31/08/12

Born To Lose

"I'm no one's hero, so just forget my name."*

Beberapa dari kita mungkin memang dilahirkan untuk "kalah". Beberapa dari kita mungkin memang diciptakan untuk tidak dikenang, terlupakan. Saya mungkin menjadi salah satunya, atau kalo boleh saya bilang, "kita". Dalam derasnya optimisme yang melanda diri saya dan lingkungan sekitar, tiba-tiba angin pesimisme menyelinap secara perlahan. Ya, hanya karena sebuah keraguan, pesimisme memasuki hati saya.

Dilupakan memang menjadi sebuah hal yang tidak menyenangkan bagi setiap manusia. Bayangkan, berapa banyak pertanyaan mengenai eksistensi manusia yang berujung pada jawaban pengukuhan diri atau agar diingat sepanjang masa? Buku, karya tulis, rumus, karya ilmiah, lukisan, dan lain-lain tercipta agar nama seorang anak manusia dapat diingat sepanjang matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Jika pikiran saya sedang tidak bermain dengan diri saya, maka karya-karya tersebut, tanpa bersikap naif, bukan semata hanya untuk memberikan yang terbaik bagi umat manusia, tetapi juga mencari keuntungan berupa kehormatan dan pengukuhan diri.

Kenapa kita ingin diingat? Ingin menang? Ingin menjadi sesuatu yang penting, berguna, dan dibutuhkan? 

Dalam setiap diri kita, egositas berkembang dan memakan kita menjadi sesuatu yang diinginkan oleh orang lain, oleh keluarga, masyarakat. Lalu siapa kita sebenarnya? People want to see what they want to see and hear what they want to hear. Bagaimana jika mereka dipaksa untuk melihat dan mendengar apa yang mereka tidak inginkan? Bagaimana jika kita bukan menjadi bagian yang diinginkan oleh masyarakat? Oleh dunia? Apakah kita tergolong sebagai pecundang?

Untuk menjadi yang diingat, menjadi pemenang, kita harus menjadi yang terbaik, atau setidaknya yang "lebih". Hanya mereka yang extraordinary yang akan terus diingat, baik dalam hal positif maupun negatif. Sejarah dan agama mencatat itu semua. Bagaimana dengan mereka yang biasa-biasa saja? Mereka yang mencari aman dan tak ingin terlibat masalah? Mereka yang terlahir tidak untuk menjadi juara, mereka yang selalu mendapatkan posisi nomer dua, sebagai asisten, pendamping, ataupun wakil.

Coba bayangkan itu. Tak adakah tempat untuk kita? Kita pastinya sudah berusaha untuk menjadi extraordinary, mencoba menjadi salah satu yang diingat oleh orang lain. Tetapi jika istilah born to lose memang ada, bagaimana?

Ah, mungkin ini hanya selentikan lagu The Devil Wears Prada. Mungkin ini buah hasil salah satu dari tujuh dosa, yakni "Envy". Mungkin ini hanya efek angin malam. Mungkin ini hanya pesimisme sesaat yang akan hilang jika menonton acara Mario Teguh. Mungkin.

*Inspired by The Devil Wears Prada's song, titled Born To Lose

The Devil Wears Prada - Born To Lose

14/08/12

Skenario Terakhir

Malam itu dingin, di pinggir pantai dia sudah menunggu.

"Egak pakai jaket?" tanyaku memecah desiran ombak.
"Nda," jawabnya singkat sambil berlahan mengubah arah pandangannya dari laut kepadaku.

Matanya tetap menawan seperti pertama kali aku melihatnya. Tanpa kacamata, tatapannya selalu bisa menembus isi hatiku.

"Jadi, bagaimana?" tanyaku sambil menghampirinya.
"Nda tau," balasnya sambil memelukku.
"Waktunya sudah tiba, bukankah kita sudah saling tahu?" balasku sambil memeluknya erat.

Tubuhnya yang langsing, ringkih, dan sesaat seperti rapuh, memikat hatiku di tengah segala kekurangannya.

"Jika aku mencintaimu yang berbeda denganku, apa itu salah?" tak terasa air matanya mulai turun membasahi pundakku.
"Tidak. Tak ada yang salah," jawabku.

Malam itu aku hanya ingin berdua dengannya, jauh dari keramaian. Memikirkan segala hal yang sudah kami lewati, baik dan buruk, suka dan duka. Di tengah derasnya kemajuan zaman, sepertinya kami berada di dua arus yang berbeda. Tradisi dan agamanya tak akan pernah bisa mengizinkanku memasuki dunianya. Tetapi cinta membuka ruang dan dimensi baru bagi kami untuk bisa bersatu, meski hanya sepersekian persen dari seluruh waktu yang diberikan Tuhan.

Sebelum matahari terbit, kami pasti berlayar. Entah itu menggunakan satu kapal, atau dua kapal yang berbeda tujuan.