08/05/14

Catatan Perang Korea

Salah satu karya dari penulis sekaligus wartawan Indonesia, Mochtar Lubis, ini mungkin adalah buku pertama yang memberikan perspektif berbeda tentang sebuah perang yang terbit di Indonesia. Dengan gaya bahasanya yang khas, Mochtar Lubis membawa pembaca melihat perang Korea pada dekade awal tahun 1950-an lebih dekat. Seperti yang disimpulkan oleh Mochtar lubis, "Perang menghasilkan kesedihan, bencana, duka, air mata, dan lain-lain. Perang adalah keruntuhan dari perikemanusiaan".

Pergolakan di negeri Ginseng ini mendapat perhatian banyak negara di dunia karena menjadi salah satu arena perebutan pengaruh antara ideologi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selepas kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Korea sebagai bagian dari jajahan Jepang ikut merasakan bagaimana pemimpin negara-negara besar mempengaruhi kehidupan mereka. Korea Utara yang dibawahi oleh Uni Soviet memiliki pemimpin bernama Kim Il Sung yang notabene merupakan pahlawan perang ketika masa penjajahan Jepang dulu. Di sisi lain, Korea Selatan yang dibawahi oleh Amerika Serikat secara "demokratis" memilih Syngman Rhee sebagai Presiden mereka.

Mochtar Lubis bersama dengan wartawan lainnya dari berbagai negara meliput jalannya peperangan. Bersumber dari keterangan banyak warga Korea, Mochtar Lubis menyimpulkan bahwa perang Korea memang dimulai oleh pihak Korea Utara yang secara mendadak menduduki kota Seoul. Semenjak itu pertumpahan darah tidak bisa dihindari oleh kedua belah pihak.

Kisah Tentang Penderitaan Karena Perang
Mochtar Lubis menekankan bahwa penulisan buku ini bukan sepenuhnya untuk menceritakan bagaimana perang ini berjalan, tapi bagaimana dampaknya terhadap masyarakat Korea. Bab yang saya paling suka dari buku ini adalah Bab 5: Kimpo-Seoul. Dalam bab tersebut ada sebuah cerita yang mengiris hati saya dan membuka mata saya bahwa perang bukan hanya sekedar pertarungan politik ataupun ideologi, namun juga pertaruhan nyawa.

Entah ini bersifat subjektif atau tidak, tapi di dalam bab tersebut Mochtar Lubis menceritakan bahwa sesuai dengan keterangan-keterangan yang didapatkannya dari masyarakat Korea, Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee, menggunakan perang Korea sebagai momentum untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Syngman Rhee, yang tidak terlalu populer di mata masyarakat dan memiliki banyak musuh di DPR, menggunakan polisi militer Korea Selatan untuk tidak hanya "menghukum" masyarakat Korea Selatan yang benar-benar terbukti membantu pasukan Korea Utara, namun juga "menghukum" para lawan politiknya dengan dakwaan yang sama. Dalam situasi yang kacau, hukum tidak berlaku sesuai dengan prosedur. Penculikan lawan-lawan politik Syngman Rhee berjalan mulus tanpa ada halangan karena keadaan negara yang kacau.

Salah satu kisah tentang penculikan tersebut ditemui oleh Mochtar Lubis ketika mengamati keadaan di depan gedung parlemen Korea Selatan. Seorang wanita menghampirinya dengan balutan luka di tangannya, bercerita dengan tangis yang tak tertahankan dalam bahasa Korea yang tidak ia mengerti. Hingga akhirnya datang seorang wanita yang bisa berbahasa Inggris menerjemahkan kata-katanya untuk Mochtar Lubis. Awalnya Mochtar Lubis mengira wanita tersebut menangis karena kesakitan akibat luka di tangannya dan mencoba meminta obat kepada Mochtar Lubis, namun ternyata perkiraannya salah. Setelah diterjemahkan, ternyata wanita tersebut mencoba untuk menanyakan keberadaan suaminya kepada Mochtar Lubis. Ia bercerita pada Mochtar Lubis bahwa suaminya ditangkap tanpa penjelasan ketika ia dan suaminya berkeliling kota Seoul untuk mencari sisa-sisa makanan. Semenjak hari itu ia terus mencari suaminya dan tanpa henti berkeliling kota Seoul.

Cerita tersebut merupakan satu dari banyak kisah penderitaan karena perang Korea yang ditemukan oleh Mochtar Lubis. Banyak kisah-kisah yang dicatat oleh Mochtar Lubis yang tak akan pernah tersampaikan oleh surat kabar manapun di seluruh dunia. Akhir kata, saya sangat merekomendasikan buku ini kepada siapapun yang masih menganggap perang sebagai sebuah jalan keluar agar dapat melihat sisi lain dari perang yang terkadang terlupakan karena termakan oleh waktu.

03/05/14

Bukan Spiderman

Amazing Spiderman 2 memang menyajikan sesuatu yang berbeda dengan Spiderman sebelumnya ketika masih diperankan oleh Tobey Maguire. Dengan kenakalan Andrew Garfield saat mengenakan kostum Spiderman dan hadirnya Gwen Stacy yang diperankan Emma Stone memberikan warna baru untuk si manusia laba-laba. Tapi tulisan ini bukanlah untuk membuat review tentang film manusia laba-laba.

Salah satu sorotan yang paling tajam dari setiap kisah pahlawan super adalah hadirnya dua kehidupan yang berbeda dari keseharian sang pahlawan. Superman dengan Clark Kent-nya yang bekerja sebagai reporter, Spiderman dengan Peter Parker sebagai seorang remaja yang merintis menjadi fotografer, atau si millionaire Bruce Wayne yang memilih untuk mengamankan kota Gotham sebagai Batman. Tapi apakah hanya mereka yang memiliki dua kehidupan yang berbeda? Saya rasa tidak. Pernahkah kalian merasa bahwa kita ini memiliki hidup yang beragam? Minimal seperti para pahlawan super ini, kita punya dua kehidupan yang berbeda. Mengutip kata-kata bibi May, "terkadang kita menyembunyikan kehidupan kita, bahkan kepada mereka yang kita sayangi". Tapi kehidupan apa sebenarnya yang kita sembunyikan? Everybody have their own issues I think.

Be kind, for everyone you meet is fighting a hard battle
Kutipan dari Ian Maclaren mungkin bisa menjelaskan bagaimana seseorang memiliki dua kehidupan yang berbeda. Setiap orang mengalami pertarungan yang hebat dalam hidupnya setiap hari, setiap detik, dalam setiap keputusan yang mereka ambil. Kita pun demikian saya rasa. Seseorang bisa saja sangat ramah dalam satu pertemuan, namun mungkin dia tidak akan seramah itu dalam pertemuan-pertemuan lainnya. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam setiap detik hidupnya. Seperti halnya Spiderman bukan? He fought a very hard battle against the super-villains and no one know that he was only a teenager with the same problem like the rest of us.

Sometimes the person who tries to keep everyone happy is the most lonely people
Bagaimana sebuah senyuman itu bisa lahir mengalami proses yang rumit. Senyuman, sebuah hal sederhana yang dapat menyebarkan kebahagiaan ternyata memiliki dilemanya sendiri dengan tangis yang disimpan oleh setiap pemiliknya. Sebagai manusia, kita adalah makhluk hidup yang cukup egois. Kita ingin orang lain untuk menghargai kita, mengerti akan kesedihan dan keadaan kita, namun jarang untuk mencoba mau untuk sekedar lebih peduli dengan orang lain. Kita cenderung senang untuk ditanya ketimbang bertanya, sekedar bertanya "ada apa?" atau "bagaimana kabarmu?". Kita lupa bahwa kita perlu mendengar sebelum didengar. Kita terus ditekan oleh sekitar kita, menjadikan kita pribadi yang semakin individualistis. Lelah dengan keluhan sedang senyuman harus terus terpajang di wajah.

Pada akhirnya, kita semua adalah para pahlawan super minus kekuatan super bukan? Kita memiliki sisi-sisi kehidupan yang disembunyikan. Kita juga harus menjaga perasaan tiap-tiap orang dengan menimbang perasaan kita sendiri. Semakin kita hidup, semakin rumit kehidupan.

"The loneliest people are the kindest. The saddest people smile the brightest. The most damaged people are the wisest. All because they do not wish to see anyone else suffer the way they do."