"I'm no one's hero, so just forget my name."*
Beberapa dari kita mungkin memang dilahirkan untuk "kalah". Beberapa dari kita mungkin memang diciptakan untuk tidak dikenang, terlupakan. Saya mungkin menjadi salah satunya, atau kalo boleh saya bilang, "kita". Dalam derasnya optimisme yang melanda diri saya dan lingkungan sekitar, tiba-tiba angin pesimisme menyelinap secara perlahan. Ya, hanya karena sebuah keraguan, pesimisme memasuki hati saya.
Dilupakan memang menjadi sebuah hal yang tidak menyenangkan bagi setiap manusia. Bayangkan, berapa banyak pertanyaan mengenai eksistensi manusia yang berujung pada jawaban pengukuhan diri atau agar diingat sepanjang masa? Buku, karya tulis, rumus, karya ilmiah, lukisan, dan lain-lain tercipta agar nama seorang anak manusia dapat diingat sepanjang matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Jika pikiran saya sedang tidak bermain dengan diri saya, maka karya-karya tersebut, tanpa bersikap naif, bukan semata hanya untuk memberikan yang terbaik bagi umat manusia, tetapi juga mencari keuntungan berupa kehormatan dan pengukuhan diri.
Kenapa kita ingin diingat? Ingin menang? Ingin menjadi sesuatu yang penting, berguna, dan dibutuhkan?
Dalam setiap diri kita, egositas berkembang dan memakan kita menjadi sesuatu yang diinginkan oleh orang lain, oleh keluarga, masyarakat. Lalu siapa kita sebenarnya? People want to see what they want to see and hear what they want to hear. Bagaimana jika mereka dipaksa untuk melihat dan mendengar apa yang mereka tidak inginkan? Bagaimana jika kita bukan menjadi bagian yang diinginkan oleh masyarakat? Oleh dunia? Apakah kita tergolong sebagai pecundang?
Untuk menjadi yang diingat, menjadi pemenang, kita harus menjadi yang terbaik, atau setidaknya yang "lebih". Hanya mereka yang extraordinary yang akan terus diingat, baik dalam hal positif maupun negatif. Sejarah dan agama mencatat itu semua. Bagaimana dengan mereka yang biasa-biasa saja? Mereka yang mencari aman dan tak ingin terlibat masalah? Mereka yang terlahir tidak untuk menjadi juara, mereka yang selalu mendapatkan posisi nomer dua, sebagai asisten, pendamping, ataupun wakil.
Coba bayangkan itu. Tak adakah tempat untuk kita? Kita pastinya sudah berusaha untuk menjadi extraordinary, mencoba menjadi salah satu yang diingat oleh orang lain. Tetapi jika istilah born to lose memang ada, bagaimana?
Ah, mungkin ini hanya selentikan lagu The Devil Wears Prada. Mungkin ini buah hasil salah satu dari tujuh dosa, yakni "Envy". Mungkin ini hanya efek angin malam. Mungkin ini hanya pesimisme sesaat yang akan hilang jika menonton acara Mario Teguh. Mungkin.
*Inspired by The Devil Wears Prada's song, titled Born To Lose
The Devil Wears Prada - Born To Lose