Selamat malam, sepertinya sapaan kali ini akan terbawa bersama dengan angin dingin yang turun beriringan dengan hujan deras di Jogja. Kali ini saya akan menulis tentang pendidikan di Indonesia. Haha, saya akan coba untuk membawakannya dengan nada yang tidak terlalu serius dan semoga tulisan ini dapat dinikmati dengan sambil lalu.
Beberapa hari belakangan saya berbicara ringan dengan seorang teman, mungkin lebih. Intinya, kami berbicara tentang penjurusan kami di SMA dulu. Saya yang merasa berkhianat, hehe, karena memiliki ilmu dasar IPA di SMA dan sekarang bersemayam di jurusan Ilmu HI FISIPOL UGM, mencoba mencari tahu kepingan informasi mengenai penjurus-jurusan, hehe, pendidikan di Indonesia. Dan perlu diingat, saya tidak melakukan ini dalam rangka penelitian yang artinya dikaji secara serius melainkan hanya tulisan opini yang mungkin hanya sekedar omong kosong belaka. Tapi tentunya tulisan ini tidak tertutup untuk komentar, as always, feel free to comment. :)
SMA: IPA/IPS?
Di masa saya (karena masa orang tua saya berbeda) penjurusan di tingkat SMA itu berkutat pada dua ilmu ini saja. Tetapi belakangan saya tahu bahwa ada teman (yang sekarang juga di HI UGM) ternyata dulunya berjurusan IPB (Ilmu Pengetahuan Bahasa). Entah ini saya yang bodoh, kurang informasi, atau bagaimana, ternyata pembukaan jurusan di SMA teman saya itu hanya memenuhi minimal kuota pembukaan kelas Bahasa, yakni 10 orang (kemudian dia cerita kalo ternyata hanya ada 9 orang di angkatannya).
Saya melihat hal ini sebagai permasalahan informasi dan gengsi. Remaja SMA tentu pernah merasakan bagaimana dahsyatnya kekuatan gengsi di antara orang tua kita mengenai penjurusan ini. Stereotype yang entah sejak kapan adanya, membuat orang tua kita "memaksa" kita untuk masuk ke IPA karena stereotype anak IPA itu pintar. Well, I guess gak semua anak IPA itu pintar (apalagi saya, wekekekek), apalagi kalo kita udah stereotyping kalo anak IPS itu gak lebih pintar dari anak IPA (wah, salah banget tuh, pasti anak IPS pada marah kalo dibilangin gitu). Gengsi ini yang kemudian membuat orang tua kita mengarahkan kita untuk masuk ke jurusan IPA. Hal ini kemudian didukung oleh "diskriminasi" yang dilakukan beberapa sekolah dengan membuka kelas IPS yang lebih sedikit jumlahnya ketimbang kelas IPA. Bayangin kalo hal ini terus berlanjut, bisa-bisa kelas IPS akan sirna seperti kelas Bahasa, haha.
Yang aneh kemudian, saya tidak tahu sejak kapan kelas Bahasa sirna keberadaannya di banyak sekolah. Padahal, 11 tahun yang lalu di SMA saya (kakak saya juga dulu sekolahnya sama kayak saya) ada kelas Bahasa. Dan uniknya, informasi teman saya yang lulusan kelas Bahasa bilang bahwa sebenarnya kelas Bahasa bisa dibuka jika minimum kuota (10 orang) siswa yang berminat terpenuhi. Lalu kenapa kelas Bahasa seakan-akan menghilang dari peradaban? Saya juga tidak tahu alasannya, hehe.
Kuliah: Banyak Jurusan, Sedikit Pekerjaan
Berbeda dengan permasalahan di masa SMA, kuliah memiliki permasalahan yang lebih serius, yakni mengenai pekerjaan. Indonesia memiliki banyak universitas yang berkelas (UGM bahkan mengincar title World Class Research University), tapi permasalahannya lulusan dari universitas-universitas tersebut yang notabene memiliki banyak jurusan tidak melulu atau bahkan jarang mendapatkan pekerjaan yang selaras dengan ilmu yang mereka dapatkan di kala kuliah.
Apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan Indonesia? Ya masa dapet pendidikan Ilmu HI tapi dapet kerjaan jadi bankir? Haha, but this is the fact. Indonesia merupakan negara berkembang yang masih tidak terlalu memikirkan lulusan jurusan apa, melainkan bisa apa. Kita dibeli (dipekerjakan) bukan karena skill kita, tapi karena raga kita dapat memenuhi kekosongan perusahaan atau institusi-institusi pemerintah. Disuruh apa mau asalkan gaji tetap turun. Kalo begini ceritanya, jangan heran banyak lulusan-lulusan terbaik Indonesia yang lebih milih kerja di luar negeri yang sesuai dengan bidangnya.
Tetapi ada kabar baik juga nih, dalam perkembangannya, kita bisa melihat institusi-institusi pemerintah mencari/membuka lowongan kerja sesuai dengan yang mereka butuhkan, contohnya Kemenlu sering mencari lulusan HI dan sastra, tetapi belum semuanya mengaplikasikan ini. Mungkin kita berada di jalur yang benar, namun kita bergerak tidak pesat. Ini mungkin bisa menjadi kajian menarik buat beberapa pemerhati pendidikan.
Ini Tentang Ilmu
Bagi saya permasalahan ini sebenarnya ada pada persepsi kita mengenai ilmu itu sendiri. Coba saya kupas satu-satu ya permasalahannya. Kalo di jenjang SMA, (regardless kurikulum dan lain-lain) sebenarnya kelas Bahasa masih ada apabila banyak yang berminat (dan tahu) untuk mengadakan kelasnya. Cukup kumpulkan siswanya kemudian ajukan surat permohonan. Jika ini bisa dilaksanakan oleh kelas Bahasa, kenapa ilmu lain tidak? Ilmu seni misalnya? Saya melihat ilmu sebagai sesuatu yang bebas dan umur remaja SMA bagi saya sudah cukup dewasa untuk mengerti mana yang mereka sukai, minati, dan mana yang mereka butuhkan. Persoalan penjurusan (yang hanya ada dua mayoritas) ini menurut saya merupakan pembunuhan terhadap mimpi (mungkin juga tidak sih).
Persoalan kedua mengenai pekerjaan memang sangat kompleks. Indonesia merupakan negara Timur yang budaya KKN-nya masih sangat kental. Unsur rekan dan famili dalam masalah pekerjaan sangat umum. Selain masalah birokrasi, kesadaran akan kebutuhan para ahli juga harus segera diperhatikan. Mau sampai kapan Indonesia mengandalkan banyak ahli-ahli dari luar negeri? Padahal lulusan-lulusan terbaiknya ngalor ngidul mencari pekerjaan yang tidak jelas, tidak sesuai dengan bidangnya, atau bahkan dipakai negara lain. Hehe, kita tutup sampai sini ya. Mari kita cermati lebih jauh mengenai pendidikan Indonesia.