22/12/13

Kata

Kata, adalah anugerah Tuhan dan kesepakatan manusia atas kesepemahaman. Kata, memberi ruang dan membatasi dimensi. Menenggelamkan eksistensi, mencurinya, kemudian hilang dalam gelap esensi. Kata telah menguntungkan sekaligus merugikan kita. Atas definisi-definisi yang tidak seberapa. Atas pembatasan dan reduksi esensi. Atas segala perasaan dan kenikmatan yang tak terlukiskan. 

Oleh kata kita terpenjara sekaligus dibebaskan. Oleh makna-makna yang disepakati bersama kita mengenal dunia. Hanya mereka yang memahami ini yang bisa merangkai kata, tepat di mana mereka seharusnya berada. Menjadikannya sebuah simpul harmoni, bernada, dan melantunkan keindahan. Tapi yang paling berbahaya adalah kata mampu memanipulasi hati manusia. Menggugahnya, membuatnya meronta-ronta, atau bahkan membuatnya kecil dan menangis.

Aku adalah budak kata yang candu melalui tulisan-tulisan yang tertoreh dalam tinta di atas kertas. Menagih janji atas kenikmatan dari kesepakatan bersama melalui buku-buku yang indah. Dibuat oleh para perangkai kata.

14/12/13

Arti Dewasa

Sekitar seminggu yang lalu saya membaca tweet mas Ulil tentang jengukannya terhadap mantan Menteri Pemuda dan Olahraga kita, Andi Mallarangeng. Di tweet tersebut mas Ulil memberikan link terhadap tulisan Andi yang ke-6. Andi memiliki kebiasaan yang unik di balik jeruji besi sebagai tahanan KPK, yaitu menulis. Tulisannya yang ke-6 menarik hati saya karena beliau menulis hal yang tidak biasa menjadi perhatian seorang politisi, apalagi tahanan kasus korupsi. Tulisan beliau berjudul "Konsep 'Dewasa' Ternyata Agak Rumit". Seperti yang tertulis dalam judul, tentunya beliau berbicara mengenai konsep dewasa di dalam tulisannya. Bagaimana masyarakat Indonesia memahami arti kata 'dewasa' dipandu oleh UU serta melihatnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan politik dan sosial negara kita.

Apa sebenarnya arti dewasa? Bukan itu sebenarnya yang mau saya bahas di kesempatan kali ini. Untuk detail yang lebih jauh Anda bisa mencermati tulisan Andi atau mencari maknanya menurut setiap bidang (biologi, politik, ataupun psikologi) atau berdasarkan atas pengalaman Anda pribadi. Ya, pengalaman pribadi. Itu sebenarnya yang mau saya bahas kali ini. Pengalaman pribadi saya mengenai konsep kedewasaan. Seperti apa sebenarnya orang-orang dekat saya melihat sisi kedewasaan saya.

Orang Tua
Siapa lagi yang lebih dekat dengan kita ketimbang orang tua? Bagi beberapa orang yang memiliki kasus khusus mungkin bisa menyangkalnya. Tapi saya yakin kebanyakan dari kita sangat dekat dengan orang tua kita. Saya akan memulainya dengan sebuah pertanyaan yang simpel, "Pernahkah Anda dikatakan dewasa oleh orang tua Anda?". Jawaban saya, tidak.

Orang tua kita (saya khususnya) adalah orang-orang yang selalu menuntut yang terbaik dari kita. Saya tidak pernah terlihat baik bagi mereka, termasuk melihat saya sebagai orang yang benar-benar sudah dewasa. Tapi saya tahu itu adalah cara mereka untuk terus menggali apa yang terbaik dari saya. Mereka berusaha untuk memacu saya dengan cara yang terkadang tidak saya sukai, yakni membanding-bandingkan saya dengan orang lain. Apakah Anda juga sering dapat perlakuan seperti itu?

Yang menjadi celah unik dari orang tua kita adalah mereka akan selalu melihat kita sebagai anak mereka yang masih kecil. Yang masih memerlukan bimbingan, nasehat, kasih sayang, dan tak jarang memanjakan kita. Bagi saya, ini adalah hal yang sangat positif di tengah derasnya tuntutan profesionalisme dalam segala bidang. Orang tua adalah tempat yang palik baik bagi kita untuk meminta pujian di saat kita membutuhkannya, selimut yang hangat untuk kita tidur di kamar, memasakkan kita makanan rumah, atau bahkan perhatian kecil seperti menanyakan bagaimana kabar kita setiap bulan.

Jawaban saya atas pertanyaan diatas masih sangat mungkin untuk disangkal atau bahkan saya sendiri masih meragukannya. Orang tua kita mungkin memang tidak pernah mengatakannya secara langsung bahwa kita sudah dewasa, namun perilaku mereka sebenarnya mengatakannya secara langsung. Sebagai contoh, adalah keputusan yang sangat berat untuk orang tua mempertimbangkan dimana anaknya akan kuliah kelak. Apakah dekat dengan rumah, di luar kota, atau bahkan di luar negeri. Setiap jarak memberikan makna kebebasan serta beban tanggung jawab yang lebih berat. Saya selalu merasa beruntung untuk bisa merantau dalam jenjang pendidikan kuliah saya. Dengan menjadi anak kos, saya bisa berusaha untuk lebih bertanggung jawab atas kehidupan saya sendiri. Mencari makan atau bahkan masak sendiri, mencuci baju (saya sih laundry), membersihkan kamar, menghabiskan waktu sendiri di kamar, mengerjakan tugas di luar kos/rumah, bekerja bagi yang mengalami kesulitan ekonomi, hingga menjaga hubungan dengan penghuni kos yang lain serta masyarakat sekitar adalah beberapa dinamika yang dirasakan anak-anak kos. Izin yang diberikan oleh orang tua kita untuk kita memilih/membuat keputusan kita sendiri terhadap tempat kita mengenyam pendidikan, atau takdir kita sendiri adalah pengakuan yang tak terbantahkan atas kedewasaan kita.

Teman
Teman kita, terutama yang sebaya, tentu juga memiliki penilaian mereka sendiri atas kedewasaan kita. Dengan melakukan banyak tindakan konyol saat bergaul atau melakukan kesalahan saat kita bekerja dalam tugas kelompok menentukan penilaian mereka atas kesan kedewasaan kita. Yang lainnya melihat sisi berbeda dari itu semua. Ada yang melihat kontribusi kita terhadap mereka, organisasi, diksi yang kita gunakan sehari-hari, hingga kebiasaan yang jarang kita tunjukkan di depan umum juga memiliki pengaruh tersendiri.

Kita dan teman-teman kita sering terjebak dalam koridor-koridor penilaian kedewasaan kita tadi. Kita jarang sekali dapat melihat seseorang sebagai satu-kesatuan konsep kedewasaan. Misal, ada teman saya yang jika bermain futsal/olahraga sangat serius dan kata teman-teman saya yang lain, aura kedewasaannya sangat terpancar. Tetapi saat melakukan tugas kelompok kami tahu bahwa dia tidak bisa diberikan tanggung jawab yang besar, sehingga hanya diberikan tugas yang mudah-mudah saja. Kita memiliki dua penilaian terhadap satu orang yang sama dengan melihat konsep kedewasaan dari koridor yang berbeda.

Kekasih
Kalo yang ini beda urusannya. Kekasih atau pacar adalah suatu hasil dari jalinan hubungan komunikasi yang intensif antar kedua insan manusia yang bersifat sangat privat. Jadi, setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda mengenai ini. Sedangkan saya, pernah bertanya bagaimana pacar saya melihat kedewasaan saya. Pada dasarnya jawabannya sama dengan teman. Kita masih sering terjebak oleh koridor penilaian kedewasaan. Namun, pola yang saya temukan agak sedikit berbeda di sini. Mungkin karena dipengaruhi oleh kedekatan, jarang sekali kita akan menemukan jawaban-jawaban yang negatif dan cenderung positif.

Namun terkadang, sifat ketidakdewasaan kita juga diperlukan dalam hubungan. Misalnya, spontanitas. Bagi saya, kegiatan yang spontan itu memang tidak bisa dibilang dewasa karena tidak terencana hitungan untung-ruginya. Tapi dalam suatu hubungan ternyata spontanitas, menurut saya, diperlukan sebagai penyegar. Kebosanan atas jalinan hubungan yang lama akan mematikan rasa di hati, dan spontanitas bisa menjadi solusi.

Pribadi
Saya sangat benci dibilang tidak dewasa atau masih kecil oleh orang lain. Sampai sekarang pun saya masih kesal jika orang tua saya yang mengucapkannya (meskipun sudah tidak pernah lagi pasca saya kuliah). Karena bagi saya, setuju dengan tulisan Andi, konsep kedewasaan adalah suatu hal yang rumit. Pengalaman-pengalaman yang telah kita lalui bisa saja mengkonfirmasi kita atas label dewasa, namun orang lain yang melihat kita dari koridor yang berbeda-beda tadi belum tentu berkesimpulan sama. Yang paling parah adalah ketika kita terjebak dalam stereotipe dan mulai menghakimi orang lain atas satu tindakan kecil.

Saya masih sering bertanya apakah konsistensi memiliki sangkut-pautnya dengan konsep kedewasaan. Karena saya pikir konsisten dengan ucapan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap kesan orang lain kepada kita. Seperti halnya menulis status di Facebook, Twitter, atau bahkan Line. Ketika kita menghapusnya, dimana letak konsistensi kita? Apakah itu artinya ketika kita menghapusnya, kita terlepas dari tanggung jawab kita atas apa yang telah kita tulis? Bagaimana jika orang lain sudah terlanjur membacanya? Yang lebih menarik lagi, apa alasan kita untuk menghapusnya? Apakah karena takut dibaca dan menerima kritikan? Atau kita takut harapan kita akan status kita yang kita tujukan untuk orang lain dibaca oleh orang itu sehingga membuat kita menjadi pengecut? Atau bagaimana?

Yah, saya mengakui saya juga sering melakukan itu terutama di Facebook. Alasan saya simpel, karena saya tidak mendapatkan "like", haha. Kalo memang tulisan saya itu ada yang salah ejaan dalam bahasa Indonesia atau Inggris, saya juga akan menghapusnya dan mengubahnya agar sesuai. Tapi ketika saya menuliskan status bersifat informasi atau opini dan ada orang menyangkalnya, saya akan mencoba untuk menjawab dan menerimanya sebagai kritik agar saya lebih berhati-hati, bukan dengan mencoba menyelesaikannya dengan menghapusnya. Karena itu saya sangat menghargai orang yang bertahan dikritik oleh banyak orang di statusnya, haha.

Jadi, kita kembali lagi, apa arti dewasa?

03/12/13

Menjadi "Garis Depan"

Sore yang mendung di langit Yogyakarta membawa saya ke puing-puing mimpi ditemani lembutnya selimut. Maksud hati mengistirahatkan kepala saya sejenak yang agak pusing, namun ternyata gagal dan membuat mata ini terus menatap acara di salah satu stasiun televisi. Apa boleh buat, sudah kadung terbawa suasana acara tersebut, jadi menontonnya hingga selesai.

Pada bulan September saya kembali ke tanah Jawa setelah menunaikan kewajiban saya kepada kampus. Belitung, tanah Laskar Pelangi menjadi tujuan saya untuk melaksanakan kegiatan KKN-PPM (Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat). Selama dua bulan saya menghabiskan waktu bersama masyarakat Belitung, tujuan sebenarnya adalah untuk membantu pembangunan daerah dengan pemanfaatan sumber daya mahasiswa bersama berintegrasi dengan masyarakat. Menciptakan kondisi mutualisme bagi keduanya, mahasiswa memantik semangat membangun masyarakat, dan masyarakat memberi pengalaman kepada mahasiswa. Meski pada akhirnya lebih berat yang kedua, saya rasa program kampus saya ini berhasil membuat saya, khususnya, mengerti sepersekian persen gambaran kehidupan masyarakat di daerah yang jauh dari perkembangan dan bagaimana sebenarnya sumber daya orang-orang terdidik itu sangat diperlukan di sana.

Garis Depan
Acara sebuah stasiun televisi yang saya tonton menceritakan tentang sebuah tim kesehatan yang dikirim ke sebuah daerah perbatasan terluar Indonesia dengan Papua New Guinea, bernama Semografi. Daerah yang jika saya tidak salah memiliki jumlah keluarga di bawah seratus ini sangat memperihatinkan. Bayangkan kehidupan tanpa pasokan listrik dan tiada akses komunikasi dan informasi. 

Tim kesehatan yang terdiri dari satu dokter dan beberapa perawat ini menempuh perjalanan selama delapan jam dari kota untuk menuju kampung Semografi. Melewati dua gunung dan 19 sungai, tim kesehatan ini sudah sangat cocok sekali menjadi anak buah Ninja Hatori. Perjuangan mereka diceritakan dan digambarkan sangat apik dalam acara tersebut.

Berbagai macam tantangan dihadapi oleh tim kesehatan ini. Dari permasalahan suplai obat-obatan yang hanya bisa minta diantarkan melalui jasa komunikasi militer setempat (via helikopter) atau harus ke kota yang notabene mengulang perjalanan Ninja Hatori mereka hingga masalah komunikasi dengan masyarakat setempat yang kurang menyadari pentingnya arti kesehatan. Penyakit yang diidap oleh masyarakat setempat didominasi oleh penyakit pernapasan akibat cara tradisional merokok (rokok terbuat dari tembakau yang dikeringkan kemudian digulung dengan tembakau, tanpa kertas, tanpa filter. Bayangkan seberapa beratnya daya rusak yang dihisap oleh mereka!) dan penyakit kulit akibat sistem sanitasi yang buruk serta kebiasaan membuang ludah dan sampah sembarangan.

Proses pemberian pengobatan benar-benar menjadi perhatian khusus saya dalam acara tersebut. Coba bayangkan, meskipun mereka sudah diberikan pengobatan gratis oleh tim kesehatan, masih saja banyak yang belum mengerti atau malah ngeyel. Kebiasaan hidup sehat dan bersih serta meminum obat-obatan masih menjadi hal yang asing bagi mereka. Ini dapat kita mengerti dengan melihat rendahnya tingkat pendidikan di sana. Disuruh minum obat tiga kali sehari sangat sulit, minum sehari satu kali saja sudah untung, itu jika tidak lupa.

Bupati daerah setempat yang mengerti akan kesulitan-kesulitan ini, untungnya, memiliki inisiatif yang sangat bagus dengan memberikan insentif kepada tim kesehatan tersebut berupa gaji sebesar 30 juta rupiah per bulan, bersih ditambah uang makan yang akan diberikan selama mereka di sana. Tapi tetap saja, apa gunanya uang di sana, wong gak ada tempat untuk menghabiskan uang atau sekedar berbelanja di sana.

Butuh Otak dan Niat
Saya sangat mengagumi orang-orang yang berani bekerja di daerah perbatasan. Mereka bukanlah orang sembarangan yang hanya punya niat baik. Orang-orang ini dituntut untuk memiliki ilmu serta pengetahuan lebih untuk bisa memahami kehidupan masyarakat setempat. Begitu juga halnya dengan niatan. Tanpa niat, daerah perbatasan hanyalah sebuah titik tak terlihat bagi mereka di peta Indonesia.

Saya mencoba melihat kembali pengalaman saya di tanah Laskar Pelangi. Program KKN-PPM yang saya jalankan selama dua bulan sepertinya belum ada apa-apanya dibandingkan orang-orang Garis Depan ini. Saya hanya baru melihat 1% kehidupan mereka dari kacamata seorang mahasiswa yang masih diberikan uang dan dijamin keselamatannya oleh orang tua dan kampus. Sedangkan orang-orang ini bertaruh nyawa dan (saya rasa) tidak memikirkan imbalan atau gaji mereka.

Sekarang ini memang sudah mulai tumbuh program-program sejenis yang mencoba memantik para pemuda maupun profesional untuk mengabdi kepada negeri di daerah-daerah perbatasan negara Indonesia. Namun tidak jarang saya temukan mereka yang tidak peduli, tidak tahu, dan bahkan menghindari hal-hal seperti ini. Saya pun kembali mempertanyakan diri kembali, apakah saya bagian dari mereka? Apakah kesadaran yang tumbuh ini selamanya hanya akan menjadi kesadaran tanpa tindakan? Saya masih ingat, saya dulu berniat untuk KKN-PPM di daerah perbatasan juga, tapi mungkin saya yang belum siap atau mungkin juga takdir punya jalannya sendiri, jadi saya berangkat ke Belitung kemarin.

Kemajuan Bangsa
Banyak dari kita (termasuk saya) terus mengeluh betapa lambannya bangsa kita ini berkembang, baik itu dalam bidang akademi, teknologi, bisnis, peradaban, maupun toleransi dan multikulturalisme, tanpa melakukan apa-apa bagi bangsa. Saya berakhir pada sebuah kesimpulan yang sangat menyakitkan saat selesai menonton acara tersebut, bagaimana bangsa kita ini bisa maju jika masih banyak daerah yang tertinggal? Bagaimana kita bisa berbicara masalah penjualan iPhone 5s jika di Semografi saja masyarakat belum tahu apa itu ponsel genggam? Lalu, apakah pantas kita iri dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, ataupun Korea Selatan yang memiliki wajah perkembangan teknologi maju, sedangkan masih banyak borok-borok bangsa ini yang perlu disembuhkan, diperhatikan, dimajukan? Ternyata perjalanan bangsa kita masih panjang ya.