20/12/12

Kisah Cinta Seorang Teman

Malam ini saya bertemu dengan seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Seorang teman yang selalu ceria dan tersenyum tanpa memperlihatkan beban hidup yang ditanggungnya. Seorang teman yang sedang susah dan sedang gembira di saat yang bersamaan. Sambil menyantap makan malam di pinggir jalan kami bercerita satu sama lain tentang hidup dan kisah cinta yang tak pernah pasti. Dan kisahnya ini memikat saya seperti sebuah drama klasik:

. . .

Aku sudah berpacaran dengannya mungkin terhitung 5 tahun. Kami beda agama, namun itu tidak menjadi masalah yang signifikan bagi kami. Kami membuat kesepakatan sebelum kami mulai beranjak ke tingkat yang lebih serius selepas kelulusanku SMA. Orang tua kami sudah sepenuhnya memberikan tanggung jawab kepada kami. 

"Kalian sudah besar, kalian sendiri yang menentukan, dan kami hanya bisa merestui," itulah yang terucap dari mulut orang tua kami ketika aku sengaja mempertemukan kedua orang tua kami di satu malam untuk makan bersama dan membahas hubungan kami. 

Pada akhirnya aku mengatakan bahwa dia harus ikut denganku jika memang ingin cinta ini terus tumbuh. Tetapi sejauh ini kami berada di jalur masing-masing dahulu, memikirkan segalanya, karena hidup bukankah masih panjang? Semuanya terasa sempurna saat itu. 

Masuknya aku ke jenjang perkuliahan menjadi titik balik bagi kami berdua. Saat itu ayahku masih bekerja dan orang tua pacarku masih berada pada masa kejayaannya. Seringkali teman-teman pacarku mengejekku karena hanya berkendaraan motor ke kampus sedangkan dia naik mobil, tetapi aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Yah, wajarlah, dia anak seorang pengusaha sukses dan wajahnya yang cantik memang sepantasnya mendapatkan perlakuan lebih. Toh dia sendiri tak ada masalah dengan aku yang hanya membawa motor, yang penting kan cinta yang kuberikan kepadanya.

Takdir ternyata memiliki rencana lain terhadap kehidupan kami berdua. Orang tua pacarku mengalami musibah, dan bisnisnya terpaksa harus terhenti. Pada awalnya semua masih bisa kami lalui bersama, dia masih kuat menghadapi situasi, dan aku masih bisa berkonsentrasi kuliah. Tetapi kemudian semua memburuk. Ketika masa ujian tiba, pacarku mengeluh tak bisa melaksanakan ujian. Setelah kuselidiki, ternyata dia belum membayar uang kuliah. Dengan kondisi seperti ini akhirnya aku meminta tolong orang tuaku untuk membantunya. Dan kehidupan terus berlangsung, dia tak lagi membawa mobil, hanya sepatunya yang bisa mengantarnya ke tempat tujuan.

Pernah suatu ketika dia mengeluh tidak bisa mengerjakan tugas karena tidak memiliki laptop dan harus meminjam kepada teman-temannya. Aku dengan sigap menawarkan laptopku untuk dia gunakan. Seminggu, dua minggu, ternyata tidak kunjung kembali dan aku merasa terganggu. Akhirnya aku berinisiatif untuk membelikannya laptop, yah, yang murah-murah saja. Keadaan ini pun terus bejalan dan berkembang ke tahap yang tidak aku inginkan. Entah kenapa aku sampai membelikannya sepeda motor waktu itu. Dia memang tidak pernah meminta, hanya mengeluh, tapi malah itu yang membuatku tidak berdaya. Dan dengan kondisi keuanganku yang masih disokong oleh orang tuaku mungkin aku terlalu sombong.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, semua masih berjalan seadanya. Tapi tiba-tiba takdir kembali mempermainkan kami. Ayahku mengatakan bahwa dirinya akan segera pensiun, dan aku menjadi satu-satunya yang bisa diharapkan untuk membiayai pendidikan kedua adikku. Terpaksa aku harus segera mencari pemasukan untuk hidupku dan adik-adikku. Dan setelah mencari kesana kemari akhirnya kesempatan datang juga. Dosenku menawarkanku untuk ikut dalam kegiatan proyeknya dan tanpa menunggu aku langsung mengikutinya. Aku sangat terbantu dengan itu.

Pertengahan tahun 2012 tibalah hari dimana aku harus ke luar negeri untuk studi banding. Dia sangat manja sebelum keberangkatanku dan aku menyukainya. Dia mengantarku ke bandara dan dengan penuh cinta dia mengikhlaskan kepergianku. Awalnya hubungan kami tidak ada masalah, tetapi kemudian hubungan kami terhambat. Dia mulai tidak membalas emailku dengan alasan sibuk ini dan itu. Aku merasakan ada sesuatu yang salah. 

Ketika aku kembali ke tanah air, aku mencoba menghubunginya dan tidak bisa. Sebulan berlalu dengan hubungan kami yang dihiasi oleh alasan sibuknya. Hingga suatu hari aku berpikir untuk mengajaknya pergi ke luar negeri berdua selama seminggu. Dia tidak menolak, dan aku menyiapkan segalanya. Kami berdua bak seperti bulan madu, tak ada masalah yang berarti untuk menikmati terbitnya matahari di menara kembar. Kami sangat mesra dan melupakan segalanya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya di hari kepulangan kami, apa sebenarnya yang terjadi, dan masihkah dia menganggap serius hubungan kami? Dan dia pun menjawab bahwa dia tidak bisa menjalani hubungan ini lebih jauh lagi. Dia tidak bisa pindah agama dan mengikutiku. Aku mengerti akan hal itu, dan aku menerima tawarannya untuk mencoba terus menjalani hubungan kami apa adanya.

Sepulangnya kami ke tanah air, dia kembali menjadi orang sibuk. Tiga hari kemudian sahabat pacarku menelpon, "Kamu sebaiknya jangan lagi hubungi dia. Jauhi dia, dia tidak baik untukmu," kata sahabat pacarku. 

"Kenapa?" tanyaku.

"Lihat facebook," jawabnya.

Ternyata takdir belum selesai bermain denganku. Aku melihat statusnya dengan pria lain yang dulu pernah aku kenalkan di rapat organisasi. Ya, aku selalu mengajaknya untuk ikut rapat denganku jika dia tidak ada kegiatan. Hatiku hancur.

Aku menceritakan semuanya kepada orang tuaku, dan jodoh mungkin tidak datang secepat yang aku duga. Teman-temanku semua murka, mereka kenal siapa aku dan pacarku. Mereka tidak suka dengan semua ini dan ingin membantuku membalaskan dendam. Bagiku, apa artinya? Semua sudah terjadi dan tidak ada yang perlu dipaksa, apalagi kekerasan. Aku hanya bisa bersyukur sekarang. Coba jika semua ini tidak terjadi, apakah aku masih bisa membeli mobil ini? Apakah aku masih bisa membiayai adik-adikku? Bukankah takdir selalu memainkan permainan yang adil bagi semua? Toh sekarang dia sudah mendapatkan pacar yang diinginkannya, seorang anak pengusaha sukses yang mungkin bisa mengembalikan hidupnya seperti sedia kala.

16/12/12

Kontrak Politik

"Segala kebijakan yang demokratis itu selalu populis," kata seorang teman saya yang sedang menjabat posisi penting di kampus. Memang betul adanya hal itu, tapi kemudian apakah sesuatu yang demokratis dan populis selalu memberikan hasil yang terbaik? Mungkin ini adalah keluhan saya yang kesekian kalinya mengenai politik. Saya seringkali kecewa dalam menghadapi proses politik, mungkin saya tidak cocok menjadi politisi. Tetapi masa bodoh dengan itu, sebentar lagi masa jabatan saya akan selesai dan saya ingin memberikan yang terbaik bagi semua orang.

Bulan Desember adalah bulan penuh kegiatan politik. Yang lama akan segera tergantikan dengan yang baru, tapi yang menjadi masalah adalah proses transisinya yang seringkali menodai makna politik itu sendiri. Baik pemilihan Presiden Mahasiswa maupun Ketua Himpunan Jurusan, ada saja kegiatan yang mewarnai proses politik tersebut. Tentu hal itu tidak saja yang bersifat positif, tetapi juga ada yang negatif.

Saya pernah membaca tulisan seorang senior saya mengenai Kabinet Pelangi. Sebuah istilah untuk penyusunan kabinet yang terbentuk dari seluruh lapisan elemen tanpa memandang mana yang lebih diprioritaskan, atau singkatnya bersifat representatif. Jika berbicara mengenai teori, kabinet pelangi adalah sesuatu yang baik untuk badan eksekutif karena bersifat demokratis dan representatif. Yang menjadi masalah adalah kapabilitas dari masing-masing individu yang mewarnai kabinet tersebut apakah bisa dihandalkan? Atau lebih detailnya, bisakah mereka saling bekerjasama?

Orang-orang yang merasa dirinya representatif cenderung memiliki ambisi dan ego yang besar. Ya, saya merasakan hal ini sendiri sebagai salah satu anggota badan legislatif. Presiden ataupun Ketua Himpunan pada dasarnya memiliki hak untuk memilih kabinetnya secara prerogatif. Tanpa melakukan kabinet pelangi pun (yang teknisnya biasanya dilakukan melalui rekruitmen terbuka) sebenarnya dia bisa memilih dan menunjuk langsung. Yang menjadi masalah kan bagaimana lapisan-lapisan golongan yang istilahnya tidak mendapatkan kursi di kabinet tersebut melakukan protes. Ujung-ujungnya biasanya akan mengatakan bahwa kabinetnya otoriter atau hanya milik dari satu golongan. Padahal, masalah fungsi representatif bisa terjawab dengan kehadiran badan legislatif.

Yang saya catat dari tulisan senior saya adalah ketika dia mengatakan bahwa kabinet pelangi tidak melulu bergerak dengan baik. Dia lebih memilih kabinet yang mungkin terkesan hanya milik satu golongan tetapi memiliki hasil kinerja yang lebih baik. Jika ditinjau lebih lanjut, ini kan masalah bagaimana hasil kinerja kabinet tersebut dapat melayani seluruh golongan, tidak perlu melihat bagaimana proses rekruitmennya. Karena sepengalaman saya bekerja di badan legislatif yang beriringan dengan badan eksekutif, rekruitmen terbuka tidak selalu memberikan yang terbaik, dan dalam kasus saya malah pernah memberikan masalah dualisme jabatan dan orang-orang yang kurang berkualitas di dalam kabinet. Saya percaya bahwa setiap orang memiliki preferensi mengenai siapa saja orang-orang yang memang bisa bekerja bersamanya.

Ini menjadi satu lagi faktor yang jarang terlihat bagi masyarakat mengenai fungsi eksekutif dan legislatif. Ketika eksekutif yang memiliki kewajiban untuk mengeksekusi atau sebagai eksekutor, harusnya masyarakat melihat ke-representatif-an dari para pejabat melalui badan legislatif. Toh, legislatif memang selalu memiliki garis hierarkis diatas eksekutif. Melalui badan legislatif, seharusnya tiap-tiap golongan melihat kesempatan ini sebagai jalur penyuaraan aspirasi ataupun akses kepentingan. Setiap golongan tidak perlu khawatir ketika badan eksekutif tidak melaksanakan kabinet pelangi jika mereka memiliki perwakilan di badan legislatif. Inilah fungsi yang sering terlewatkan dan terlupakan. Padahal kepentingan-kepentingan tiap golongan bisa diperjuangkan melalui badan legislatif.

Saya sangat menghargai bagaimana setiap calon melakukan strategi untuk mendapatkan suara. Ketika kontrak politik atau janji-janji saat kampanye tidak teraktualisasikan, maka itu adalah saat-saat paling menyedihkan dari proses politik. Memang dalam perjalanannya ini akan sangat mudah untuk dielak dengan alasan fleksibilitas dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana dengan konsistensi? Apakah janji hanya berarti sebagai sesuatu yang dapat dilanggar?

Pada akhirnya, kekecewaan saya memuncak pada ideologi masing-masing aktor politik. Saya dan beberapa teman saya selalu berasumsi bahwa politik merupakan salah satu cara yang legal dan mungkin sangat bisa dioptimalkan untuk memperbaiki kondisi yang ada. Pelayanan adalah makna utama dari politik. Kita menjabat untuk melayani. Jangan jadikan politik sebagai ajang eksistensi ataupun ajang korupsi. Memang akan sangat sulit atau bahkan mustahil untuk menjadikan politik hal yang bersih dan putih, murni sebagai tempat untuk melayani. Menjadi pejabat yang sukses dan manusia yang manusiawi di saat yang bersamaan memang berat. Tetapi itu bukan berarti tidak mungkin kan?

03/12/12

IR Book Club

Selamat malam! Bagaimana kabar kalian? Sudah sebulan saya tidak menulis, maaf ya. Malam ini saya akan bercerita tentang proyek rahasia saya, haha, yang sebentar lagi tidak akan menjadi rahasia karena kalian akan tahu. Beberapa minggu ini memang sangat sibuk untuk saya dan teman-teman HI UGM, karena selain ada acara besar PNMHII, kami masih berada di tengah pergeseran peta politik. Teman-teman pengurus akan segera digantikan oleh generasi baru, sebuah awal baru. Tetapi semua itu tidak menghentikan saya untuk terus bergerak menjadi lebih baik, karena itulah saya membuat proyek rahasia ini.

Berawal dari sebuah buku dan perbincangan dengan beberapa teman, saya menginisiasi sebuah proyek. Beberapa bulan yang lalu saya membeli sebuah buku, "Plato dan Platypus Walk Into A Bar" di Periplus. Sebuah buku filsafat yang dikemas dalam sebuah lelucon dan bergaya lucu itu menarik perhatian saya dan teman-teman saya. Sampai sekarang bukunya masih belum di tangan saya karena masih dipinjam, huhu. Setelah membaca buku tersebut, saya dan teman-teman (memang ini bukan pertama kalinya) berbincang-bincang mengenai buku-buku yang dibaca oleh teman-teman. Memang ternyata buku-buku yang dimiliki dan dibaca oleh teman-teman bukan buku sembarangan dan bukan buku yang mudah ditemui di toko-toko karena mayoritas merupakan buku impor. Dari situlah saya berpikiran, mengapa tidak ada sebuah pertemuan untuk membahas isi-isi buku tersebut?

Jujur, saya adalah orang yang malas membaca buku yang sudah dibaca oleh teman-teman. Karena saya lebih suka mendengar isi dan ceritanya dari teman-teman. Saya merasa cukup dengan itu, sehingga saya tidak perlu membaca buku tersebut dan bisa move on ke buku selanjutnya yang lebih menarik dan tidak umum, haha. Memang kritikan terhadap saya tidak lepas dari interpretasi isi buku yang berbeda-beda oleh para pembaca, namun saya tidak pernah mempermasalahkan itu.

Saya seringkali merasa pusing, kepala ini serasa terlalu penuh isinya setiap kali selesai membaca buku. Saya ingin membicarakannya dengan orang lain. Pernahkah kalian merasakan hal yang sama? Karena itulah saya membuat klub buku ini:


Saya ingin teman-teman HI UGM memiliki wadah untuk bertemu, membicarakan buku, membagikan pengetahuan mereka, dan mengkritisinya bersama tanpa harus merasa takut dicap sebagai orang yang sok tahu, sok pintar, dan lain sebagainya. Seperti itulah angan-angan saya, hehe. Teknisnya, saya sebenarnya ingin menjadikan ini sesuatu yang eksklusif untuk teman-teman HI, karena sebuah komunitas atau klub buku akan sangat efektif apabila dia terdiri dari orang yang tidak terlalu banyak. Saya mengestimasikan sekitar 8-15 orang saja. Tetapi jika animonya banyak, ya mau bagaimana lagi? Haha.

Saya ingin teman-teman membawa satu buku mereka terlepas dari apapun genre-nya, mau serius, novel, buku kuliah, atau bahkan majalah juga tidak apa, untuk diceritakan kemudian dikomentari bersama. Saya memiliki teman yang memang cenderung lebih senang atau bahkan lebih mengerti isi buku ketika isinya diceritakan ketimbang dibaca. Karena itulah klub buku ini berdiri berdasarkan kebebasan dan kesukarelaan. Untuk dinamika selanjutnya mungkin tergantung pesertanya. Saya berencana untuk membuat acara ini rutin sebulan sekali, tetapi setelah berbicara dengan banyak orang, akan lebih baik jika diadakan setiap minggu.

Well, itulah proyek rahasia saya, haha. Jika tertarik silahkan hubungi saya. Siapa tahu kita bisa mengundang penulis-penulis besar untuk memberikan insight kepada kita para penggemar buku dalam bentuk kertas?