27/02/12

Perang Belum Usai

Ini akan mudah.
Mudah bagi mereka.
Ini akan sulit.
Juga untuk mereka.
Kamu, kamu, kamu.
Jangan merubah wajah.
Ayo tepati janjimu pada paduka raja.
Kamu adalah kamu.
Menteri-menteri itu akan terus mencecarmu.
Kamu akan tertawa melihat dirimu dalam cermin.
Cermin yang besar.
Bersama kudamu kamu tertawa.
Kudamu yang bersadel polkadot merah, hitam, dan putih.
Haha.
Kamu menangis dan bertanya.
Kenapa seperti ini?
Menteri-menteri itu merubahmu.
Perang telah usai ujar mereka.
Damai bawa harta ujar mereka.
Kamu dapat apa?
Kamu ksatria medan perang tak berbaju baja.
Kamu memegang terompet sekarang.
Mana pedangmu?
Kamu biarkan mereka menertawaimu?
Jangan, jangan pernah.
Angkat perisaimu tinggi-tinggi.
Kita sedang perang.
Perang dengan mereka yang membatasimu.
Perang dengan harga diri.
Perang dengan cemoohan mereka yang bermulut kotor.
Tahu apa mereka?
Tahu apa?!
Perang belum usai.

23/02/12

Arti Diam

Wah, sudah lama tidak menulis di blog. Semester yang sibuk, kamar kos yang gak kerawat, dan berbagai macam masalah yang ditimbulkan oleh si merah (motor). Oke, jadi beberapa hari belakangan ini saya sedang banyak membaca buku. Diantaranya ada Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis, 9 Summers 10 Autumns karya Iwan Setyawan, Three Cups of Tea karya Greg Mortenson, dan yang belum saya selesaikan adalah The Art of Power karya Thich Nhat Hanh.

Sebetulnya selama di Jakarta saya ingin mengulas sedikit tentang isi dari masing-masing buku tersebut yang menarik perhatian saya, tetapi karena waktu tidak mengizinkan, ya maka saya cuma bisa nulis ini sekarang, haha. Oke, kali ini saya ingin mencoba mengulas tentang arti diam setelah sempat membaca The Art of Power karya Thich Nhat Hanh bab Taking Care of Nonbusiness.

Kalo kata pepatah, "diam itu emas." Atau dalam bahasa Inggrisnya, "silence is gold." Berapa banyak sih dari kita (termasuk saya) yang tahu betul arti dari pepatah ini?

Kita seringkali melihat pepatah ini sebagai jalan untuk mengelak dari suatu permaslahan. Kalo kata Thich Nhat Hanh, masalah itu harus dihadapi, bukannya dihindari. Saya tidak bermaksud untuk menghakimi, tetapi seringkali orang-orang diam untuk menghindari masalah. Come on guys, grow up, it'll haunt you. Kebenaran mau bagaimanapun akan terungkap, diam itu memiliki arti yang lebih dari sekedar ucapan kata palsu.

Lebih baik diam daripada sok tau, terkadang kata-kata ini agak menyesakkan memang. Tapi bagi saya yang masih mahasiswa, sok tau itu wajar, karena saya masih belajar (tapi tahu kadar lah). Masalah diam itu memang sangat berkaitan erat dengan eksistensi kita, ada orang yang diingat karena dia menulis, karena dia berpidato, dan lain-lain. Tapi apa ada orang yang diingat karena diam? Tidak. Diam memang tidak akan membawamu maju, tapi dia akan membawamu pada dirimu sendiri, untuk mendengarkan orang lain, mendengarkan jiwa kita.

Diam memberikan kita waktu untuk sadar bahwa kita hidup. Kita tidak bisa terus berbicara tanpa mendengarkan. Biarkan orang menyepelekan kita karena kita diam, tapi diam kita harus memiliki arti. Kita membaca dalam diam, kita mendengarkan dalam diam, dan yang ajaib adalah kita bisa berbicara dalam diam. Thich Nhat Hanh dalam bukunya The Art of Power bercerita bahwa ia seringkali datang ke sebuah rumah seorang ahli matematika hanya untuk menikmati teh di musim dingin di depan perapian. Ya, hanya sekedar meminum teh, tanpa berbicara, selama kurang lebih satu setengah jam kalo saya tidak salah ingat.

Pernah terpikir oleh kita untuk melakukan itu? Malah kita sering berpikir sebaliknya bukan? Dalam keadaan diam seringkali kita merasa tidak nyaman dengan orang lain, inginnya berbicara untuk memecah suasana. Memang sulit melakukan berbicara dalam diam. Kita hanya bisa melakukannya dengan orang-orang tertentu. Contohnya dengan orang yang kita sayang. Ya, terkadang kita tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun untuk memberitahu bahwa kita cinta dengan pasangan kita, melalui diam kita berinteraksi. Diam bisa berbicara dalam seribu bahasa.

12/02/12

Makam Pahlawan (Kalibata)

Sana, disana!
Aku ingin beristirahat selamanya disana.
Bersama orang-orang yang membela negaraku.
Mereka yang cinta dan berjasa.

Hah, mimpi apa?
Mereka juga tidak pernah meminta.
Mereka berjuang, bergerak, bukan merengek.
Mereka istirahat karena lelah berjuang, aku?

Jangan mimpi, jangan takabur.
Jangan karena makam pahlawan kau berdiri di puncak kekuasaan dan bertindak semena-mena.

08/02/12

Senjang

Siang itu aku menikmati makanan di sebuah warung kecil sudut gang yang menghadap ke jalan raya. Panas, berkeringat, tetapi tiap butir nasinya sangat nikmat. Ya, 10000,- rupiah saja sudah cukup menenangkan perutku yang lapar dari pagi tadi.

Jakarta kulihat sangat sibuk, anak sekolahan yang pulang dari menimba ilmu, pegawai-pegawai pemerintah yang mencari makan siang sepertiku, dan berbagai macam pekerja kasar yang duduk disampingku. Semua bercampur aduk jadi satu. Tidak, aku tidak masalah dengan keadaan seperti itu. Kita semua manusia yang sama.

Sangat aneh jika aku ingat kejadian semalam, bagaimana aku menghamburkan uang cukup besar yang jika dibandingkan mungkin bisa membiayai makan semua orang yang ada di warung ini. Ah, Jakarta, ibukota yang penuh cerita. Mereka yang borjuis, miskin, melarat, merantau, koruptor, orang baik tak beruntung, pencuri, semuanya ada. Aku suka Jakarta, dimana dosa bertebaran, tapi api kemanusiaan tak pernah padam.

Ada yang mengendarai mobil import luar negeri, mengendarai sepeda motor, sepeda onthel, dan tak jarang yang menaiki angkutan umum atau berjalan kaki. Ketika urat stres ini menegang akibat macet dan kesibukan sehari-hari, tak jarang timbul konflik. Yang mobil menabrak pejalan kaki, mati, jadi konsumsi media berhari-hari. Haha, akibat konsumsi narkotika dini hari. Yang sepeda motor menyerempet mobil, yang salah mobilnya, haha, ganti rugi jadi andalan.

Oh, jangan lupa birokrasinya. Ibukota itu lucu. Hukum kalah dengan politik. Semua mati di depan uang.

Oke, masih ada 9 hari waktu di Jakarta. Apalagi yang hendak kau tunjukkan kepadaku wahai ibukota?