12/08/14

Tidak Ada yang "Salah" dengan Pekerjaan Pertama

Malam itu Mampang Prapatan dipadati oleh mobil-mobil yang berisikan orang-orang yang pulang kerja. Saya berada di dalam taksi menuju sebuah restoran milik seorang senior sambil mendengar ceramah agama sang sopir taksi. Cahaya yang tercipta oleh lampu-lampu mobil-mobil mewah, angkutan umum, lampu jalanan, dan gedung-gedung pencakar langit menjadi suatu lukisan indah yang sulit dilupakan bagi mereka yang pernah berada di tengah sibuknya kota Jakarta. Terkadang betapa sulitnya kita bersyukur atas nikmat-Nya meski semudah melihat nuansa kota melalui jendela kecil taksi berwarna biru.

"Tidak ada yang salah dengan pekerjaan pertama," katanya di tengah perbincangan kami. Seorang kakak, guru, mentor, atau saya lebih suka memandangnya sebagai seorang figur, role model untuk anak muda bau kencur yang belum tahu apa-apa tentang dunia kerja. Tiga jam berlalu begitu saja, saya tenggelam dalam pembicaraan kami akan pekerjaan kami yang berada dalam satu bidang, dan restoran itu tetap ramai dengan orang-orang yang juga tenggelam dalam entah apa yang ada di tiap-tiap pikiran mereka.

Jujur saya selalu merasa minder apabila pertanyaan mengenai "gaji" muncul di antara saya dan teman-teman saya yang sudah atau setidaknya sedang mengenyam pendidikan yang katanya disebut-sebut sebagai kampus kerakyatan. Dengan melihat kakak-kakak kami yang lulus dan mendapat pekerjaan serta gaji fantastis di ibukota, jelas saya ini tidak ada apa-apanya, hanyan butiran debu di tengah hutan beton ibukota. Ada sebuah mindset yang tercipta, sebuah standarisasi bahwa lulusan salah satu dari tiga universitas negeri raksasa di negara Indonesia ini harus menjadi "seseorang", ditambah lagi Presiden baru kita yang satu almamater dengan saya. Sebuah citra yang harus dijaga, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai beban moral untuk mereka-mereka yang baru menetas keluar dari sana.

Apakah ada yang salah dengan saya? Atau dengan teman-teman saya? Apakah semua standarisasi itu harus dipenuhi demi sebuah citra yang mungkin beberapa tahun lagi berubah? Saya sangat bersyukur bisa mengenyam pendidikan di universitas terbesar di Indonesia, saya mendapatkan banyak sekali pengalaman, wawasan, serta pelajaran hidup di sana. Terkadang saya suka termenung memandang gelagat teman-teman saya dalam melihat dunia kerja. Memang, tidak pernah ada salahnya untuk beropini, membicarakan sesuatu sesuai pengalaman, namun apakah pengalaman kita sama?

"Kamu serius mau digaji sebesar itu? Kamu menganiaya diri kamu sendiri tahu,"

Berbagi kisah adalah sebuah pembelajaran, dan tujuannya adalah untuk dapat saling menghormati. Saya tahu betul tiap-tiap orang memiliki misinya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan saya. Kita begitu lama bermimpi saat kuliah, dan terbangun dari mimpi yang indah itu rasanya sakit sekali. Saya tidak bisa memenuhi standar maya yang terbentuk dalam mindset teman-teman saya. Saya rasa-rasanya berjalan tertatih-tatih keluar dari gerbang perguruan tinggi. Tapi, ada yang bernasib lebih menyedihkan lagi dari saya. Apa itu bisa menjadi pembenaran?

Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri orang-orang yang tidak bisa menggunakan bahasa yang katanya merupakan bahasa pemersatu dunia, bahasa internasional, dalam kehidupannya sehari-hari maupun untuk urusan formal. Mereka diperas dari jam 7 pagi hingga jam 6 sore selama bertahun-tahun untuk gaji yang besarnya tidak lebih dari saya yang baru saja masuk kerja sekitar 2 bulan. Ada lagi mereka yang memiliki potensi luar biasa besarnya, namun harus memikul nasib berat atas tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara. Mereka rela untuk tidak digaji "demi sebuah mimpi akan negara yang lebih baik," katanya. Dan masih banyak lagi kejadian sehari-hari yang bisa, lagi-lagi, saya gunakan untuk menjadi pembenaran nasib saya ini.

Memang tidak ada yang salah dengan pekerjaan pertama. Pekerjaan pertama selalu menjadi awal mula seseorang menapaki dunia kerja. Kita tidak akan pernah bisa berharap lebih dari kaki yang masih bergetar di pinggir tebing. Menatapi langit yang luas, yang terkadang rasanya tak akan tersentuh. Tapi kita bisa melihat burung-burung yang terbang, awan, matahari, dan bintang-bintang yang bersinar di gelapnya malam. Dan mungkin sewaktu-waktu kita bisa menjadi bagian dari itu semua.

01/08/14

Munculnya Cinta

Dari begitu banyaknya cerita tentang cinta, apakah kita benar-benar tahu artinya cinta, Isabel? Apakah kita pernah sekedar bertanya kepadanya tentang maksud kehadirannya di setiap nafas kehidupan mahkluk ciptaan Tuhan? Atau, bertanya "Siapa sebenarnya Tuhan?". Ah, pertanyaan yang begitu tabu dipandang oleh masyarakat. Berbicara seakan kita tahu segalanya hingga lupa bahwa sang surya telah lama tenggelam.

Isabel, siang ini aku melakukan ibadah yang sudah jarang rasanya aku lakukan semenjak aku kuliah. Ya, ibadah, Isaebel. Apa kau tahu artinya ibadah? Ah, kau pasti sudah memiliki definisi yang jauh lebih canggih dariku. Bagiku, ibadah adalah cara agar kita bisa dekat dengan Tuhan. Atau sekedar berkomunikasi dengan-Nya, meski seringkali hanya berbisik ke telinga-Nya. Apakah kau memiliki definisi yang berbeda? Izinkan aku tahu. Mari, aku lanjutkan cerita pendekku kembali.

Sang penceramah nampak semangat melontarkan kata-kata pujian serta doa-doanya siang itu. Ada satu hal unik yang aku tangkap dari ceramahnya, yakni tentang munculnya cinta. Aku tak pernah memikirkan sebelumnya bagaimana cinta bisa muncul di dunia ini. Mengapa kita tidak pernah membicarakan ini ya sebelumnya, Isabel? Di tengah propaganda dan segmentasi agama yang ia bicarakan, yang lagi-lagi, seperti yang sudah-sudah, hanya berkutat antara neraka dan surga, dia berbicara tentang cinta. Meski rasanya seperti hanya kurang dari lima menit ia membicarakan tentang cinta dan kaitannya dengan agama, pikiranku terbang sendiri mencari kisah tentang munculnya cinta siang itu, Isabel.

Kapan dan darimana sebenarnya cinta muncul? Apakah ia seorang lelaki berengsek yang mencari wanita tiap malamnya tanpa ia kenal namanya esok hari di ranjang hotel mereka menginap? Atau ia adalah seorang ibu yang membersihkan kotoran anaknya hingga ia bisa membersihkannya sendiri di usianya yang masih kecil? Atau ia adalah seorang kakak yang bingung dengan kehadiran adik barunya hingga terkadang merasa iri dengan segala perhatian yang didapatkan namun tetap tidak bisa memungkiri hatinya yang penuh dengan suka cita?

"Saudara-saudara, cinta datang di tengah harapan dan keraguan," sang penceramah memecah keheningan yang hinggap di otakku. Apa iya cinta datang di antara harapan dan keraguan?

"Ketika kita memberikan perhatian kita kepada seseorang, di sana timbul harapan bahwa kita juga ingin mendapatkan perhatian. Ingin dicintai,"

"Namun, kita seringkali lupa bahwa harapan tidak pernah datang sendiri. Ia datang bersama keraguan. Keraguan akan datangnya cinta yang kita harap,"

"Saat itulah cinta muncul, saudara-saudara,"

Dan cinta pun muncul. Menjadi jawaban atas harapan dan keraguan. Namun, apakah iya selalu berakhir seperti itu? Bagaimana dengan cinta yang tak terjawab? Tak terbalas? Apakah akan berakhir sama? Apakah ini hanya konsep belaka, yang lagi-lagi, hanya berkedok sebagai propaganda?

Yang aku mengerti, Isabel, cinta itu adalah kebenaran. Ia adalah yang sebenar-benarnya. Ia menghapuskan dendam dan benci, menghilangkan iri dan dengki, ia membutakan mata seseorang atas perhitungan untung dan rugi.. Jika ia benar adalah kebenaran, maka sang penceramah tidak berbohong. Karena seperti yang kau dan aku selalu bicarakan setiap kali kita bertemu, "Kebenaran hadir di tengah harapan dan keraguan,"

Kita berharap, kemudian meragu. Semakin kita dekat dengan kebenaran, semakin banyak cobaan yang datang. Jika harapan dan keraguan selalu datang bersamaan, apakah cinta datang sendiri? Akankah dia pergi, Isabel? Akankah kita sebenar-benarnya tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kita? 

Apakah cinta itu ada?