuasaan juga dapat dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan. Sejalan dengan teori maskulinitas, posisi strategis yang diincar banyak pria tidak lepas dari besaran pendapatan/harta yang mereka dapatkan. Dari besarnya pendapatan tersebut kita bisa kembali ke bagian harta. Jadi sangat fleksibel bukan fungsi kekuasaan ini?

Wanita
Wahahaha, sampailah kita pada bagian wanita. Wanita, mahkluk paling indah yang pernah tercipta di dunia, haha, sedikit gombal gak papa ya. Ini, bagi saya, merupakan kelemahan pria yang paling berat untuk diatasi. Bagaimana tidak, bukankah pria diciptakan untuk dipasangkan oleh wanita? Haha. Oke, mari kita bahas lebih mendalam mengenai wanita, tetapi sebelumnya saya ingin mengingatkan pembaca untuk tidak mengaitkannya dengan segala macam ajaran gender maupun teori feminisme. Ini murni pendapat seorang lelaki, asik.

Dari zaman mitologi Yunani, peran wanita sangat sering disinggung. Baik perannya sebagai seorang dewi, manusia biasa, atau bahkan peran mereka yang terkutuk seperti Medusa. Wanita sering digambarkan sebagai sosok yang memiliki tingkat emosi tidak stabil, cemburuan, dan lain-lain. Ini yang kemudian sangat sulit dimengerti oleh para pria, tapi di sisi lain sangat menarik untuk diperhatikan.

Wanita itu bagi saya adalah sesuatu yang sangat indah. Ehm, sedikit curhat, saya gak bisa tahan lihat wanita yang cantik, seksi, atau pintar (dasar mata keranjang), hehe. Kenapa cantik dan seksi berbeda? Jelas. Wanita bisa menjadi cantik tanpa harus menjadi seksi, tetapi sulit bagi wanita untuk menjadi seksi jika tidak cantik. Karena pembicaraan ini akan berakhir pada perdebatan birahi, maka ada baiknya kita selesaikan disini mengenai perbedaan cantik dan seksi, hehe. Kemudian ada kategori pintar. Perubahan zaman mendorong pria mencari wanita yang pintar untuk dapat diajak berbicara, bepikir bersama, atau bahkan berinovasi atas hubungan mereka. Ya, kategori pintar memang sangat luas maknanya. Pintar disini selain pintar dalam menjalin hubungan dengan pria juga berarti pintar dalam ilmu pengetahuan dan wawasan.

Oke, jadi kita sudah tahu bahwa wanita itu mahkluk yang indah, cantik, seksi, dan pintar, lalu kenapa itu menjadi kelemahan pria? Hal ini sangat erat kaitannya dengan dua bagian sebelumnya, yakni harta dan kekuasaan.Wanita dapat menjadi bagian dari diri pria untuk mendapatkan dua hal sebelumnya. Tentu saja banyak cara yang dapat ditempuh. Dalam hal harta, wanita dapat bekerja untuk membantu pria dalam memenuhi kebutuhan. Dan dalam hal kekuasaan, wanita juga dapat dijadikan cara untuk mendapatkan kekuasaan, misalkan seperti menjadi suami seorang anak politisi atau pengusaha besar, hehe.

Jika ada cara yang baik, tentu ada cara yang tidak baik. Ini kemudian yang menjadikannya sebagai kelemahan pria. Seperti halnya harta dan kekuasaan, untuk mendapatkan keduanya wanita dapat diberdayagunakan melalui hal-hal yang tidak baik. Contoh, seringkali mereka yang berhubungan (baik pacaran maupun yang sudah nikah) dikuras kekayaannya oleh si wanita, haha. Dengan segala rayuan dan tipu dayanya kita terkecoh untuk memberikan harta kita untuk si wanita. Dalam hal ini tentu harta kita digunakan untuk pemenuhan kebutuhan maupun keinginan si wanita. Sedangkan kekuasaan juga bernasib sama dengan harta, haha. Melalui rayuan dan godaan sering kali seorang raja menjadi seorang budak tanpa disadari.

Secara garis besar, sulit bagi kita para pria untuk menolak rayuan dan tipu daya wanita, apalagi kalo wanita itu memenuhi kriteria yang telah disebutkan sebelumnya, cantik, seksi, dan kaya, huehuehue. Jadi, kuatkan iman dan tahan nafsu birahi kita, haha. Jadikan wanita sebagai pasangan hidup untuk dapat membantu kita menutupi ketiga kelemahan kita ini.

Solusi
Baiklah, setelah panjang lebar saya membahas tiga kelemahan pria, tidak akan afdol jika saya tidak menawarkan solusi untuk mencegah ketiga hal tersebut jatuh ke dalam lubang hitam yang tidak kita inginkan. Dari segala teori dan bahan bacaan yang sudah saya baca semenjak lahir hingga sekarang, haha, lebay ya, saya hanya bisa memberikan satu solusi. Ya, self-restraint atau pengikatan/pembatasan diri. Kalo dalam istilah religius mungkin akan lebih mengena, yakni bersyukur.

Kenapa harus bersyukur? Kenapa harus menahan diri? Saya pernah berbicara dengan seorang teman dan menuju pemikiran seperti ini, "Hidup itu bagaikan sebuah perjalanan petualangan. Pasti ada awal dan akhirnya. Meski dalam perkembangannya kita ingin terus memperbaiki kehidupan kita, mau sampai kapan? Kapan kita akan puas? Manusia diciptakan untuk tidak pernah puas, karena itu lahirlah konsep bersyukur".

Dari penjelasan di atas, satu-satunya cara untuk mengatasi tiga kelemahan tersebut, menurut saya adalah dengan bersyukur atau menahan diri. Jujur, saya sendiri sangat sulit melakukan itu. Namanya juga manusia, sering tidak puas dan selalu mencari yang lebih baik. Hidup itu memang sebuah petualangan yang harus kita sadari ada akhirnya. Akhir kata, semua ini kembali pada perspektif setiap individu yang berbeda-beda. Silahkan mencernanya dengan segala pengetahuan yang Anda miliki. Selamat malam!

21/04/12

Saya dan Tuhan

Akhirnya setelah lebih dari 1 semester saya membaca A History of God karya Karen Armstrong, selesai juga saya membacanya hingga halaman ke-499. Buku yang berat, sulit dibaca, dengan substansi yang padat dan bahasa yang sulit dimengerti. Secara keseluruhan, ini buku yang mengagumkan! Tulisan saya kali ini akan sangat dipengaruhi dan saya dedikasikan untuk buku tersebut.

Apa makna Tuhan bagi kita? Kita tercipta begitu berbeda sebagai manusia. Ada yang beragama Kristen, Yahudi, Islam, Buddha, Hindu, dan lain-lain. Dan tentunya pandangan tentang Tuhan bagi kita tidak ada yang 100% sama. Ya, tulisan ini akan bercerita mengenai makna Tuhan bagi saya beserta berjuta pertanyaan di benak saya tentang Mahkluk yang Maha Kuasa ini.

Buku A History of God dengan sangat cerdas menceritakan sejarah dan perspektif berbagai agama, terutama agama-agama monoteis, mengenai konsep Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa Tuhan adalah segalanya, karena dia merupakan wujud kesempurnaan dari segala makna yang kita mengerti. Ada yang mengatakan bahwa Tuhan adalah ketiadaan, karena kita tidak pernah tahu seperti apa Ia sebenarnya dan segala bentuk pemikiran kita tentang-Nya tidaklah benar, karena Dia berbeda dan hanya tercipta sebagai Sang Tunggal. Dan bahkan ada yang mengatakan bahwa konsep Tuhan hanyalah rekayasa pikiran manusia untuk menjelaskan berbagai macam hal yang tak dapat dijelaskan oleh sains.

Menurut saya, Tuhan adalah cinta. Ia merupakan wujud kesempurnaan dari belas kasih dan kebebasan. Saya percaya bahwa Tuhan itu ada. Tapi seperti manusia lainnya yang memiliki rasa kecewa, seperti Karen Armstrong yang merasa tidak puas, saya sering mengajukan banyak pertanyaan yang tidak dapat terjawab dengan jawaban yang memuaskan mengenai Tuhan. Mengapa Tuhan ada? Darimana asal usul-Nya? Mengapa Dia menciptakan manusia? Kenapa Dia menciptakan konsep surga dan neraka? Kenapa Dia menciptakan dunia yang penuh dengan kesengsaraan? Benarkah Ia ada? Bukankah Dia mengatakan bahwa diri-Nya penuh dengan kasih sayang? Lalu kenapa Ia menciptakan neraka? Bukankah Ia bisa mengubah segalanya? Mengapa Ia mengizinkan iblis dan setan mengganggu manusia? Begitu banyak pertanyaan tanpa jawaban yang memuaskan.

Ada yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia karena efek berantai dari penciptaan dunia. Ia menghabiskan hampir seluruh kekuatan-Nya untuk menciptakan dunia dan seisinya. Maka dari itu keberadaan manusia ada agar mereka berdoa sehingga Tuhan mendapatkan kekuatan-Nya kembali. Teori ini agak aneh memang, tetapi saya sedikit banyak percaya. Banyak kasus yang dapat mendukung argumen ini. Kematian banyak manusia bisa dijadikan alasan utama. Mengapa Tuhan mengizinkan manusia saling membunuh? Apakah Tuhan memang sengaja membiarkannya? Berarti Dia tidak penuh dengan belas kasih. Atau apakah Tuhan memang tidak memiliki kemampuan untuk mencegah pembunuhan atau pembantaian tersebut?

Masih banyak pertanyaan dan keraguan saya tentang konsep Tuhan. Tapi seiring perkembangan zaman, saya berharap mendapatkan jawabannya. Karen Armstrong dengan cerdas menutup bukunya dengan kalimat penuh makna. Manusia tercipta dengan kemampuan beradaptasi, jika agama sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan manusia, maka agama dengan sendirinya akan terhapus. Manusia akan mencari jalan lain untuk mengisi kekosongan dan keragu-raguannya atas segala pertanyaan dan fenomena yang masih belum bisa terjawab oleh sains. Untuk saat ini, saya masih meyakini bahwa logika dan rasionalitas adalah penggerak utama roda kehidupan manusia, meski begitu, masih banyak hal yang tidak bisa dijawab dengan akal sehat. Saya masih percaya bahwa Tuhan itu ada tapi mungkin iman yang belum hadir di hati saya. Agama dan Tuhan bagi saya adalah sesuatu yang bersifat privasi, jadi jangan pernah sesekali menyinggungnya.

08/04/12

Aksara Adalah Senjata

Beberapa hari belakangan ini rasanya saya sering terluka secara non-fisik. Entah kenapa, baik karena ucapan atau tindakan teman-teman, maupun orang lain yang mengecewakan saya. Ini membuat saya berpikir, mengapa saya bisa terluka jika fisik saya bahkan tak tersentuh? Ada peribahasa yang mengatakan bahwa kata-kata tak akan dapat melukaimu, kecuali jika yang mengatakannya adalah orang yang berarti bagimu.

Kita telah hidup di sebuah zaman dimana kekerasan merupakan sebuah dosa, tabu dalam tindakan. Kekerasan fisik kemudian menjadi sorotan dunia, bahwasanya melukai secara fisik merupakan pelanggaran dan salah satu ancaman keselamatan kepada seorang individu. Segala macam alat yang mampu melukai fisik baik secara sengaja didesain seperti itu, maupun tidak, harus diperhatikan sangat baik-baik penggunaannya. Senjata  kemudian telah dipegang kendali oleh negara atau hanya institusi tertentu yang diperbolehkan menggunakannya.

Kemudian timbul pertanyaan, dengan adanya supremasi penggunaan senjata apakah masyarakat masih mampu melukai satu sama lain? Tentu jawabannya ya. Secara fisik mungkin kita tidak bisa melukai, tetapi berkembangnya zaman telah mengubah kemampuan adaptasi manusia untuk mempertahankan diri (surveillance) di tengah pergaulan atau komunikasi antar individu. Ya, manusia telah mampu mengubah aksara menjadi senjata. Senjata untuk melukai individu lain tidak secara fisik. Hal ini menurut saya lebih berbahaya daripada senjata api. Bagaimana bisa?

Ada peribahasa yang mengatakan bahwa lidah (aksara) bisa melukai apa yang tidak dapat disentuh oleh pedang. Secara eksplisit peribahasa ini telah menjelaskan seberapa berbahayanya penggunaan aksara sebagai senjata. Kita telah melewati masa peperangan dengan senjata, sekarang kita telah memasuki masa peperangan aksara. Sejarah telah membuktikan bahwa kekerasan secara fisik bisa dikalahkan oleh kekuatan aksara. Berapa banyak negara yang dapat memerdekakan diri dengan kekuatan diplomasi? Tindakan represif negara lain yang berbentuk kekuatan fisik menjadi sesuatu hal yang sudah dilarang sekarang. Kebebasan berpendapat menjadi pisau peruncing tombak aksara.

Aksara sebagai senjata mampu melakukan fungsinya secara fleksibel. Kepercayaan dapat dijadikan tameng pelindung untuk menusuk individu lain dari belakang. Mungkin kita telah mendengar atau bahkan telah merasakan bagaimana seseorang dapat mengkhianati orang lain yang mempercayainya. Inilah yang membuat aksara sangat berbahaya baik secara penggunaan maupun dampak yang diakibatkannya. Kepercayaan adalah sesuatu yang harus dibangun bertahun-tahun dan dapat dihancurkan dalam waktu semalam. Selain merasakan sakit secara non-fisik, aksara dapat menimbulkan trauma terhadap rasa percaya seseorang dengan orang lainnya. Ini akan berdampak luas bagi kehidupan komunitas dan kerja sama.

Mulutmu, harimaumu. Gunakanlah aksara sebaik mungkin, lebih baik menggunakannya untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan kerja sama ketimbang menjadikannya senjata.