26/10/14

Angin Musim Gugur

Malam itu Christopher memutuskan untuk pulang berjalan kaki ke flatnya dari kantor. Ia membutuhkan waktu untuk sendiri yang lebih panjang dari biasanya. Langkahnya lambat dan begitu lembut di atas trotoar yang masih agak ramai dilalui orang-orang. Bulan bersinar cukup terang, namun tak ada bintang. Musim gugur datang lebih cepat dari biasanya, membawa angin yang dingin untuk jiwa-jiwa yang kesepian. Daun yang kering berguguran, menimbulkan suara musik yang lirih di langkah kaki Christopher. Syalnya telah diikat dengan erat, bajunya berlapis tiga, tas kecil di pundak kanannya, dan kedua tangannya sibuk memeluk dua buku yang dipinjamkan oleh seorang sahabat.

"Apakah ini semua sepadan," gumamnya dengan pikiran yang tak tenang.

Beberapa bulan belakangan Christopher tidak bisa tidur dengan lelap. Pikirannya resah, dan hatinya gundah. Merekam kembali ingatannya hingga detik yang mungkin ia sesali sekarang ini: tentang pekerjaan, tentang cinta, dan tentang keluarga.

. . .

"Apakah kesendirian begitu hina, sahabatku?" tanya Christopher sambil menyeduh tehnya yang masih mengepulkan asap panas.

"Tidak, tidak hina. Ia hanya sebuah fase yang perlu kau lewati," jawab Anthony.

"Seringkali aku berpikir, apakah aku ini manusia beradab atau hanya manusia yang kesepian? Aku begitu ingin menghabiskan malam-malam dengan tangan-tangan yang lembut, kulit yang mulus, dan bibir yang manis, teman. Tapi aku memilih untuk tidur dengan selimut yang tak memiliki denyut,"

"Kau hanya 'menjadi' lelaki," Anthony tertawa, "tidak ada yang salah. Kita ini manusia yang beradab ketika kita mengerti kebutuhan kita dan tahu bagaimana memenuhinya sesuai dengan aturan yang ada. Kalo kau memilih jalan yang sepi, itu tidak salah. Tapi yang perlu kau pikirkan adalah apakah semua ini sepadan?"

Christopher terdiam.

"Kita masih muda Christopher, masih banyak hal di dunia ini yang belum pernah kita rasakan. Hematku, lakukanlah kesalahan! Untuk apa kita khawatir jika hidup lebih mengkhawatirkan dari yang kita kira?" Anthony menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia sepertinya mengerti bahwa sahabatnya perlu sedikit waktu untuk meresapi kata-katanya. Asap rokok keluar perlahan dari hidung dan mulutnya.

"Aku takut,"

"Takut adalah bagian dari hidup, sahabatku! Tapi yang sebenar-benarnya adalah ketakutan merupakan ilusi. Kau takut kehilangan dirinya sekarang? Apa kau pernah berpikir bisa bertemu dengannya kembali? Prosesnya memang akan sangat menyakitkan. Tapi pembelajaran memang seberat itu, sahabat," Anthony kembali menghisap rokoknya. "Jika aku boleh berkomentar, ketakutanmu sekarang hanyalah menimbang apakah semua ini akan berakhir bahagia. Tapi sahabat, tidak pernah ada yang benar-benar berakhir bahagia. Kebahagiaan adalah sebuah proses, bukan tujuan. Kematian adalah akhir dari semua kehidupan. Tak ada yang lebih menyakitkan dari itu. Orang bilang hidup adalah sebuah kebohongan besar yang indah, sedangkan kematian adalah sebuah kebenaran yang menyakitkan. Kau pilih percaya yang mana? Apakah kau memilih untuk terus hidup dalam kebohongan yang indah? Atau hidup dalam kebenaran yang menyakitkan?"

Christopher mengambil rokok dari sakunya. Sejak kuliah ia begitu sering menghisap tembakau. Rokok menjadi bagian dari hidupnya yang kelam. Yang telah mengajarkannya banyak hal, mempertemukannya dengan banyak orang, dan menjadikannya begitu naif. Ia menyalakannya dan menghisapnya penuh hikmat. Rokok telah memberikan kenikmatan di saat otaknya berputar begitu cepat atau saat hatinya berdegup kencang.

"Aku tak tahu harus mendengarkan jiwa atau ragaku Anthony. Kau juga tahu bagaimana aku memandang hidup ini. Sejak kita bertemu, kita lewati banyak hal bersama yang membuatku tersadarkan oleh satu hal. Semua begitu pragmatis. Orang-orang begitu oportunis. Dan aku sama sekali tidak keberatan dicap sebagai salah satunya. Aku sudah lelah dipandang sebelah mata. Dan jika ada celah, mungkin aku akan mengambilnya,"

"Hati-hati sahabatku, kata-katamu terlalu berani, aku takut kau tersayat olehnya nanti. Menjadi pragmatis lagi-lagi adalah sebuah pilihan. Pilihan yang cenderung berat ke sisi rasionalitas untung dan rugi. Aku mengenalmu cukup lama, dan kau adalah orang yang tidak konsisten. Kau bisa berubah pikiran begitu cepat, dan bahayanya kau juga bisa merubah orang lain untuk mengikutimu. Aku takut kau akan menyesal, bukan hanya kau, tapi kita, ya kita. Kita tidak boleh menyesal,"

Malam itu mereka habiskan untuk berbicara banyak hal. Anthony menepati janjinya untuk meminjamkan dua buku miliknya kepada Christopher.

. . .

Tahun depan ia harus ke rumah orang tuanya. Ada sebuah acara penting yang harus didatanginya. Kakaknya akan menikah, tapi Christopher tidak punya siapa-siapa untuk mendampinginya menghadiri acara tersebut. Lagi-lagi, ia akan menjadi lelaki yang kesepian. Menjadi bahan candaan di tengah keluarga besarnya yang naif dan tidak akan pernah mengerti pertarungan yang ia hadapi dalam hidupnya.

Ia mendamba wanita yang begitu berbeda, yang begitu jauh. Saat yang dekat semakin mendekat, hatinya menjadi ragu. Apakah penantian dan kesepiannya akan sepadan? Sebagaimana malam yang semakin dingin, tangan dan hati Christopher juga menjadi dingin. Dan ia tahu, tak ada yang akan menghangatkannya malam ini.