Setelah memarkir motorku, aku masuk ke dalam rumah makan itu, kecil memang. Di dalam penuh, tapi masih tersisa satu tempat untukku di sebelah lelaki berbaju merah muda. Dia sedang menunggu pesanannya ku kira.
"Pesan nasi telur ya," ucapku kepada pelayan yang ada.
Kulirik, lelaki berbaju merah muda itu mengambil gorengan di tangan kanannya dan memegang cabai hijau kecil di tangan kirinya yang berhiaskan jam tangan. Dia memakannya dengan sangat lahap. Satu, dua, tiga kukira, gorengan demi gorengan dan cabai telah habis dimakannya. Kulihat matanya berair, haha, pasti dia sangat kepedasan.
"Kepedasan ya, mas?" tanyaku.
"Ah, enggak," jawab lelaki berbaju merah muda itu.
Benar saja, daritadi dia tidak minum. Padahal air jeruk dingin berada di depannya. Suara lelaki itu terdengar sangat parau, aku rasa dia sedang sedih, sedih sekali. Aku bisa melihat matanya yang terus berair. Tetapi dia terus memakan gorengan dan cabai.
Beberapa saat kemudian, mie rebus pun disajikan di depan lelaki itu. Dia mengusap matanya. Tak lama, pesananku pun datang. Kami berdua makan bersamaan dalam keheningan. Usai makan, dia memandangku dengan matanya yang lebam, tentu, tadi dia pasti sedang menangis.
"Maaf ya," ucapnya sambil tersenyum kecil dan mengangkat gelasnya untuk minum.
"Ah, gak apa-apa," jawabku sambil membalas senyum,
"Lagi ada masalah ya, mas?" tanyaku memberanikan diri.
"Em," DAR! Dia menghentakkan air minumnya ke meja terlalu keras dan membuat air jeruknya tumpah kemana-mana.
Sesaat aku lihat dia dan berpikir betapa awkward moment-nya dirinya sekarang. Aku bantu dia membersihkan tumpahan air tadi.
"Duh, maaf ya, terima kasih banget nih," jawabnya sambil masih membersihkan tumpahan air yang tersisa.
"Gak apa-apa kok," balasku.
"Iya nih, lagi ada masalah sama pacar,"
Sesaat aku berpikir, oke, jadi lelaki ini menangis hanya karena wanita? Come on dude, seriously?
"Kenapa mas sama pacarnya?" tanyaku kepo.
"Yah, biasalah. Namanya pasangan, kadang rukun, kadang enggak," jawabnya dengan nada parau.
"Berantem ya mas?"
"Putus," jawabnya sambil tersenyum kecil dan menunduk ke bawah.
"Lho, kok bisa?"
"Dia kecewa sama saya mas,"
"Waduh, tapi mas ngerasa ngecewain dia gak?" tanyaku sambil menjaga jarak agar tak terlalu dalam bertanya.
"Ya egak lah mas, wong saya sudah kangen berat sama dia, Ini ketemu juga maksudnya pingin ngelepas kangen mas,"
"Lah, terus mas udah ngejelasin ke dia belum?"
"Sudah, tapi yang perlu saja mas,"
"Kok gitu?"
"Cape juga mas kalo harus terus ngejelasin panjang lebar. Kita kan sama-sama sudah dewasa, saling mengertilah. Biar kebenaran muncul dengan sendirinya,"
"Lho kok gitu? Mba-nya jadi kelepas kan sekarang mas?"
"Haha, ya gak apa-apa. Biar dia mengerti juga,"
Aku rasa tidak ada lagi yang perlu aku tanya, karena aku tak terlalu ingin peduli dengan apa yang dihadapinya. Aku pun diam sejenak untuk memberinya tanda bahwa aku ingin menyudahi pembicaraan ini.
"Semangat ya mas, masih banyak cewe di luar sana," kataku memberinya semangat.
Lelaki itu hanya tersenyum kecil melihatku. Lalu aku berdiri untuk membayar pesananku dan pergi.
Di luar sangat dingin, jaket kulitku sepertinya tak cukup kuat menahan angin dari laju motorku. Sesaat badanku terasa hangat dan aku teringat kekasihku, sedang apa dia, apa dia merindukanku? Tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan itu muncul di pikiranku. Dan entah kenapa hatiku sedih sekali rasanya mengingat perbincangan dengan lelaki berbaju merah muda tdi. Ah, sudahlah.
Sesampainya di kamar, kubuka jaket kulitku, dan kulihat cermin kamarku, FUCK! Ternyata aku mengenakan baju merah muda. Tak terasa air mataku menetes deras sekali, perasaanku benar-benar sedih. Aku lelah, aku rindu kekasihku, dan aku tak tahu harus berbuat apa.