31/12/14

Catatan Kecil Kantor: Batang Rokok Terakhir

"Sebats lagi ye, abis itu naik ke kantor,"
"Sebatang rokok lu sama juga dua batang rokok gue,"

Itulah kata-kata yang sering gue lontarkan ke Aldo dan dibalas olehnya. Seorang teman, rekan kerja, suami bagi istrinya, bapak dari kedua anaknya, dan anak dari kedua orang tuanya. Enam bulan sudah gue kerja bareng dengan orang-orang luar biasa dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di ruangan yang sempit, para konsultan dan admin berbagi tugas, cerita, canda, dan tawa. Kita berbagi banyak suka dan duka dalam waktu yang singkat. I share wonderful times with you all guys.

Pertama kali masuk, gue bener-bener buta tentang dunia PR, dan gue ternyata gak sendirian. Empat konsultan, semua benar-benar murni tanpa pengalaman kerja di bidang PR. Kita belajar dan saling mengajari dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan bantuan para admin dan sekretaris yang seksi, kita berhasil menembus ruang dan waktu. Pernah satu waktu kita menginap di kantor karena mempersiapkan media kit untuk sebuah acara. Kita berbagi cerita dan kemudian saling memaki nasib.

Hari ini, tinggal gue yang tersisa di kantor. Sedikit cerita mungkin bisa kali ya gue tulis tentang kalian, biar everlasting, haha. 

. . .

Billy
Kita ketemu di ruang tunggu untuk interview bareng. Setelah berbincang sedikit, ternyata orang satu ini adalah orang aseli Jogja. Di balik perawakannya yang "laki", ternyata doi juga penggiat bisnis kulit yang cinta dengan dunia fashion. Well, Bil, we have common interest! Meski kemudian kita menemui jurang pemisah mengenai etika kerja, kita bisa mengatasinya dengan dialog. Memang orang satu ini menyebalkan sekali, tapi kalo mau mencari wejangan, he is the right guy to be asked. Semoga sukses dengan bisnis lu ya Bil!

Valen
Ah, ini sekretaris seksi kesukaan gue! Paras cantik dan sifat keibuannya bakalan everlasting di memori gue. Valen adalah pejuang terlama di kantor, dia sudah melewati dua generasi. Untung udah punya pacar, kalo belum bisa gue cariin pacar juga lu Len, haha. Valen adalah "ibu" kita di kantor. Pernah suatu waktu kita berantem cuma gara-gara kursi ketuker-tuker, dan dengan sigap Valen langsung nempelin nama kita di setiap kursi, wow. Valen berani menegur para konsultan yang nakal jarang isi absen dan menjadi penyelamat kita dari marabahaya para bos, muahahaha. VALEN I MISS YOU! CEPET-CEPET NIKAH YA BIAR PUNYA BABY!

Anisa
Anisa adalah orang paling menyebalkan yang pernah gue temui: batu, cerewet, dan ambekan. Anisa adalah seorang sarjana jurusan sejarah yang lulus dengan masa studi tiga tahun, TIGA TAHUN. Aseli Garut dan masih jomblo tidak membuatnya gentar merantau ke ibukota. Sering banget nih gue berantem sama Nisa, kadang untuk hal yang besar, dan kadang bahkan untuk hal yang kecil. Pernah gue tegur doi tentang sepatunya yang berserakan dan menimbulkan bau tak sedap di kantor, dan doi pun langsung marah seharian. Well, semoga kamu dapat apa yang kamu cari di Garut ya Nis.

Aldo
This guy is awesome! Orang yang super gaul, super lucu, dan super geblek ini adalah sahabat ngerokok gue. Doi ngajarin banyak banget hal yang gak bisa gue temuin di buku-buku. Dari hal yang waras sampe yang gak waras. Apalah artinya kantor tanpa lu Do. Aldo adalah gerbang gue menuju dunia luar. Tanpa dia, gue gak akan kenal banyak orang di luar kantor. Meskipun begitu, doi adalah orang paling geblek karena kerjaannya gak pernah rapih dan secara segan pernah gue tegur. Perjalanan hidupnya adalah one of a kind, mungkin bisa lu bikin jadi novel Do, ahaha. Sukses selalu ye Do, buat acara segila mungkin!

Ivan
Ivan adalah sosok manusia gaib. Desain grafis yang sejatinya ahli foto ini jarang ngomong. Mukanya serius tapi bisa bikin sakit perut kalo udah bercanda. Ivan katanya pernah punya niatan nonjok gue, ahahaha. Orang ini sangat menolong dalam mempercantik proposal. Van, sepeninggalan lu, gak ada satupun proposal yang enak dilihat. Anyway, orang ini udah lama gak ada kabarnya. Semoga doi sukses selalu dalam menekuni passion-nya dalam fotografi. Inget, jangan kebanyakan foto cewe bugil Van.

Tia
Admin yang satu ini adalah wanita pendiam yang manis tapi ternyata juga bisa bercanda. Tia adalah orang yang kelihatannya sabar sekali. Kerjaannya selalu beres, kalo gue minta apa, beres. Support yang sangat didamba-dambakan. Kesukaannya makan mie dan yang pedes-pedes. Tia adalah pecinta lelaki berseragam, meskipun masih jomblo sampe sekarang, muahahahaha. Doaku padamu Ti, sukses selalu di tempat yang baru. Ayo diinget lagi bahasa Perancisnya, masa sarjana sastra Perancis kalah sama yang les baru dua bulan.

Yuni
Gue kenal Yuni sangat sebentar karena doi udah langsung keluar sebulan gue masuk. Yuni adalah admin yang, lagi-lagi, pendiam. Selain itu, tidak ada yang bisa dijelaskan.

Yeni
Yeah, I'm stuck in here with her. YOU GUYS HAPPY?!

. . .

Sekian yang bisa gue bagi. Tadinya gue mau mengemas tulisannya jadi sesuatu yang mellow, tapi the hell with that! Kenapa harus sedih kalo bisa happy? Semoga sukseslah kalian semua.

I have through a wonderful journey with you all. It was nice. It was......
priceless......



11/12/14

Ide Gila Mengabu-Abukan Minoritas

Kondisi geografis Indonesia membuat kita menjadi bangsa dengan ragam budaya yang sangat kaya. Sudah seharusnya kita menganut paham multikultur dan pluralisme. Namun perbedaan budaya yang muncul dan hadir di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita juga memiliki efek samping yang pastinya juga dirasakan oleh negara lain. Minoritas menjadi istilah umum yang kita dengar hampir setiap harinya, baik di media massa maupun di literatur akademik. Penanganan minoritas menjadi sangat penting mengingat kesamaan hak bagi setiap warga negara. Pemerintah dan lembaga pendidikan tidak pernah berhenti mencari akal untuk menanamkan multikultur dan pluralisme kepada setiap generasi muda bangsa Indonesia.

Permasalahannya adalah apakah kita sudah benar-benar mengerti apa yang dimaksud dengan istilah multikultur, pluralisme, ataupun minoritas? Kaum-kaum terdidik selalu memasukkan istilah-istilah ini ke dalam perbincangan mereka sehari-hari, cas cis cus membicarakan keadaan negara yang katanya memiliki lebih dari 100 ragam budaya ini. Kata-kata yang terungkap terkadang hanyalah kesombongan semata karena bisa membaca literatur dari bahasa lain atau sekedar bisa masuk ke universitas bergengsi di dalam maupun luar negeri. Kata-kata yang terlontar hanyalah sepintas kata tanpa makna.

Apa itu multikultur dan pluralisme? 
Saya akan memberikan contoh sederhana yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari. Kita datang ke sebuah tempat ibadah bersama teman kita yang berbeda agama. Ketika saya ingin beribadah kemudian ditanya oleh orang lain, "Mas, temennya ga ikut ibadah juga?", lalu saya menjawab, "Oh, dia agamanya beda, mas," itu disebut multikultur. Ketika orang itu tahu bahwa teman saya berbeda agama, dia tidak memaksa teman saya untuk beribadah dengan caranya, maka itu disebut pluralisme. Multikultur adalah sebuah pengakuan terhadap perbedaan orang lain. Bahwa "mereka" berbeda dengan "kita". Namun multikultur tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pluralisme. Pluralisme sendiri memiliki makna sebagai penghargaan atas adanya perbedaan. Multikultur tanpa adanya pluralisme hanya menciptakan perdamaian semu antara etnis, ras, ataupun pemeluk agama yang berbeda. Di tengah-tengah itulah lahir toleransi.

Kembali ke permasalahan minoritas, masyarakat Indonesia pada umumnya hanya mengenal minoritas dalam arti kuantitas atau jumlah, padahal arti minoritas lebih luas dari itu. Minoritas bisa berarti sekelompok individu yang tidak memiliki hak yang sama dengan yang lain, ada represi, atau tekanan yang berlebih kepada mereka, hanya karena mereka berbeda. Selama ini pembahasan minoritas di Indonesia berputar di isu orang-orang "Cina" dan orang-orang "Kristen". Sepertinya makna minoritas menjadi sesempit, "Minoritas itu ya Cina, minoritas itu ya Kristen". Sampai-sampai Presiden SBY melarang penggunaan kata-kata Cina dan menggantinya menjadi Tiongkok karena konotasi negatif yang melekat di kata Cina.

Mengabu-abukan Minoritas
Saya percaya bahwa seluruh lapisan masyarakat sudah berusaha begitu keras untuk menegakkan multikultur dan pluralisme. Sejak kita kecil kita diberitahu bahwa kita hidup dengan keberagaman budaya, kita diajarkan untuk menghargai perbedaan, namun apakah itu semua sudah cukup? Satu hal yang saya ingin sampaikan pada kesempatan ini sebenarnyan adalah sebuah ide, pendapat, opini gila yang terlintas di benak saya setiap kali mendengar kata minoritas. Saya melihat minoritas dari kacamata mayoritas selalu dari sisi multikultur dan pluralisme. Namun masih banyak sekali kejanggalan yang saya temukan dalam usaha saya meleburkan minoritas.

Apakah mengakui dan menghargai minoritas sebatas kewajiban bagi kita? Bahwa kita memberikan mereka ruang untuk berkembang tanpa ada usaha bagi kita untuk meleburkan mereka menjadi bagian dari kita? Kasus yang saya temukan dari "sekedar" mengakui dan menghargai minoritas adalah terciptanya eksklusivitas yang berlebih bagi mereka. Padahal, multikultur dan pluralisme hadir dengan harapan terciptanya toleransi. Toleransi itu sendiri memiliki banyak arti, dan pada akhirnya akan jatuh kepada choice (pilihan). Memberikan kebebasan memang merupakan tindakan yang paling romantis di kehidupan, maka dari itu pilihan tersebut harus tetap dijaga agar selalu ada, bukan hanya berujung kepada keterpaksaan.

Ketika ada dua perbedaan: A dan B, keduanya saling mengakui dan menghargai adanya perbedaan, yang terjadi memang penghilangan suatu sekat di antara keduanya, namun masih menyisakan batasan. Yang A tetap akan dengan yang A, yang B tetap akan dengan yang B, tidak boleh ada penyeberangan. Penyeberangan inilah yang saya coba modifikasi untuk menjadi satu leburan baru. Leburan A dan B, yakni C. Usaha untuk melebur keduanya inilah yang saya namakan mengabu-abukan minoritas. Bayangkan, sebuah komunitas, negara, tanpa adanya pengertian minoritas, ketika semua menjadi satu tanpa adanya batas keberagaman atau keberagaman yang membatasi, maka satu-kesatuan unity menjadi sempurna.

Saya tidak berusaha untuk mengaplikasikan kegilaan saya ini kepada orang lain, tapi saya hanya berusaha untuk tetap menghadirkan pilihan tersebut ada. Pilihan untuk tetap menjadi A, B, ataupun C harus terus dijaga. Dari situlah negara memegang peranan penting sebagi pemerintah, pengatur kehidupan masyarakat, sebagai penjaga pilihan.

08/12/14

Kenapa Harus Selalu Jokowi?

Malam itu sebuah acara di saluran televisi swasta sedang membahas mengenai pembebasan Pollycarpus selaku pihak pelaku dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Tidak lama kemudian pembahasan mengarah kepada bagaimana hukum "dimainkan" di Indonesia. Lagi-lagi, konklusinya berakhir di "Jokowi harus memperkuat institusi penegak hukum". Padahal banyak asisten Jokowi yang bisa melaksanakan tugas ini, Kapolri misalnya.

Selepas acara itu, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya adalah "mengapa harus selalu Jokowi?"

Saya jadi ingat beberapa waktu lalu ketika saya masih berada di Yogyakarta, saya sempat bertukar pikiran dengan seorang sahabat. Mengapa orang-orang Jakarta selalu menyalahkan kondisi Jakarta kepada Jokowi yang terlihat tidak melakukan perubahan di masa jabatannya sebagai Gubernur? Jika kita tarik kembali benang merah kondisi perkotaan di Indonesia, maka kita telah mendapatkan banyak suri tauladan yang baik seperti Walikota Surabaya dan Bandung, ibu Risma dan pak Ridwan Kamil. Dari sana kita bisa melihat bagaimana peran Walikota bisa merubah segalanya. Saya tidak pernah mendengar bagaimana orang-orang Bandung protes terhadap Gubernur Jabar, ataupun orang-orang Surabaya dengan Gubernur Jatim mereka. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah "apakah orang-orang Jakarta tidak tahu bahwa mereka memiliki Walikota?"

Sekarang Jokowi sudah menjadi seorang Presiden. Presidennya wong cilik, bukan keturunan pejabat, apalagi politisi handal. Jokowi hanya seorang pengusaha dari Solo yang sederhana kemudian dengan bantuan "keajaiban" bisa duduk di kursi orang nomer satu di Indonesia. Apa yang membuat Jokowi begitu berbeda? Mengapa Jokowi begitu fenomenal, dipuja tapi juga dibenci? Argumen saya simpel, karena dia dikenal sebagai orang yang mau mendengar dan mau merespon.

FoE dan FoR
"Dasar anak muda, kamu itu ngeyel terus," begitulah kira-kira bagaimana bos saya menghentikan ke-sok-tahuan saya di kantor. Sebagai anak muda yang masih berapi-api, saya begitu semangat meluapkan pengetahuan saya kendati tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Orang-orang yang pandai berbicara memang jelas memiliki kelebihan. Untuk dapat berbicara, membalas perbincangan dengan baik, kita harus memiliki apa yang disebut sebagai FoE dan FoR mengenai isu yang sedang diperbincangkan.

Apa itu FoE? FoE adalah Field of Experience yang jika dibahasa Indonesiakan berarti kumpulan pengalaman kita mengenai isu yang sedang diperbincangkan. Istilah "hormati yang tua" tidak lepas dari pembahasan FoE. Umur selalu diidentikkan dengan pengetahuan yang luas. Meski tidak selalu benar, tapi pengalaman memang tidak bisa disangkal merupakan guru terbaik. Umur tidak pernah berbohong dalam membahasakan pengalaman. Dengan keberagaman hidup yang dialami semua manusia, sebuah kemustahilan kita bisa mengetahui pengalaman apa saja yang sudah dilalui seseorang. Siapa yang tahu bahwa seorang Kyai Haji dulu pernah menjual narkoba atau sebaliknya, seorang pencuri yang ternyata hanya berusaha menghidupi anak dan istrinya?

Apa itu FoR? FoR adalah Field of Reference yang jika dibahasa Indonesiakan berarti kumpulan pengetahuan kita mengenai isu yang sedang diperbincangkan. "Buku adalah jendela dunia" katanya, dan itu benar seada-adanya. Hanya dengan membaca kita bisa mengetahui pengalaman puluhan tahun seseorang atau mengetahui hasil penelitian yang bisa memakan seumur hidup usia seseorang. Buku mengakselerasi pengalaman kita yang tadinya butuh waktu lama menjadi sangat singkat. Tentu benar adanya orang yang membaca banyak buku juga memiliki banyak pengetahuan layaknya pengalaman.

Ketika kita berbincang dengan seseorang, secara sadar maupun tidak sadar, kita pasti akan menggunakan salah satu atau keduanya. "Dulu gue pernah...," atau "dulu gue baca di buku ini...," sering terucap di bibir kita. Kita selalu berusaha untuk berbicara dengan dasar yang kuat, dan dasar itu kita dapatkan baik dari FoE maupun FoR yang tadi secara singkat saya jelaskan sebelumnya.

Semua Serba Jokowi
Lalu apa kaitannya dengan Jokowi? Mengacu kepada argumen saya, Jokowi adalah orang yang dipercaya sebagai seorang pendengar yang baik dan mau merespon informasi yang dia terima serta mengkombinasikannya dengan informasi yang dia miliki menjadi sebuah aksi. Kita pasti juga pernah bertemu dengan orang-orang seperti Jokowi, baik itu sahabat kita, keluarga, atau psikiater. Kita memerlukan orang-orang yang mau mendengarkan kita. Sekedar mendengar saja sudah senang, apalagi jika permintaan kita dikabulkan bukan? Bayangkan Anda sedang ingin sekali suatu barang, Anda ceritakan dengan pasangan Anda, kemudian suatu hari dia membelikannya untuk Anda. Senang bukan kepalang pastinya!

Kebanyakan politisi lupa bahwa mendengar adalah salah satu cara paling efektif untuk memperkuat FoE ataupun FoR kita. Jangankan politisi, saya pribadi sangat sulit untuk mendengarkan orang lain. Saya lebih suka berbicara, karena saya merasa paling tahu dan saya ingin orang lain mengikuti perkataan saya, bukannya membuat sebuah dialog yang kondusif untuk mencari jalan tengah yang dapat saling menguntungkan.

Saya acungkan keempat jempol saya untuk Jokowi karena tidak pernah lelah blusukan untuk hanya sekedar mendengar keluh kesah rakyatnya. Kita terlalu sibuk mencari orang untuk beraksi demi kita, tapi kita lupa bahwa orang itu tidak akan beraksi untuk kita jika ia tidak mau mendengarkan kita. Indonesia kekurangan pemimpin yang mau mendengar. Cukuplah sudah kita berteriak keras-keras memprotes ini dan itu. Sudahkah kita menjadi pendengar untuk lingkungan kita? Jika sudah, maka jadilah penggerak aksi, tidak usah menunggu orang lain apalagi pemerintah. Pemerintah sudah cukup banyak kerjaannya. Mari belajar jadi masyarakat mandiri.

Sebagai penutup, saya ingin menitip pesan baik untuk diri saya sendiri maupun untuk Anda, jadilah pendengar yang baik. Kita lebih dulu belajar mendengar sebelum belajar berbicara bukan?

26/10/14

Angin Musim Gugur

Malam itu Christopher memutuskan untuk pulang berjalan kaki ke flatnya dari kantor. Ia membutuhkan waktu untuk sendiri yang lebih panjang dari biasanya. Langkahnya lambat dan begitu lembut di atas trotoar yang masih agak ramai dilalui orang-orang. Bulan bersinar cukup terang, namun tak ada bintang. Musim gugur datang lebih cepat dari biasanya, membawa angin yang dingin untuk jiwa-jiwa yang kesepian. Daun yang kering berguguran, menimbulkan suara musik yang lirih di langkah kaki Christopher. Syalnya telah diikat dengan erat, bajunya berlapis tiga, tas kecil di pundak kanannya, dan kedua tangannya sibuk memeluk dua buku yang dipinjamkan oleh seorang sahabat.

"Apakah ini semua sepadan," gumamnya dengan pikiran yang tak tenang.

Beberapa bulan belakangan Christopher tidak bisa tidur dengan lelap. Pikirannya resah, dan hatinya gundah. Merekam kembali ingatannya hingga detik yang mungkin ia sesali sekarang ini: tentang pekerjaan, tentang cinta, dan tentang keluarga.

. . .

"Apakah kesendirian begitu hina, sahabatku?" tanya Christopher sambil menyeduh tehnya yang masih mengepulkan asap panas.

"Tidak, tidak hina. Ia hanya sebuah fase yang perlu kau lewati," jawab Anthony.

"Seringkali aku berpikir, apakah aku ini manusia beradab atau hanya manusia yang kesepian? Aku begitu ingin menghabiskan malam-malam dengan tangan-tangan yang lembut, kulit yang mulus, dan bibir yang manis, teman. Tapi aku memilih untuk tidur dengan selimut yang tak memiliki denyut,"

"Kau hanya 'menjadi' lelaki," Anthony tertawa, "tidak ada yang salah. Kita ini manusia yang beradab ketika kita mengerti kebutuhan kita dan tahu bagaimana memenuhinya sesuai dengan aturan yang ada. Kalo kau memilih jalan yang sepi, itu tidak salah. Tapi yang perlu kau pikirkan adalah apakah semua ini sepadan?"

Christopher terdiam.

"Kita masih muda Christopher, masih banyak hal di dunia ini yang belum pernah kita rasakan. Hematku, lakukanlah kesalahan! Untuk apa kita khawatir jika hidup lebih mengkhawatirkan dari yang kita kira?" Anthony menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia sepertinya mengerti bahwa sahabatnya perlu sedikit waktu untuk meresapi kata-katanya. Asap rokok keluar perlahan dari hidung dan mulutnya.

"Aku takut,"

"Takut adalah bagian dari hidup, sahabatku! Tapi yang sebenar-benarnya adalah ketakutan merupakan ilusi. Kau takut kehilangan dirinya sekarang? Apa kau pernah berpikir bisa bertemu dengannya kembali? Prosesnya memang akan sangat menyakitkan. Tapi pembelajaran memang seberat itu, sahabat," Anthony kembali menghisap rokoknya. "Jika aku boleh berkomentar, ketakutanmu sekarang hanyalah menimbang apakah semua ini akan berakhir bahagia. Tapi sahabat, tidak pernah ada yang benar-benar berakhir bahagia. Kebahagiaan adalah sebuah proses, bukan tujuan. Kematian adalah akhir dari semua kehidupan. Tak ada yang lebih menyakitkan dari itu. Orang bilang hidup adalah sebuah kebohongan besar yang indah, sedangkan kematian adalah sebuah kebenaran yang menyakitkan. Kau pilih percaya yang mana? Apakah kau memilih untuk terus hidup dalam kebohongan yang indah? Atau hidup dalam kebenaran yang menyakitkan?"

Christopher mengambil rokok dari sakunya. Sejak kuliah ia begitu sering menghisap tembakau. Rokok menjadi bagian dari hidupnya yang kelam. Yang telah mengajarkannya banyak hal, mempertemukannya dengan banyak orang, dan menjadikannya begitu naif. Ia menyalakannya dan menghisapnya penuh hikmat. Rokok telah memberikan kenikmatan di saat otaknya berputar begitu cepat atau saat hatinya berdegup kencang.

"Aku tak tahu harus mendengarkan jiwa atau ragaku Anthony. Kau juga tahu bagaimana aku memandang hidup ini. Sejak kita bertemu, kita lewati banyak hal bersama yang membuatku tersadarkan oleh satu hal. Semua begitu pragmatis. Orang-orang begitu oportunis. Dan aku sama sekali tidak keberatan dicap sebagai salah satunya. Aku sudah lelah dipandang sebelah mata. Dan jika ada celah, mungkin aku akan mengambilnya,"

"Hati-hati sahabatku, kata-katamu terlalu berani, aku takut kau tersayat olehnya nanti. Menjadi pragmatis lagi-lagi adalah sebuah pilihan. Pilihan yang cenderung berat ke sisi rasionalitas untung dan rugi. Aku mengenalmu cukup lama, dan kau adalah orang yang tidak konsisten. Kau bisa berubah pikiran begitu cepat, dan bahayanya kau juga bisa merubah orang lain untuk mengikutimu. Aku takut kau akan menyesal, bukan hanya kau, tapi kita, ya kita. Kita tidak boleh menyesal,"

Malam itu mereka habiskan untuk berbicara banyak hal. Anthony menepati janjinya untuk meminjamkan dua buku miliknya kepada Christopher.

. . .

Tahun depan ia harus ke rumah orang tuanya. Ada sebuah acara penting yang harus didatanginya. Kakaknya akan menikah, tapi Christopher tidak punya siapa-siapa untuk mendampinginya menghadiri acara tersebut. Lagi-lagi, ia akan menjadi lelaki yang kesepian. Menjadi bahan candaan di tengah keluarga besarnya yang naif dan tidak akan pernah mengerti pertarungan yang ia hadapi dalam hidupnya.

Ia mendamba wanita yang begitu berbeda, yang begitu jauh. Saat yang dekat semakin mendekat, hatinya menjadi ragu. Apakah penantian dan kesepiannya akan sepadan? Sebagaimana malam yang semakin dingin, tangan dan hati Christopher juga menjadi dingin. Dan ia tahu, tak ada yang akan menghangatkannya malam ini.

25/09/14

Mengenal Etos Kerja Negara Maju

Awalnya saya membaca postingan seorang teman di Path, kemudian saya gatal untuk berbagi pengalaman dengan Anda-Anda yang setia membaca blog ini. Seorang teman yang memulai program exchange-nya sekitar enam bulan yang lalu memposting pengalamannya di negeri asal Doraemon.


Saya ingin berbagi sebuah pengalaman berharga terkait etos kerja yang baru-baru saja saya alami. Dimulai saat awal bulan Agustus lalu, saya diberikan tugas menjadi salah satu supporting team untuk sebuah klien internasional. Saya dipercaya untuk menjadi PR Event Coordinator oleh atasan saya. 

"Why?"
Beberapa hari berlangsung, Project Manager (PM) untuk sang klien tidak masuk pada hari itu. Alhasil, saya yang harus meneruskan pekerjaannya untuk berhubungan dengan klien. Ternyata saat itu sedang ada perdebatan mengenai rencana event yang akan dilaksanakan pada bulan September dan saya diminta oleh atasan untuk mencari solusi atas perdebatan tersebut.

Perdebatan terjadi mengenai jumlah pembicara yang akan hadir di acara tersebut. Hal yang sepele bukan? Tapi tidak bagi mereka. Setelah saya pelajari perdebatan tersebut, ada perbedaan pendapat antara sang PM dan sang klien. Klien percaya bahwa satu pembicara sudah cukup untuk mengisi acara yang rencananya akan berdurasi 2 jam itu. Namun, sang PM tidak sepemikiran dengan hal tersebut. Saya memahami pemikiran sang PM yang menyatakan bahwa it is unusual to have a single speaker in a such big event. Akhirnya saya mencoba memberikan penjelasan-penjelasan untuk membuat klien memahami jalan pemikiran PM dan saya.

Ternyata hal tersebut cukup sulit untuk dilakukan bagi saya, karena hal pertama yang akan selalu mereka ucapkan setelah saya memberikan penjelasan adalah "why?". Yang unik dan sering luput dari kita (termasuk saya) adalah hal-hal kecil yang detail. Orang-orang ini membawanya ke tingkat yang lebih tinggi, yakni mengusahakan semuanya agar rasional, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan ke depannya. Setelah sekitar beberapa jam saya memberikan penjelasan serta contoh-contoh yang memperkuat argumen saya, akhirnya muncul e-mail ini:



Semakin Detail, Semakin Baik
Setelah kejadian tersebut, saya mulai di-recognize oleh sang klien. Saya yang sebelumnya pasif karena job desc saya hanya menjalankan event, menjadi aktif memberikan pendapat saat ditanyai oleh klien, atasan, dan juga PM. Hingga akhirnya saya diajak untuk makan malam oleh atasan dan PM bersama dengan klien. Hubungan kami menjadi sangat akrab sampai datang saat-saat saya menjalankan fungsi PR Event Coordinator.

H-7 sang klien mengutus perwakilannya ke Jakarta untuk membantu saya merealisasikan rencana yang dibuat sebulan lalu. Seperti yang saya bilang sebelumnya, orang-orang ini sangat detail dan sangat kepo. Mereka mempertanyakan ini dan itu, mengapa, dan bagaimana selanjutnya. Dalam satu hari kami bisa merevisi rancangan hingga tujuh kali dan semua itu harus dibayar mahal dengan waktu. Saya dan tim harus menginap di kantor untuk mempersiapkan semuanya, dan hebatnya perwakilan mereka, meskipun tidak menginap, juga ikut bekerja hingga larut malam.

Apresiasi Itu Penting!
Acara berjalan dengan lancar, meskipun ada satu dua hal yang mengganggu akibat perbedaan bahasa. Semua terbayar lunas oleh senyum manis sang klien dan juga e-mail ini:


Setelah acara berakhir, saya belum bertemu dengan sang klien maupun perwakilannya yang sangat kooperatif dalam bekerjasama menjalankan acara. Satu hal yang selalu saya perhatikan dan jarang sekali saya temukan di etos kerja orang-orang Indonesia, yakni masalah apresiasi. Meskipun cara kerja orang-orang ini agak sedikit menyusahkan karena selalu meminta sesuatu hingga sangat detail, mereka akan selalu mengakhirinya dengan kalimat atau kata-kata apresiasi. Dan hal itu benar-benar membayar lunas semua jerih payah yang sudah saya dan tim lakukan.

P.S:
1. Sensor dilakukan untuk menjaga kerahasiaan.
2. Cerita lebih lengkap bisa tanya/ngobrol langsung.
3. Bonus e-mail terakhir (mereka sangat detail):


07/09/14

Menjadi Manusia di Atas 10 Juta Rupiah

"Kalo kamu masuk ke sebuah ruangan dan kamu merasa kamu adalah yang paling pintar, maka kamu berada di ruangan yang salah,"

Setelah beberapa minggu yang lalu saya bertemu dengan seorang senior yang menjadi role-model bagi saya, dua malam terakhir ini saya bertemu dengan dua orang luar biasa yang memberikan saya semangat dan tujuan hidup baru. Dua sahabat yang dulu secara tidak disengaja dipertemukan oleh Tuhan kepada saya. Dan ajaibnya, mereka semua dari almamater yang sama. Betapa bersyukurnya saya dapat kuliah di Yogyakarta.

Semenjak hengkang dari tanah Sultan, ibukota merubah pandangan hidup saya 180 derajat. Saya menjadi begitu pragmatis dan materialistis. Saya selalu mengejar apa yang tak akan pernah selesai. Dan sayangnya, it consumes me. Mulai dari rasa simpati dan juga empati yang berkurang sedikit demi sedikit, hingga depresi yang tidak berkesudahan.

"Tidak pernah ada the way. Yang ada adalah my way and your way. Semua orang punya jalannya sendiri-sendiri, kawan. Yang penting jangan pernah berhenti."

Saya (bersyukur) bukan tipe orang yang mudah merasa puas. Selalu saja ada keinginan, target-target, impian, yang ingin dicapai. Dan terkadang itu tidak murni datang karena niatan yang baik. Salah satu 'racun' yang sedang mengkontaminasi saya saat ini adalah rasa iri. Saya begitu terintimidasi (secara tidak langsung) dengan keadaan finansial orang-orang luar biasa ini. Saya merasa begitu kecil, dan menyadari bahwa saya membuang begitu banyak waktu ketika masih berstatus mahasiswa dulu. Kenapa saya bisa begitu 'berbeda' dari mereka yang memulai semuanya dari tempat yang sama dengan saya? Dan setelah berbincang dengan ketiganya, akhirnya saya menemukan jawabannya.

Hidup adalah kerja keras. Mereka yang saya temui merupakan pekerja keras luar biasa yang tak henti-hentinya belajar untuk berkembang. Mereka adalah manusia-manusia yang menyadari bakat serta passion mereka. Dan (bagi saya) sayangnya, mereka sudah mengetahui itu semenjak mereka masih duduk di tempat yang juga menjadi tempat saya mengenyam pendidikan tinggi.

First rule: Language
Aturan pertama untuk menjadi manusia di atas 10 juta rupiah, pastinya, adalah bahasa. Percayalah, bahasa Inggris bukan lagi menjadi 'kelebihan' namun menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa dihindari untuk masuk ke sebuah institusi bergengsi dengan kaliber internasional. Saya yang merasa begitu sombong karena sudah merasa sudah cukup bisa untuk berbahasa Inggris, menemui karma. Cukup bisa bukan minimum requirement lagi untuk dapat mengantarkan kita ke pintu depan institusi impian kita bekerja, tapi fluently. Ini adalah hal yang saya kurang tanggapi dengan serius dulu.

Mulailah belajar untuk bisa berbahasa Inggris dengan lancar, tidak gagap, dengan grammar yang baik dan sopan (tidak kasar). Membaca dan menulis kalimat atau laporan dalam bahasa Inggris tanpa bantuan kamus, google translate, ataupun aplikasi kamus lain, adalah suatu keharusan. Atasan atau klien tidak punya waktu dan tidak akan pernah menerima alasan apapun untuk keterlambatan laporan atau hasil kerja. Efisiensi waktu adalah segalanya dalam dunia kerja.

Second rule: Skill & Passion
Skill and passion? Kenapa keduanya tidak terpisahkan? Karena keduanya saling berhubungan dan saling menguatkan. Ketika kita telah menemukan passion kita, maka ada skill yang akan terasah setiap kali kita melakukan passion kita. Sangat bijaksana untuk menentukan passion dan commit melakukannya sedini mungkin.

Yang paling krusial dari dunia kerja adalah they didn't give a shit with our GPA or academic achievements. What they want to see and hear is you now, not you in the past. IPK dan prestasi seminar-seminar ataupun lomba hanya akan mengantar kamu ke pintu depan institusi. Yang mereka inginkan adalah dampak apa yang semua itu berikan terhadap kepribadian kita.

Third rule: Experience
Pengalaman adalah guru terbaik, dan itu benar secara mutlak. Pengalaman adalah apa yang bisa kita jual. Dan pengalamanlah yang membentuk kepribadian kita. Tapi dari itu semua, adalah pengalaman yang mementukan rasionalitas, cara berpikir, cara pandang, dan juga membuka wawasan kita. Di sinilah sebenarnya inti dari penghakiman atas nilai dari seseorang.

Dari ketiga rules yang saya bicarakan ini, adalah pengalaman yang paling sulit untuk dibentuk. Karena ia bergantung terhadap kepribadian dan keberanian seseorang dalam mengambil keputusan. Masa lalu tidak akan pernah bisa diubah, karena itu ia tak ternilai. Yang terpenting dari itu semua adalah untuk tidak menyesalinya dan siap memperbaiki atau mengembangkannya di masa depan. Satu pola sama yang saya lihat dari orang-orang ini adalah keberanian mereka untuk keluar dari comfort zone mereka. Dan itu sangat membentuk kepribadian mereka, yang tentunya, menjadi lebih baik.

Sebenarnya hanya ada tiga rules ini yang saya temukan dari orang-orang luar biasa ini. Keinginan dan motivasi mereka beragam dalam mencari dan menempati posisi mereka sekarang. Untuk mengetahui siapa jati diri kita, memang hati nuranilah yang bertugas dan bertanggung jawab. Tapi jika ada satu lagi rules yang bisa ditambahkan, maka saya akan memilih Count Your Blessings. Kehidupan manusia tidak akan pernah terpuaskan. Seberapapun hebatnya kita, akan selalu ada yang lebih hebat. Dan kita akan selalu merasa iri terhadap sesuatu yang lebih baik. Tapi semua itu adalah hal yang wajar dan normal. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, maka bersyukurlah.

We all have choices.

12/08/14

Tidak Ada yang "Salah" dengan Pekerjaan Pertama

Malam itu Mampang Prapatan dipadati oleh mobil-mobil yang berisikan orang-orang yang pulang kerja. Saya berada di dalam taksi menuju sebuah restoran milik seorang senior sambil mendengar ceramah agama sang sopir taksi. Cahaya yang tercipta oleh lampu-lampu mobil-mobil mewah, angkutan umum, lampu jalanan, dan gedung-gedung pencakar langit menjadi suatu lukisan indah yang sulit dilupakan bagi mereka yang pernah berada di tengah sibuknya kota Jakarta. Terkadang betapa sulitnya kita bersyukur atas nikmat-Nya meski semudah melihat nuansa kota melalui jendela kecil taksi berwarna biru.

"Tidak ada yang salah dengan pekerjaan pertama," katanya di tengah perbincangan kami. Seorang kakak, guru, mentor, atau saya lebih suka memandangnya sebagai seorang figur, role model untuk anak muda bau kencur yang belum tahu apa-apa tentang dunia kerja. Tiga jam berlalu begitu saja, saya tenggelam dalam pembicaraan kami akan pekerjaan kami yang berada dalam satu bidang, dan restoran itu tetap ramai dengan orang-orang yang juga tenggelam dalam entah apa yang ada di tiap-tiap pikiran mereka.

Jujur saya selalu merasa minder apabila pertanyaan mengenai "gaji" muncul di antara saya dan teman-teman saya yang sudah atau setidaknya sedang mengenyam pendidikan yang katanya disebut-sebut sebagai kampus kerakyatan. Dengan melihat kakak-kakak kami yang lulus dan mendapat pekerjaan serta gaji fantastis di ibukota, jelas saya ini tidak ada apa-apanya, hanyan butiran debu di tengah hutan beton ibukota. Ada sebuah mindset yang tercipta, sebuah standarisasi bahwa lulusan salah satu dari tiga universitas negeri raksasa di negara Indonesia ini harus menjadi "seseorang", ditambah lagi Presiden baru kita yang satu almamater dengan saya. Sebuah citra yang harus dijaga, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai beban moral untuk mereka-mereka yang baru menetas keluar dari sana.

Apakah ada yang salah dengan saya? Atau dengan teman-teman saya? Apakah semua standarisasi itu harus dipenuhi demi sebuah citra yang mungkin beberapa tahun lagi berubah? Saya sangat bersyukur bisa mengenyam pendidikan di universitas terbesar di Indonesia, saya mendapatkan banyak sekali pengalaman, wawasan, serta pelajaran hidup di sana. Terkadang saya suka termenung memandang gelagat teman-teman saya dalam melihat dunia kerja. Memang, tidak pernah ada salahnya untuk beropini, membicarakan sesuatu sesuai pengalaman, namun apakah pengalaman kita sama?

"Kamu serius mau digaji sebesar itu? Kamu menganiaya diri kamu sendiri tahu,"

Berbagi kisah adalah sebuah pembelajaran, dan tujuannya adalah untuk dapat saling menghormati. Saya tahu betul tiap-tiap orang memiliki misinya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan saya. Kita begitu lama bermimpi saat kuliah, dan terbangun dari mimpi yang indah itu rasanya sakit sekali. Saya tidak bisa memenuhi standar maya yang terbentuk dalam mindset teman-teman saya. Saya rasa-rasanya berjalan tertatih-tatih keluar dari gerbang perguruan tinggi. Tapi, ada yang bernasib lebih menyedihkan lagi dari saya. Apa itu bisa menjadi pembenaran?

Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri orang-orang yang tidak bisa menggunakan bahasa yang katanya merupakan bahasa pemersatu dunia, bahasa internasional, dalam kehidupannya sehari-hari maupun untuk urusan formal. Mereka diperas dari jam 7 pagi hingga jam 6 sore selama bertahun-tahun untuk gaji yang besarnya tidak lebih dari saya yang baru saja masuk kerja sekitar 2 bulan. Ada lagi mereka yang memiliki potensi luar biasa besarnya, namun harus memikul nasib berat atas tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara. Mereka rela untuk tidak digaji "demi sebuah mimpi akan negara yang lebih baik," katanya. Dan masih banyak lagi kejadian sehari-hari yang bisa, lagi-lagi, saya gunakan untuk menjadi pembenaran nasib saya ini.

Memang tidak ada yang salah dengan pekerjaan pertama. Pekerjaan pertama selalu menjadi awal mula seseorang menapaki dunia kerja. Kita tidak akan pernah bisa berharap lebih dari kaki yang masih bergetar di pinggir tebing. Menatapi langit yang luas, yang terkadang rasanya tak akan tersentuh. Tapi kita bisa melihat burung-burung yang terbang, awan, matahari, dan bintang-bintang yang bersinar di gelapnya malam. Dan mungkin sewaktu-waktu kita bisa menjadi bagian dari itu semua.

01/08/14

Munculnya Cinta

Dari begitu banyaknya cerita tentang cinta, apakah kita benar-benar tahu artinya cinta, Isabel? Apakah kita pernah sekedar bertanya kepadanya tentang maksud kehadirannya di setiap nafas kehidupan mahkluk ciptaan Tuhan? Atau, bertanya "Siapa sebenarnya Tuhan?". Ah, pertanyaan yang begitu tabu dipandang oleh masyarakat. Berbicara seakan kita tahu segalanya hingga lupa bahwa sang surya telah lama tenggelam.

Isabel, siang ini aku melakukan ibadah yang sudah jarang rasanya aku lakukan semenjak aku kuliah. Ya, ibadah, Isaebel. Apa kau tahu artinya ibadah? Ah, kau pasti sudah memiliki definisi yang jauh lebih canggih dariku. Bagiku, ibadah adalah cara agar kita bisa dekat dengan Tuhan. Atau sekedar berkomunikasi dengan-Nya, meski seringkali hanya berbisik ke telinga-Nya. Apakah kau memiliki definisi yang berbeda? Izinkan aku tahu. Mari, aku lanjutkan cerita pendekku kembali.

Sang penceramah nampak semangat melontarkan kata-kata pujian serta doa-doanya siang itu. Ada satu hal unik yang aku tangkap dari ceramahnya, yakni tentang munculnya cinta. Aku tak pernah memikirkan sebelumnya bagaimana cinta bisa muncul di dunia ini. Mengapa kita tidak pernah membicarakan ini ya sebelumnya, Isabel? Di tengah propaganda dan segmentasi agama yang ia bicarakan, yang lagi-lagi, seperti yang sudah-sudah, hanya berkutat antara neraka dan surga, dia berbicara tentang cinta. Meski rasanya seperti hanya kurang dari lima menit ia membicarakan tentang cinta dan kaitannya dengan agama, pikiranku terbang sendiri mencari kisah tentang munculnya cinta siang itu, Isabel.

Kapan dan darimana sebenarnya cinta muncul? Apakah ia seorang lelaki berengsek yang mencari wanita tiap malamnya tanpa ia kenal namanya esok hari di ranjang hotel mereka menginap? Atau ia adalah seorang ibu yang membersihkan kotoran anaknya hingga ia bisa membersihkannya sendiri di usianya yang masih kecil? Atau ia adalah seorang kakak yang bingung dengan kehadiran adik barunya hingga terkadang merasa iri dengan segala perhatian yang didapatkan namun tetap tidak bisa memungkiri hatinya yang penuh dengan suka cita?

"Saudara-saudara, cinta datang di tengah harapan dan keraguan," sang penceramah memecah keheningan yang hinggap di otakku. Apa iya cinta datang di antara harapan dan keraguan?

"Ketika kita memberikan perhatian kita kepada seseorang, di sana timbul harapan bahwa kita juga ingin mendapatkan perhatian. Ingin dicintai,"

"Namun, kita seringkali lupa bahwa harapan tidak pernah datang sendiri. Ia datang bersama keraguan. Keraguan akan datangnya cinta yang kita harap,"

"Saat itulah cinta muncul, saudara-saudara,"

Dan cinta pun muncul. Menjadi jawaban atas harapan dan keraguan. Namun, apakah iya selalu berakhir seperti itu? Bagaimana dengan cinta yang tak terjawab? Tak terbalas? Apakah akan berakhir sama? Apakah ini hanya konsep belaka, yang lagi-lagi, hanya berkedok sebagai propaganda?

Yang aku mengerti, Isabel, cinta itu adalah kebenaran. Ia adalah yang sebenar-benarnya. Ia menghapuskan dendam dan benci, menghilangkan iri dan dengki, ia membutakan mata seseorang atas perhitungan untung dan rugi.. Jika ia benar adalah kebenaran, maka sang penceramah tidak berbohong. Karena seperti yang kau dan aku selalu bicarakan setiap kali kita bertemu, "Kebenaran hadir di tengah harapan dan keraguan,"

Kita berharap, kemudian meragu. Semakin kita dekat dengan kebenaran, semakin banyak cobaan yang datang. Jika harapan dan keraguan selalu datang bersamaan, apakah cinta datang sendiri? Akankah dia pergi, Isabel? Akankah kita sebenar-benarnya tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kita? 

Apakah cinta itu ada?

25/06/14

Cantik Itu Mahal

"Kenapa ya bu, kenapa bisa begini," kata anak muda itu dengan wajah penuh kekecewaan.

"Ibu kan sudah bilang, hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di televisi," sang ibu berkata sambil mengelus rambut anak semata wayangnya itu.

"Kenapa materi, harta, benda, bisa membuat kita bersikap sangat berbeda terhadap manusia lainnya bu?" tangannya mulai mencari-cari batu di taman untuk dilempar ke kolam sebagai pelampiasan kekesalannya.

Sang ibu hanya tertegun. Sore itu, ia harus menjelaskan pahitnya hidup kepada anak semata wayangnya yang masih terlalu muda. Sembari merangkai kata, kenangan akan dosa-dosanya di masa lalu menghiasi pikirannya.

. . .

"Aku gak mau jalan sama kamu, kalo kamu gak bawa mobil," wanita muda itu meronta mencoba melepas tangannya dari genggaman seorang pria sebayanya.

"Kamu kok matre banget sih?" pemuda itu tak juga melepas genggamannya.

"Lepasin! Kalo gak nanti aku teriak!" si wanita mengancam.

"Oke, oke! Aku kecewa sama kamu, pikiran kamu sempit!" akhirnya pemuda itu melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan si wanita.

"Sempit? Mungkin kamu ya yang belum sadar. Aku ini wanita, senjata utamaku ya kecantikanku. Aku harus jaga asetku dong! Lagipula, kalo memang benar kamu anak orang mampu, pastinya kamu punya mobil!"

"Aku ga pernah bilang sama kamu kalo aku punya mobil,"

"Kalo begitu, aku yang salah. Maaf ya, aku gak bisa jalan sama kamu,"

"Mau sampai kapan kamu memberikan harapan-harapan palsu ini kepada para lelaki, hey Laila?"

"Sampai aku menemukan dia yang bisa menjagaku, merawatku, mengerti kebutuhanku. Sadarlah Amin, hidup itu mahal, dan laki itu gak cuma kamu. Wajar saja jika aku menebar kecantikanku, bukan cuma untuk kau seorang,"

"Berarti semua ini hanya masalah materi?"

"Amin, ayolah. Aku tahu kau pintar,"

"Tapi aku mencintaimu Laila! Aku mencintaimu apa adanya!"

"Kamu tahu aku harus tampil cantik kan? Dan biaya untuk kecantikan itu mahal. Bagaimana aku bisa tetap tampil cantik dengan menaiki motormu itu? Polusi, debu, kotoran, iyuuuh. Aku hanya mengambil jalan tengah. Jujurlah pada dirimu sendiri Amin, kau tidak akan mencintaiku jika aku jelek kan?"

Pemuda itu terdiam mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut manis si wanita cantik itu. Kata-katanya seperti menusuk hati dan membolak-balikkan pikirannya. Apa iya cinta itu datang dari mata? Apa iya cinta harus dipupuk dengan harta? Apakah hidup semahal ini?

"Sudahlah, kembalilah ketika kamu punya mobil sendiri," sang wanita pun pergi, tertutup kabut kenangan.

. . .

"Ibu, ibu," anak muda itu mengguncang tubuh ibunya yang membatu sesaat.

"Iya nak? Maaf ya, ibu melamun tadi,"

"Aku lapar,"

"Ayo, kita makan di restoran favoritmu. Panggil pak Juki untuk mengantar kita,"

"Pak Juki!" anak muda itu memanggil supirnya.

"Iya mas?" lelaki tua dengan kumis lebat datang dengan tergesa-gesa.

"Tolong antar aku sama ibu ke restoran ya,"

"Baik mas,"

"Oh iya, aku lupa menaruh sepeda motor ayah tadi, tolong masukkan sekalian ya pak," anak muda itu dengan nada lembut menyuruhnya. Langkah tergesa-gesa pun menghiasi kaki tua pak Juki selepas mendengar perintah majikannya itu.

Setelah pak Juki memasukkan motor majikannya ke garasi, ia mengeluarkan mobil mewah majikannya dan membukakan pintu untuk mereka.

"Pak Juki, besok pagi jangan lupa jemput bapak ya di bandara," sang ibu berkata sesaat sebelum menaiki mobil.

"Baik bu, besok pagi saya akan jemput pak Amin," kata si supir sambil menutup pintu mobil.

24/06/14

Sampai Nanti

"Kalo wanita yang disakiti, biasanya sebuah hubungan masih bisa bertahan. Si laki bakal anulah, inilah, biar hubungan itu bisa kembali berjalan. Tapi sayangnya, kalo si laki yang disakiti... Well, aku belum pernah melihat laki-laki yang cukup pemaaf,"

Aku kembali meminum kopi susu hangatku. Mataku masih memandang lampu jalanan ibukota yang terang benderang. Malam yang berisik mengingatkanku tentang sebuah kisah tentang angka lima yang dulu pernah aku baca dalam sebuah surat kabar. Sebuah kisah yang tenang dan jauh dari keramaian. Tentang sepasang kekasih yang harus saling menyakiti untuk dapat menemukan jalan hidup mereka masing-masing.

"Sudah, kalo memang jodoh gak akan kemana. Sekarang fokus saja dulu dengan pekerjaanmu, bukankah masih banyak mimpi-mimpimu yang belum tercapai?"

"Ya, kurasa kau benar. Aku terlalu lama tenggelam dalam urusan wanita. Kau tahu, dulu pernah sesekali seorang teman meramalku. Katanya, dari tiga kelemahan pria (harta, tahta, dan wanita), aku akan jatuh di tangan wanita," aku tersenyum mengakhiri kalimatku yang disambut tawa ringan olehnya.

"Ah, andai ya waktu terulang kembali,"

"Untuk apa waktu terulang kembali?"

"Kenapa kau berkata demikian?"

"Meskipun waktu terulang kembali, aku akan tetap memilih jalan yang sama. Melewati hari-hariku persis seperti apa yang telah aku lewati. Hanya mereka yang menyesal dengan hidup mereka yang meminta waktu bisa diputar kembali, Isabel,"

"Ah, kau ini, selalu saja menyindirku,"

"Aku tidak menyindirmu, aku hanya..."

"Menerima kenyataan?"

"Bisa dibilang begitu. Kita tidak akan pernah bisa bergerak jika kita terus melihat ke belakang, bukan? Aku tidak pernah berkata aku tidak merindukan masa laluku. Semua yang indah dan buruk telah kita lalui, menjadikan kita seperti hari ini,"

"Menjadikan kita secangkir kopi susu dan segelas air putih?" Isabel tertawa.

"Ah, kau merusak suasana," aku kembali meminum kopi susuku.

Malam yang berisik di ibukota tidak pernah mengganggu mimpi-mimpi indah yang tercipta oleh insan-insan manusia yang sedang tertidur lelap. Kita adalah hasil akumulasi dari masa lalu kita, tapi masa depan ditentukan oleh keputusan-keputusan yang akan kita buat, dimulai dari sekarang.

Sampai nanti. Sampai masa depan menemuimu.

"I suppose, in the end, the whole of life becomes an act of letting go. But what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye." 
-Life of Pi

11/06/14

11 Juni 2014

Kepada Isabel,

Sudah lama kita tidak berbincang atau sekedar bertukar sapa. Bagaimana kabarmu? Apakah kau masih seperti dahulu? Tersenyum tersipu malu jika kupandang matamu lebih dari tiga detik? Oh, Isabel, kau tahu, sungguh dalam hati masing-masing manusia menyimpan rindu yang tak terkira. Kepada Tuhan, kepada keluarga, kepada cinta, dan kepada dendamnya.

Aku baik-baik saja di hutan beton ini. Aku masih menjadi diriku, atau mungkin lebih tepat mengatakannya, aku kembali seperti dulu lagi. Seperti sejak sebelum bertemu denganmu. Isabel, dunia ini keras ya. Terkadang kita lupa bahwa sebenarnya kita hanya memerlukan sebuah senyuman untuk dapat membuat sepersekian detik hidup kita sendiri atau bahkan hidup orang lain lebih indah.

Isabel, dari semenjak kepergianku, banyak cerita yang belum aku sampaikan. Entahlah, apakah suratku ini akan sampai padamu atau tidak. Meskipun sampai, apakah akan kau baca? Ah biarlah. Lagi-lagi, cerita tentang cinta memang cerita yang tidak akan pernah habis dimakan usia. Bagaimana dengamu? Sudahkah kamu menemukan cinta sejatimu? Terakhir kita bertukar kabar, kau masih mengidam-idamkan sosok yang aku pikir tidak akan pernah hadir di dunia ini. Kau memang seorang utopis sejati, haha.

Sungguh cinta itu sulit dimengerti. Yang dekat terkadang terasa jauh, yang jauh terkadang terasa dekat. Apakah kau pernah merasakannya juga, Isabel? Ya, aku bertemu dengan dia yang dulu pernah merebut hatiku dengan senyum manis dan paras wajah cantiknya. Aku menghabiskan hariku dengannya melewati senja yang tertutup awan hitam polusi kendaraan ibukota. Aku menyukainya, jujur. Tapi terkadang ada rasa yang kurang, yang janggal. Hening di antara kami sangat asing. Dia tak pernah banyak bertanya, dia tak pernah banyak memberi kabar, tapi dia selalu ada. Katakan, apakah itu cinta?

Ah, Isabel, aku ini lelaki yang tak akan pernah terpuaskan hasratnya. Beberapa malam yang lalu aku juga memberanikan diri untuk bertemu dengan dia yang matanya menembus relung jiwaku. Malam itu rembulan ditutupi hujan yang turun dengan malu-malu, memberikanku nuansa romansa yang tak pernah aku rasakan semenjak kepulanganku ke ibukota. Ia begitu cantik, Isabel. Aku tak bisa melepas pandanganku darinya. Kendati demikian, mata kami tak pernah bertemu karena ia sibuk berbincang dengan sahabatnya. Ah! Aku merasa bodoh sekali malam itu. Ragaku seakan-akan membeku dengan keberadaannya. Aku tak bisa menjauh, tapi aku segan untuk mendekat. Aku takut terlalu dekat, Isabel. Lagi-lagi, apakah itu cinta?

Aku rasa ia akan menjadi cinta yang tak berbalas Isabel. Tapi biarlah, memandang wajahnya saja sudah membuatku senang, membuat bibirku tersenyum tanpa kusadari. Terkadang aku suka terperanjat dengan diriku sendiri yang diam-diam menyimpan foto-fotonya di telepon genggamku. Sungguh lucu ya? Haha.

Sudahlah Isabel, besok aku harus kembali menjalani hari layaknya pria-pria dewasa. Menyusuri jalanan yang keras dan tak mengenal belas kasih demi mencari rezeki. Aku harap kau tak keberatan dengan kisahku yang agak panjang malam ini.

Dari aku yang merindukanmu,

P.S: 
Cepatlah pulang, banyak orang membutuhkanmu 9 Juli nanti.

08/05/14

Catatan Perang Korea

Salah satu karya dari penulis sekaligus wartawan Indonesia, Mochtar Lubis, ini mungkin adalah buku pertama yang memberikan perspektif berbeda tentang sebuah perang yang terbit di Indonesia. Dengan gaya bahasanya yang khas, Mochtar Lubis membawa pembaca melihat perang Korea pada dekade awal tahun 1950-an lebih dekat. Seperti yang disimpulkan oleh Mochtar lubis, "Perang menghasilkan kesedihan, bencana, duka, air mata, dan lain-lain. Perang adalah keruntuhan dari perikemanusiaan".

Pergolakan di negeri Ginseng ini mendapat perhatian banyak negara di dunia karena menjadi salah satu arena perebutan pengaruh antara ideologi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selepas kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Korea sebagai bagian dari jajahan Jepang ikut merasakan bagaimana pemimpin negara-negara besar mempengaruhi kehidupan mereka. Korea Utara yang dibawahi oleh Uni Soviet memiliki pemimpin bernama Kim Il Sung yang notabene merupakan pahlawan perang ketika masa penjajahan Jepang dulu. Di sisi lain, Korea Selatan yang dibawahi oleh Amerika Serikat secara "demokratis" memilih Syngman Rhee sebagai Presiden mereka.

Mochtar Lubis bersama dengan wartawan lainnya dari berbagai negara meliput jalannya peperangan. Bersumber dari keterangan banyak warga Korea, Mochtar Lubis menyimpulkan bahwa perang Korea memang dimulai oleh pihak Korea Utara yang secara mendadak menduduki kota Seoul. Semenjak itu pertumpahan darah tidak bisa dihindari oleh kedua belah pihak.

Kisah Tentang Penderitaan Karena Perang
Mochtar Lubis menekankan bahwa penulisan buku ini bukan sepenuhnya untuk menceritakan bagaimana perang ini berjalan, tapi bagaimana dampaknya terhadap masyarakat Korea. Bab yang saya paling suka dari buku ini adalah Bab 5: Kimpo-Seoul. Dalam bab tersebut ada sebuah cerita yang mengiris hati saya dan membuka mata saya bahwa perang bukan hanya sekedar pertarungan politik ataupun ideologi, namun juga pertaruhan nyawa.

Entah ini bersifat subjektif atau tidak, tapi di dalam bab tersebut Mochtar Lubis menceritakan bahwa sesuai dengan keterangan-keterangan yang didapatkannya dari masyarakat Korea, Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee, menggunakan perang Korea sebagai momentum untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Syngman Rhee, yang tidak terlalu populer di mata masyarakat dan memiliki banyak musuh di DPR, menggunakan polisi militer Korea Selatan untuk tidak hanya "menghukum" masyarakat Korea Selatan yang benar-benar terbukti membantu pasukan Korea Utara, namun juga "menghukum" para lawan politiknya dengan dakwaan yang sama. Dalam situasi yang kacau, hukum tidak berlaku sesuai dengan prosedur. Penculikan lawan-lawan politik Syngman Rhee berjalan mulus tanpa ada halangan karena keadaan negara yang kacau.

Salah satu kisah tentang penculikan tersebut ditemui oleh Mochtar Lubis ketika mengamati keadaan di depan gedung parlemen Korea Selatan. Seorang wanita menghampirinya dengan balutan luka di tangannya, bercerita dengan tangis yang tak tertahankan dalam bahasa Korea yang tidak ia mengerti. Hingga akhirnya datang seorang wanita yang bisa berbahasa Inggris menerjemahkan kata-katanya untuk Mochtar Lubis. Awalnya Mochtar Lubis mengira wanita tersebut menangis karena kesakitan akibat luka di tangannya dan mencoba meminta obat kepada Mochtar Lubis, namun ternyata perkiraannya salah. Setelah diterjemahkan, ternyata wanita tersebut mencoba untuk menanyakan keberadaan suaminya kepada Mochtar Lubis. Ia bercerita pada Mochtar Lubis bahwa suaminya ditangkap tanpa penjelasan ketika ia dan suaminya berkeliling kota Seoul untuk mencari sisa-sisa makanan. Semenjak hari itu ia terus mencari suaminya dan tanpa henti berkeliling kota Seoul.

Cerita tersebut merupakan satu dari banyak kisah penderitaan karena perang Korea yang ditemukan oleh Mochtar Lubis. Banyak kisah-kisah yang dicatat oleh Mochtar Lubis yang tak akan pernah tersampaikan oleh surat kabar manapun di seluruh dunia. Akhir kata, saya sangat merekomendasikan buku ini kepada siapapun yang masih menganggap perang sebagai sebuah jalan keluar agar dapat melihat sisi lain dari perang yang terkadang terlupakan karena termakan oleh waktu.

03/05/14

Bukan Spiderman

Amazing Spiderman 2 memang menyajikan sesuatu yang berbeda dengan Spiderman sebelumnya ketika masih diperankan oleh Tobey Maguire. Dengan kenakalan Andrew Garfield saat mengenakan kostum Spiderman dan hadirnya Gwen Stacy yang diperankan Emma Stone memberikan warna baru untuk si manusia laba-laba. Tapi tulisan ini bukanlah untuk membuat review tentang film manusia laba-laba.

Salah satu sorotan yang paling tajam dari setiap kisah pahlawan super adalah hadirnya dua kehidupan yang berbeda dari keseharian sang pahlawan. Superman dengan Clark Kent-nya yang bekerja sebagai reporter, Spiderman dengan Peter Parker sebagai seorang remaja yang merintis menjadi fotografer, atau si millionaire Bruce Wayne yang memilih untuk mengamankan kota Gotham sebagai Batman. Tapi apakah hanya mereka yang memiliki dua kehidupan yang berbeda? Saya rasa tidak. Pernahkah kalian merasa bahwa kita ini memiliki hidup yang beragam? Minimal seperti para pahlawan super ini, kita punya dua kehidupan yang berbeda. Mengutip kata-kata bibi May, "terkadang kita menyembunyikan kehidupan kita, bahkan kepada mereka yang kita sayangi". Tapi kehidupan apa sebenarnya yang kita sembunyikan? Everybody have their own issues I think.

Be kind, for everyone you meet is fighting a hard battle
Kutipan dari Ian Maclaren mungkin bisa menjelaskan bagaimana seseorang memiliki dua kehidupan yang berbeda. Setiap orang mengalami pertarungan yang hebat dalam hidupnya setiap hari, setiap detik, dalam setiap keputusan yang mereka ambil. Kita pun demikian saya rasa. Seseorang bisa saja sangat ramah dalam satu pertemuan, namun mungkin dia tidak akan seramah itu dalam pertemuan-pertemuan lainnya. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam setiap detik hidupnya. Seperti halnya Spiderman bukan? He fought a very hard battle against the super-villains and no one know that he was only a teenager with the same problem like the rest of us.

Sometimes the person who tries to keep everyone happy is the most lonely people
Bagaimana sebuah senyuman itu bisa lahir mengalami proses yang rumit. Senyuman, sebuah hal sederhana yang dapat menyebarkan kebahagiaan ternyata memiliki dilemanya sendiri dengan tangis yang disimpan oleh setiap pemiliknya. Sebagai manusia, kita adalah makhluk hidup yang cukup egois. Kita ingin orang lain untuk menghargai kita, mengerti akan kesedihan dan keadaan kita, namun jarang untuk mencoba mau untuk sekedar lebih peduli dengan orang lain. Kita cenderung senang untuk ditanya ketimbang bertanya, sekedar bertanya "ada apa?" atau "bagaimana kabarmu?". Kita lupa bahwa kita perlu mendengar sebelum didengar. Kita terus ditekan oleh sekitar kita, menjadikan kita pribadi yang semakin individualistis. Lelah dengan keluhan sedang senyuman harus terus terpajang di wajah.

Pada akhirnya, kita semua adalah para pahlawan super minus kekuatan super bukan? Kita memiliki sisi-sisi kehidupan yang disembunyikan. Kita juga harus menjaga perasaan tiap-tiap orang dengan menimbang perasaan kita sendiri. Semakin kita hidup, semakin rumit kehidupan.

"The loneliest people are the kindest. The saddest people smile the brightest. The most damaged people are the wisest. All because they do not wish to see anyone else suffer the way they do."

10/03/14

Terima Kasih, Neil Strauss

Saya telah menyelesaikan salah satu buku yang saya beri poin penuh (bintang lima) di akun Goodreads saya. Buku berjudul "The Game: Penetrating The Secret Society of Pickup Artists" karya Neil Strauss ini memakan waktu satu bulan bagi saya untuk menyelesaikannya. Saya sangat antusias membacanya dan 452 halaman tidak menjadi masalah serius bagi saya. Dan pada akhirnya, seperti buku-buku bagus lainnya yang memberikan saya lebih dari sekedar cerita, tidak ada yang dapat saya katakan selain berkata, "Terima kasih, Neil Strauss."

The Game
Suatu kebetulan memang ketika saya menemukan buku ini di rak bawah toko buku Periplus Malioboro. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk mencari buku-buku yang aneh-aneh di setiap toko buku, dan untungnya saya dipertemukan oleh buku yang tersisa satu ini ketika itu. Berwarna hitam dengan tulisan berwarna emas langsung menarik perhatian saya. Ukurannya yang kecil ternyata tidak mencegah buku ini membawa dampak yang besar bagi kehidupan saya.

Buku ini singkatnya bercerita tentang seorang penulis majalah RollingStones yang mendapat tugas untuk menulis tentang sebuah komunitas pickup artists yang mulai tren di masanya. Diawali dengan ketidakpercayaan, Neil Strauss menerima pekerjaan tersebut dan menemukan bahwa dirinya telah tersedot dalam dunia yang selamanya akan merubah dirinya dan jutaan pembaca buku ini. Selama dua tahun penuh dia menyelami (sambil meminum juga) dunia pickup artists. Belajar mengenai trik-trik bagaimana untuk mendekati wanita hingga membawanya ke kamar (tidak selalu) untuk "dijelajah". Di tengah perjalanan, Neil Strauss bertemu dengan berbagai macam karakter yang di dalam bukunya hanya dituliskan dengan nama alias atau kode sandi mereka sebagai pickup artists, dan juga sempat berinteraksi dengan artis-artis papan atas Hollywood.

"To win the game was to leave it."
Ketika buku lain memberikan saya bagian-bagian favorit yang biasanya di awal atau di tengah cerita, buku ini memberikan efek yang luar biasa di akhir cerita. Saya tidak akan memberitahu Anda bagaimana buku ini akan berakhir untuk tetap menjaga ketertarikan Anda untuk membacanya, tapi saya ingin berbagi sedikit kesan saya terhadapnya. 

Neil Strauss berhasil menjalani mimpi mayoritas laki-laki normal di dunia untuk bisa tidur dengan berbagai macam wanita cantik di seluruh dunia. Sebuah dunia yang akhirnya harus dengan rela ia tinggalkan demi kebaikan hidupnya. Lalu apa yang menarik? Seperti yang tertera di sub bab tulisan saya ini, permainan usai ketika kita pergi meninggalkannya. Apa yang terjadi selama dua tahun dalam hidup Neil Strauss, dan mungkin juga kita yang sudah membacanya, bukan lain hanyalah sebuah permainan. Permainan yang harusnya kita mainkan dengan tujuan agar kita tidak terjebak di dalamnya untuk waktu yang lama. Permainan berbahaya yang mampu membuat siapapun rela meninggalkan hampir semuanya: kekayaan, kesehatan, waktu, pendidikan, bahkan masa depan untuk dapat bermain dengan sangat baik di dalam permainan ini.

Buku ini berhasil me-reset semua yang terjadi dalam pikiran pembacanya untuk kembali melanjutkan hidup dan berhenti memainkan permainan ini ketika kita selesai membacanya. Permainan ini, pada akhirnya, hanyalah sebuah alat bagi kita untuk mencapai tujuan awal untuk mempelajari dunia pickup artists. Apakah kita ingin menggunakannya hanya sekedar untuk bermain menemukan wanita yang berbeda setiap hari untuk menemani malam-malam yang sepi? Atau untuk mencari the one yang akan menemani kita hingga akhir hayat? Jawabannya ada di diri kita masing-masing.

Sekali lagi, "Terima kasih, Neil Strauss."

07/03/14

Nyanyian Kantin

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya sudah jarang sekali untuk pergi ke kampus. Yah, paling satu atau dua kali untuk sekedar bertemu dosen atau mengurus keperluan skripsi. Saya juga sudah tidak berurusan dengan politik kampus, fakultas, atau jurusan yang biasanya tidak saling peduli satu sama lain. Saya hanya sekedar mendengar angin gosip yang berterbangan tanpa punya kendali atau kekuatan yang valid sebagai pengurus organisasi ataupun semacamnya. 

Fakultas saya tercinta di Bulaksumur terlihat rindang-rindang saja dengan angin sayu yang mendayu. Gedung-gedung baru megah berdiri, tempat parkir yang meluas mengundang lebih banyak kendaraan untuk parkir di sana, dan tentunya didominasi oleh kendaraan para mahasiswanya. Siang ini saya ke kampus datang sekedar untuk main, bertemu dengan teman-teman yang masih mengambil mata kuliah. Selain itu saya juga ingin mengecek gosip tentang kantin fakultas saya yang hampir satu tahun ini "mati" tak bernyawa.

"Kamu tau gak sih, masa ibu penjaga kantin ada lagi lho!" kata seorang teman via telpon genggam.

"Ah, masa? Bukannya sudah ganti tender?" balasku sambil malas-malasan.

"Kesini deh, kita diminta dukungan untuk pengaduan masalah kantin sama si ibu."

"Siang ya aku kesana."

Siang datang, matahari tegap berdiri. Lantai yang berlapis ubin, beton-beton penyangga bangunan menyapa. Saya berjalan ke kantin untuk bertemu dengan teman-teman. Tanpa banyak bicara saya langsung mencoba salah satu penjaja makanan di kantin baru itu. Masih seperti dulu, membayar makanan pun harus ke kasir. Sejauh ini belum ada kecurigaan. Kemudian saya pun ke kasir, dan bertemu dengan ibu kantin.

"Hai bu," sapaku sambil membayar.

"Halo mas," si ibu mengambil kembalian. "Oh iya mas, saya mau minta tolong. Besok saya mau bertemu dengan pihak kampus ini, saya butuh dukungan mas dan teman-teman," si ibu memberikan buku dengan banyak catatan tangan dari mahasiswa-mahasiswi serta komplain mereka tentang kantin.

"Loh, loh, memang ada apa ya ini bu?"

"Aduh mas, gimana ya saya jelasinnya. Ya memang awalnya kontrak kami dulu kan sudah habis, lalu kan katanya mau ada perbaikan fasilitas, dicat ulang, bangku-bangku, meja-meja, dan stan-stan akan diperbaiki, diganti yang lebih bagus. Tapi ternyata kita toh tidak bisa jualan lagi."

"Walah, ini memang wewenang siapa sekarang bu?"

"Walah, mas. Saya ini wong cilik, masalah itu kan yang lebih tinggi yang tahu."

"Ini sudah saya tulis komentar saya. Coba ya bu nanti saya kasih tahu teman-teman saya yang gerak di organisasi, siapa tahu bisa bantu."

"Wah, matur nuwun lho mas!" kata si ibu terlihat senang.

Setelah itu saya kembali ke tempat duduk. Cerita yang mengalir ternyata memberi banyak informasi serta sedikit cross check. Ada yang bilang harga sekarang jauh lebih mahal dari yang dulu, ada yang bilang tidak seenak dulu, tapi juga ada yang bilang dulu sempat ada pengetesan makanan untuk penjaja di kantin oleh pihak kampus yang terbuka bagi mahasiswa. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi? Saya benar-benar bingung dan tidak tahu ada apa sebenarnya. Apakah semua orang seperti saya? Atau hanya saya yang seperti ini karena jarang ke kampus? Kalo iya, tak apa, tapi kalo tidak, wah, bahaya. Lalu mereka yang memberi dukungan itu apakah tahu betul apa duduk permasalahannya?

Di saat-saat seperti ini saya jadi gemes dengan organisasi-organisasi kampus yang katanya kerakyatan ini. Apakah mereka sudah tahu? Kalo sudah, mereka melakukan apa ya? Apakah sudah berusaha? Jika sudah, menghasilkan apa? Tak masalah jika gagal, tapi semua harus tahu apa yang terjadi. Informasi dan transparansi harus tetap dijunjung tinggi. Jangan menunggu untuk diminta menjelaskan, mulailah menjelaskan. Buat awareness di antara kita semua, bangkitkan rasa kepedulian. Bukankah itu tugas kita semua? Tidak perlu membeda-bedakan jurusan, apalagi agama. Daripada jauh-jauh membahas soal negara atau terlalu sering membicarakan seminar-seminar skala nasional atau internasional, bagaimana jika kita memberi sedikit perhatian bagi sekitar kita? Alangkah lebih baik jika ada edaran, public hearing, atau informasi berbentuk lainnya yang bisa menjelaskan semuanya dari semua organisasi mahasiswa yang tidak terlalu jauh aktif dari isu ini, atau yang anggotanya sering mengisi perut mereka di sini. 

Dulu sempat ada vandalisme yang mempertanyakan isu ini, namun entah sudah kemana hingar-bingarnya. Katanya bersatulah, katanya kerakyatanlah, katanya perjuanganlah, katanya kekeluargaanlah, apa artinya semua jika seperti ini sekarang? Alat makan tak bisa bicara, jangan biarkan mereka terbuang sia-sia hanya karena perut ini sudah kenyang. Dulu kita sempat dihina sebagai elit berotak yang hidup dibalik jeruji beton mewah ber-AC karena tidak mau pergi ke jalan. Sekarang tidak perlu pergi ke jalan untuk membantu, terlalu jauh, dan mungkin terlalu riskan. Coba lihat dan dengar mereka yang bernyanyi di kantin.

22/02/14

Gosip Malam di Sekitar

Malam ini saya menghabiskan sekitar empat jam untuk berkumpul dan melepas tawa bersama teman-teman saya. Jogja yang malam ini dianugerahi hujan membawa kami pada suasana yang menyenangkan untuk melepas penat dengan segelas minuman hangat maupun dingin yang pas dengan lidah kami masing-masing. Kali ini saya ingin bergosip sedikit tentang dua isu yang terjadi di sekitar saya: wisuda dan agama.

Dua hari yang lalu baru saja UGM melakukan pelaksanaan wisuda gelombang pertama, yakni untuk gelombang bulan Februari. Kegiatan yang diiringi sukacita karena telah selesainya masa studi ini seharusnya menjadi ajang untuk berbenah diri, baik bagi yang wisuda maupun yang belum. Kenapa berbenah diri? Wisuda merupakan akhir dari masa studi namun juga merupakan awal bagi para sarjana memasuki dunia pekerjaan. Well, kecuali bagi mereka yang memang sudah bekerja saat sambil kuliah atau bahkan sebelum kuliah memang tidak akan terlalu kaget. 

Saya setuju dengan postingan seorang teman yang mengatakan "Jangan sombong kalo kamu lulus duluan dengan IPK cumlaude, siapa tahu kamu nanti kerja di perusahaanku." Sombong memang suatu hal yang oleh siapapun harus dihindari. Tapi alangkah baiknya jika kita, baik yang wisuda maupun yang belum, menanggapi ini dengan hal positif. Pertama, bagi yang sudah wisuda memang suatu kebanggaan untuk bisa lulus, artinya kan sudah berhasil menyelesaikan masa studi, yang bagi beberapa mungkin dirasa berat. Ya mungkin saja terkadang kita sebagai manusia khilaf dengan artian berbangga hati dengan cara yang berlebihan. Kedua, untuk yang belum wisuda alangkah lebih baik jika kata-kata seperti itu tidak keluar, meski sebagai tujuan untuk pengingat. Wong, kita kan juga sama-sama manusia, sama-sama teman, masa sih harus sampai seperti itu? Kenapa kita tidak turut menjadi bagian sukacita tersebut? Seharusnya ajang wisuda bisa menjadi instropeksi bagi diri kita, "Apa ya yang salah dengan saya? Kok teman saya sudah lulus tapi saya belum?" dan menjadi cambuk semangat untuk kita menyelesaikan masa studi dan segera masuk ke dunia kerja.

Isu kedua yang ingin saya komentari sebenarnya terpantik oleh berita pencabutan larangan atheisme di UGM. Sebelum berkomentar ada baiknya kita membaca beritanya terlebih dahulu (yang memang agak jauh relevansi judul dengan isinya):


Berita tersebut sebenarnya ingin memberi kita informasi mengenai perubahan peraturan Rektor UGM. Perubahan pasal tersebut sebenarnya bukan diawali oleh dukungan untuk mempelajari atheisme dan keberagaman agama (yang sangat saya harapkan pada awalnya sebagai institusi pendidikan yang ternama), melainkan untuk menjaga ketertiban. Peraturan tersebut sebatas pelarangan mahasiswa untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Ya, kalo saya pribadi sih tidak terlalu mempersoalkan, namun pastinya banyak yang akan responsif terhadap "judul" berita yang rasanya tidak pas dengan isinya.

Pemahaman mengenai agama adalah suatu hal yang sangat fundamental dan terkadang sangat sulit dipisahkan antara mana yang faith dan mana yang bisa diperdebatkan. Bagi banyak orang, termasuk saya, agama adalah suatu hal yang dapat diperdebatkan, namun jika sudah menyentuh ranah faith itu menjadi soal lain. Faith di sini artinya adalah sebuah kepercayaan dari lubuk hati yang dibumbui pengalaman kerohanian. Suatu hal yang terkadang sangat sulit untuk dijelaskan. Hemat saya, sebelum berdebat mengenai pemahaman agama, kita perlu tahu terlebih dahulu apakah lawan kita mengerti mengenai pembedaan dari objek perdebatan itu.

Di negara yang katanya sekuler namun sangat religius ini, kita tidak bisa sembarangan memperdebatkan agama dengan orang lain. Rasa mudah tersinggung menjadi hal yang lumrah di Indonesia (yang mana juga menurut saya menghambat kemajuan kekritisan pemikiran kita). Banyak yang suka mengkritik namun masih banyak juga yang masih tidak mau dikritik (saya juga termasuk lho). Intinya, kita ya sama-sama belajar untuk saling memahami terlepas apakah kita memang benar-benar paham atau tidak mengenai agama. Setidaknya kita tetap berkembang tanpa harus menyakiti orang lain, kecuali jika memang orang itu ingin berkembang juga, maka dia harus menerima konsekuensi untuk mau dikritik.

Well, saya rasa itu komentar singkat saya atas gosip-gosip di sekitar saya. Shhhh! Coba perhatikan lebih baik! Lebih banyak mendengar membuat kita bisa lebih banyak berbicara lho! Lebih banyak membaca "seharusnya" membuat kita semakin bijak. Saya Iqbal, selamat malam!

19/02/14

19 Februari 2014

Sudah beberapa malam ini aku sangat merasa kosong. Kosong dengan jadwal yang melompong, skripsi yang tertunda karena harus menunggu dosen untuk kembali ke tanah Jogja. Pagi ini lima temanku telah diwisuda. Tak terasa waktu berlalu cepat ya? Aku mulai menghitung waktu dan rasanya sangat janggal. Terkadang terasa sangat cepat berlalu, tapi lebih sering terasa sangat lama. Ketiadaan aktivitas membuatku rapuh dan membuatku terhenti, seperti jam dinding tua yang berkarat.

Temanku sekarang hanya ada satu, pena dengan tinta yang menodai waktu. Yang lain berpencar mencari hikmah dalam hidupnya sendiri-sendiri. Ada yang terjebak, mengutuk, bahagia, dan tak sedikit yang kembali ke awal. Sekarang rasanya aku bisa memahami arti "teman hidup". Di saat-saat terakhir, mereka bilang, kita akan mengingat awal. Sepi sudah rasanya tanah Jogja malam ini. Apakah aku yang memang benar-benar sendiri atau pikiranku yang sedang menjebakku?

Sering aku berkata, "Kasihan ya mereka yang tidak merantau, tidak tahu rasanya 'hidup'" dan aku sadar aku begitu sombong. Sekarang setiap aku melihat cermin yang tepat berada di depanku, ia seakan berkata, "Kasihan ya, kamu sendiri". Dan baru sadar aku bahwa kebosanan adalah penjara yang paling menakutkan. Ketika buku tak lagi memberikan arti, serta kekasih yang hanya bermakna esensi dan tiada eksistensinya. Menemani dari jauh, hanya sekedar kata tanpa sentuhan. Sekarang yang ada hanya kata melanjutkan, sesal telah tertinggal, karena pilihan telah diambil. "Tahun pertama dan kedua, kalo bisa main sama teman-teman terus. Kalo sudah tahun-tahun terakhir 'kan sudah sendiri-sendiri, baru cari pacar yang bisa nemenin bikin skripsi," begitu yang kuingat kata-kata dari seorang senior yang sekarang entah mencari rezeki di mana.

Aku begitu iri dengan banyak orang yang menghinaku berlebihan, yang memikirkan hal-hal yang lebih penting dan hal-hal yang lebih sederhana dariku. Mungkin ini yang dirasakan para filsuf zaman dulu. Aku sudah menghitung hari, kemudian kusadari, aku tak bisa pulang lagi. Rumahku tak akan sama lagi. Aku telah berada di tengah-tengah, di saat-saat ragu untuk menyikap masa depan dan tak ada jalan pulang. Sekarang inilah rumahku. Kamar 3x4 yang sejak dua tahun lalu aku berpindah. Seiring aku menulis ini, pikiran kecil menyelip ke dalam hati, "Semua begitu indah pada waktunya kurasa, sekarang saatnya melakukan simplifikasi: toga, kerja, menikah, tua."

Tapi, lagi-lagi kutanya, "Apa iya hidup manusia sesimpel itu?"

17/02/14

Ibu Risma Layak Mendapatkan Kebahagiaan

Di tengah desas-desus ingin mundurnya Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Najwa Shihab mendapatkan momentum yang tepat untuk membuka hati dan mata masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Surabaya pada khususnya akan keadaan cahaya harapan mereka itu. Dengan ketajamannya, Najwa Shihab berhasil menguak rahasia terdalam dari Ibu Risma (panggilan akrab Tri Rismaharini) dan membaginya kepada kita semua. Bagi kita yang selama ini mengenal Ibu Risma sebagai sosok yang kuat, tegas, tegar, dan pemberani, tentu kita akan terkejut dengan tetesan arti mata yang keluar di tengah wawancara eksklusif tersebut.

Tekanan politik
Lulusan ITS ini sebenarnya tidak memiliki latar belakang politik yang begitu kuat. Ibu Risma memainkan perannya sebagai Walikota murni menggunakan hati nuraninya tanpa memikirkan strategi politik. Baginya menjadi Walikota adalah amanat besar dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Tuhan di alam baka kelak. Dengan sifatnya yang religius, Ibu Risma telah mendapatkan banyak sekali 'pencerahan' untuk menunaikan tugasnya. Beberapa kebijakan yang kontroversial tidak luput dari sifat religius dan sifat seorang ibu. Di mulai dari pengecekan jalannya proyek, penutupan lokalisasi, hingga permasalahan di Kebun Binatang Surabaya. Mengandalkan pendekatan pribadi terhadap objek yang akan mendapatkan dampak utama dari kebijakan yang akan dikeluarkannya, Ibu Risma berhasil menangkis banyak kritik. Meskipun begitu, masih banyak yang belum dapat menerima caranya untuk mencapai tujuan utamanya sebagai Walikota Surabaya, yakni menyejahterakan segenap penduduk kota pahlawan.

Tiga tahun telah berlalu di masa pemerintahan Ibu Risma yang pertama. Kendati demikian, Ibu Risma sudah harus menghadapi badai tekanan politik yang kuat dari segala sisi. Ketegasannya untuk menolak pembangunan jalan tol di Surabaya telah membuka sifat asli para politikus materialis yang selama ini bersembunyi di belakangnya. Padahal cita-citanya menolak jalan tol sesederhana agar masyarakat Surabaya tidak perlu membayar untuk bisa memakai jalan gratis yang dibangun oleh pemerintah. Lobi dan tekanan politik terus mengejar Ibu Risma hingga tetes terakhir air matanya. Sekarang, keadaan cahaya harapan masyarakat Surabaya itu sudah berada di ujung tanduk.

Mundur untuk menang
Sebagai seorang wanita, Ibu Risma tidak bisa terlepas dari kerapuhan emosi. Meski terkenal dengan keberanian dan ketegasannya, Ibu Risma tetaplah seorang ibu dan seorang istri yang juga memiliki keluarga. Najwa Shihab berhasil menggali kegelisahan Ibu Risma di wawancara eksklusifnya dengan membuatnya mengatakan, "Saya sudah memberikan semua yang saya punya untuk masyarakat Surabaya." Dalam kata lain, Ibu Risma sebenarnya menunjukkan betapa apa-apa yang sudah beliau korbankan tidak kunjung terbayar dan sedang mengalami krisis kepercayaan bahwa apa yang selama ini diyakininya benar apakah memang benar-benar setimpal.

Memang sangat disayangkan ketika seorang pemimpin ideal yang muncul ketika krisis kepercayaan terhadap pemimpin menghampiri negeri ini dihinggapi sebuah pertimbangan untuk mundur. Seluruh masyarakat Indonesia tahu seberapa besar masyarakat Surabaya mencintai Walikotanya, cahaya harapannya. Namun sangat disayangkan ketika yang terjadi adalah demonstrasi untuk melarang Ibu Risma mundur. Mungkin ini bisa dimengerti karena dukungan yang sifatnya lebih elegan dengan menggunakan media sosial Twitter tidak begitu berpengaruh terhadap stance bimbang yang masih hinggap di benak Walikota Surabaya. Tetapi, dukungan yang diperlukan oleh Ibu Risma sekarang sebenarnya berasal dari keluarganya, dan orang-orang terdekat yang dipercayai oleh Ibu Risma. Karena sejak awal, merekalah yang menyemangati Ibu Risma dan mendampinginya menjejakkan kaki di arena kotor politik untuk bisa membersihkan debu-debu yang selama ini menyelimuti kota Surabaya.

Ibu Risma layak mendapatkan kebahagiaan atas apa yang telah ia lakukan kepada kota Surabaya. Jika ia bahagia bisa melayani masyarakat Surabaya, yang katanya, 'menggantungkan harapan' kepadanya, maka sudah sebaiknya Ibu Risma meneruskan perjuangannya hingga akhir masa jabatan. Namun jika baginya mundur adalah pilihan yang tepat, sudah seharusnya sebagai seseorang yang mencintai pemimpinnya kita menghormati keputusan tersebut. Berikan Ibu Risma ruang untuk bernafas, berpikir, dan biarkan ia melepas rindu terhadap keluarganya yang selama ini ia titipkan kepada Tuhan untuk dapat menjalankan tugas sebagai seorang Walikota. Ibu Risma tetaplah seorang manusia, seorang istri, dan seorang ibu yang layak mengejar kebahagiaannya, seperti kita.