30/03/12

Teori Kelas: Jam Pasir

Saya memang bukan ahli dalam ideologi, apalagi ideologi sosialis-komunis. Tapi saya mencermati beberapa hal yang setidaknya masuk akal bagi saya dan mencernanya sesuai dengan pemikiran saya. Beberapa waktu belakangan ini, beberapa teman dan dosen mulai berbicara tentang ideologi sosialis-komunis sebagai jawaban permasalahan yang dialami di masa ideologi liberal atau neo-liberal sekarang ini.

Ada sebuah teori yang berbicara mengenai kelas atau status sosial. Saya agak lupa siapa yang mencetuskannya, Karl Marx mungkin. Teori kelas ini berbicara bahwa setidaknya masyarakat tergolong menjadi tiga golongan kelas. Yakni golongan atau kaum elit, kaum menengah, dan kaum proletarian. Tanpa ada keinginan untuk menyalahkan teori tersebut, saya ingin membagikan sedikit pemikiran saya tentang teori kelas dalam tulisan ini. Sebelum itu, mari kita samakan persepsi mengenai ketiga golongan kelas ini sesuai pemikiran saya:
  • Golongan atau kaum elit adalah lapisan masyarakat yang memiliki akses ke sistem produksi dan juga akses menuju pengambilan keputusan. Saya melihat mereka dalam sosok pemegang jabatan publik dan petinggi-petinggi negara. Mereka ini yang memiliki wewenang untuk membuat suatu kebijakan.
  • Golongan atau kaum menengah adalah lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk tidak lagi bergantung kepada (keputusan) negara atau para pengambil keputusan. Saya melihat mereka dalam sosok pedagang atau pengusaha yang sudah kaya raya. Mereka tidak lagi akan terpengaruh oleh kebijakan yang dibuat oleh negara karena mereka memiliki cukup sumber daya untuk menanggulangi kekurangan mereka.
  • Golongan proletarian adalah lapisan masyarakat yang sangat terpengaruh oleh kebijakan pemerintah tetapi tidak memiliki akses ke sistem produksi dan juga akses menuju pengambilan keputusan. Saya melihat mereka dalam sosok pegawai, buruh, dan mereka yang tidak tergolong dalam dua golongan sebelumnya. Biasanya golongan ini merupakan golongan dengan jumlah terbesar dibandingkan dua lainnya.
Saya melihat kelas-kelas ini seperti bagian dari jam pasir. Kalo kita lihat, jam pasir terdiri dari tiga bagian, pasir atas, celah sempit, dan pasir bawah. Lihat gambar untuk memudahkan penggambaran jam pasir:



Dari sini saya memiliki pemikiran seperti ini, bagaimana jika ketiga kelas tersebut merupakan bagian dari jam pasir? Dimana kaum elit menempati bagian pasir atas, kaum menengah menempati bagian celah sempit, dan kaum proletarian menempati bagian pasir bawah?

Kenapa demikian? Saya berhipotesis bahwa jumlah kaum elit semakin lama akan semakin berkurang, hal ini dapat kita lihat dalam realita bahwa kompetisi untuk mendapatkan posisi pemangku jabatan negara sangat tinggi, dan terlebih lagi, pendidikan yang dienyam kaum elit oleh keturunannya memiliki tujuan untuk mempertahankan status keelitannya tersebut, contoh, baik dalam kasus nepotisme atau bukan, banyak pejabat yang akan berusaha untuk mempertahankan posisinya dengan mencoba membantu rekan atau keluarganya untuk menggantikan posisinya. Tetapi dengan persaingan yang ketat, lambat laun kaum elit ini akan turun kelas menempati bagian pasir bawah atau dalam kata lain menjadi bagian dari kaum proletarian.

Sedangkan untuk kaum menengah, mereka tidak akan terpengaruh jumlahnya oleh kebijakan negara, karena itulah mereka menempati bagian celah sempit. Rasionalisasi lainnya seperti ini, mereka (kaum menengah) merupakan penerus kebijakan pemerintah, contoh, apabila seorang pengusaha restoran yang memiliki banyak karyawan mendapati kebijakan pemerintah menaikan harga pangan, maka untuk menjaga besaran keuntungan (menjaga statusnya sebagai kaum menengah) dia harus menaikan harga barang dagangnya atau dia dapat mengurangi gaji karyawannya (atau dalam keadaan ekstrim akan memecatnya). Hal ini kemudian masuk akal apabila kaum menengah berperan menjadi gerbang untuk mengubah kaum elit menjadi kaum proletarian. Tambahan, kaum menengah memiliki kuasa untuk membalikkan keadaan apabila mereka mau. Contoh, pengusaha bisa saja melakukan lobi untuk mengangkat kaum proletarian naik kelas ke kaum elit.

Dengan dua hipotesis tersebut, tentu jumlah kaum proletarian akan bertambah. Yang unik adalah, saya ingin mencoba memasukkan sebuah mitos dalam teori ini. Mereka yang terbiasa hidup sulit akan lebih mudah untuk mendapatkan kesuksesan. Jika mitos ini saya masukkan dalam teori, maka akan terjadi keajaiban dimana kaum proletarian dapat menaiki kelas kaum elit, ditambah lagi kuasa kaum menengah yang sudah saya jelaskan sebelumnya.

Akhir kata, saya melihat ini sebagai sebuah siklus yang tak akan berhenti. Kaum elit dan kaum proletarian secara tidak menentu akan terus berganti posisi seiring dengan keinginan kaum menengah dan keajaiban dari mitos yang saya sebutkan sebelumnya. Dari sini saya dapat mengambil kesimpulan bahwa kaum menengah adalah kaum yang memiliki kuasa dan keuntungan penuh dalam teori kelas jam pasir. Demikian pemikiran saya mengenai teori kelas jam pasir.

18/03/12

Will You Wait For Me?

This year will be a very busy one. I've told you everything that I'll do this year. This responsibility I take, I swear I'll do my best. And yes, you stay by my side, don't ask, of course I'm happy. The honor, respect, and hope are all burdening my shoulder. But it's okay, I'm on my way to be an extraordinary person that I want and I hope you will be the one who feel the impact of my goal.

Honey, I've told you the story about my friends right? Well, I want to be like them too you know. If I go, will you let me? No, I'm not doing a single thing for that yet. Because I need to know your opinion first. Will you let me go if I choose to do the exchange programs? I want to go to Holland, but another country seems fine to me. How about that? Maybe it took three months or even a year. Well, if you ask me, it's hard for me too. A lot of things need to be considered indeed. But if I can take that opportunity, it'll be a lifetime experience! Don't you feel the excitement?

Of course I need to do a lot of things first. I need to fix my English, my TOEFL score, and I have to talk to my parents, and you. I know, it'll be so hard to missing you. We've just met for maybe less than a year, but our love keep growing. Can we maintain the growth? Can we keep our heart just for us, you for me and me for you? This burden in my shoulder soon will be gone and I need new challenges. Will you embrace me? Will you wait for me? Will you?

17/03/12

Rasa Takut Itu Selalu Ada

Dia akan selalu ada, semenjak kita lahir ke muka bumi ini, hingga hari kita meninggalkannya. Ya, rasa takut diciptakan untuk menemani kita hingga ke liang kubur. Sounds terrifying? Not really I guess. Apa yang bisa dilakukan rasa takut mungkin akan jauh lebih positif daripada yang kita bayangkan selama ini.

Kita semua memiliki cita-cita, impian, dan mimpi. Tetapi kita selalu menyingkirkan rasa takut dari kalkulasi kita. Kenapa? Karena kita selalu memandang rasa takut sebagai penghalang, sebagai sesuatu yang nanti akan memaksa kita mundur dari impian kita yang sudah ada di depan mata. Well, fellow friends, jangan berpikir seperti itu lagi. Apa yang membuat seorang kekasih berani melakukan segalanya untuk pasangannya? Apa yang membuat seorang ayah berani melakukan segalanya untuk keluarganya? Ya, rasa takut. Takut akan kehilangan, takut akan ditinggalkan, takut akan terlupakan, takut akan mengecewakan. Rasa takut menjadi cambuk yang sangat keras bagi seseorang untuk bisa berubah, dalam konteks ini menjadi lebih baik.

Dalam kondisi takut, kita akan dihadapkan pada dua pilihan secara otomatis, yakni untuk mengahadapi rasa takut kita atau memasuki fase dimana kita mencari keamanan dan meninggalkan rasa takut itu. Yang unik adalah pilihan tersebut tercipta bagaikan autopilot. Mungkin memang belum ada riset yang membuktikan, tetapi saya memiliki hipotesis seperti ini. Seseorang yang dihadapkan pada rasa takut dan dia memilih untuk menghadapinya sejak awal, maka dia akan menghadapinya tanpa merasakan rasa takut (resiko) itu lagi. Contohlah seorang kekasih yang pasangannya diganggu oleh orang lain, maka dengan seketika jika dia memiih untuk menghadapi rasa takutnya, dia akan melawan para pengganggu-pengganggu itu. Meski dalam prosesnya dia akan kalah dan babak belur, dia akan menghadapi resiko tersebut tanpa rasa takut lagi. Rasa sakit itu tak akan terasa ketika dalam mengahdapi rasa takutnya, tentu akan terasa pada akhirnya.

Sedangkan jika seseorang menghadapi rasa takut dan dia memilih untuk tidak mengahadapinya maka hal yang sama akan terjadi, dia tidak akan merasakan sakit selama prosesnya. Contoh, ketika ada kasus pencurian, jika sejak awal dia tidak ingin menghadapinya, apapun yang terjadi selama proses pencurian itu, dia tidak akan merasakannya, termasuk kontak fisik. Berangkat dari dua argumen ini, saya percaya bahwa kesuksesan dan hubungannya dengan rasa takut memiliki korelasi yang sama dengan contoh-contoh tersebut. Kita tak akan merasakan pahitnya proses menuju kesuksesan jika sejak awal kita sudah memutuskan untuk menghadapinya, dan pada akhirnya manisnya kesuksesan dapat kita rasakan bersama dengan pengalaman pahitnya mencapai kesuksesan. Hal sebaliknya juga berlaku, kita tak akan pernah tahu apa itu kesuksesan jika sejak awal kita memilih untuk tidak mengahadapi rasa takut kita untuk mencapai kesuksesan.

Rasa takut lebih dari sekedar penghalang, dia cambuk, dia lawan sekaligus kawan kita. Ingat, tak ada seorang pun yang tak punya rasa takut, bahkan Nabi takut kepada Tuhan, rasa takut selalu ada dalam diri manusia hingga akhir zaman. Yang membedakannya adalah bagaimana kita memperlakukan rasa takut itu, sebagai kawan atau lawan?

07/03/12

Sekolah Kita (Tidak) Perlu Pagar dan Tralis

Masih ingatkah kita dengan seragam putih abu-abu kita? Mungkin sekarang kita sudah tidak tahu lagi dimana keberadaannya. Sekolah merupakan masa-masa paling indah, saat-saat kita menimba ilmu, bertemu dengan guru, melakukan kenakalan remaja, dan bahkan bertemu dengan sang kekasih. Tapi sudahkah sekolah di negara kita memaksimalkan tujuan utamanya? Pendidikan adalah hak semua warga negara yang seharusnya mampu dipenuhi oleh negara. Dulu kita mengenal jargon "wajib belajar 9 tahun", kenapa harus ada kata wajib dalam belajar?

Saya sempat tertegun oleh berita-berita di media masa yang menceritakan betapa kerasnya usaha pelajar-pelajar di daerah, baik SD, SMP, maupun SMA, dalam menimba ilmu. Bayangkan saja, mereka ada yang harus menempuh jarak dan waktu yang tak lazim untuk ke sekolah, bahkan ada yang harus melintasi sungai menggunakan jembatan yang terbuat hanya dari dua utas tali. Bayangkan dengan mereka yang sekolah di kota, tentu terlihat jelas ketimpangannya.

Kenakalan remaja memang sesuatu yang lazim terjadi di kalangan pelajar, selama itu dalam kadar yang tidak berlebihan. Berkelahi, pulang malam, berpacaran, dan lain sebagainya. Tetapi kemudian terlintas satu hal yang agak membuat saya tidak enak, yakni kenakalan pelajar akan membolos. Kalo kita kembali pada kelaziman kenakalan pelajar memang itu adalah sesuatu yang wajar, sesekali tidak apa selama tidak mengganggu nilai. Ini yang kemudian menjadi perhatian saya. Mengapa mereka membolos? Dalam artian mereka menghindari hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.

Sekolah di Indonesia, terutama sekali di perkotaan pasti memiliki pagar di depan sekolah. Saya tidak memahami hal ini sebelum seorang dosen saya bercerita mengenai pengalamannya akan sekolah di negeri kanguru. Pagar merupakan sesuatu yang menurut saya menggelikan. Generasi muda kita terus menerus dipaksa untuk sekolah, diwajibkan menimba ilmu tanpa adanya kesadaran bahwa mereka sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Pagar menjadi sebuah ikon bahwa pendidikan di Indonesia masih merupakan suatu paksaan atau kewajiban. Dalam hal ini mungkin masih bisa ditolerir karena sudah menjadi hal yang umum bagi setiap sekolah di Indonesia untuk memiliki pagar. Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat pencurian, apalagi di kota, sangat tinggi. Fasilitas di sekolah seperti komputer dan alat-alat praktikum akan menjadi sasaran empuk untuk dicuri.

Tetapi kemudian hal ini bertambah parah setelah adanya pemasangan tralis di setiap jendela ruangan sekolah. Menurut saya, hal ini menimbulkan efek psikologis yang cukup serius. Pelajar akan merasa bahwa mereka dikurung, mereka ada di dalam penjara pendidikan. Ini kemudian menjadi argumen utama saya mengapa para pelajar membolos. Mereka bosan, dan mereka belum merasa membutuhkan pendidikan karena mind set yang terbentuk di dalam pikiran mereka. Tetapi di sisi lain kita tidak boleh melupakan alasan pihak sekolah dalam memasang tralis tersebut. Pencurian dan pengantisipasian pecahnya kaca sekolah menjadi alasan utama mengapa tralis dipasang.

Negara kita sejak awal kemerdekaan sudah mendeklarasikan diri sebagai negara demokratis. Orde Baru memang sempat menghancurkan mimpi itu, kita berada dalam bayang-bayang penguasa otoriter. Segala sesuatu diwajibkan, menyebalkan memang, tetapi kita mampu melewati itu. Era Reformasi merubah segalanya, kita benar-benar kembali ke arus demokrasi. Meski saya belum mengusasi apa itu demokrasi secara penuh, saya percaya bahwa hak merupakan fondasi dasar dari demokrasi. Ini kemudian yang dilanggar oleh negara kita. Belajar itu bukan sesuatu yang wajib, itu adalah hak.

Saya yakin bahwa semua guru di Indonesia adalah tauladan yang baik, mereka tahu betul mana yang baik dan buruk. Tetapi kesalahan fatal sistem pendidikan di Indonesia adalah ketidakmampuan badan pendidikan untuk menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting. Orang tua sebagai tauladan utama para pelajar tentunya juga mengambil peran dalam hal ini. Seringkali pelajar dimarahi ketika membolos sekolah, tanpa tahu apa alasannya. Padahal, menurut saya, hal ini tidak akan terjadi jika pelajar benar-benar tahu kebutuhan mereka akan ilmu dan pendidikan. Sekalipun mereka membolos, tentunya karena hal-hal yang masih dalam lingkar rasionalitas. Karena kita tidak bisa selalu menjamin bahwa dalam menimba ilmu kita selalu dalam performa maksimal. Absensi menjadi suatu yang sangat sakral, padahal hadirnya pelajar di sekolah belum tentu menjamin apakah dia mendapatkan ilmu.

Bagi saya belum terlambat bagi para orang tua, guru, badan pendidikan, dan pemerintah untuk mengubah mind set masyarakat akan pendidikan. Berikan kebebasan bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan, tentunya hal ini harus diiringi oleh kemampuan negara untuk membangun sekolah yang layak dan terjangkau secara menyeluruh di Indonesia. Dengan menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting dan merupakan bagian dari hak dan kebebasan mereka, tentunya tingkat intelektualitas di Indonesia akan meningkat dengan sendirinya. Biarkan pelajar untuk membolos, atau melakukan kenakalan yang lain selama mereka tahu konsekuensinya, mereka akan belajar untuk bertanggung jawab. Lebih baik gunakan uang untuk membangun pagar dan memasang tralis, untuk hal lain yang lebih efektif, seperti meningkatkan fasilitas sekolah atau akses menuju sekolah. Jangan takut akan kekurangan, pembangunan sekolah merupakan kewajiban negara. Silahkan belajar dengan bebas.

04/03/12

Cinta Itu

Cinta itu bukan sekedar memberi, apalagi menerima. Cinta bukan hanya mengenai kecocokan, apalagi kesempurnaan. Dia mencari kelemahan di tengah kelebihan.

Cinta bukan hanya sekedar mengucapkan salam, selamat pagi, siang, sore, atau malam. Dia merupakan perhatian dan perjuangan. Cinta bukan hanya sekedar saling bertatapan mata melihat kebenaran. Cinta bukan hanya sekedar kontak fisik. Cinta sulit dimengerti.

Cinta itu mengajarkan kita berjalan.
Cinta itu mengajarkan kita mengenal orang lain.
Cinta itu mengajarkan kita memahami dan merasakan kesedihan.

Cinta itu kita.

Cinta itu ketika kamu mengajarkanku bagaimana menuliskan tanda tangan yang bagus.
Cinta itu ketika kamu berada di sisiku saat yang lain pergi.
Cinta itu ketika kamu mendatangiku ke kamarku ketika aku marah kepadamu.
Cinta itu ketika kamu mau kuajak makan saat kamu kenyang.
Cinta itu ketika kamu menelponku tengah malam saat aku beritahu aku tidak bisa tidur.
Cinta itu ketika kamu menemaniku belajar saat besok kamu tidak ada kuliah.

Jangan buat aku mengajarimu tentang cinta. Tolong, mengertilah, pahami. Jangan lupakan arti cinta yang aku dan kamu pernah rasakan. Cinta itu indah.

Mengapa Buddha?

Selamat pagi! Jogja mendung hari ini. Oke, pada kesempatan kali ini saya ingin bercerita sedikit tentang Buddha. Saya memang sedikit terobsesi dengan ajaran Siddharta Gautama ini. Ajaran Buddha, seperti yang kita ketahui sebetulnya sangat erat kaitannya dengan rasa damai, baik secara individu atau komunitas. Hal ini yang nanti dapat saya kaitkan dengan obsesi saya dengan ajaran satu ini.

Pada awalnya saya mengenal ajaran Buddha pada saat memasuki dunia perkuliahan. Buku pertama yang memberikan sedikit gambaran mengenai Buddha adalah buku Mengapa Tuhan Tertawa? karya Deepak Chopra. Buku yang menarik, dalam, dan sangat menyentuh. Dari saat itu saya mulai mencari literatur dan buku-buku fiksi mengenai Buddha. Di saat yang bersamaan, saya sedang mengalami guncangan keyakinan terhadap agama.

Buddha, sebuah ajaran yang lahir dari pemikiran dan perjalanan spiritual seorang anak manusia. Ia tidak muluk-muluk memberikan janji-janji surga atau neraka. Ajaran yang tidak sepenuhnya benar ataupun salah. Buddha mengajarkan kita untuk mengenal diri kita sendiri, lebih dekat dengan apa yang disebut sebagai lingkaran Buddha. Gautama menemukan lingkaran Buddhanya dengan cara yang sangat tidak kita inginkan, sangat menyiksa, dan sangat sulit. Tetapi ia percaya bahwa masing-masing dari kita memiliki lingkaran Buddha itu, hanya saja apa kita mau menemukannya.

Dalam setiap kisahnya, Buddha memberikan cerita-cerita yang sangat dekat dengan kehidupan kita, bukan berbentuk wahyu atau mimpi-mimpi yang sulit dipercaya. Itu memudahkan saya untuk mengerti lebih dalam tentang makna ceritanya. Meskipun saya belum mempelajari lebih jauh, saya sudah merasakan dan mendapatkan manfaat dari sedikit banyak cerita-cerita tersebut.

Inti yang saya kejar dari ajaran Buddha adalah untuk melihat dan mempelajari kebahagiaan manusia dengan memaksimalkan potensi manusia itu sendiri. Berapa banyak dari kita yang menggantungkan kebahagiaan kita kepada orang lain, kepada sesuatu seperti pekerjaan atau uang? Buddha mengajarkan bahwa sebetulnya kita adalah individu-individu yang sudah dapat bahagia tanpa hal-hal tersebut. Ini murni sebuah usaha untuk mengeksplorasi potensi manusia. Karena ajaran ini datang dari seorang manusia.