27/06/13

Pertanyaan Tentang Manusia dan Cinta

Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya hingga mereka bisa menerima segala kelemahannya satu sama lain dan saling menutupinya? 
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya tatkala mereka saling melukai dan saling membenci? 
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya hingga mereka bisa menghabiskan waktu 24 jam dalam seminggu bersama-sama sampai akhir hayatnya?
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya tatkala mereka saling mencurigai dan saling cemburu?
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya hingga mereka mau memberikan nyawanya untuk yang lainnya?
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya tatkala mereka melihat pasangannya bercumbu mesra dengan yang lain dan pergi merelakannya?
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya hingga mereka mau saling menelanjangkan tubuh satu sama lainnya?
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya tatkala mereka membesarkan buah hatinya saat perceraian telah di depan mata?
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya hingga mereka mau menukar harta dan tahta untuk satu orang yang belum pasti jodohnya?
Bagaimana seorang manusia bisa begitu mencintai manusia lainnya tatkala Tuhan telah melarang manusia untuk mencintai manusia lainnya melebihi cintanya kepada Tuhan?

Bagaimana cinta bisa masuk ke hati seorang manusia?

23/06/13

Relawan dan Pengabdian

Sore ini saya menghadiri Obrolan Sabtu, sebuah acara talkshow ataupun sharing yang diadakan oleh organisasi Forum For Indonesia. Tema yang diangkat adalah Social Media Campaign dan Volunteerism. Tiga orang pembicaranya adalah teman-teman saya yang saya kagumi karena inspiratif dan ahli di bidang yang mereka sukai. Pembicara pertama, Ghufron Mustaqim memberikan penjelasan teoritis serta berbagi ilmunya mengenai literatur-literatur yang telah ia baca selama ini mengenai volunteerism. Pembicara kedua, Shofi Awanis berbagi pengalamannya menjadi sukarelawan sewaktu studi di Amerika Serikat dan Singapura. Pembicara ketiga, Andin Rahmana, memberikan penjelasan mengenai social media campaign. Tema yang menarik ini berhasil memikat saya dan beberapa peserta yang tidak biasa karena kebanyakan adalah orang-orang hebat serta aktivis di organisasinya masing-masing.

Saya pribadi sangat tertarik ketika Shofi berbagi pengalamannya mengenai volunteerism di luar negeri. Saya baru tahu kalo ternyata di Amerika Serikat, volunteerism bukanlah hal yang sering dilakukan oleh pemuda, melainkan merupakan program rehabilitasi para narapidana. Tentunya ini merupakan tantangan tersendiri untuk bisa bekerjasama dengan narapidana dalam melakukan kegiatan relawan sambil diawasi oleh polisi bersenjata. Kalo saya sih, udah ketar-ketir duluan liat narapidananya, haha. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan memang variatif, seperti membagikan makanan kepada orang-orang tidak mampu, menghabiskan waktu bersama para panti jompo, hingga bergotong-royong membangun atau memperbaiki rumah masyarakat. Jangan salah ya teman-teman, ukuran orang mampu di sana dan di sini beda. Kalo kata Shofi, orang tidak mampu di sana masih punya dan mengendarai mobil. Hal yang sangat unik bahwa jarang sekali terlihat pemuda melakukan kegiatan relawan di negara semaju Amerika Serikat. Kalo di Indonesia, dimana-mana selalu ada kegiatan volunteerism yang targetnya adalah pemuda. 

Shofi kemudian melanjutkan pengalamannya berbagi ketika di Singapura. Nah, yang unik lagi adalah bahwa di Singapura program relawan seperti ini memiliki birokrasi yang rumit dan sulit. Pertama-tama kita harus registrasi dulu yang biasanya bersifat online, kemudian melakukan training atau masa seleksi. Di Indonesia kalo mau jadi relawan sepertinya tidak seribet itu. Namanya juga relawan, yang rela ya mari gabung. Hal ini tentunya dapat dimengerti karena organisasi yang melakukan hal tersebut ingin mendapatkan relawan yang sesuai dengan kebutuhan dan berkomitmen penuh untuk kegiatan tersebut. Ini menjadi perhatian saya juga yang akhirnya membawa saya ke sebuah pertanyaan yang tidak saya tanyakan dalam kesempatan itu, "Apakah kedua hal ini perlu dipertimbangkan untuk dilakukan di Indonesia?"

Saya beranggapan bahwa dua pengalaman Shofi ini sangat berharga untuk diketahui oleh organsisasi-organisasi berbasis relawan di Indonesia serta untuk pemerintah. Yang pertama, kegiatan relawan untuk program rehabilitasi para narapidana adalah pilihan yang berani untuk dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Sebetulnya ini bisa dilakukan juga di Indonesia, tentunya dengan sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu serta adanya jaminan pengamanan yang ketat. Sudah sejak lama persoalan rehabilitasi narapidana diperdebatkan, terutama bagaimana caranya membuat para narapidana ini kelak setelah bebas dapat diterima kembali oleh masyarakat. Program ini bisa menjadi jawabannya jika pemerintah dan kepolisian berani berkomitmen untuk melakukannya. Yang kedua, sistem pendaftaran dan seleksi di dalam sebuah organisasi juga menjadi perdebatan panjang semenjak pertama kali saya mencoba memasuki sebuah organisasi. Apakah perlu diadakannya sistem pendaftaran yang rumit dan lama, serta uji coba seleksi atau pelatihan? Saya rasa perlu.

Indonesia adalah negara yang bangga dengan asas bergotong-royongnya. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam organisasi yang hadir dengan basis relawan. Sayangnya, ini membuat suatu dilema akan pertanyaan sebuah komitmen. Ya, mari kita akui bersama bahwa sebagai pemuda kita sangat ingin mencoba-coba hal yang baru, termasuk bergabung dengan organisasi-organisasi berbasis relawan. Ini mengakibatkan banyak pemuda Indonesia mengikuti lebih dari satu organisasi. Beberapa pendapat akan mengatakan "Ya, enggak apa-apa. Kan buat menambah pengalaman,". Betul! Pengalaman memang akan bertambah, keahlian juga pasti akan berkembang sesuai dengan bidangnya. Tetapi bagaimana dengan waktu? Dengan komitmen atas program-program yang harus dijalani? Lagi, beberapa pendapat akan mengatakan "Selama bisa mengatur waktu, ya tidak masalah,". Jawaban yang klise atas sebuah pertanyaan komitmen. Tapi benarkah itu cukup?

Seringkali saya temui teman-teman yang di tengah jalan mengundurkan diri dari jabatannya di organisasi ataupun dikeluarkan karena tidak bisa memenuhi komitmennya. Alasannya beragam, dari masalah keluarga, pendidikan, hingga ingin fokus ke organisasi yang lain. Apakah alasan ini dapat diterima? Bagi saya yang termasuk kaum pasifis-utopis yang percaya dengan asas liberal (lakukanlah apapun sesukamu asalkan tidak merugikan orang lain) John Stuart Mill, sah-sah saja bagi seseorang untuk keluar atau masuk suatu organsisasi yang bersifat relawan atau tak digaji ini. Toh ini juga tidak boleh menjadi batasan bagi seseorang untuk terus berkembang bukan? Tapi bagaimana dengan kerugian yang ditimbulkan? Nah, ini yang perlu mendapat perhatian khusus serta menjadi pertimbangan kita. 

Kerugian yang ditimbulkan tentu adalah rasa kecewa dan rasa percaya yang terlukai. Orang-orang yang telah kita "khianati" tentunya akan mencatat ini sebagai sebuah peringatan, bahwa "Mungkin orang ini, jika bekerja sama lagi denganku, akan melakukan hal yang sama jika dia tidak suka dengan keadaan yang ada,". Kepercayaan sebagai modal utama kerjasama juga secara otomatis akan terlukai. Bagi saya inilah inti masalah dari kerelawanan. Sejauh mana komitmen Anda akan terus berjalan? Apakah ketika ada masalah akan langsung berhenti? Apakah ketika ada sesuatu yang lebih menarik atau dirasa dapat mengembangkan kemampuan kita maka kita akan berhenti? Ataukah  memang ketika benar-benar kewajiban atau amanah yang telah dipercayakan selesai kita jalankan baru kita berhenti? Bahkan di beberapa kasus, saya sendiri contohnya, masih terus menaruh perhatian atas organisasi yang telah saya tinggalkan karena masa jabatan, kewajiban, atau amanah saya terselesaikan.

Saya harus akui bahwa banyak organisasi di Indonesia yang berbasis relawan telah memahami permasalahan ini dan mengambil jalan tengah yang sangat bijak. Forum For Indonesia, misalnya, memberlakukan open volunteerism di beberapa program kerjanya. Artinya, orang-orang yang ingin mengabdi secara singkat dan tidak terikat secara penuh dengan Forum For Indonesia dapat ikut berkontribusi dalam program kerjanya. Sedangkan para penanggung jawab program kerja adalah mereka yang menjabat, berkomitmen, dan terikat penuh dengan Forum For Indonesia. Para penanggungjawab inilah yang kemudian harus diberlakukan sistem pendaftaran, registrasi, pelatihan, serta seleksi yang sulit dan rumit. Hal ini untuk menanamkan benih komitmen yang dalam dan diharapkan tumbuh tinggi hingga selepas masa jabatannya pun masih menaruh perhatian serta kasih sayangnya kepada organisasi tempat belajarnya dulu.

Terakhir, saya ingin menutup tulisan saya dengan sebuah pesan. Teman-teman, organisasi berbasis relawan adalah tempat kita belajar untuk mengabdi. Mengabdi kepada teman-teman sesama anggota, mengabdi kepada masyarakat (target program kerja), serta mengabdi kepada diri sendiri. Mengapa diri sendiri? Karena saya tahu, berkomitmen itu sangat sulit, apalagi untuk masa waktu yang lama. Kita tentunya akan mengalami kesulitan serta keraguan untuk terus menjalankan komitmen tersebut. Kuatlah, percayalah, dan yakini apa yang telah menjadi keputusan kita.

21/06/13

Waktu dan Keegoisannya

Pagi itu Christopher sudah meniatkan diri untuk tidak masuk sekolah. Ia tahu ia akan dimarahi ibunya, "ah, biarlah, sehari ini," ujarnya membenarkan tindakan bolosnya hari itu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi, dan Christopher belum beranjak dari kasur kecilnya. Tubuh mungilnya masih terbungkus dengan selimut bergambar Superman dan matanya dipaksanya untuk terpejam kembali meski dia sudah terbangun oleh ketukan ibu di pintu kamarnya.

"Ayo bangun," sapa ibunya memasuki kamar Christopher tanpa ketukan lagi. Christopher terpaksa duduk dan menatap mata ibunya yang suci. "Aku tak mau sekolah bu, aku mau di rumah saja," jawab Christopher. Ibunya tersenyum sesaat, entah kenapa sepertinya dia mengerti alasan kenapa Christopher tidak mau berangkat ke sekolah hari itu. Padahal dialah yang paling rajin untuk bangun dan pergi ke sekolah ketimbang ketiga kakaknya.

Ibu mengelus kepala Christopher kemudian memeluknya, dan menyuruhnya untuk tidur kembali. Christopher merasakan kehangatan dan juga kesedihan dalam pelukan itu. Christopher kembali mendekatkan kepalanya ke bantal dan memejamkan mata kembali. Dia rindu.

Siang itu rumah sangat sepi. Kakaknya sedang sekolah dan hanya tersisa ibu di rumah memasak untuk Christopher. "Ibu," Christopher memanggil ibunya selepas beranjak dari kasur kecilnya. "Ya sayang?" jawab ibunya dari dapur. Christopher melangkah kecil dari kamarnya yang mungil berukuran 4x4 ke dapur melewati ruang keluarga. Dia melihat foto-fotonya bersama ibu dan kakak-kakaknya. Ada yang kurang disana. "Ibu masak apa?" tanya Christopher sambil menarik daster batik ibu dengan tangan kecilnya. "Telur dadar. Buat kamu," jawab ibu sambil memasak. Christopher berjalan lagi menuju ruang makan yang dekat dari dapur dan duduk di bangku yang cukup tinggi untuknya, dia harus menjinjit untuk bisa duduk. Tak lama kemudian ibu mengantarkan makanannya, telur dadar, nasi dan kecap manis, sederhana. Ibu menemaninya makan sambil tersenyum melihat anak terakhirnya. Waktu terasa sangat lambat dan ibu mulai mengenang bagaimana sulitnya melahirkan Christopher. Kala itu malam hari hampir jam setengah dua pagi, ibu harus segera pergi ke bidan untuk melahirkannya. Penuh perjuangan dan harapan.

"Ibu, aku rindu Ayah," kata Christopher mendadak di tengah makan siangnya. "Ya, ibu tahu," jawab ibu sambil memandang fotonya dengan anak-anaknya di ruang keluarga. "Bolehkah malam ini aku menginap di sana?" tanyanya kembali mengusik hati ibunya. "Bukankah itu alasanmu bolos?" goda ibunya sambil mencium kening Christopher dan pergi beranjak ke kamar yang dulu pernah dipakai ibu dan ayahnya beristirahat.

Seusai makan siang Christopher berjalan ke ruang keluarga dan duduk di sofa hijau berkayu hitam favoritnya. Dia merenung sejenak, melihat jam dan waktu yang terus berlalu. Bertanya-tanya akan masa depan dan membayangkan masa lalu. Christopher menggapai telepon rumah dan mulai menekan angka-angka di atasnya.

. . .

Christopher membuka matanya, ruangan itu gelap dan panas. Tapi angin menghampiri dirinya dengan malu-malu dari sisi kiri membelai pipinya yang gembul. "Mati lampu,"  kata ayah sambil mengipaskan Christopher dengan koran. "Sudah, tidur lagi sana," ayah terus mengipasinya sambil mengelus rambut Christopher. Jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Mata Christopher terasa sangat berat dan badannya sangat lelah. Ia telah berjalan-jalan dengan ayah selama yang dia bisa sejak matahari terbenam. Rindunya terobati.

Hari itu berlalu sangat cepat. Christopher menghabiskan waktu dengan dua orang yang telah memberikannya kehidupan. Mungkin waktu terlalu mahal atau mungkin terlalu egois untuk berbagi bersama Christopher yang tak akan pernah bisa menghabiskannya dengan dua orang itu secara bersamaan lagi. Tapi Christopher tahu dan menyadari keadaannya, mereka terpisah dengan dua dunia yang sangat berbeda. Jika Christopher semakin mendekat di antara salah satunya, maka yang lain akan menjauh. Begitu sulit, rumit, namun memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai waktu, perhatian, dan kasih sayang.

14/06/13

The Best You Can Get

I don't know, since last night I felt very 'arrogant' with myself. I felt my body was wrapped in gold from head to toe. Ever since I set foot in the land of my birth, I never stopped smiling imagining the world and the future.

Yes, I am very proud to bring the symbol of ivory colored petals on my back and on my chest. I'm very proud of the gift God gave me: my face, my brain, and my family. But I know my journey is not over, it's only half of the journey. The rest I need to finish by running, sweating. Alone? Maybe. You may not be there for me until the finish line.

Yes, I know I have many flaws. But you also have to admit that I'm the best that you can get until now. I'm complete. I am a special package that you never imagined.

13/06/13

Rumah

Aku akan selalu ingat bagaimana kalian menyapaku setiap pulang sekolah, setiap pulang dari bermain, ataupun setiap pulang dari melarikan diri. Pintu putih itu akan selalu sama berdiri disitu, di tempat yang tak satu manusia pun akan kuizinkan untuk memindahkannya. Jamku telah menunjukkan pukul empat pagi ketika aku sampai pada titik merenungi tujuh tahun kehidupanku di sini. Aku rasa ini akan menjadi sapaan terakhirku.

Tak akan lama lagi kursi-kursi itu akan berpindah. Lemari-lemari itu, buku-buku itu, kasur-kasur itu, meja-meja itu, dan jiwa-jiwa para penghuninya juga akan berpindah. Aku rasa aku telah sampai pada titik puncak kelelahanku. Melihat sekali lagi memori itu berputar di otakku sembari memainkan sedikit lagu melankolis di hati rasanya tak kuat jiwa ini. Tapi jika tak begitu, aku tak akan bergerak dari sini.

Rasanya aku akan memasuki babak baru dalam hidup. Tapi aku tak mau hidupku seperti rangkaian film "Failure to Launch", aku ingin rumahku sendiri dimana aku dapat merenung, dimana aku dapat hidup. Waktuku cepat atau lambat akan tiba, begitu juga waktumu, dan kamu.

Aku tak ingin kamar baru, Ayah. Aku tak ingin ruang baca baru ataupun taman baru yang bisa kita gunakan untuk menghabiskan waktu bersama. Aku tak ingin membangunkanmu di kala aku harus lembur meneruskan malam yang singkat. Aku tak akan ada di dekatmu untuk selamanya. Rasanya kau mengerti itu, kau hanya inginkan yang terbaik bagi kami. Tapi aku tak bisa. Cukup sudah aku membebanimu. Untuk tahun depan dan kedepannya lagi, aku akan sering bermain ke "rumah". Tempatmu, Ibu, dan Adik menghabiskan waktu merajut mimpi.

04/06/13

Kisah Yorlov dan Novacech

Malam ini aku teringat kisah dari seorang teman, mengenai dua orang penulis yang tinggal dalam satu apartemen, sebut saja Yorlov dan Novacech. Singkat cerita mereka berdua adalah penulis ternama satu genre yang sama di kota yang mereka tinggali. Saban hari mereka sibuk dengan rutinitas masing-masing sampai-sampai tidak pernah berbicara satu sama lain. Ya, maksimal hanya tegur sapa.

Suatu hari Yorlov diundang untuk acara bedah buku karyanya sendiri di suatu universitas. Seorang mahasiswa bertanya, "Tuan, apakah benar Anda tinggal satu atap dengan penulis ternama Tuan Novacech?".  Dengan wajah serius Yorlov menjawab, "Ya, kenapa?". Ternyata si mahasiswa ini ingin bertanya mengenai kritikan Yorlov terhadap karya-karya Novacech. Tanpa ragu Yorlov langsung menghantam mahasiswa itu dengan segala kritikan yang selama ini telah dia simpan untuk karya-karya Novacech. Di waktu dan tempat yang berbeda, Novacech juga menghadiri acara bedah buku karyanya dan hal yang sama terjadi. Kritikan-kritikan pedas untuk karya-karya Yorlov tertumpahkan saat itu juga.

Berita menyebar mengenai kritikan-kritikan yang dilemparkan oleh keduanya untuk masing-masing. Kemudian apa yang terjadi? Yorlov dan Novacech meningkatkan intensitas interaksi mereka berdua. Jika Yorlov memiliki makanan lebih, maka dia akan menaruh di meja dapur dan memberikan memo untuk Novacech, "Ambil saja". Begitu juga sebaliknya. Ada perasaan menghargai yang sangat dalam tumbuh di diri keduanya. Siapa yang sangka kritikan-kritikan yang tak pernah secara langsung terlontarkan dapat mengakrabkan mereka?

Meskipun demikian, kisah ini tak berakhir bahagia. Mereka terus melakukan interaksi seperti itu hingga akhir hayat keduanya. Maklum, penulis zaman itu memang sedang tren tidak membangun keluarga (menikah dan punya anak) tetapi lebih memilih hidup sendiri. Tapi yang terindah adalah ketika keduanya saling bertukar kata pengantar untuk karya terakhir mereka, mereka saling jujur untuk memberikan penghargaan dan pengaguman satu sama lain.

Aku tak ingin itu terjadi dalam hidupku. Aku ingin kau tahu bahwa aku mengagumimu. Aku bersyukur bisa bertemu denganmu karena aku bisa belajar banyak darimu. Baik dari kelebihanmu ataupun kekuranganmu. Kita telah melalui masa-masa yang menyenangkan (meskipun tidak semuanya) kendati kita berbeda pandangan. Kita telah mengambil jalan yang berbeda, saling bertentangan namun memegang semangat yang sama, semangat kekeluargaan. Semangat yang mungkin belum kita turunkan untuk penerus kita. Terima kasih, semoga langkah hidupmu terus diwarnai oleh kebaikan yang kau anut. :)

01/06/13

Sapaan Terakhir

"Pulanglah," suaranya melemah di telepon.
"Ya, aku akan pulang," jawabku terdiam sejenak.

Baru beberapa hari aku kembali ke tanah rantau ini, di negeri orang, aku telah mendapatkan sebuah kabar buruk yang tak pernah sedetik pun terlintas di bayanganku. Janjiku harus aku penuhi, janji yang sebenarnya tak pernah terucap, namun sudah terlanjur terpati di hati. Bukankah janji yang tak pernah terucap adalah janji yang tak akan pernah terlanggar?

. . .

"Jika kau harus memilih antara meneruskan karirmu yang saat itu juga mempromosikanmu atau pulang untuk menemui keluargamu yang sedang sakit parah, kau akan memilih yang mana?" tanyanya kepadaku.
"Aku akan pulang," jawabku sambil menghirup cerutuku.

Saat itu malam terasa sangat dingin. Padahal kami berada di dalam kafe dan tepat di depan perapian. Sepertinya alam mencatat kata-kataku dan menugaskan angin malam agar lebih dingin kali ini sebagai balasan atas kata-kataku.

"Sepupuku tak berpikir seperti itu. Dia memilih untuk melanjutkan studinya di Belgia ketimbang menghabiskan waktu di sisi pamanku yang sakit parah," dia lanjut bercerita kepadaku.
"Bagiku tak masalah, setiap orang punya prioritasnya masing-masing kan?" balasku memandang buku Machiavelli miliknya diatas meja kayu bundar tempat kami berbicara.
"Benar, kita juga tidak punya hak untuk memaksa alur kehidupan seseorang," katanya menutup perbincangan kami.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul satu malam. Sudah tiga jam kami habiskan waktu untuk berbincang-bincang. Christopher adalah pria berkewarganegaraan Inggris berlatarbelakang keluarga kerajaan. Sayang, keluarga besarnya tak seharmonis yang sering dibayangkan oleh orang-orang. Semua orang menyimpan ceritanya sendiri-sendiri. 

Tak pernah terpikir olehku untuk dapat berbicara kepadanya lima tahun yang lalu. Jika aku tidak memutuskan untuk kuliah, mungkin aku masih akan terjebak di negeri khatulistiwa. Masa depan memang tidak ada yang tahu. Mungkin di satu sisi pilihanku benar, tapi mungkin di sisi yang lain berakibat sebaliknya.

. . .

Aku memesan tiket pesawat secepat mungkin. Menelpon bosku untuk meminta izin dan meminta teman-temanku untuk menggantikan posisiku beberapa hari ke depan. Waktu kembali terasa bergulir sangat cepat, aku mengemas barang-barangku seadanya, dan pergi ke bandara. Pikiranku kosong, hujan mengisinya dengan suara rintikan.

Ternyata sapaan terakhir yang kudengar darinya adalah melalui telepon itu. Selamat jalan, terima kasih untuk kehidupan yang telah kau berikan.

Stay strong, my friend!