31/03/13

Menuju Era Otoritarian Kedua

Tragedi "penyerangan" TNI ke Lapas Sleman Yogyakarta mendapat banyak perhatian para pemerhati politik maupun keamanan Indonesia belakangan ini. Beberapa hari yang lalu bahkan seorang teman saya mengadakan diskusi santai mengenai isu ini yang dibungkus rapi dalam tema militerisme Indonesia. Apa yang terjadi sebenarnya di belakang fenomena ini dapat dilihat dari berbagai macam perspektif, dan saya akan meneceritakan satu perspektif dari saya pribadi yang mungkin bisa dikaitkan dengan latar belakang saya, yakni HI.

Beberapa hari yang lalu saya diundang seorang teman yang (sepertinya) bergabung dalam organisasi pembela buruh. Beliau juga mengajak beberapa aktivis buruh untuk ikut dalam diskusi tersebut sebagai pembicara. Singkat kata, saya diajak melihat peristiwa ini dari perspektif yang berbeda dan hasilnya saya sangat kaget sekali. Selama ini saya selalu memandang TNI sebagai tameng utama pertahanan dan keamanan Indonesia dari segi internasional. Jelas, laskar Garuda di satuan pasukan penjaga perdamaian dunia PBB menjadi salah satu laskar yang ternama karena (katanya) keramahan dan kemampuan untuk menyatu dengan penduduk sekitar (meski berbeda bahasa dan kebudayaan). Pemerintahan SBY pun mengamini hal tersebut dengan membangun pusat pelatihan pasukan perdamaian Indonesia dengan biaya yang kalo tidak salah berjumlah milyaran rupiah. Saya pikir, dari berita semacam ini mengenai TNI dan pasukan penjaga perdamaiannya dalam lingkup internasional, kita tidak akan menghadapi isu domestik mengenai militer. Ternyata saya salah.

Sesaat sebelum saya menghadiri diskusi tersebut, saya berbincang-bincang dengan beberapa teman HI saya mengenai ini. Dan kami sepakat untuk mengatakan bahwa TNI sepertinya kehilangan "musuh" atau kami dari HI biasa menggunakan istilah the face of the enemy. Apakah hal tersebut benar? Apakah TNI memang tidak lagi memiliki musuh yang jelas sehingga masalah domestik juga menjadi masalah TNI diluar isu separatisme dan perbatasan? Menurut saya, ya. Dengan maraknya isu terorisme dan peristiwa pengeboman di berbagai daerah Indonesia beberapa dekade belakangan ini, TNI "mungkin" merasa bahwa polisi sebagai "pengurus" masalah domestik kurang bisa menyelesaikan masalah tersebut. Tentu sejarah mengenai perselisihan polisi dan TNI sudah cukup panjang. Bahkan, semenjak awal Orde Baru sudah ada perselisihan yang dimulai dari dwifungsi ABRI. Singkat kata, mungkin TNI kurang mendapat pekerjaan dan mulai melihat bahwa persoalan sosial domestik menjadi masalah pertahanan dan keamanan.

Argumen ini masih saya pegang hingga saya ikut ke dalam diskusi teman saya ini. Ternyata saya dihajar dengan berbagai fakta yang mengagetkan mengenai TNI dan kegiatannya. Indonesia mengenal yang namanya sistem pertahanan semesta. Sistem ini membuat TNI memiliki berbagai pangkalan di seluru derah Indonesia. Dulu, katanya, istilah ini lebih sering disebut sebagai "TNI masuk desa". Pertama kali saya mendengar ini dari salah satu peserta diskusi, saya berpikiran positif, tetapi ternyata sistem ini dimulai sejak Orde Baru, yang tidak lain berguna sebagai "pengawas" pemilu saat itu. Seiring dengan berjalannya diskusi, saya mulai melihat sisi lain dari TNI, dan saya kaget sekali mengetahui bahwa TNI memang didesain sedemikian rupa untuk menjaga keamanan domestik Indonesia (contohnya seperti invasi) ketimbang lebih fokus terhadap perbatasan. Saya memang seharusnya tidak boleh kaget, karena dari sudut HI saya diajarkan bahwa kecenderungan bangsa besar bersikap ofensif dengan kekuatan militer yang aktif (melakukan ekspansi). Namun, semenjak Orde Baru kita memang mengadopsi politik luar negeri yang low profile, sehingga pilihan untuk ekspansi adalah hal yang menggelikan dengan situasi domestik saat itu.

Salah satu argumen yang dipakai oleh peserta diskusi dalam menjelaskan fokus domestik TNI adalah mengenai biaya militer kita yang sangat sedikit dan tidak memungkinkan Indonesia memiliki sarana dan prasarana untuk menjaga perbatasan atau bahkan melakukan ekspansi. Dan seperti yang kita ketahui, Angkatan Darat adalah satuan TNI yang paling diperhatikan pemerintah karena lebih fokus kepada sumber daya manusianya saja, tidak terlalu melihat alat persenjataan berat. Logikanya, jika pemerintah dan TNI memang mau berfokus kepada perbatasan, seharusnya Angakatan Udara dan Angkatan Laut-lah yang mendapat perhatian lebih besar dengan membeli atau menjaga kondisi alat-alat persenjataan mereka, seperti kapal laut dan pesawat tempur. Kita tidak bisa memungkiri bahwa isu illegal fishing sangat kental di daerah perbatasan dan telah lama tidak menjadi fokus utama TNI.

Diskusi kami berlanjut hingga membahas posisi TNI di depan hukum Indonesia. Polisi yang seharusnya menjadi garda terdepan penegak keadilan, dalam kasus penyerangan Lapas ini kita bisa melihat bahwa polisi tidak bisa berbuat apa-apa. TNI sejak lama telah berada di atas supremasi hukum. Saya masih percaya dengan melihat keadaan yang ada bahwa TNI merindukan romansa Orde Baru saat mereka memiliki dwifungsi. Berdasarkan kejadian-kejadian di era Orde Baru, kita bisa melihat supremasi TNI atas hukum.

Perbincangan kami berhenti (karena saya harus kuliah) pada pembahasan MoU Badan Intelijen dengan Kemenakertrans (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Para pembicara diskusi yang notabene merupakan aktivis buruh melihat hal ini sebagai hal yang kurang relevan dan tidak masuk akal. Mengapa BIN  membuat MoU dengan Kemenakertrans? Apakah kita akan kembali ke masa otoriterian, ketika kita tidak boleh lagi mengekspresikan pendapat kita? Dan mahasiswa tidak lagi dapat berdiskusi secara bebas?

Ah, perbincangan ini membuat saya semakin pusing saja. Sebagai pengingat, tulisan ini hanyalah bersifat opini dan jangan dijadikan dasar pengetahuan Anda, karena belum ada bukti tertulis yang saya cantumkan. Jika Anda tertarik untuk mendalami isu ini, silahkan cari sumber lain. Saya hanya ingin mengutarakan pendapat, dan semoga ini membantu Anda juga.dalam memahami isu di sekitar kita :)

28/03/13

Doa Malam Kamis Putih

Untuk yang bermata sipit,

Malam ini aku berdoa kepada-Nya agar diberikan mimpi indah tentang kita. Mimpi-mimpi tentang masa depan atau mungkin khayalan di kehidupan yang berikutnya, kelak saat kita dapat bersama.

. . .

Kita berdua membaca buku di bawah bayang-bayang pohon tua, di atas rumput hijau yang ramah, dengan mata yang sayup-sayup dielus angin. Kau tersenyum setiap kali aku membalikkan halaman-halaman berdebu buku tua itu, buku saat kita kuliah dulu. Aku mengedipkan mata merayumu hingga kau tertawa dan mencubitku. Kita bahagia di bawah sinar sang surya yang sibuk menyinari cinta kita.

Kau buatkan aku sarapan sebelum berangkat kerja, membuatkanku segelas susu putih manis yang kau aduk dengan sendok perak hadiah pernikahan kita. Kau tersenyum manis dengan daster polkadot merah putih yang aku beli dari garage sale salah seorang teman kita. Kau membantuku memakaikan dasi hitam seusai menghabiskan sarapan bersama, mencium pipi dan bibirku mesra. Kau adalah sedihku saat meninggalkan rumah. Aku pergi.

Aku buka pintu rumah kita di malam hari, kau menyapaku ramah dengan senyummu. Kau menciumku dengan mesra, melepaskan kelelahanku dalam romansa kita berdua. Hingga mata tertutup dan melihatmu kembali esok pagi.

kau telah memberiku banyak cinta.

Dari Ku

Bukankah sudah Ku katakan padamu, bahkan sebelum kau dapat mendengar?
Bukankah sudah Ku perlihatkan padamu, bahkan sebelum kau dapat melihat?

Tanyalah, tanyakan lagi pada Ku.
Tentang cinta yang tak akan pernah beratahan lama.
Tentang cinta yang tak akan pernah terbalas.

Dunia ini hanya mimpi semu.
Tempatmu bernanung dan mencari arti keberadaan Ku.
Bukan tempat tinggalmu, apalagi tempat untuk merindu.

Tanyalah iblis dan setan yang menerima cinta Ku.
Mereka abadi.

26/03/13

Apa Arti Keadilan?

Hari ini saya baru saja menghadiri sebuah diskusi mengenai isu UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang sedang marak di seluruh universitas se-Indonesia. Sebuah konsep yang "niat"-nya dapat mengurangi beban mahasiswa dan keluarganya dalam masalah biaya pendidikan. Namun, ternyata masih banyak anomali terhadap kebijakan yang sedang dirancang oleh pemerintah ini dan konsep keadilan akhirnya pun dipertanyakan kembali.

Apa sebenarnya arti keadilan? Saya mendapatkan gambaran umum mengenai keadilan saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya sewaktu itu mendapatkan uang saku yang relatif lebih sedikit ketimbang kakak-kakak saya yang sedang mengenyam pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Kenapa saya harus mendapatkan uang saku yang lebih sedikit? Jawabannya ternyata dijelaskan hanya dengan satu kata oleh guru saya, "kebutuhan". 

Kebutuhan menjadi faktor utama penentu jumlah uang saku saya waktu itu. Ya jelas saja jika saya diberikan uang saku yang lebih sedikit, toh kebutuhan saya masih sedikit, paling mentok cuma jajan minuman es, dan waktu yang saya habiskan untuk belajar di sekolah setiap hari juga singkat, pulang langsung ke rumah. Berbeda dengan kakak saya yang mungkin memiliki kebutuhan lebih banyak. Namun untuk menentukan kebutuhan juga merupakan suatu hal yang relatif. Manusia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, dan kebutuhan bisa ditekan sedemikan rupa untuk tetap menjaga keadaan ekonomi yang sehat. Dari pengalaman saya tersebut, saya memahami keadilan sebagai hal yang sangat relatif. Keadilan bukan berarti memukul rata semua hal menjadi sama, tetapi bagaimana melihat kebutuhan dari "objek" keadilan tersebut dan berusaha untuk memenuhinya. 

Sejalan dengan berkembangnya waktu, konsep keadilan yang saya pegang ini diuji dengan berbagai teori dan perspektif di kelas-kelas kuliah saya. Sosialis-komunis dan liberalisme mungkin menjadi pilihan cara melihat keadilan. Saya selalu beranggapan bahwa membentuk nasib yang sama atau menyamaratakan kesejahteraan adalah suatu hal yang mustahil, namun dimungkinkan. Dalam berbagai cerita kasus negara komunis, penyamarataan kesejahteraan menjadi sesuatu hal yang kejam karena menghilangkan aspek "kesempatan". Dan di liberalisme-lah saya melihat kesempatan bersinar terang meski berada dibalik jeruji besi kapitalisme. Saya percaya bahwa manusia seharusnya dihargai sesuai dengan kemampuan dan usahanya untuk mengembangkan diri melalui kesempatan yang ia ambil. Dan liberalisme (dengan kebebasan individualnya) menjawab itu. 

Perjalanan saya berlanjut dengan pembicaraan mengenai urgensi untuk "mengawal" isu UKT ini dengan seorang teman saya. Dia bertanya kepada saya, "kenapa kamu tertarik dengan isu yang bahkan tidak memiliki dampak langsung denganmu? Apa urgensimu?". Pertanyaan yang mengetuk kedua pintu otak dan hati saya ini mengembalikan saya kepada konsep keadilan yang sudah saya jelaskan tadi. Hendaknya pintu kesempatan terus dibuka dan dijaga untuk tetap ada sebagai kunci menuju keadilan. Memberikan kesempatan yang sama adalah arti keadilan yang sesungguhnya bagi saya. Saya hanya berusaha menjamin kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi terus terbuka lebar bagi siapapun, dan menjamin kualitas pendidikan yang baik bagi generasi selanjutnya.

Sudahkah Anda, saya, kita berlaku adil?

Aku Takut Jatuh Cinta

Aku takut untuk jatuh cinta
Kenapa harus ada kata 'jatuh' sebelum kata 'cinta'?
Aku tak mau jatuh sebelum mendapatkan cinta

Aku takut untuk jatuh cinta
Takut untuk merasakan sakit saat jatuh cinta
Aku takut terikat dengan cinta
Dengan rasa sakitnya, dengan rasa bahagianya

Aku takut untuk jatuh cinta
Takut untuk menjauh dari dia saat cinta telah tiada

22/03/13

Seperti Mereka

Aku tak ingin kau seperti mereka
Seperti para wanita dari negeri pasir yang menangis ketika kekasihnya melakukan ziarah
Ziarah menuju tempat yang tak pasti, berkelana

Aku tak ingin kau seperti mereka
Seperti para istri prajurit pemberani yang menangis karena suaminya mati di tengah perang
Pulang hanya sekedar medali, tanpa nyawa

Aku ingin kau seperti mereka
Seperti para Ratu kerajaan Jawa, yang tegar melihat tambatan hatinya pergi
Tanpa tahu akan kembali, tanpa tahu apakah akan mati

20/03/13

Mengecek E-mail

Mengecek e-mail (electronic mail) menjadi sebuah kebiasaan yang ketinggalan zaman dewasa ini. Saya masih ingat dulu di sebuah acara infotainment, ketika jejaring sosial semacam MySpace, Facebook dan Twitter belum ada, cara berinteraksi antara artis dan fans hanyalah melalui e-mail. Ini bukan berarti saya punya banyak fans ya, hehe (ngarep banget sih). Sekarang bisa kita lihat jejaring sosial menjadi wadah baru untuk berkomunikasi, dan e-mail sepertinya kurang mendapat perhatian. Tapi ini kemudian malah menjadi masalah yang serius dalam dunia formal dan sekarang saya sedang mengalaminya.

Berawal dari pengalaman magang saya dulu, bos saya adalah seseorang yang bisa dikatakan kurang rajin membuka e-mail, dan akibatnya banyak klien yang terlepas begitu saja. Untungnya sekarang sudah ada bagian/divisi tersendiri yang memang memiliki kewajiban untuk mengecek e-mail. Padahal, sebagai Public Relation, sudah tugas kita untuk terus menjaga hubungan dengan klien. Cerita ini mungkin bisa saya kaitkan dengan pengalaman yang baru saja saya dan mungkin teman-teman juga alami.

Saya mengajukan sebuah pertanyaan kepada sebuah institusi dalam konteks beasiswa, dari beberapa hari yang lalu, dan sampai sekarang belum mendapatkan balasan. Memang, kejadian seperti ini bukanlah hal yang baru dan patut menjadi perhatian kita semua. Karena bagi saya, ini merupakan masalah komunikasi yang fatal akibatnya kepada image. Saya juga terkadang kesal kepada orang lain (dan terkadang dengan diri saya sendiri, hehe) yang jarang mengecek e-mail-nya. Padahal e-mail merupakan sarana komunikasi yang terhitung privat jika dibandingkan dengan Facebook atau Twitter yang lebih publik (bisa sih pakai Message atau DM). Entah apakah ini memang institusinya yang bermasalah atau e-mail-nya yang tak kunjung tiba. Jika ditilik lebih jauh, ini bisa mempengaruhi profesionalitas lho.

Dari cerita singkat saya ini akhirnya saya menyimpulkan bahwa e-mail adalah fasilitas yang penting dan sebaiknya digunakan secara optimal oleh siapapun. Melalui e-mail kita bisa berkomunikasi tanpa batasan wilayah, dengan kecepatan sepersekian detik, dan tidak lupa, karena e-mail-lah komunikasi kita bisa berkembang dengan pesat. Jadi, mari kita perbaiki ke-e-mail-an kita, balas e-mail yang kita dapatkan (jika perlu dibalas), cek setiap hari, dan jaga hubungan kita dengan orang lain.

19/03/13

Ketidakpedulian Adalah Sebuah Penyakit Menular

Malam ini dengan tubuh yang kurang sehat saya memutuskan untuk menonton sebuah film yang selalu saya lihat sepotong demi sepotong (entah karena saya mencari "scene" tertentu atau memang saya takut menontonnya) tanpa sepenuhnya saya ikuti. American Psycho, sebuah film yang diangkat dari sebuah novel karya Bret Easton Ellis ini mengemas kehidupan Amerika (New York) di tahun 1980an. Film yang bergenre serial killer ini menakutkan namun menimbulkan rasa penasaran bagi saya akan hal yang ingin disampaikan oleh sang penulis.

Bercerita tentang seorang eksekutif muda Wall Street yang sempurna secara fisik (tampan, kaya, memiliki segalanya) namun cacat secara psikologis (psychopath), film ini sarat akan pesan sosial. Manusia/masyarakat telah melupakan jati dirinya dan ter-consumed oleh kekayaan dan ketidakpedulian. Pembunuhan berantai yang dilakukan oleh sang aktor utama menggambarkan kehancuran sistem sosial masyarakat Amerika saat itu. Ya, ketidakpedulian menjadi sebuah penyakit yang menular dan sangat berbahaya. Semua orang sangat self-obsessed dan tidak mendalami orang yang lainnya.

Sejak awal film, penonton akan digiring kepada tingkat individualitas yang tinggi. Dari rutinitas hingga aktivitas komunikasi yang, menurut saya, mengalami kecacatan karena selalu salah menyebut nama/mengenal orang lain (meskipun terkesan telah kenal/berteman lama). Pesan "hancurnya sistem sosial masyarakat" tersampaikan ketika seluruh kasus pembunuhan yang dilakukan oleh sang aktor utama tidak kunjung terungkap dan malah dilupakan oleh masyarakat. Penggunaan apartemen sebagai tempat "penyimpanan" mayat menjadi suatu hal yang tidak berarti bagi pemiliki apartemen ketika ingin menjual kembali apartemen tersebut demi harga jual.

Pada akhirnya film ini akan memutar kembali pemikiran kita mengenai "profit vs humanity". Sejauh mana kepedulian Anda terhadap orang lain? Sejauh mana kepedulian orang lain terhadap Anda? American Psycho telah membawa "humanity" ke dalam tingkat yang baru.

15/03/13

Lelah Malam

Melewati jalan yang sudah sepi, lampu merah telah mati.
Melewati toko yang telah tutup menunggu pagi.

Malam ini aku merasa sangat lelah.
Dengan dunia yang tak pernah kehabisan masalah.
Dan cinta yang selalu membuat resah.

Aku ingin berhenti sejenak.
Mematikan waktu tanpa siapapun disisiku, sendiri tanpa jantung yang berdetak.

04/03/13

Sancti

Malam itu Christopher memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran Jepang dekat apartemennya. Hari yang melelahkan di kantor, sedikit ketenangan bersama dirinya sendiri sepertinya bisa membayar itu semua. Dia duduk di depan fasilitas permainan anak-anak yang disediakan restoran tersebut dan mulai memutar kembali kenangan masa kecilnya sambil melahap beef teriyaki pesanannya. Anak-anak kecil bermain di tempat itu, seperti pikirannya yang bermain dengan masa kecilnya sekarang. Semuanya berputar sangat cepat, dan sepotong demi sepotong momen-momen yang dia rindukan bermunculan.

. . .

Aku sangat bahagia, hari ini aku ulang tahun. Ayah membelikanku kado, ibu membuatkan kue yang sangat besar untukku. Lexy, Tom, dan Robin berkumpul menyanyikan lagu ulang tahun untukku bersama dengan keluarga besar dan kerabat. Mereka semua ada untukku, untukku seorang. Aku merasa begitu penting, aku sangat bahagia

. . .

Aku sangat takut, hari ini aku akan disunat. Kata ibu aku akan menjadi dewasa setelah ini. Jika kedewasaan harus dilewati dengan rasa sakit, aku bingung kenapa mereka semua masih merasakan ketakutan terhadap dunia ataupun diri mereka sendiri. Lexy tak ada, dia tidak libur kuliah. Tom dan Robin menunggu di rumah. Aku dan ayah pergi ke tempat penyunatanku. Ayah menemaniku hingga bertemu dengan dokter, aku bergetar ketakutan. 

. . .

Aku sangat bingung. Setelah sekian lama kuliah, dihajar habis-habisan oleh kenyataan, aku memikirkan kembali hidupku. Aku mau jadi apa? Orang yang biasa-biasa saja, orang yang luar biasa, orang yang pragmatis, orang yang idealis, orang yang memikirkan dunia, atau orang yang memikirkan surga? Malam ini aku habiskan bersama Lexy, ya, hanya dengan Lexy. Dia yang sudah merasakan pahitnya hidup, menjalin hubungan dengan istrinya setelah sekian lama, dan dia yang tahu rahasia pisahnya ayah dan ibu. Dia membeberkan segalanya kepadaku. Pundakku berat, punggungku kaku, semua terasa terhenti.

Tom yang kabur dari rumah karena hubungannya dengan kekasihnya tidak mendapatkan restu, dan Robin yang dekat namun terasa sangat jauh karena tak lagi mau berbicara denganku. Semua berubah dan aku bingung sekali. "Jika nanti semua tidak seperti dulu lagi, aku ingin kamu yang mendapatkan segalanya. Kamu adalah yang terbaik, aku dan kakak-kakakmu yang lain sudah merasakan semua yang perlu kami rasakan, namun kamu belum. Aku ingin melindungimu, bahkan dengan cara-cara yang mungkin tak akan kamu suka", ucap Lexy mengakhiri percakapan kami malam itu.

. . .

Christopher tidak berhenti memasukkan tiap butiran nasi yang tersisa di mangkuknya. Dia menegak segelas air putih yang dipesan sambil sesekali memberi sugesti kepada dirinya sendiri, "Lexy sudah memiliki anak, dia tidak perlu melindungiku lagi, dia memiliki keluarganya sendiri yang perlu dia lindungi. Tom sudah tak ada kabar sejak 5 tahun yang lalu, dan Robin sudah menikah. Aku sudah tidak memiliki beban, Santi sekarang yang harus memegang tongkat estafet nama keluarga kami."

Cahaya putih yang menerangi hati ayahnya mungkin, pada akhirnya, telah turun dari surga. Namun Christopher harus segera memberi misi untuk dirinya sendiri. Tanpa misi, Christopher hanyalah seonggok daging yang bergerak untuk menghabiskan waktu dan memadatkan dunia tanpa arti, tanpa nilai. Christopher telah memberikan yang terbaik untuk keluarganya, mungkin ini saat yang tepat bagi dirinya untuk memulai segalanya dari awal. Dari dirinya sendiri, dari arti nama belakangnya.

Dedicated to you, my little brother. Welcome to the world.