22/02/14

Gosip Malam di Sekitar

Malam ini saya menghabiskan sekitar empat jam untuk berkumpul dan melepas tawa bersama teman-teman saya. Jogja yang malam ini dianugerahi hujan membawa kami pada suasana yang menyenangkan untuk melepas penat dengan segelas minuman hangat maupun dingin yang pas dengan lidah kami masing-masing. Kali ini saya ingin bergosip sedikit tentang dua isu yang terjadi di sekitar saya: wisuda dan agama.

Dua hari yang lalu baru saja UGM melakukan pelaksanaan wisuda gelombang pertama, yakni untuk gelombang bulan Februari. Kegiatan yang diiringi sukacita karena telah selesainya masa studi ini seharusnya menjadi ajang untuk berbenah diri, baik bagi yang wisuda maupun yang belum. Kenapa berbenah diri? Wisuda merupakan akhir dari masa studi namun juga merupakan awal bagi para sarjana memasuki dunia pekerjaan. Well, kecuali bagi mereka yang memang sudah bekerja saat sambil kuliah atau bahkan sebelum kuliah memang tidak akan terlalu kaget. 

Saya setuju dengan postingan seorang teman yang mengatakan "Jangan sombong kalo kamu lulus duluan dengan IPK cumlaude, siapa tahu kamu nanti kerja di perusahaanku." Sombong memang suatu hal yang oleh siapapun harus dihindari. Tapi alangkah baiknya jika kita, baik yang wisuda maupun yang belum, menanggapi ini dengan hal positif. Pertama, bagi yang sudah wisuda memang suatu kebanggaan untuk bisa lulus, artinya kan sudah berhasil menyelesaikan masa studi, yang bagi beberapa mungkin dirasa berat. Ya mungkin saja terkadang kita sebagai manusia khilaf dengan artian berbangga hati dengan cara yang berlebihan. Kedua, untuk yang belum wisuda alangkah lebih baik jika kata-kata seperti itu tidak keluar, meski sebagai tujuan untuk pengingat. Wong, kita kan juga sama-sama manusia, sama-sama teman, masa sih harus sampai seperti itu? Kenapa kita tidak turut menjadi bagian sukacita tersebut? Seharusnya ajang wisuda bisa menjadi instropeksi bagi diri kita, "Apa ya yang salah dengan saya? Kok teman saya sudah lulus tapi saya belum?" dan menjadi cambuk semangat untuk kita menyelesaikan masa studi dan segera masuk ke dunia kerja.

Isu kedua yang ingin saya komentari sebenarnya terpantik oleh berita pencabutan larangan atheisme di UGM. Sebelum berkomentar ada baiknya kita membaca beritanya terlebih dahulu (yang memang agak jauh relevansi judul dengan isinya):


Berita tersebut sebenarnya ingin memberi kita informasi mengenai perubahan peraturan Rektor UGM. Perubahan pasal tersebut sebenarnya bukan diawali oleh dukungan untuk mempelajari atheisme dan keberagaman agama (yang sangat saya harapkan pada awalnya sebagai institusi pendidikan yang ternama), melainkan untuk menjaga ketertiban. Peraturan tersebut sebatas pelarangan mahasiswa untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Ya, kalo saya pribadi sih tidak terlalu mempersoalkan, namun pastinya banyak yang akan responsif terhadap "judul" berita yang rasanya tidak pas dengan isinya.

Pemahaman mengenai agama adalah suatu hal yang sangat fundamental dan terkadang sangat sulit dipisahkan antara mana yang faith dan mana yang bisa diperdebatkan. Bagi banyak orang, termasuk saya, agama adalah suatu hal yang dapat diperdebatkan, namun jika sudah menyentuh ranah faith itu menjadi soal lain. Faith di sini artinya adalah sebuah kepercayaan dari lubuk hati yang dibumbui pengalaman kerohanian. Suatu hal yang terkadang sangat sulit untuk dijelaskan. Hemat saya, sebelum berdebat mengenai pemahaman agama, kita perlu tahu terlebih dahulu apakah lawan kita mengerti mengenai pembedaan dari objek perdebatan itu.

Di negara yang katanya sekuler namun sangat religius ini, kita tidak bisa sembarangan memperdebatkan agama dengan orang lain. Rasa mudah tersinggung menjadi hal yang lumrah di Indonesia (yang mana juga menurut saya menghambat kemajuan kekritisan pemikiran kita). Banyak yang suka mengkritik namun masih banyak juga yang masih tidak mau dikritik (saya juga termasuk lho). Intinya, kita ya sama-sama belajar untuk saling memahami terlepas apakah kita memang benar-benar paham atau tidak mengenai agama. Setidaknya kita tetap berkembang tanpa harus menyakiti orang lain, kecuali jika memang orang itu ingin berkembang juga, maka dia harus menerima konsekuensi untuk mau dikritik.

Well, saya rasa itu komentar singkat saya atas gosip-gosip di sekitar saya. Shhhh! Coba perhatikan lebih baik! Lebih banyak mendengar membuat kita bisa lebih banyak berbicara lho! Lebih banyak membaca "seharusnya" membuat kita semakin bijak. Saya Iqbal, selamat malam!

19/02/14

19 Februari 2014

Sudah beberapa malam ini aku sangat merasa kosong. Kosong dengan jadwal yang melompong, skripsi yang tertunda karena harus menunggu dosen untuk kembali ke tanah Jogja. Pagi ini lima temanku telah diwisuda. Tak terasa waktu berlalu cepat ya? Aku mulai menghitung waktu dan rasanya sangat janggal. Terkadang terasa sangat cepat berlalu, tapi lebih sering terasa sangat lama. Ketiadaan aktivitas membuatku rapuh dan membuatku terhenti, seperti jam dinding tua yang berkarat.

Temanku sekarang hanya ada satu, pena dengan tinta yang menodai waktu. Yang lain berpencar mencari hikmah dalam hidupnya sendiri-sendiri. Ada yang terjebak, mengutuk, bahagia, dan tak sedikit yang kembali ke awal. Sekarang rasanya aku bisa memahami arti "teman hidup". Di saat-saat terakhir, mereka bilang, kita akan mengingat awal. Sepi sudah rasanya tanah Jogja malam ini. Apakah aku yang memang benar-benar sendiri atau pikiranku yang sedang menjebakku?

Sering aku berkata, "Kasihan ya mereka yang tidak merantau, tidak tahu rasanya 'hidup'" dan aku sadar aku begitu sombong. Sekarang setiap aku melihat cermin yang tepat berada di depanku, ia seakan berkata, "Kasihan ya, kamu sendiri". Dan baru sadar aku bahwa kebosanan adalah penjara yang paling menakutkan. Ketika buku tak lagi memberikan arti, serta kekasih yang hanya bermakna esensi dan tiada eksistensinya. Menemani dari jauh, hanya sekedar kata tanpa sentuhan. Sekarang yang ada hanya kata melanjutkan, sesal telah tertinggal, karena pilihan telah diambil. "Tahun pertama dan kedua, kalo bisa main sama teman-teman terus. Kalo sudah tahun-tahun terakhir 'kan sudah sendiri-sendiri, baru cari pacar yang bisa nemenin bikin skripsi," begitu yang kuingat kata-kata dari seorang senior yang sekarang entah mencari rezeki di mana.

Aku begitu iri dengan banyak orang yang menghinaku berlebihan, yang memikirkan hal-hal yang lebih penting dan hal-hal yang lebih sederhana dariku. Mungkin ini yang dirasakan para filsuf zaman dulu. Aku sudah menghitung hari, kemudian kusadari, aku tak bisa pulang lagi. Rumahku tak akan sama lagi. Aku telah berada di tengah-tengah, di saat-saat ragu untuk menyikap masa depan dan tak ada jalan pulang. Sekarang inilah rumahku. Kamar 3x4 yang sejak dua tahun lalu aku berpindah. Seiring aku menulis ini, pikiran kecil menyelip ke dalam hati, "Semua begitu indah pada waktunya kurasa, sekarang saatnya melakukan simplifikasi: toga, kerja, menikah, tua."

Tapi, lagi-lagi kutanya, "Apa iya hidup manusia sesimpel itu?"

17/02/14

Ibu Risma Layak Mendapatkan Kebahagiaan

Di tengah desas-desus ingin mundurnya Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Najwa Shihab mendapatkan momentum yang tepat untuk membuka hati dan mata masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Surabaya pada khususnya akan keadaan cahaya harapan mereka itu. Dengan ketajamannya, Najwa Shihab berhasil menguak rahasia terdalam dari Ibu Risma (panggilan akrab Tri Rismaharini) dan membaginya kepada kita semua. Bagi kita yang selama ini mengenal Ibu Risma sebagai sosok yang kuat, tegas, tegar, dan pemberani, tentu kita akan terkejut dengan tetesan arti mata yang keluar di tengah wawancara eksklusif tersebut.

Tekanan politik
Lulusan ITS ini sebenarnya tidak memiliki latar belakang politik yang begitu kuat. Ibu Risma memainkan perannya sebagai Walikota murni menggunakan hati nuraninya tanpa memikirkan strategi politik. Baginya menjadi Walikota adalah amanat besar dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Tuhan di alam baka kelak. Dengan sifatnya yang religius, Ibu Risma telah mendapatkan banyak sekali 'pencerahan' untuk menunaikan tugasnya. Beberapa kebijakan yang kontroversial tidak luput dari sifat religius dan sifat seorang ibu. Di mulai dari pengecekan jalannya proyek, penutupan lokalisasi, hingga permasalahan di Kebun Binatang Surabaya. Mengandalkan pendekatan pribadi terhadap objek yang akan mendapatkan dampak utama dari kebijakan yang akan dikeluarkannya, Ibu Risma berhasil menangkis banyak kritik. Meskipun begitu, masih banyak yang belum dapat menerima caranya untuk mencapai tujuan utamanya sebagai Walikota Surabaya, yakni menyejahterakan segenap penduduk kota pahlawan.

Tiga tahun telah berlalu di masa pemerintahan Ibu Risma yang pertama. Kendati demikian, Ibu Risma sudah harus menghadapi badai tekanan politik yang kuat dari segala sisi. Ketegasannya untuk menolak pembangunan jalan tol di Surabaya telah membuka sifat asli para politikus materialis yang selama ini bersembunyi di belakangnya. Padahal cita-citanya menolak jalan tol sesederhana agar masyarakat Surabaya tidak perlu membayar untuk bisa memakai jalan gratis yang dibangun oleh pemerintah. Lobi dan tekanan politik terus mengejar Ibu Risma hingga tetes terakhir air matanya. Sekarang, keadaan cahaya harapan masyarakat Surabaya itu sudah berada di ujung tanduk.

Mundur untuk menang
Sebagai seorang wanita, Ibu Risma tidak bisa terlepas dari kerapuhan emosi. Meski terkenal dengan keberanian dan ketegasannya, Ibu Risma tetaplah seorang ibu dan seorang istri yang juga memiliki keluarga. Najwa Shihab berhasil menggali kegelisahan Ibu Risma di wawancara eksklusifnya dengan membuatnya mengatakan, "Saya sudah memberikan semua yang saya punya untuk masyarakat Surabaya." Dalam kata lain, Ibu Risma sebenarnya menunjukkan betapa apa-apa yang sudah beliau korbankan tidak kunjung terbayar dan sedang mengalami krisis kepercayaan bahwa apa yang selama ini diyakininya benar apakah memang benar-benar setimpal.

Memang sangat disayangkan ketika seorang pemimpin ideal yang muncul ketika krisis kepercayaan terhadap pemimpin menghampiri negeri ini dihinggapi sebuah pertimbangan untuk mundur. Seluruh masyarakat Indonesia tahu seberapa besar masyarakat Surabaya mencintai Walikotanya, cahaya harapannya. Namun sangat disayangkan ketika yang terjadi adalah demonstrasi untuk melarang Ibu Risma mundur. Mungkin ini bisa dimengerti karena dukungan yang sifatnya lebih elegan dengan menggunakan media sosial Twitter tidak begitu berpengaruh terhadap stance bimbang yang masih hinggap di benak Walikota Surabaya. Tetapi, dukungan yang diperlukan oleh Ibu Risma sekarang sebenarnya berasal dari keluarganya, dan orang-orang terdekat yang dipercayai oleh Ibu Risma. Karena sejak awal, merekalah yang menyemangati Ibu Risma dan mendampinginya menjejakkan kaki di arena kotor politik untuk bisa membersihkan debu-debu yang selama ini menyelimuti kota Surabaya.

Ibu Risma layak mendapatkan kebahagiaan atas apa yang telah ia lakukan kepada kota Surabaya. Jika ia bahagia bisa melayani masyarakat Surabaya, yang katanya, 'menggantungkan harapan' kepadanya, maka sudah sebaiknya Ibu Risma meneruskan perjuangannya hingga akhir masa jabatan. Namun jika baginya mundur adalah pilihan yang tepat, sudah seharusnya sebagai seseorang yang mencintai pemimpinnya kita menghormati keputusan tersebut. Berikan Ibu Risma ruang untuk bernafas, berpikir, dan biarkan ia melepas rindu terhadap keluarganya yang selama ini ia titipkan kepada Tuhan untuk dapat menjalankan tugas sebagai seorang Walikota. Ibu Risma tetaplah seorang manusia, seorang istri, dan seorang ibu yang layak mengejar kebahagiaannya, seperti kita.

15/02/14

Ada Setangkup Haru dalam Rindu

Di tengah hiruk-pikuknya dunia maya tentang letusan gunung Kelud, malam itu aku pergi untuk keluar mencari makan malam. Jam telah menunjukkan pukul setengah 12 malam dan langkahku terhenti di sebuah pinggiran jalan. Tempat makan yang tidak asing lagi bagiku, sebuah tempat makan yang menjual gudeg dadakan itu rasanya enak dan memang agak mahal.

Tak ada yang berbeda malam itu, hujan abu pun belum turun, dan si ibu penjual juga masih dengan ramah menyapaku. Seperti biasa, aku memesan daging ayam bagian paha atas dan minum teh hangat untuk melawan dinginnya angin malam. Awalnya aku ingin membungkusnya, namun sepertinya akan lebih menyenangkan meluangkan waktu sejenak di luar kamar pikirku saat itu. 

Aku duduk di sebelah seorang bapak-bapak, umurnya mungkin 30an. Dia mengenakan batik, rapih dengan celana bahan, dan sepatu pantofel hitam. Dia tersenyum kepadaku sambil membenarkan kacamata bundarnya dan menyimpan kunci mobilnya di saku celananya sehingga ada ruang untukku duduk. Sesaat setelah aku memasukkan beberapa suap nasi, ada seorang bapak-bapak yang menghampiri bapak-bapak sebelahku. Tampilannya 180 derajat berbeda. Dia menaiki motor tua, dengan plat luar Jogja. Kaosnya lusuh, mengenakan celana pendek, dan sandal jepit.

"Halo, bung!" sapa bapak-bapak yang baru datang itu kepada sebelahku.

"Halo, gimana kabarmu?" balas sebelahku dengan logat Jakarta.

"Apik! Wah, rapih tenan koe?" tanyanya.

"Iya, ini abis dari nemenin bos," jawab sebelahku sambil tertawa kecil.

"Wah, sudah jadi orang ya kamu. Eh, tau gak teman kita si X sudah jadi Kajur lho sekarang!" kata bapak-bapak itu sambil mengambil dingklik untuk duduk di depan sebelahku.

"Wah, yang benar? Padahal dulu dia bilang gak mau jadi dosen, haha," balas sebelahku melanjutkan makannya.

"Iya, katanya dulu mau ke Jakarta, hidup kantoran, eh, rupanya ora iso lepas karo Jogja, haha,"

"Yah, namanya juga manusia, tidak ada yang tahu takdir toh? Kamu sendiri bagaimana? Gak mau rantau?" tanya sebelahku yang sekarang selesai menghabiskan makan malamnya.

"Wah, aku juga sepertinya sama seperti si X, terlanjur cinta dengan Jogja, haha" jawab bapak itu sambil menatap keramaian lalu lintas di perempatan Ring Road Jalan Kaliurang.

Keduanya melanjutkan perbincangan mereka, bernostalgia dengan waktu yang tidak pernah mau berhenti atau sekedar menanti. Aku segera menyelesaikan makan malamku dan kembali ke kamar kosku yang mungil. Sembari melangkahkan kaki, lampu-lampu jalanan berubah menjadi serpihan-serpihan kecil kenangan yang akan selalu teringat. Tentang kota yang penuh cerita, cinta, dan persahabatan. Tak terasa sudah hampir empat tahun aku ada di kota ini. Tak pernah menyesal aku berada di Jogja meski jauh dari keluarga. Jogja akan selalu menjadi rumahku, selalu memiliki tempat yang istimewa di hati setiap orang yang pernah ke kota Gudeg ini.

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..."

13/02/14

Seperti Buah

Sore itu sebenarnya aku akan menghadiri rapat organisasi, tapi satu buku yang baru aku selesai baca mengganggu pikiranku, membuatku resah. Aku membuka laptop mungilku dan mengutak-atik kata menjadi rangkaian kasar. Dosa sekali aku, melewatkan rapat untuk keegoisan nafsu berpikirku. 

Sahabatku ini, sudah dari setadi sebenarnya di hadapanku. Sesekali berbicara, sesekali aku tanggapi, sesekali aku kembali sibuk dengan kata-kata dalam dunia maya. Tak terasa, sudah tiga jam lamanya kami berdiskusi, dan suasana seperti ini yang mungkin kelak ketika aku sudah bekerja, berkeluarga, akan sangat aku rindukan.

. . .

"Intinya, manusia yang punya ilmu banyak itu seperti buah" katanya setelah menenggak sebotol minuman rasa.

"Maksudnya?" aku menghentikan tarian jariku di atas keyboard untuk mendengarkannya sejenak.

"Buah yang sudah tua atau matang itu teksturnya empuk. Contohlah mangga, semakin tua, semakin matang, semakin wangi, semakin empuk. Kalo dibuka, harum, warnanya meyakinkan kita kalo rasanya enak. Buahnya akan terasa lembut, empuk, dan manis." lanjutnya sambil menatap buku yang sudah aku baca di sebelah laptopku.

"Kalo begitu seharusnya para pemuka agama seperti itu dong" aku kembali melanjutkan tulisanku.

"Ya, seharusnya. Tapi kita kan gak tahu apakah para pemuka agama itu memang benar-benar punya ilmu banyak" lanjutnya.

"Pemuka agama kita banyak yang keras, saklek, sepertinya sangat takut dengan perubahan, dengan modernitas. Sedikit-sedikit dibilang 'kafir', sedikit-sedikit dibilang 'antek liberal', macam mana itu" aku berbicara masih sambil sibuk dengan tulisanku.

"Yah, kamu kan bisa membalikkan analogiku tadi. Yang belum matang, tentu keras teksturnya. Enggan menerima perubahan, enggan menerima sesuatu yang baru, karena mereka memang belum matang"

. . .

Kami mengakhirinya dengan tawa. Diskusi yang berawal dari masalah jilbab ini ternyata membuat tiga jamku sangat berharga. Tidak pernah aku menyesal menghabiskan waktu untuk berdiskusi, dengan siapapun, dan kapanpun tentunya. Diskusi membuatku mengerti dunia, mengerti manusia, mengerti siapa "aku" dan "kamu", dan terkadang membuatku kembali penasaran dengan-Nya. 

Sekarang, sahabatku itu malah diganggu dengan masalah jilbab. Tidak hanya itu, ada juga yang bermasalah dengan hari Valentine, besar-besar memposting gambar "Menolak hari Valentine karena saya seorang muslim". Radang hati ini rasanya, itu kan budaya, sepertinya tidak ada sangkut-pautnya dengan ke-Islam-an-mu. Aku punya saran, kenapa tidak posting ini, "Saya seorang muslim, dan saya menghargai hari Valentine sebagai sebuah keberagaman budaya". Ah, pusing sendiri aku. Tapi jadi geli sendiri karena mengingat perbincangan ini. Ternyata manusia memang seperti buah ya, dan saya sepertinya juga bukan buah yang sudah matang.

11/02/14

Kredo Kebebasan Beragama

Sekitar sebulan yang lalu, teman saya Ryan (biasa dipanggil Congor) merekomendasikan dua buku kepada saya. Satu buku direkomendasikan kepada saya dengan alasan karena saya berpandangan liberal, dan satu lagi buku direkomendasikan karena katanya akan cukup membantu untuk pengerjaan skripsi saya. Saya baru selesai membaca salah satunya, dan buku itu adalah buku yang kedua tadi saya telah jelaskan. Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi dengan Anda mengenai isi buku "Kredo Kebebasan Beragama" karya Zakiyudin Baidhawi dengan menuliskan review-nya.

Kredo?
Pertama kali saya membaca judul ini, sebenarnya saya tidak tahu apa arti dari kredo. Setelah saya mencari-cari artinya (yang tentu saja dijelaskan di buku ini), ternyata merupakan serapan dari bahasa Inggris (yang ternyata setelah saya konfirmasi dengan sahabat saya dari Amerika Serikat, juga diserap dari bahasa Latin), yakni Creed.

Kredo seringkali disalahartikan sebagai gaya hidup, namun sejatinya kredo memiliki artian sebagai tuntunan hidup (guidance). Tentunya kredo bukanlah suatu hal yang mesti atau saklek dipraktekkan sepenuhnya. Jikalau memang tidak pas dengan kita, maka hendaknya janganlah menjadikannya sebuah paksaan, namun hanya sebagai pertimbangan. Kredo kebebasan beragama berarti merupakan sebuah tuntunan atau bimbingan menuju sebuah masyarakat yang menghargai serta melindungi kebebasan beragama anggotanya. Zakiyudin Baidhawi dengan sangat baik menjelaskan serta membuat basis argumen kredo kebebasan beragama dengan menggunakan sudut pandang Islam atau sebagai seorang muslim. Memang pada akhirnya, buku ini terlihat sangat Islami, namun pandangan mengenai kebebasan beragama yang coba dijelaskan bersifat sangat universal dan saya rasa dapat diterima oleh semua penganut agama untuk dibaca.

Atheisme dan Proselytisme
Satu bab yang paling saya sukai dari buku ini adalah pembahasan mengenai atheisme dan proselytisme. Atheisme sendiri ditulis oleh Zakiyudin memiliki dua pengertian yang terbagi atas modernitasnya. Yang pertama, atheisme konsep lama atau kuno dimengerti sebagai paham "tidak ada Tuhan". Sedangkan atheisme konsep baru atau modern dimengerti sebagai "cara" atau "jalan" memercayai keberadaan Tuhan yang berbeda-beda secara individual maupun kelompok.

Yang unik dari pembahasan sub-bab atheisme adalah bagaimana Zakiyudin menceritakan sejarah perkembangan atheisme di dalam internal masyarakat muslim sendiri di Timur Tengah pasca zaman kenabian dan sikap serta tindakan para muslim dalam menghadapinya. Begitu banyak bias yang terjadi bahkan di dalam internal masyarakat muslim sendiri menunjukkan bahwa sebenarnya kebebasan beragama merupakan suatu arena pertarungan dialog yang kemudian diharapkan dapat menumbuhkembangkan bibit kehidupan keberagaman. 

Islam ternyata tidak mengenal atheisme sebagai "anomali" yang bahkan sudah ada sejak dulu di dalam dirinya. Tapi perlu dicermati bahwa atheisme dalam Islam bukanlah suatu kepercayaan yang meniadakan Tuhan, melainkan meniadakan nabi (The Death of Prophet). Pemikiran yang berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan rasionalitas membawa Islam ke babak baru, yakni pemikiran bahwa hadirnya nabi sebagai pembawa wahyu tidak dapat diterima sebagai jawaban yang melebihi superioritas nalar atau rasionalitas.

Sub-bab proselytisme atau yang lebih kita kenal dengan istilah pemurtadan dan konversi memberikan cerita tersendiri atas awal mula agama berkembang di dunia. Perkembangan dua agama monotheistik terbesar di dunia, yakni Islam dan Kristen, ternyata memiliki dinamikanya tersendiri. Zakiyudin lagi-lagi memberikan penjelasan yang sangat baik serta argumen yang kuat tentang perkembangan dua agama tersebut dalam menyebarluaskannya di seluruh dunia. Yang unik, Zakiyudin berhasil menarik benang merah atas perdebatan perang agama yang terjadi ratusan tahun lalu, dan mengonfirmasinya sebagai sebuah tindakan politis yang sebenarnya bukanlah perang atas nama agama. Ini artinya memperkuat pernyataan Karen Armstrong bahwa sebenarnya perang/konlik yang selama ini kita yakini dilatarbelakangi motif agama itu salah. Agama berada pada posisi yang rawan memang dalam perdebatan mengenai mengapa terjadinya perang/konflik, namun sejatinya politik tetaplah menjadi alasan yang utama, dan agama merupakan korban dari politik.

Menuju Masyarakat Penjamin Kebebasan Beragama
Sebagai warga negara dari sebuah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, saya berani mengatakan bahwa buku ini dapat menjadi antidote atau obat penawar atas konflik berbasis agama di negara kita. Dengan penelitian literatur yang mendalam serta argumen yang kuat, Zakiyudin dapat merancang sepuluh poin kredo kebebasan beragama. Sepuluh poin tersebut bersifat sangat teknis dan tentunya tidak mustahil untuk diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sulit tentunya, namun perubahan merupakan suatu hal yang perlu kita lakukan menuju kehidupan yang lebih baik bukan?