14/05/12

Konsep Tuhan #2

Jika pada tulisan saya sebelumnya, saya mengajukan argumen betapa aktif Tuhan itu, pada tulisan saya kali ini saya akan menawarkan argumen yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Argumen ini sebenarnya diajukan oleh teman saya, dan saya akan mencoba mengembangkannya.

Dalam buku History of God, Karen Armstrong sempat menawarkan teori "tanpa sebab" adanya Tuhan. Tuhan ada tapi tidak ada yang tahu mengapa Dia ada. Saya agak lupa siapa yang mencetuskannya pertama kali, antara Plato atau Aristoteles, yang pasti filsuf Yunani. Berangkat dari sini, saya ingin mengembangkan peran Tuhan dari yang ada tanpa sebab, menjadi ada dan merupakan seorang spektator.

Kenapa spektator? Argumen ini akan saya kaitkan kepada perkataan Baron of Holbach, yang lagi-lagi saya kutip dari buku Karen Armstrong, yakni "religion created Gods because people could not find any other explanation to console them for the tragedy of life in this world". Manusia merupakan mahkluk terpintar yang pernah ditemukan sampai sekarang. Kemampuan manusia dalam beradaptasi dan berpikir menjadi kelebihan utamanya untuk mampu bertahan dari teori seleksi alam milik Darwin. Manusia sering mengandalkan ilmu sains untuk menjelaskan banyak hal, sayangnya, ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan menggunakan ilmu sains. Agama dan konsep Tuhan merupakan cara untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu sains tersebut. Mungkin itu sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Baron of Holbach secara garis besarnya.

Spektator dalam tulisan saya dimaksudkan sebagai hal yang tidak terpisah dari penciptaan alam semesta. Tuhan menciptakan alam semesta, tetapi Dia tidak melakukan apapun untuk mengubah apa yang sudah dibuatnya. Dia hanya melihat dari singgasananya. Pada saat penciptaan alam semesta, dunia sudah dibuat dengan rinci akan siklus yang tak akan berhenti. Di satu sisi memang ini terdengar seperti ketiadaan hari akhir atau kiamat. Dunia akan tetap ada, tetapi dia akan bersiklus secara terus-menerus. Dari satu zaman es, ke zaman es lainnya, dari zaman dinosaurus, ke zaman dinosaurus lainnya, dan terus-menerus bersiklus. Tapi ketiadaan manusia dalam hal ini saya aminkan adanya hari akhir atau kiamat. Hari kiamat untuk manusia itu ada, tetapi bukan untuk alam semesta. Mahkluk lain akan mengisi apa yang ditinggalkan oleh manusia. Dan Tuhan pada sesi ini akan tetap sebagai spektator. Dia hanya melihat siklus ini terus terjadi untuk waktu yang tidak ditentukan.

Pada akhirnya, manusia sendirilah yang menentukan akan seperti apa peradabannya berlangsung. Kerusakan alam, global warming, dan lain-lain merupakan hasil dari perbuatan manusia sendiri. Sejalan dengan itu, siklus alam terus berputar. Yang bisa dilakukan manusia adalah terus bertahan dari seleksi alam-nya Darwin.

Sebagai penutup, saya mau mengaitkan argumen ini dengan adanya kepercayaan bahwa ada mahkluk lain yang lebih dulu hidup dan bahkan lebih maju dan canggih peradabannya daripada manusia. Misteri Atlantis mungkin bisa menjadi contoh peradaban tersebut. Bagaimana kemudian jika hal itu benar? Bahwa ada yang lebih dulu hidup dan berkembang sebelum manusia, hingga mencapai suatu titik dimana mereka mencapai hari akhirnya? Dan manusia menjadi siklus berikutnya dari perhitungan awal Tuhan? Sekian.

13/05/12

Social Monster

Permasalahan politik tidak akan jauh dari masalah sosial. Itu sebabnya di UGM ilmu sosial dan ilmu politik disatukan dalam satu fakultas. Mungkin juga di beberapa universitas lainnya. Mengapa demikian? Saya tidak akan membahas hubungan antara ilmu politik dan ilmu sosial di tulisan saya kali ini. Kesempatan ini akan saya gunakan untuk menuliskan opini saya tentang orang-orang sosial, terutama mereka yang tergolong social monster.

Saya bukan orang yang ahli dalam ilmu sosial ataupun ilmu politik, ini hanya opini saya saja lho. Menurut saya, orang-orang sosial itu ada banyak macamnya. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang sosial itu ada yang tidak mudah/sulit bersosialisasi! Ya, saya akan membahasnya sedikit di sini, tapi bahasan utama saya adalah mengenai orang sosial yang tergolong social monster. Ini adalah istilah yang mungkin saya gunakan, mungkin juga sudah ada yang lebih dulu menulis tentangnya, untuk orang-orang yang pandai bersosialisasi, atau bahkan karena terlalu pandainya sampai dibilang monster.

Jangan kaget jika bertemu orang sosial (orang yang mendalami ilmu sosial) yang tidak pandai bersosialisasi. Dalam beberapa literatur, hal ini dibahas secara mendalam oleh para ahli. Bagi saya, alasan utama mereka tidak pandai bersosialisasi adalah mungkin karena mereka merupakan pengamat sosial. Saya pernah mendengar seorang dosen saya bercerita, peneliti ilmu sosial (orang sosial) ada yang sifatnya takut/tidak mau bertemu dengan objek penelitiannya. Dia lebih memilih untuk mengkajinya secara studi literatur ketimbang penelitian lapangan. Entah mengapa demikian. Tapi itu nyata! Yang mau saya perjelas di sini adalah, ada lho orang sosial yang tidak pandai bersosialisasi. Jadi jangan taruh stereotype bahwa semua orang sosial itu pandai bersosialisasi. Itu semua kembali pada individu masing-masing.

Nah, sekarang kita sampai pada inti pembahasan. Istilah social monster saya gunakan untuk orang-orang yang terlalu pandai bersosialisasi. Mengapa terlalu pandai? Ya, ada orang yang bahkan ketika dia berbicara, dia mampu memakan nafsu berbicara lawannya. Kita akan menemukan ini pada orator-orator ulung, diplomat-diplomat, atau bahkan provokator. Saya pernah atau bahkan sering bertemu dengan social monster ini. Jika kita dekat dengannya, kita selalu ingin mendengar kata-katanya, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu seperti wahyu yang keluar dari mulut nabi, seringkali sulit untuk dibantah. Mungkin itu biasa, yang luar biasa adalah ketika kita selalu mengharapkan kehadirannya di setiap acara. Kita selalu dapat dibuat menganga dengan kata-kata para social monster ini. Hebat kan? Contoh yang paling tepat adalah Mario Teguh. Jika kita tidak mengenal agama, mungkin kita bisa mengatakan beliau adalah nabi, haha. Kata-katanya selalu menginspirasi kita bukan?

Social monster ini sendiri tidak jarang memiliki kemampuan mematahkan argumen atau memakan nafsu berbicara lawannya. Mengapa memakan nafsu berbicara? Karena apa yang ingin kita katakan sudah terwakili oleh kata-katanya. Dan hebatnya lagi, ini bisa digunakan untuk memprovokasi orang-orang di sekitarnya. Penggerakkan massa adalah contoh nyata tindakan provokasi para social monster. Jika digunakan untuk demo yang benar tentu tidak mengapa, tapi bagaimana jika digunakan untuk hal-hal yang tidak baik seperti menghasut seseorang?

Kemampuan social monster ini ada yang didapat dari bakat/sejak lahir sudah memiliki kemampuan ini, ada yang didapat melalui pengalaman, dan ada juga yang memang sengaja dipelajari. Berapa banyak sekarang buku-buku yang membahas tentang tata cara bicara seorang social monster? Semua orang sekarang bisa menjadi social monster. Dan dari sini, ada satu lagi argumen yang ingin saya tawarkan. Menurut saya, tidak bisa ada lebih dari satu social monster dalam suatu forum. Karena jika ada, akan menimbulkan friksi atau bahkan aura yang bertentangan. Meskipun demikian, tidak jarang ditemukan dua social monster dalam satu forum, tetapi yang terjadi adalah, hanya ada satu social monster yang aktif. Dalam kata lain, ada yang mengalah.

Pada akhirnya, social monster adalah sebuah istilah. Apakah baik atau buruk itu terserah kepada pandangan Anda. Bagi saya, social monster adalah keinginan dan usaha dari setiap individu untuk menjadi individu yang lebih dapat dikenal dan diterima masyarakat.

Melukis

Beberapa hari yang lalu saya baru saja mengunjungi museum Affandi yang ada di Yogyakarta. Affandi Koesoema adalah seorang maestro lukisan terkenal dari Indonesia pada tahun 1940-1990. Beliau juga menjadi saksi atas perjuangan Indonesia dalam memerdekakan diri. Salah satu karyanya yang terkenal pada saat masa perjuangan adalah poster "Boeng Ajo Boeng!" yang sejarahnya menurut saya lucu. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan berkunjung ke museum Affandi.

Ketertarikan saya terhadap seni rupa mungkin sudah ada sejak saya duduk di bangku SD. Kakak saya adalah inspirasi saya, kami berdua dulu senang menggambar bersama. Dari sana saya seringkali secara sengaja menggambar di halaman paling belakang buku pelajaran saya. Tapi entah semenjak kapan saya berhenti menggambar. Dan terkadang, perasaan ingin menggambar selalu menghantui saya.

Saya selalu menganggap seni sebagai kekurangan saya. Bukan maksudnya saya tidak menyukai seni, bahkan mungkin saya sangat menyukai seni, tapi mungkin terkadang saya kurang memahaminya. Maksud saya dengan kekurangan adalah saya selalu bingung jika ditanya bisa apa dalam seni. Berseni bisa banyak artinya, tidak hanya menggambar atau hanya bermusik. Berseni teater atau akting juga bisa disebut seni. Masalahnya, saya tidak menguasai satu pun.

Kunjungan saya ke museum Affandi membangkitkan gairah saya untuk berseni. Memang, saya pernah diajarkan bermain gitar oleh kakak saya yang juga menginspirasi saya untuk menggambar, tapi tidak terlalu serius. Sekarang saya merasakan dilema untuk menjawab permasalahan ini. Haruskah saya mendalami permainan gitar saya? Atau saya belajar melukis dari nol? Jujur saya lebih condong ingin melukis karena lebih bisa mengekspresikan apa yang ada dalam perasaan saya. Tetapi kemudian, dengan ketersediaan waktu dan biaya, apakah semuanya memungkinkan?

Seorang sahabat pernah berkata, "tidak ada kata terlambat untuk belajar". Mungkin melukis bisa menjadi sisi lain kehidupan saya. Atau mungkin juga Anda?

11/05/12

Mungkin Kami Memang Tidak Ingin Kamu Pergi

Sedih, bukan bosan. Kami bukannya tidak mau anakku, kami hanya takut jika kamu benar-benar pergi jauh dari pelukan kami. Pernarkah terbersit di pikiranmu semua ini? Tidakkah kamu akan rindu dengan kami?

Setiap kali kamu membuka pintu putih rumah kita, kamu menyalami kami dengan senyum dan mencium kedua pipi kami. Kami rindu kamu anakku, kami mungkin tidak mengatakannya, kami hanya mengekspresikannya. Mami buatkan kamu masakan yang kamu suka dan papa ajak kamu berbicara tentang hal-hal kesukaanmu, politik dan hukum. Kakak-kakakmu bukannya juga sudah mencurahkan rindunya padamu? Mereka mengajakmu pergi dan bermain. Tentu, malam adalah saat yang paling tepat untuk berkumpul. Papa dan kakak-kakakmu pulang kerja, dan mami selesai memasak masakan untuk makan malam. Kita bersenda gurau dan mengobrol bersama di atas meja makan kesayangan kita.

Sore itu, kamu bilang pada kami ingin mencari beasiswa ke luar negeri. Kami langsung sepakat berkata tidak usah. Bukan, bukan karena kami tidak memiliki cukup uang untuk membiayaimu, kamu sendiri juga memaksa mencari beasiswa penuh. Kami khawatir, khawatir kamu terpesona dengan dunia luar. Seperti ayah Siddharta Gautama, seperti kisah Bubble Boy, kami hanya orang tua yang khawatir.

Jika kamu sakit bagaimana? Apakah kamu sudah makan? Apakah di sana akan selalu dingin? Kami akan selalu ingat kebiasan-kebiasan kamu yang baik maupun buruk. Kami adalah darah dagingmu, kami tahu. Kamu suka sekali dengan selimut, meskipun ketika tidur malam, paginya kamu berkeringat kepanasan. Kami tahu kamu harus mandi selama 30 menit setiap pagi. Kami selalu ingat jam makan malammu yang ngawur jika kami tidak paksa. Jangan tanya bentuk kasih sayang, karena kami tidak bisa mendefinisikannya.

Mungkin memang kami yang tak mau kamu pergi. Maafkan kami.

Konsep Tuhan #1

Beberapa hari belakangan saya sempat mengobrol dengan beberapa teman mengenai konsep Tuhan. Apakah benar Tuhan itu ada? Darimana asalnya? Apa tujuan keberadaannya? Semua pertanyaan itu bukan berarti kami, saya khususnya, meragukan keberadaan Tuhan, tetapi adalah hal wajar bagi manusia untuk bertanya-tanya. Bukankah itu yang membedakan kita dengan mahkluk lainnya?

Ada banyak sekali pendapat mengenai konsep keberadaan Tuhan. Mungkin saya akan membuat ini menjadi tulisan berseri. Yang pertama, saya akan mencoba menjelaskan konsep Tuhan yang saya dapat dari sebuah game.

Pernah bermain game Black & White? Ya, sebuah game PC yang bergenre strategi ini menempatkan kita sebagai sosok Tuhan bagi berbagai macam umat. Game ini berawal dari sebuah drama ketika ada anak manusia yang tenggelam dan kemudian dikelilingi oleh sekelompok ikan hiu. Orang tua anak itu kemudian berdoa untuk mendapat pertolongan Tuhan, dan saat itulah permainan dimulai. Uniknya, konsep Tuhan ini berawal dari sebuah doa yang sederhana. Satu Tuhan kemudian tercipta dari sebuah dimensi lain dimana partikel-partikel hitam putih berkumpul. Permainan kemudian berlangsung, tujuan utamanya adalah untuk mengalahkan Tuhan lain dengan cara membuat para pemujanya beralih menjadi memuja kita.

Dari permainan game ini, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu ada banyak. Tetapi hanya beberapa yang dapat bertahan karena mereka saling berebut pemuja. Intinya, pujaan yang dipanjatkan menjadi sumber utama kekuatan untuk bisa melakukan berbagai macam keajaiban. Musibah seperti gempa bumi, badai, dan lain-lainnya merupakan wujud peperangan antar Tuhan tersebut dalam memperebutkan kekuasaan.

Jika kita kaitkan dengan kehidupan di dunia yang sebenarnya, banyak sekali konsep Tuhan yang berbeda-beda antara kaum yang satu dengan yang lainnya, contoh seperti masyarakat Mesir kuno yang percaya terhadap dewa Ra, Anubis, dan lain-lain, masyarakat Yunani kuno yang percaya terhadap dewa Zeus, Hades, dan lain-lain, masih banyak contohnya. Seiring dengan perkembangan kemudian dewa-dewa ini tidak bisa memenuhi keinginan manusia. Hipotesis saya kemudian lahir agama-agama monotheis dengan Tuhan yang baru akibat jawaban dari doa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Karena pengikutnya banyak, Tuhan monotheis ini kemudian dapat menghancurkan peradaban kepercayaan kaum-kaum kuno tersebut. Seperti kisah Musa yang menghancurkan Firaun, Isa atau Yesus yang menghancurkan Romawi, dan lain-lain.

Baiklah, sekian tulisan saya mengenai konsep Tuhan yang pertama. Perlu diingat, ini hanya sekedar opini. Saya perlu menekankan hal tersebut karena belakangan ini di Indonesia sering terjadi pembatasan berpendapat, apalagi jika berkaitan dengan soal agama. Akhir kata, selamat malam.

09/05/12

Aku Bukan Padi

Bukankah kita sama?
Kita sama-sama menua dari waktu ke waktu.
Ilmu yang kita dapatkan apakah akan berguna?
Hanya Tuhan yang tahu.

Bukankah kita sama?
Kita sama-sama memegang amanat dan janji buta.
Tanpa tahu masa depan, menerka masa depan.

Mungkin aku bukan padi, yang merunduk ketika semakin berisi?
Mungkin aku mangkuk. yang terisi lalu kosong lagi?
Atau mungkin aku pipa tua, yang hanya bisa menghisap tanpa ada isi?

Aku tak bisa sepertimu yang menatap langit luas dan menerjang ombak.
Aku tak tega memotong kata dari setiap mulut yang berbicara.
Aku bukan panglima yang berdiri penuh keberanian dan kebijaksanaan.
Dengan serdadu-serdadu yang membela dari belakang dan dari depan.

Hidupku tak sepadat dan semenarik kata-kata dalam gulungan perkamen para wisudawan.
Mungkin aku hanya berusaha mencari hidup yang lain.
Melewati pagi yang penuh dengan awan.
Dan malam, malam yang kunanti penuh dengan kedamaian.

Para Monster, Dewa, dan Alat Ajaib

Suatu hari, hiduplah 4 monster raksasa di suatu pegunungan. Mereka tidak bisa hidup rukun, selain karena mereka memiliki ukuran yang besar, mereka juga memiliki kebiasaan yang aneh.

Yang paling tua, berwarna abu-abu, sukanya berpergian dan menyendiri, jika diganggu dia akan mengamuk. Yang kedua, berwarna ungu, sukanya berbicara tetapi tidak mau mendengar. Yang ketiga, berwarna hijau, sukanya makan apa saja. Dan yang paling kecil, berwarna merah, sukanya tidur.

Suatu ketika saat mereka bertengkar, turunlah seorang dewa. Dewa itu memarahi mereka karena seringkali saling bertengkar satu sama lain. Untuk mencegahnya, maka sang dewa memberikan masing-masing monster tersebut sebuah alat ajaib. Yang tertua diberikan sebuah gelas ajaib yang berisi air berbagai macam rasa buah. Jika habis, maka akan dengan sendirinya terisi kembali dengan rasa buah yang berbeda. Yang berwarna ungu, diberikan bantal yang barang siapa memakainya maka dia tak akan bisa tidur. Yang berwarna hijau diberikan sebuah gulungan perkamen yang berisi kata-kata bijak. Dan yang paling kecil, diberikan sebuah cermin yang bisa melihat kemauan seseorang.

Selepas perginya sang dewa, monster-monster tersebut mencoba alat-alat ajaib tersebut. Yang tertua membawa gelas itu kemanapun dia pergi, suatu ketika dia haus dan meminumnya. Lalu dia berpikir, gelas ini akan jauh lebih bermanfaat apabila diberikan kepada adiknya yang suka makan. Yang berwarna ungu tidak suka dengan bantal tersebut, karena baginya tidak ada manfaatnya sama sekali. Dia pikir akan lebih baik jika diberikan kepada adiknya yang tukang tidur. Yang berwarna hijau malah bingung dengan makna kata-kata yang ada di gulungan perkamen, karena dia tidak punya petunjuk maka ia meminta kakak tertuanya untuk menjelaskan kepadanya arti dari setiap kata-kata tersebut. Dan yang terkecil tidak peduli dengan cerminnya, dia tetap tidur dengan pulas.

Ketika yang tertua kembali ke pegunungan untuk menemui sang adik yang berwarna hijau, dia memberikan gelasnya. Sang adik kemudian meminumnya terus, terus, dan terus. Karena sibuk meminumnya, ia menyadari bahwa ia tidak lagi lapar. Dan ketika ia sadar, ia berhenti meminumnya dan memeluk kakaknya. Dia pun meminta kakaknya untuk menjelaskan arti kata-kata bijak yang ada di gulungan perkamennya. Sang kakak yang terbiasa menyendiri dan memaknai berbagai macam fenomena alam, mengerti betul kata-kata bijak tersebut. Seiring dengan menjelaskannya kepada adiknya, sang kakak menjadi tahu akan arti kebijaksanaan.

Sedangkan yang berwarna ungu dengan kesal membawa bantalnya kepada adiknya yang berwarna merah. Dengan diam-diam, si kakak mengangkat kepala adiknya dan menaruh bantalnya dibawah kepala sang adik. Terbangunlah si kecil dari tidurnya. Tetapi karena malas, dia tetap merebahkan tubuhnya tetapi tidak dapat tidur. Sedangkan kakaknya yang tertawa melihat adiknya yang malas, tidak sengaja menengok ke cermin ajaib milik adiknya. Saat dia melihat cermin tersebut, sang kakak tahu bahwa sebenarnya yang dia inginkan adalah untuk didengar oleh orang lain, dan untuk itu dia harus belajar untuk mendengar orang lain terlebih dahulu.

Setelah saling tukar, keempat monster tersebut saling berbagi. Yang tertua kemudian menceramahi ketiga adiknya dengan bijak, yang ungu karena dia ingin didengar, maka ia mendengar kakaknya dengan baik, dan seiring dengan itu dia belajar untuk berbicara lebih bijak lagi. Yang terkecil menjadi tidak malas dan mau bangun dari rebahannya. Dan ketika mereka semua haus, yang hijau memberikan gelasnya untuk diminum bersama. Ketika mereka lelah, mereka bisa menggunakan bantalnya untuk beristirahat tanpa harus menjadikan mereka malas.

Pada akhirnya, mereka secara bersama-sama melihat pada cermin keinginan. Ketika mereka berempat bercermin, tidak ada yang istimewa. Mereka hanya melihat diri mereka berempat di depan cermin. Mereka kebingungan. Dan saat itu juga dewa turun menemui mereka dan menjelaskan kepada mereka. Sebetulnya yang mereka inginkan sejak awal adalah untuk hidup bersama secara rukun. Setelah keempatnya sadar akan keinginan mereka, sang dewa mengambil kembali alat-alat ajaib tersebut. Seiring waktu, keinginan mereka untuk hidup bersama secara rukun menjadi sebuah kebutuhan. Kebutuhan untuk hidup bersama secara rukun dan saling melengkapi.

08/05/12

Motivasi Untuk Menjadi Seorang Pemimpin

Pagi ini saya mengobrol dengan seorang teman yang super, beliau tidak lain juga adalah pimpinan organisasi yang saya ikuti. Ghufron Mustaqim, nama yang mungkin tidak asing lagi didengar. Beliau akan pergi ke Washington DC untuk mengikuti pertemuan summit para pemuda di dunia. Perannya dalam summit tersebut membuatnya menguasai sedikit banyak materi ketahanan pangan Indonesia. Berawal dari sana, obrolan kami meluas hingga masalah kepemimpinan.

Saya dan beliau kemudian berbicara singkat mengenai kepemimpinan. Bagi saya, sosok pemimpin muncul karena dua alasan. Yakni adanya dorongan dari luar dan dorongan dari dalam. Saya megambil contoh dua pemimpin hebat, Sukarno dan Barack Obama. Menurut saya, Sukarno memiliki latar belakang yang pas untuk bisa menyebutnya sebagai seorang pemimpin yang lahir akibat adanya dorongan dari luar. Dan Barack Obama yang sempat merasakan hidup di Indonesia memiliki cerita tersendiri tentang jiwa kepemimpinannya.

Dilahirkan untuk menjadi pemimpin
Kumpulan cerita yang saya baca dan saya dengar, membuat saya memiliki pendapat bahwa Sukarno dilahirkan dalam lingkungan yang membangun dirinya untuk menjadi seorang pemimpin. Darah biru mengalir kental di dalam dirinya dan Sukarno seringkali telah diramalkan untuk menjadi seorang pemimpin besar. Hal ini kemudian saya pandang sebagai cara doktrinasi yang terjadi di lingkungan tumbuh besarnya Sukarno. Seiring dengan perkembangan, Sukarno yang terbiasa dianggap sebagai calon pemimpin, memimpikan impian para raja Jawa, yakni menyatukan Nusantara.

Kita dapat melihat bahwa lingkungan sangat berpengaruh bagi Sukarno, ditambah lagi lingkungan dimana dia belajar politik. Sukarno memiliki awal yang baik untuk dapat menjadi seorang pemimpin. Lingkungannya turut andil dalam proses pembangunan jiwa kepemimpinannya. Sukarno hanya perlu menjalankan takdirnya, yang kemudian dapat dia realisasikan dengan dukungan dari berbagai pihak.

Bermimpi untuk menjadi pemimpin
Lain cerita dengan Barack Obama. Sebuah tayangan televisi yang menceritakan biografi singkat Barack Obama pernah menceritakan bagaimana sengsaranya hidup Obama kecil. Perceraian orang tua jelas akan memiliki dampak yang fundamental bagi sang anak, meskipun terkadang dapat ditutupi dengan berbagai hal. Takdir membawa Obama kecil ke Indonesia, dan yang menarik dari tayangan televisi yang waktu itu saya tonton, Barack Obama kecil seringkali meniru pidato Presiden Suharto. Dari sini kita bisa melihat bagaimana usaha Obama kecil untuk bermimpi menjadi seorang pemimpin.

Berlanjut pada masa remajanya, Obama sering melakukan orasi di kampus. Salah satu tayangan yang saya tonton menunjukkan kepiawaiannya dalam berpidato saat dia masih kuliah. Keahliannya dalam memimpin berkembang seiring dengan pengalamannya dalam menjalani hidup. Jangan lupa bahwa isu ras menjadi isu yang hangat dibicarakan ketika Obama sebagai calon presiden kulit hitam dirumorkan menjadi calon terkuat dalam bursa pemilihan. Menurut saya, pengalamannya hidup di negara yang plural (Indonesia) membuat Obama tidak takut menghadapi isu tersebut. Dan pengalamannya hidup dengan keadaan seadanya (bahkan bisa dikatakan miskin) membuatnya memiliki strategi keuangan yang unik untuk membiaya dirinya ketika masa kampanye.

Motivasi dan ambisi
Perbincangan saya dengan kak Ghufron (beliau adalah senior saya di HI UGM) berlanjut pada permasalahan motivasi. Menurutnya, baik faktor eksternal maupun internal seseorang untuk menjadi seorang pemimpin akan kembali pada permasalahan motivasi. Seberapa besarkah motivasi yang dimiliki seseorang untuk mencapai keinginannya (dalam hal ini menjadi seorang pemimpin) itu yang penting. Lanjutnya, seorang pemimpin belum tentu orang yang paling pintar atau paling kuat dalam kelompok/pergaulannya. Dari argumen ini, kita bisa melihat bagaimana motivasi berperan besar dalam menutupi kekurangan sosok seorang pemimpin.

Dan jangan lupa, motivasi berbeda dengan ambisi. Seringkali kita salah mengartikan ambisi sebagai motivasi. Motivasi merupakan suatu gejolak/keinginan yang muncul akibat adanya panggilan hati/merasa dibutuhkan. Berbeda dengan ambisi yang kurang lebih sama, tetapi perbedaannya terletak pada ego. Emosi berperan lebih besar dalam ambisi, dan seperti yang kita tahu bahwa emosi seringkali membawa dampak yang kurang baik dalam suatu hal, dan dalam hal ini kepemimpinan yang didasari oleh emosi juga tidak terlalu baik.

06/05/12

Budaya Pesugihan

Berawal pada perbincangan dengan seorang penjaga warung makan burjo di tengah malam, tema pesugihan pun saya bahas kemudian dengan sepupu saya yang sedikit banyak mengetahui hal-hal mistis.

Waktu itu tengah malam, penjaga burjo kebetulan sedang menyetel acara mistis di televisi. Dan saya datang untuk memesan makan malam. Awalnya kami bercerita tentang hal-hal biasa, kemudian saya memancing dia untuk bercerita mengenai pesugihan.

"Masa sih a' (sebutan untuk teman/orang yang lebih tua dalam bahasa Sunda) ada yang begituan?" tanya saya memancingnya.

"Iya a', saya mah udah biasa sama yang begituan." jawabnya sambil memberikan teh hangat pesanan saya.

"Coba cerita dong a' pengalaman tentang pesugihan yang kayak gitu."

"Dulu nih ya a', saya pernah jadi kenek (kondektur) bis malam. Nah waktu itu saya sama sopirnya lagi istirahat di pangkalan. Si bos dateng sama anak buahnya, saya masih bangun tapi pura-pura tidur. Bos nyuruh anak buahnya buat mutusin kabel rem coba a', katanya buat nyari tumbal. Besoknya saya langsung ngundurin diri, takut saya mah." cerita si penjaga burjo sambil menonton televisi.

"Terus gimana bisnya?" tanya saya penasaran.

"Besoknya mah beneran tuh, bisnya langsung kecelakaan, ada yang meninggal. Yang begituan mah biasa a' dalam bisnis transportasi. Hari ini ada bis yang hancur, makan korban, tapi besokannya langsung beli 10 bis baru yang bagus."

"Waduh, gawat bener tuh."

"Iya a', yang lebih parah lagi mah bisnis kontraktor a', saya pernah diceritain sama temen, serem banget."

"Gimana ceritanya a'?"

"Waktu itu temen saya lagi ngaduk semen a', trus ngeliat mandornya lagi ngawasin temennya temen saya yang lagi ngecor. Nah kan pake truk molen tuh a' yang ngangkut bahan buat cor-coran, si mandornya langsung nendang temennya temen saya itu a' ke tempat cor-corannya, jadi langsung ketimbun gitu. Serem a', mati langsung disitu. Gak ada yang tahu, jadi rahasia umum itu mah di dalam bisnisnya."

"Astaga, beneran itu?"

"Iya a'..." jawabnya menutup perbincangan kami.

Pesugihan merupakan suatu cara untuk memperkaya diri melalui cara-cara mistis. Memang, di dunia yang sudah modern ini, terkadang hal-hal tersebut dirasa tidak lagi relevan ketika teknologi sudah berkembang pesat. Tetapi lain cerita di Indonesia. Bagi saya, pesugihan sudah menjadi suatu budaya yang sulit dihilangkan, bahkan dengan berkembangnya teknologi dan pendidikan.

Saya sempat berbincang dengan sepupu saya mengenai ini. Menurutnya, pesugihan memang suatu hal yang lumrah dalam bisnis. Dia juga mengatakan bahwa sebenarnya melakukan pesugihan itu mudah dan cepat. Memperkaya diri dengan hal-hal seperti itu sangat cepat dan mudah dilakukan, asalkan yang melakukan mau menerima konsekuensinya.

Semua agama mengajarkan hal-hal yang baik dan benar. Jika kita lihat dari kacamata agama, seringkali usaha/proses lebih diutamakan ketimbang hasil/tujuan. Untuk menjadi sukses memang tidak mudah, harus susah dulu, belajar dulu, mungkin jatuh dulu sebelum bangkit. Pesugihan dalam hal ini menjadi sebuah cara untuk memotong jalur proses sehingga langsung mendapatkan hasil yang memuaskan.

Kemudian, pesugihan membuat seseorang menjadi tidak lagi merasakan hidup yang benar-benar hidup. Seringkali tumbal/pengorbanan harus dilakukan untuk memenuhi syarat. Sialnya, terkadang pengorbanan harus dilakukan terhadap orang-orang terdekat kita, seperti teman atau anggota keluarga. Perilaku ini, menurut saya, didorong oleh rasa putus asa akibat sulitnya menempuh jalan menuju kesuksesan. Manusia seringkali putus asa dan tersesat karena impiannya yang tak kunjung tercapai.

Perbincangan saya dengan sepupu saya tidak berhenti disana. Kami mulai mencoba melihat menggunakan perspektif modern. Akhirnya kami melihat persamaan antara budaya pesugihan dengan kapitalisme. Kapitalisme yang seringkali dikatakan sebagai sebuah sistem yang menguntungkan segelintir orang/suatu kelompok dan merugikan banyak pihak, tak jarang memakan korban. Banyak kemudian pengusaha-pengusaha yang bangkrut akibat kapitalisme dan kemudian meninggal.

Hal ini kemudian dapat kita sandingkan dengan budaya pesugihan. Saya menyebutnya sebagi budaya kapitalisme primitif. Dimana pesugihan merupakan usaha untuk menguntungkan satu pihak tertentu dengan cara memakan korban secara literal. Jangan-jangan orang Barat yang mengadopsi sistem kapitalisme belajar dari budaya pesugihan? Haha, entahlah.

Pemburu Naga

"Ambilkan air hangat, cepat!" teriak ibu kepadaku.

Aku langsung berlari menuju dapur untuk mengambil air dari tungku perapian dan memberikannya kepada ibu.

"Tatap mataku anak muda, jangan lihat yang lain. Belum waktunya kau pergi ke Valhalla." ibu meyakinkan Axio.

"Oh, Odin yang agung. Setidaknya izinkan aku bertemu dengan naga itu lagi." kata Axio sambil memegang perutnya yang tertancap oleh tanduk naga, lukanya sangat parah.

Malam itu sangat larut, Axio berhasil menemukan naga merah yang sedang beristirahat di danau Sapphire. Dia mencoba menaklukkannya seorang diri. Dia memang seorang pemburu naga yang handal, tapi naga merah jelas bukan tandingannya.

Desa kami memang terkenal sebagai desa para pemburu naga. Ayahku meninggal akibat lengah ketika berburu dengan kelompoknya. Aku juga ingin menjadi pemburu naga seperti ayah.

"Dia akan baik-baik saja, tanduknya sudah berhasil aku cabut. Biarkan dia bermalam di sini. Kalian kembalilah ke rumah, jadikan ini sebagai pelajaran untuk tidak berburu naga seorang diri. Ingat kata-kataku! Aku tak ingin ada mayat di rumahku." kata ibu kepada semua yang ada di rumah kami.

Ibu adalah seorang perawat yang ternama di desa kami. Sayang, ibu tidak bisa menyelamatkan nyawa ayah waktu itu. Kejadian itu membuatnya melarangku untuk menjadi pemburu naga. Sempat ada pembicaraan antara kami berdua untuk pindah ke kota Gale. Ibu ingin aku belajar dagang dengan paman Leo. Tapi aku bersikeras ingin menyelesaikan sekolah para pemburu naga di sini. Itu juga merupakan amanat ayah yang terakhir, ibu pun menerimanya.

"Aku tak ingin menjadi orang yang kehilangan segalanya. Kau sangat berharga bagiku, anakku. Aku telah kehilangan seorang kekasih, seorang suami, dan seorang kepala keluarga yang baik di tanganku sendiri." kata ibu memegang tanganku sambil meneteskan air mata.

"Dan seorang pemburu naga, jangan lupakan itu ibu." tambahku sambil menggenggam tangan ibu.

"Iya, iya." jawab ibu tersenyum sambil menyeka air matanya.

"Aku akan menemani Axio, bu." kataku sambil mencium kening ibu.

Ayah memang seorang pemburu naga, tapi tidak terlalu handal. Dia sekelompok dengan Zatu, temannya sejak kecil dan pemburu naga paling hebat yang ada di desa kami. Zatu baru saja berangkat untuk ekspedisi pencarian naga putih bersama dengan kelompoknya. Zatu adalah ayah Axio, dan tentu dia tidak tahu keadaan anaknya sekarang.

"Hei." sapaku kepada Axio.

"Hei. Aku mendengar tangisan tadi. Kau tak apa?"

"Ya, ibu sempat menangis tadi. Seharusnya aku yang bertanya mengenai keadaanmu." jawabku sambil bercanda.

"Haha, aku tak apa berkat ibumu. Pasti berat untuk kehilangan ayahmu."

"Ya, tentu. Semua orang punya masalah yang berat. Bukankah begitu?"

"Ya."

"Bagaimana rasanya menjadi seorang pemburu naga?"

"Kadang menyenangkan, kadang mengerikan. Tapi bukan itu yang penting."

"Lalu?"

"Ah, sudahlah. Kau tak ingin mendengar cerita dari seseorang yang baru saja tertusuk tanduk naga kan? Memalukan sekali aku ini, ayah pasti malu jika tahu."

"Haha, memang sulit untuk membayangkan apa yang terjadi padamu. Ayolah, tak apa, lagipula aku sudah terlatih untuk mendengar tangisan ibu setiap hari, apa ada yang lebih buruk daripada itu?" kataku menggodanya.

"Sial kau, haha. Baiklah, aku akan cerita. Aku selalu dibayang-bayangi oleh prestasi ayahku. Semua orang menginginkan sesuatu yang lebih dariku. Ekspektasi yang tinggi, kau tahu kan. Dan mungkin sekarang aku telah merusak segalanya."

"Oh ayolah, naga merah seorang diri? Siapa yang cukup berani untuk melakukan itu?"

"Cukup berani atau cukup bodoh? Aku sangat putus asa. Sesaat sebelum ayahku pergi, aku ingin memberikannya taring naga merah, tapi aku tak kunjung menemui naga merah. Dan ketika aku menemukannya, situasiku sangat tidak menguntungkan. Aku ingin membuat ayahku bangga. Ketika ia pulang, aku ingin memberikan taring naga merah kepadanya."

"Ayahmu sudah bangga dengan siapa dirimu Axio, masih banyak cara untuk menyambut pulang ayahmu. Kau sudah menjadi pemburu naga yang handal."

"Terima kasih."

Aku melihat matanya yang kosong. Aku tahu, perasaannya sangat tidak baik saat ini. Axio berjuang di bawah bayang-bayang ayahnya. Sesuatu yang sangat sulit dijalani oleh seorang anak muda berumur 22 tahun.

"Baiklah, kau butuh banyak istirahat. Aku akan pergi ke kamarku. Jika ada apa-apa, kau boleh teriak, haha."

"Haha, baiklah. Terima kasih telah menemaniku."

Aku pun meninggalkannya di kamar tamu. Langkahku berat menuju kamar. Banyak pikiran yang terlintas di benakku. Aku selalu melihat Axio sebagai sosok pemburu naga yang ideal, muda dan handal. Tapi kenyataan berbicara lain.

Aku membuka pintu kamarku, dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Mungkin aku tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang pemburu naga. Mungkin ibu benar, aku akan pandai menjadi seorang pedagang. Mungkin Odin yang agung punya rencana lain. Mungkin dan mungkin. Begitu banyak kemungkinan, dan aku tak tahu akan menjalani yang mana. 

Aku pun memejamkan mata.

04/05/12

Janji

Akhirnya jalanan di kota mulai sepi. Lampu-lampu di pinggir jalan mengiringi langkahnya yang tenang. Angin malam sangat tidak bersahabat dan dia harus mengenakan jubah hitam barunya yang diberikan Secioria tiga hari  yang lalu untuk menjaga badannya tetap hangat.

"Lalala~" lantunnya di bawah sinar bulan purnama.

Suaranya yang khas membuat semua kucing di kota itu mengikutinya. Dan dia berhenti di depan sebuah rumah tua yang lampunya sudah sangat redup.

"Coba kita lihat, ups, ini dia, rumah No. 58. Terima kasih sudah menemaniku kucing-kucing manis, sekarang biarkan aku melakukan pekerjaanku." gumamnya sambil tersenyum kepada kucing-kucing.

Kucing-kucing yang mengelilinginya pun berpencar tanpa suara. Selangkah kemudian dia berada tepat di depan pintu rumah No. 58. Dia membuka pintu rumah itu perlahan, semuanya gelap. Dia melangkah dengan tenang, matanya tertuju pada sumber cahaya di pojok lorong rumah itu.

"Siapa itu?" suara lirih dan berat mengisi rumah itu.

"Ini aku." jawabnya ringan.

"Oh."

Dia mendekati pria tua itu sambil tersenyum. Rambutnya telah memutih, kulitnya penuh dengan keriput, dan matanya telah merabun. Duduk tak berdaya di sofa merah kesayangannya, orang tua itu mengenakan kaos putih dan celana pendek bergaris-garis.

"Sudah waktunya ya?"

"Ya, maaf membuatmu menunggu lama." sambil tersenyum mencoba menenangkan orang tua itu.

"Tak apa. Sekarang apa? Akankah terasa sakit?"

"Dalam kasusmu mungkin tidak, kau bisa tidur sekarang."

"Boleh aku bertanya?"

"Ya, silahkan."

"Bagaimana kabar istriku? Apa kau pernah bertemu dengannya?"

"Ya, hanya sekali. Dia cantik sekali dengan gaun putihnya, dia merindukanmu."

"Ah, akhirnya aku bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lama." katanya sambil menutup mata.

Dia hanya tersenyum memandang orang tua itu. Siapa yang tahu orang tua itu hanya seorang diri semenjak istrinya meninggal dunia akibat penyakit leukimia. Dia belum sempat memiliki seorang keturunan, dan keluarganya telah lama pergi mendahuluinya. Dia adalah seorang veteran perang yang hidup dari uang pensiun negara dan sekarang telah divonis dokter mengidap penyakit kanker paru-paru stadium 4. 

"Bisa kita berangkat sekarang? Aku takut terlambat untuk kencan dengan Sessy." sambil menggenggam tangan orang tua itu.

"Oh, baiklah." orang tua itu membuka matanya dan bangun dari tidurnya.

"Hati-hati, kau belum terbiasa."

Orang tua itu berdiri tidak menyentuh lantai, dia melayang. Masih menggenggam tangannya, dia menuntunnya keluar rumah.

"Aku kira akan terasa sakit." gumam orang tua itu sambil mencoba membiasakan diri.

"Tidak. Tergantung bagaimana kau melihatnya." jawabnya sambil tersenyum.

"Apakah selalu seperti ini? Kau sangat ramah."

"Tidak, terkadang aku harus memaksa. Dan kau tak ingin melihatku marah kan?"

Mereka berdua diam sejenak sambil meneruskan langkah mereka ke tengah kota. Cahaya matahari sudah mulai bersinar dari arah Timur.

"Sudah waktunya." katanya memecah keheningan.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Ikuti cahaya matahari dan kau akan sampai. Istrimu mungkin sudah menunggu di gerbang surga."

"Terima kasih." jawab orang tua itu ragu.

"Aku tahu kau punya banyak pertanyaan tentangku dan semuanya. Aku datang kepadamu untuk memenuhi janji Tuanku dan aku datang sebagai ingatan masa lalumu. Jangan terlalu dipikirkan." dia menutup kata-katanya sambil tersenyum.

Orang tua itu sekarang tersenyum dengan gembira. Dia mengikuti cahaya matahari dan perlahan-lahan menghilang.

Kisah orang tua itu telah berakhir. Tapi belum baginya, masih ada banyak janji yang harus dipenuhi. Sekarang matahari telah bersinar, orang-orang mulai keluar dari rumah dan beraktivitas seperti biasa. Tak ada yang tahu apa yang terjadi kepada penghuni rumah No. 58.

"Selamat pagi." sapa orang-orang di sekitarnya.

Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum, orang-orang telah menyadari keberadaannya. Dia harus kembali beraktivitas sebagai seorang pengusaha restoran yang hidup berkecukupan. Pagi ini cerah dan dia akan bertemu dengan kekasihnya.

"Semoga malam ini bukan Sessy, haha." dia bercanda dengan dirinya sendiri.

03/05/12

Underoath - The Only Survivor Was Miraculously Unharmed

Selamat hari Kamis! Ini adalah postingan #3 di bulan Mei, hehe. Bagi yang belum tahu, saya sedang menjalankan misi, halah, untuk menulis secara rutin selama 31 di bulan Mei. Kali ini saya akan menulis sesuatu yang ringan, ringan, berat, haha. Dari judul sudah kelihatan kan kalo saya ingin membahas lirik lagu? Ayo kita mulai!

Underoath adalah band metal religius yang saya sukai semenjak album ketiganya, Define The Great Line, muncul. Dengan nada yang sering kali keras tetapi ada lembutnya juga, Underoath menyajikan lirik yang berlafaskan religi. Salah satu lagu favorit saya adalah The Only Survivor Was Miraculously Unharmed yang merupakan salah satu lagu di album keempatnya Lost In The Sound of Separation. Kenapa saya suka? Karena ada lirik ini:

"Everything, everything is leaving me wondering.
I hate that I'm questioning.
You're everything, everything."

Selain memang enak didengar, lirik ini juga (bagi saya) memiliki arti tersendiri. Seperti banyak artis dan lagu lainnya, terdapat banyak arti atau penafsiran atas sebuah lirik. Dan bagi saya, lirik ini tidak jauh dari makna religi.

Lirik ini menggambarkan sebuah keraguan yang dialami seorang anak manusia. Mengapa semua yang ada di dunia membuat kita seringkali bertanya-tanya. Kita bertanya akan sesuatu yang sudah pasti, karena semua ini merupakan ciptaan Tuhan. Tuhan adalah segalanya. Dan (mungkin) Underoath melalui lirik ini ingin mempertegas kemutlakkan Tuhan sebagai awal dan akhir dari segalanya.

Menurut saya, lirik ini secara implisit ingin menjelaskan kepada kita bahwa sebenarnya segala yang ada di dunia merupakan kepingan-kepingan fakta untuk mendukung keberadaan Tuhan. Dan seringkali kita lupa akan itu. Memang kita juga tidak boleh menelan mentah-mentah dogma agama, dewasa ini manusia mengutamakan rasionalitas melalui ilmu pengetahuan. Tetapi itu jelas tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk melupakan keberadaan agama sebagai salah satu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia.

Keraguan seringkali menghinggapi diri manusia, bagi saya itu wajar, terutama masalah agama. Seperti kata Pandji dalam bukunya NASIONAL.IS.ME, "Keraguan bisa menjadi anugerah yang luar biasa. Keraguan membuat kita mempertanyakan kembali keyakinan kita. Kalau kita kembali dari keraguan itu, keyakinan kita akan jadi jauh lebih kuat" Akhir kata, selamat hari Kamis!

Underoath - The Only Survivor Was Miraculously Unharmed

02/05/12

Donor Darah

Dulu saya sering bertanya, sebenarnya untuk apa saya hidup? Di luar konteks agama, saya merasa saya hidup untuk diri saya sendiri. Tidak heran kemudian jika banyak manusia yang tamak demi menutupi kekosongan mereka. Sampai suatu hari saya melihat sebuah video iklan tentang donor darah.

Bagaimana jika kita hidup bukan untuk suatu tujuan yang pasti, melainkan untuk orang lain? Bagaimana jika pertanyaan "untuk apa" berubah menjadi "untuk siapa" Pada akhirnya memang kita tetap akan mengalami kebuntuan ketika orang yang menjadi tujuan hidup kita telah tiada. Tetapi itu cuma selingan saja untuk menunjukkan bahwa hidup kita bisa sangat berarti bagi orang lain, bahkan mungkin untuk orang yang tidak kita kenal.

Pernahkah kalian mendonorkan darah kalian? Saya pernah dan sering, saya ketagihan, hehe. Memang saya terkadang tidak rutin setiap 3 bulan menjalani donor darah, tetapi setiap kali ada ajakan acara donor darah atau ada yang beanr-benar membutuhkan, saya selalu siap sedia. Mungkin ada orang yang baru pertama kali melakukan donor darah kemudian setelahnya sudah tidak mau lagi, entah karena takut atau sakit. Dalam kasus saya kok malah nagih ya? Saya akan jelaskan beberapa alasan yang mungkin ada beberapa yang agak tidak masuk akal, hehe, mungkin kalian juga merasakannya.
  1. Saya merasa sangat excited sekali setiap kali mau mendonor darah! Entah kenapa. Mungkin karena saya selalu berpikir bahwa akhirnya saya berguna bagi orang lain, setidaknya darah saya berguna, hehe.
  2. Menurut ilmu kedokteran (sok tau banget sih), donor darah itu baik. Karena darah kita akan digantikan oleh yang baru alias fresh! Meskipun sesaat setelah donor kita merasa lemas tapi yakinlah keesokan harinya kita akan merasa sangat fresh sekali!
  3. Kita akan diberikan snack, hehe. Maklum mental anak kos jadi cari-cari gratisan.
  4. Donor darah tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tentunya ini memaksa agar sang pendonor untuk selalu dalam kondisi prima. Bagi saya, ini menjadi dorongan agar terus hidup sehat. Ya masa kita mau kasih darah kita yang lagi sakit ke orang yang sakit? Sakitnya jadi plus-plus dong.
  5. Entah saya pernah mendengar info ini darimana, tapi katanya orang yang mendonorkan darahnya berarti juga mendonorkan sedikit sifatnya ke target donornya. Hehe, saya selalu berpikir sebagian sifat saya yang baik-baik bisa menular ke orang yang pakai darah saya itu tadi. Lha iya kalo yang bagus-bagus, kalo yang jelek-jelek kan berabe? :P
Mungkin dari beberapa alasan diatas kalian juga merasakan hal yang sama. Saya tidak pernah menolak untuk mendonorkan darah (kecuali jika dalam keadaan tidak fit). Maka dari itu ayo kita donor darah lebih sering lagi! Jangan takut akan rasa sakit atau jarum suntik, karena itu bisa diredam dengan senyuman manis si suster atau bu dokter (gombal!). 

Jadi, jangan pernah berpikir kita tidak berguna untuk orang lain. Untuk membantu orang lain tidak harus dengan cara-cara yang besar dan sulit, cukup dimulai dari hal yang kecil dan praktis. Donor darah bisa menjadi salah satunya. Kumpulkan niat baikmu, jika ada kesempatan maka lakukanlah. Kemudian percayalah bahwa kebaikan akan dibalas oleh kebaikan.

01/05/12

Pertarungan Kekuasaan: Legitimasi dan Gerakan Massa

Banyak peristiwa pemberontakan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Baik yang berskala domestik, maupun global. Pemberontakan merupakan salah satu wujud ketidakpuasan yang umumnya ditujukan kepada pemerintah atau penguasa yang biasanya memiliki legitimasi untuk berkuasa secara sah, meskipun terkadang ada yang tidak. Dari sini kemudian timbul pertanyaan, bagaimana pertarungan kekuasaan ini akan berjalan dan berakhir antara mereka yang memiliki legitimasi untuk berkuasa dengan mereka yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan massa?

Kekuasaan merupakan kekuatan untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, baik secara sadar, tidak sadar, terpaksa, maupun tidak terpaksa. Konflik antar manusia tidak pernah bisa lepas dari permasalahan kekuasaan, karena sifat dasar manusia selalu menginginkan penambahan kekuasaan atau hanya sekedar mempertahankan kekuasaannya.

Pemberontakan yang sering terjadi dalam lingkup suatu negara tidak melulu bercerita mengenai pemerintah yang buruk, korup, jahat, dan lain-lain, yang kemudian digulingkan oleh mereka yang merasa dapat memerintah dengan lebih baik. Dalam beberapa kasus, pemberontakan dapat dimaknai tidak lebih dari usaha untuk memperkaya diri beberapa golongan dengan cara menggulingkan pemerintah yang berkuasa. Hal ini terjadi karena seringkali kekuasaan dipandang sebagai cara untuk mendapatkan kekayaan, atau kasarnya siapa yang berkuasa, dia yang kaya. Masing-masing kasus memang memiliki ceritanya tersendiri, siapa yang menjadi pahlawan dan siapa yang menjadi penjahat, tetapi siapakah yang kemudian dapat memenangkan pertempuran kekuasaan ini?

Dalam perkembangannya, dunia telah mengenal kebebasan yang dibungkus dalam istilah demokrasi. Manusia meneriakkan dan memperjuangkan kebebasan. Argumen ini saya gunakan kemudian untuk menyangkal kekuasaan yang didapatkan melalui paksaan dan mengaitkannya dengan kekuatan untuk mempengaruhi pihak lain. Karena penggunaan soft power kian meningkat ketimbang penggunaan hard power dewasa ini.

Penggunaan kekuasaan melalui legitimasi kekuasaan seringkali berakhir pada pemaksaan. Sebagai contoh, jika kita mengambil contoh kasus dimana pemerintah berperan sebagai penjahat, penggunaan aparat penegak hukum dan militer hanyalah merupakan masalah komando dan terkesan sebagai sebuah alat untuk mempertahankan kekuasaan rezim pemerintahan tersebut. Kekuatan kekuasaan ini tentu besar karena pemerintah memiliki akses penuh untuk menggerakkan alat negara (penegak hukum dan militer).

Sedangkan penggunaan kekuasaan melalui penggerakkan massa selalu dilakukan dengan kesepakatan dan persuasi. Sebagai contoh, jika kita mengambil contoh kasus dimana pemerintah masih berperan sebagai penjahat, rakyat akan melakukan observasi dan kesepakatan bahwa apa yang dilakukan pemerintah memang tidak lagi demi kepentingan rakyat sehingga diperlukan berbagai macam aksi untuk menyelesaikan permasalahan ini, salah satunya penggerakkan massa. Rakyat akan berbondong-bondong mengajak satu sama lain untuk memperbesar jumlah dan menggerakkan massa yang pada umumnya bertujuan untuk menggulingkan rezim pemerintah yang berkuasa.

Jika dilihat sekilas, penggunaan kekuasaan dengan penggerakkan massa tentu akan memenangkan pertarungan ini melawan mereka yang menggunakan legitimasi kekuasaan karena tindakan represif yang terlalu keras akan menimbulkan perlawanan yang lebih keras lagi (jangan lupa dukungan internasional juga sangat berpengaruh). Tapi jika ditelaah lebih jauh, ini akan mengarah ke besar pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing pihak. Sebagai contoh, pemerintah ini belum tentu jahat, mungkin saja ada kebijakan yang menguntungkan banyak pihak sehingga selain memiliki legitimasi kekuasaan untuk menggerakkan alat negara, pemerintah ini juga mampu untuk menggerakkan massa yang pro pemerintah.

Pada akhirnya, saya memandang ini dari kacamata pribadi sang pelaku. Apakah pemimpin pihak pemerintah atau pemberontak memiliki pribadi yang cukup, kharisma, dan pembawaan untuk menjadi figur publik yang mampu mengantongi dukungan dari banyak kalangan. Semakin dia bisa mempengaruhi pihak lain maka semakin besar kemungkinannya untuk memenangi pertarungan kekuasaan ini.