Malam itu aku sedang menunggu temanku sambil menenggak segelas coklat hangat rasa hazelnut di tengah dinginnya malam. Aku memilih untuk membuka youtube sebagai pembunuh waktu. Tanganku terus bergerak mencari-cari video yang mungkin akan membuatku berhenti bernapas sejenak dan mengalihkan perhatianku dari lampu jalan yang menerangi langkah para pejalan kaki dan pengendara motor. Aku melihat satu video yang tak umum, bergambar dua buah boneka dengan figur ayah dan anak yang duduk di sebuah sofa.
"Stromae - Papaoutai"
"Ah! Bahasa Perancis," pikirku melihat judul video itu. Baru-baru ini aku memutuskan untuk kursus bahasa Perancis. Entah itu karena motif untuk menunjang karir atau hanya iseng belaka, tak ada ruginya bagiku di tengah penantian kepastian untuk pengerjaan skripsiku. Mungkin aku bisa sambil mempraktekkan hasil dua kali pertemuan kelas bahasa Perancisku dengan melihat video ini dan kemudian mencari liriknya.
Aku mulai menyetel video itu. Dengan nada yang mudah dicerna dan ucapan si musisi yang mudah diikuti membuatku suka dengan video ini. Video yang awalnya kukira cukup lucu dengan adegan-adegan orang tua yang berjoget bersama anaknya ini kemudian membuatku mulai merasakan sesuatu setiap kali si musisi menyanyikan reff lagu.
Ada bagian lirik yang sangat menyentilku di dalam lagu ini.
Aku mulai berpikir secara analitis, "apa yang akan aku lakukan jika aku berada di posisi ayahku?". Pertanyaan itu membawaku ke sebuah diskusi kecil yang pernah aku lakukan dengan seorang temanku. "Menjadi orang tua di zaman seperti ini serba salah," katanya. Benarkah? Ya. Aku sering berpikir bahwa aku tidak akan pernah siap untuk menjadi orang tua, seorang ayah, sekaligus pembimbing hidup bagi keturunanku, darah dagingku. Begitu berat tanggung jawab yang akan dipikul. Aku harus bisa memastikan anak-anakku kelak hidup dalam kenyamanan tanpa harus mengurangi tingkat moralitas maupun intelegensia mereka. Aku ingin mereka hidup nyaman dalam mempelajari hidup, agar mereka siap untuk hidup. Aku ingin mereka menjadi lebih baik dariku, dari semua aspek yang aku miliki. Tapi di sisi yang lain, aku juga harus bisa memastikan diriku memiliki waktu untuk mereka semua.
Begitu banyak angan-angan mengenai menjadi ayah yang baik yang kumiliki, namun selalu terbang terbawa angin realita. Seringkali aku melihat orang tua-orang tua yang belum bisa memenuhi angan-angan itu. Begitu sulit, dan mungkin sepertinya hampir tidak mungkin. Kemudian aku mulai dipenuhi rasa pesimis, mungkin aku tidak akan pernah bisa menjadi ayah yang baik, atau mungkin malah aku tidak akan menjadi seorang ayah.
Cerminku menjadi saksi begitu egoisnya diriku ini, yang ingin memiliki segalanya tanpa berbagi. Begitu banyak keinginan diriku yang belum terpenuhi, ingin punya apartemen pribadi, mobil pribadi, semata-mata untuk membanggakan diri kepada orang lain atas keberhasilan diri sendiri. Pikiran sepeti ini apakah patut ada di dalam benak seorang ayah yang baik? Tidak. Jalanku menuju kesuksesan masih panjang dan berat. Aku tidak bisa mengambil konsekuensi dengan membawa beban lebih. Aku harus bisa menyelesaikan urusanku dulu sebelum menjadi seorang ayah. Aku ingin memberikan segalanya untuk anak-anakku kelak. Aku ingin selesai dengan diriku sendiri dan memberikan hidupku untuk anak-anakku. Aku ingin menjadi bijak sebelum belajar membesarkan anak.
Bagian lirik lagu ini sepertinya memiliki banyak intepretasi,
"Où t'es? Papa, où t'es? Où t'es? Papa, où t'es? Où t'es? Papa, où t'es? Ou t'es, ou t'es où papa, où t'es?"Aku tidak mengerti artinya, bagaimana tidak, aku kursus bahasa Perancis saja baru dua kali pertemuan, dan itu saja aku masih dalam tahap awal sekali. Aku kemudian memutuskan untuk mencari lirik beserta artinya di internet. Ternyata lagu ini bercerita tentang seorang anak yang mempertanyakan eksistensi ayahnya. Ya, eksistensi. Mungkin itu adalah kata yang terlalu berat untuk menginterpretasikan lagu ini. Tapi setelah melihat lirik serta membaca forum-forum yang membahas arti lagu ini (banyak yang memperdebatkannya, selain karena lagu ini berbahasa Perancis yang notabene sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga karena video ini terlalu abstrak untuk diterjemahkan secara harafiah), aku berkesimpulan bahwa lagu ini memang membahas tentang eksistensi seorang ayah.
Ada bagian lirik yang sangat menyentilku di dalam lagu ini.
"Tout le monde sait (everyone knows)Ingatanku mulai berputar mengenang masa-masa yang telah aku habiskan bersama ayahku. Aku sadar aku merindukannya dan aku sadar bahwa sedikit sekali waktu yang telah aku habiskan bersamanya. Aku baru sadar bahwa aku sebenarnya tidak mengenal siapa ayahku secara dalam. Karena selama ini dia selalu jauh, bekerja setiap waktu dan sibuk dengan hobinya. Aku mulai mengenang itu semua dan kembali haus akan perhatian orang tuaku. Apa yang terjadi? Apakah semua orang tua seperti itu? Semua seperti tergambar dengan jelas dalam video ini.
Comment on fait des bébés (how to raise a child)
Mais personne sait (but nobody knows)
Comment on fait des papas (how to raise a dad)"
Aku mulai berpikir secara analitis, "apa yang akan aku lakukan jika aku berada di posisi ayahku?". Pertanyaan itu membawaku ke sebuah diskusi kecil yang pernah aku lakukan dengan seorang temanku. "Menjadi orang tua di zaman seperti ini serba salah," katanya. Benarkah? Ya. Aku sering berpikir bahwa aku tidak akan pernah siap untuk menjadi orang tua, seorang ayah, sekaligus pembimbing hidup bagi keturunanku, darah dagingku. Begitu berat tanggung jawab yang akan dipikul. Aku harus bisa memastikan anak-anakku kelak hidup dalam kenyamanan tanpa harus mengurangi tingkat moralitas maupun intelegensia mereka. Aku ingin mereka hidup nyaman dalam mempelajari hidup, agar mereka siap untuk hidup. Aku ingin mereka menjadi lebih baik dariku, dari semua aspek yang aku miliki. Tapi di sisi yang lain, aku juga harus bisa memastikan diriku memiliki waktu untuk mereka semua.
Begitu banyak angan-angan mengenai menjadi ayah yang baik yang kumiliki, namun selalu terbang terbawa angin realita. Seringkali aku melihat orang tua-orang tua yang belum bisa memenuhi angan-angan itu. Begitu sulit, dan mungkin sepertinya hampir tidak mungkin. Kemudian aku mulai dipenuhi rasa pesimis, mungkin aku tidak akan pernah bisa menjadi ayah yang baik, atau mungkin malah aku tidak akan menjadi seorang ayah.
Cerminku menjadi saksi begitu egoisnya diriku ini, yang ingin memiliki segalanya tanpa berbagi. Begitu banyak keinginan diriku yang belum terpenuhi, ingin punya apartemen pribadi, mobil pribadi, semata-mata untuk membanggakan diri kepada orang lain atas keberhasilan diri sendiri. Pikiran sepeti ini apakah patut ada di dalam benak seorang ayah yang baik? Tidak. Jalanku menuju kesuksesan masih panjang dan berat. Aku tidak bisa mengambil konsekuensi dengan membawa beban lebih. Aku harus bisa menyelesaikan urusanku dulu sebelum menjadi seorang ayah. Aku ingin memberikan segalanya untuk anak-anakku kelak. Aku ingin selesai dengan diriku sendiri dan memberikan hidupku untuk anak-anakku. Aku ingin menjadi bijak sebelum belajar membesarkan anak.
Bagian lirik lagu ini sepertinya memiliki banyak intepretasi,
"Où est ton papa? (Where are you, Dad?)Tapi aku memiliki intepretasi pribadi tentang bagian ini,
Dis moi où est ton papa! (Tell me, where are you papa?)
Sans même devoir lui parler (Without even talking to him)
Il sait ce qui ne va pas (he knows what he did wrong)
Hein sacré papa! (It's holy papa!)"
"Dimana dirimu ayah? Katakan padaku, dimana dirimu ayah? Kau tak pernah berbicara denganku, apapun yang kau kerjakan untuk menghidupi kami, kami tahu kau tahu konsekuensinya. Semua ini untuk kita, tak apa ayah. Apapun yang kau lakukan itu suci."Begitu banyak ayah-ayah yang memilih jalan pintas demi memberikan anak-istrinya kehidupan yang nyaman, atau hanya sekedar bertahan hidup. Begitu berat tanggungan yang akan dipikul, karena seorang ayah tak lagi akan memikul satu beban kehidupan, namun juga kehidupan anak-istrinya. Bisakah? Bisakah aku menjadi seorang ayah? Atau hanya seorang lelaki?
"Stromae - Papaoutai"