25/06/14

Cantik Itu Mahal

"Kenapa ya bu, kenapa bisa begini," kata anak muda itu dengan wajah penuh kekecewaan.

"Ibu kan sudah bilang, hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di televisi," sang ibu berkata sambil mengelus rambut anak semata wayangnya itu.

"Kenapa materi, harta, benda, bisa membuat kita bersikap sangat berbeda terhadap manusia lainnya bu?" tangannya mulai mencari-cari batu di taman untuk dilempar ke kolam sebagai pelampiasan kekesalannya.

Sang ibu hanya tertegun. Sore itu, ia harus menjelaskan pahitnya hidup kepada anak semata wayangnya yang masih terlalu muda. Sembari merangkai kata, kenangan akan dosa-dosanya di masa lalu menghiasi pikirannya.

. . .

"Aku gak mau jalan sama kamu, kalo kamu gak bawa mobil," wanita muda itu meronta mencoba melepas tangannya dari genggaman seorang pria sebayanya.

"Kamu kok matre banget sih?" pemuda itu tak juga melepas genggamannya.

"Lepasin! Kalo gak nanti aku teriak!" si wanita mengancam.

"Oke, oke! Aku kecewa sama kamu, pikiran kamu sempit!" akhirnya pemuda itu melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan si wanita.

"Sempit? Mungkin kamu ya yang belum sadar. Aku ini wanita, senjata utamaku ya kecantikanku. Aku harus jaga asetku dong! Lagipula, kalo memang benar kamu anak orang mampu, pastinya kamu punya mobil!"

"Aku ga pernah bilang sama kamu kalo aku punya mobil,"

"Kalo begitu, aku yang salah. Maaf ya, aku gak bisa jalan sama kamu,"

"Mau sampai kapan kamu memberikan harapan-harapan palsu ini kepada para lelaki, hey Laila?"

"Sampai aku menemukan dia yang bisa menjagaku, merawatku, mengerti kebutuhanku. Sadarlah Amin, hidup itu mahal, dan laki itu gak cuma kamu. Wajar saja jika aku menebar kecantikanku, bukan cuma untuk kau seorang,"

"Berarti semua ini hanya masalah materi?"

"Amin, ayolah. Aku tahu kau pintar,"

"Tapi aku mencintaimu Laila! Aku mencintaimu apa adanya!"

"Kamu tahu aku harus tampil cantik kan? Dan biaya untuk kecantikan itu mahal. Bagaimana aku bisa tetap tampil cantik dengan menaiki motormu itu? Polusi, debu, kotoran, iyuuuh. Aku hanya mengambil jalan tengah. Jujurlah pada dirimu sendiri Amin, kau tidak akan mencintaiku jika aku jelek kan?"

Pemuda itu terdiam mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut manis si wanita cantik itu. Kata-katanya seperti menusuk hati dan membolak-balikkan pikirannya. Apa iya cinta itu datang dari mata? Apa iya cinta harus dipupuk dengan harta? Apakah hidup semahal ini?

"Sudahlah, kembalilah ketika kamu punya mobil sendiri," sang wanita pun pergi, tertutup kabut kenangan.

. . .

"Ibu, ibu," anak muda itu mengguncang tubuh ibunya yang membatu sesaat.

"Iya nak? Maaf ya, ibu melamun tadi,"

"Aku lapar,"

"Ayo, kita makan di restoran favoritmu. Panggil pak Juki untuk mengantar kita,"

"Pak Juki!" anak muda itu memanggil supirnya.

"Iya mas?" lelaki tua dengan kumis lebat datang dengan tergesa-gesa.

"Tolong antar aku sama ibu ke restoran ya,"

"Baik mas,"

"Oh iya, aku lupa menaruh sepeda motor ayah tadi, tolong masukkan sekalian ya pak," anak muda itu dengan nada lembut menyuruhnya. Langkah tergesa-gesa pun menghiasi kaki tua pak Juki selepas mendengar perintah majikannya itu.

Setelah pak Juki memasukkan motor majikannya ke garasi, ia mengeluarkan mobil mewah majikannya dan membukakan pintu untuk mereka.

"Pak Juki, besok pagi jangan lupa jemput bapak ya di bandara," sang ibu berkata sesaat sebelum menaiki mobil.

"Baik bu, besok pagi saya akan jemput pak Amin," kata si supir sambil menutup pintu mobil.

24/06/14

Sampai Nanti

"Kalo wanita yang disakiti, biasanya sebuah hubungan masih bisa bertahan. Si laki bakal anulah, inilah, biar hubungan itu bisa kembali berjalan. Tapi sayangnya, kalo si laki yang disakiti... Well, aku belum pernah melihat laki-laki yang cukup pemaaf,"

Aku kembali meminum kopi susu hangatku. Mataku masih memandang lampu jalanan ibukota yang terang benderang. Malam yang berisik mengingatkanku tentang sebuah kisah tentang angka lima yang dulu pernah aku baca dalam sebuah surat kabar. Sebuah kisah yang tenang dan jauh dari keramaian. Tentang sepasang kekasih yang harus saling menyakiti untuk dapat menemukan jalan hidup mereka masing-masing.

"Sudah, kalo memang jodoh gak akan kemana. Sekarang fokus saja dulu dengan pekerjaanmu, bukankah masih banyak mimpi-mimpimu yang belum tercapai?"

"Ya, kurasa kau benar. Aku terlalu lama tenggelam dalam urusan wanita. Kau tahu, dulu pernah sesekali seorang teman meramalku. Katanya, dari tiga kelemahan pria (harta, tahta, dan wanita), aku akan jatuh di tangan wanita," aku tersenyum mengakhiri kalimatku yang disambut tawa ringan olehnya.

"Ah, andai ya waktu terulang kembali,"

"Untuk apa waktu terulang kembali?"

"Kenapa kau berkata demikian?"

"Meskipun waktu terulang kembali, aku akan tetap memilih jalan yang sama. Melewati hari-hariku persis seperti apa yang telah aku lewati. Hanya mereka yang menyesal dengan hidup mereka yang meminta waktu bisa diputar kembali, Isabel,"

"Ah, kau ini, selalu saja menyindirku,"

"Aku tidak menyindirmu, aku hanya..."

"Menerima kenyataan?"

"Bisa dibilang begitu. Kita tidak akan pernah bisa bergerak jika kita terus melihat ke belakang, bukan? Aku tidak pernah berkata aku tidak merindukan masa laluku. Semua yang indah dan buruk telah kita lalui, menjadikan kita seperti hari ini,"

"Menjadikan kita secangkir kopi susu dan segelas air putih?" Isabel tertawa.

"Ah, kau merusak suasana," aku kembali meminum kopi susuku.

Malam yang berisik di ibukota tidak pernah mengganggu mimpi-mimpi indah yang tercipta oleh insan-insan manusia yang sedang tertidur lelap. Kita adalah hasil akumulasi dari masa lalu kita, tapi masa depan ditentukan oleh keputusan-keputusan yang akan kita buat, dimulai dari sekarang.

Sampai nanti. Sampai masa depan menemuimu.

"I suppose, in the end, the whole of life becomes an act of letting go. But what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye." 
-Life of Pi

11/06/14

11 Juni 2014

Kepada Isabel,

Sudah lama kita tidak berbincang atau sekedar bertukar sapa. Bagaimana kabarmu? Apakah kau masih seperti dahulu? Tersenyum tersipu malu jika kupandang matamu lebih dari tiga detik? Oh, Isabel, kau tahu, sungguh dalam hati masing-masing manusia menyimpan rindu yang tak terkira. Kepada Tuhan, kepada keluarga, kepada cinta, dan kepada dendamnya.

Aku baik-baik saja di hutan beton ini. Aku masih menjadi diriku, atau mungkin lebih tepat mengatakannya, aku kembali seperti dulu lagi. Seperti sejak sebelum bertemu denganmu. Isabel, dunia ini keras ya. Terkadang kita lupa bahwa sebenarnya kita hanya memerlukan sebuah senyuman untuk dapat membuat sepersekian detik hidup kita sendiri atau bahkan hidup orang lain lebih indah.

Isabel, dari semenjak kepergianku, banyak cerita yang belum aku sampaikan. Entahlah, apakah suratku ini akan sampai padamu atau tidak. Meskipun sampai, apakah akan kau baca? Ah biarlah. Lagi-lagi, cerita tentang cinta memang cerita yang tidak akan pernah habis dimakan usia. Bagaimana dengamu? Sudahkah kamu menemukan cinta sejatimu? Terakhir kita bertukar kabar, kau masih mengidam-idamkan sosok yang aku pikir tidak akan pernah hadir di dunia ini. Kau memang seorang utopis sejati, haha.

Sungguh cinta itu sulit dimengerti. Yang dekat terkadang terasa jauh, yang jauh terkadang terasa dekat. Apakah kau pernah merasakannya juga, Isabel? Ya, aku bertemu dengan dia yang dulu pernah merebut hatiku dengan senyum manis dan paras wajah cantiknya. Aku menghabiskan hariku dengannya melewati senja yang tertutup awan hitam polusi kendaraan ibukota. Aku menyukainya, jujur. Tapi terkadang ada rasa yang kurang, yang janggal. Hening di antara kami sangat asing. Dia tak pernah banyak bertanya, dia tak pernah banyak memberi kabar, tapi dia selalu ada. Katakan, apakah itu cinta?

Ah, Isabel, aku ini lelaki yang tak akan pernah terpuaskan hasratnya. Beberapa malam yang lalu aku juga memberanikan diri untuk bertemu dengan dia yang matanya menembus relung jiwaku. Malam itu rembulan ditutupi hujan yang turun dengan malu-malu, memberikanku nuansa romansa yang tak pernah aku rasakan semenjak kepulanganku ke ibukota. Ia begitu cantik, Isabel. Aku tak bisa melepas pandanganku darinya. Kendati demikian, mata kami tak pernah bertemu karena ia sibuk berbincang dengan sahabatnya. Ah! Aku merasa bodoh sekali malam itu. Ragaku seakan-akan membeku dengan keberadaannya. Aku tak bisa menjauh, tapi aku segan untuk mendekat. Aku takut terlalu dekat, Isabel. Lagi-lagi, apakah itu cinta?

Aku rasa ia akan menjadi cinta yang tak berbalas Isabel. Tapi biarlah, memandang wajahnya saja sudah membuatku senang, membuat bibirku tersenyum tanpa kusadari. Terkadang aku suka terperanjat dengan diriku sendiri yang diam-diam menyimpan foto-fotonya di telepon genggamku. Sungguh lucu ya? Haha.

Sudahlah Isabel, besok aku harus kembali menjalani hari layaknya pria-pria dewasa. Menyusuri jalanan yang keras dan tak mengenal belas kasih demi mencari rezeki. Aku harap kau tak keberatan dengan kisahku yang agak panjang malam ini.

Dari aku yang merindukanmu,

P.S: 
Cepatlah pulang, banyak orang membutuhkanmu 9 Juli nanti.