Pagi itu hujan mendatangi Jogja. Ya, sudah lama tidak hujan di tanah sang Sultan. Telpon genggamku berdering. "Ah, pasti kekasihku," pikirku. Ternyata nomer tidak dikenal yang menyapaku pagi itu. Seperti kenangan lama yang manis. Entah berapa tahun yang lalu, yang pasti aku masih mengingatnya. Dia menyapaku dengan tanda senyuman di pesan singkat. Dengan suaranya yang jernih terkadang dia membangunkanku. Sama seperti dirinya yang menemani hari-hariku sekarang.
Hujan tak akan pernah lama datang menjenguk. Tetapi sejalan dengan doa manusia, dia tetap dibutuhkan. Tapi sayang, di masaku, hujan itu terlalu lebat. Memberikan ingatan yang buruk mengenai petir, badai, halilintar, dan awan hitam. Dia pergi meninggalkan kenangan, meskipun awalnya dia datang membawa harapan. Sama seperti dulu, kau datang ketika hujan.
Hujan itu sudah lalu sayang, tapi aku tak akan berbohong bahwa mungkin badai akan kembali. Setidaknya sekarang kita bisa menikmati pelangi.
Jakarta sudah mendapatkan Gubernur barunya. Gubernur yang akan mengemban segudang masalah dan akan menjadi kambing hitam ketika sesuatu tidak berjalan sesuai ekspektasi masyarakat Jakarta. Jokowi yang jauh-jauh datang dari Solo saya pikir sudah mengetahui hal ini. Tingkat kesibukan, temperamen, dan ego masyarakat ibukota tentu jauh berbeda dengan masyarakat Solo. Apa yang bisa dilakukan oleh Jokowi dalam masa 5 tahun jabatannya sebagai Gubernur Batavia?
Indonesia merupakan negara berkembang atau sekarang masyarakat dunia lebih senang menggunakan efimisme late-comers country. Sebagai ibukota, Jakarta mempresentasikan keadaan Indonesia secara utuh. Ya, sangat utuh. Kesenjangan sosial, distribusi kekayaan yang tidak merata, ledakan penduduk, korupsi, semua ada di ibukota. Semua yang melanda Indonesia ada di Jakarta. Busung lapar? Kemiskinan? Kriminalitas? Apa lagi yang tidak ada di Jakarta? Kota yang hidup 24 jam ini tak lelah menghibur sekaligus menggerogoti jiwa-jiwa malang manusia yang ada di dalamnya.
Mulai dari lalu lintas
Saya pernah melihat sebuah kutipan yang sangat menggugah di internet:
"A developed country is not a place where the poor have cars. It's where the rich use public transportation" -Mayor of Bogota
Dari sebuah kutipan yang sederhana ini, terlintas di pikiran saya, "Jokowi harus mulai dari permasalahan lalu lintas Jakarta". Berangkat dari asumsi awal saya mengenai Jakarta sebagai representasi Indonesia, jika Jokowi mampu mengubah Jakarta menadi lebih baik, maka Indonesia akan menjadi lebih baik. Salah satu permasalahan terbesar Jakarta adalah padatnya lalu lintas, membengkaknya jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, dan tidak efektifnya transportasi publik. Dan Jokowi harus bisa menyelesaikan masalah ini untuk menjawab doa-doa masyarakat Jakarta.
Yang tersulit dari penanganan masalah lalu lintas adalah bagaimana caranya membuat orang-orang kaya di Jakarta mempercayai dan menggunakan transportasi publik. Mempercayai dan menggunakan adalah dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan dalam hal ini. Pemerintah daerah (Pemda) Jakarta harus mampu membuat mereka percaya terlebih dahulu mengenai keamanan, kenyamanan, serta efektivitas transportasi publik. Ini bisa dilakukan dengan penayangan iklan serta sosialisasi yang gencar oleh Pemda kepada masyarakat Jakarta, terutama orang-orang kaya Jakarta atau mereka yang lebih suka menggunakan mobil pribadi. Bagi saya, TransJakarta belum bisa menjadi jawaban atas permasalahan ini. Jokowi harus mencari alternatif lain, dan semoga rencana Monorail dapat menjadi jawabannya. Sistem lalu lintas yang baik akan memudahkan seluruh kegiatan di ibukota.
Memanusiakan ibukota
Istilah memanusiakan ibukota yang sering dibicarakan oleh teman-teman saya, para pemerhati Jakarta, sudah menjadi bahan pembicaraan sehari-hari. Kesenjangan sosial yang sangat jelas terlihat di ibukota perlu diperhatikan oleh Jokowi. Jokowi harus bisa bersikap tegas dalam masalah ini. Banyaknya warga kota lain yang mengadu nasib di ibukota pasca lebaran selalu menjadi tradisi yang ada setiap tahun. Ini bukan berarti saya menyalahkan mereka yang mengadu nasib sepenuhnya, tetapi bagaimana Pemda menangani perpindahan penduduk ini yang perlu diwaspadai. Harus ada prosedur dan syarat yang jelas mengenai sistem "mengadu nasib" ini. Jokowi harus mampu mengatur arus perpindahan penduduk, baik yang keluar maupun masuk ke dalam ibukota.
Kepedulian masyarakat Jakarta yang terus menurun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk juga harus menjadi salah satu rencana kerja Jokowi. Memanusiakan ibukota berarti menyadarkan kembali masyarakat ibukota bahwa mereka adalah manusia yang harus bersosialisasi dan peduli satu sama lain. Tingginya tingkat kesibukan di Jakarta membuat masyarakatnya sangat egois dan menjunjung tinggi privasi. Mereka tidak mau diganggu oleh hal-hal sepele seperti rapat warga atau kerja bakti, dan uang selalu menjadi hal pertama yang mereka gunakan sebagai jawaban. Memang ini tidak akan bisa diselesaikan dalam jangka waktu dekat, melalui pendidikan, iklan, dan pendekatan oleh Pemda kepada masyarakat akan mampu menjadi jawaban yang tepat. Sebelum memanusiakan masyarakat ibukota, Jokowi harus mampu memanusiakan jajarannya.
Semangat Jokowi!
Permasalahan ibukota adalah representasi permasalahan negara. Roda ekonomi yang berputar di ibukota harus tetap dijaga untuk terus berputar sembari membenahi jalananannya yang rusak dan kotor. Saya percaya Jokowi membawa angin perubahan bagi Jakarta, tetapi saya tidak yakin beliau membawa angin perubahan yang baik saja. Seringkali kita menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah yang baru. Saya dan masyarakat Jakarta tentunya berharap banyak kepada sang Gubernur. Jangan pernah berhenti berharap selama kita percaya adanya Tuhan. Semangat Jokowi!
Malam ini rasanya bulu kudukku merinding tidak karuan, brrrr! Bukan, bukan karena ada hal-hal gaib. Tapi karena dia. Dia yang aku dekati, aku ambil hatinya, aku cintai, dan aku rindukan.
"Jangan, aku kenal dengan dia" katanya.
Serentak aku merinding, keringat dingin tubuhku. Tak ada lagi rahasia, tak ada lagi privasi. Tembok-tembok itu telah runtuh. Diruntuhkan atau runtuh dengan sendirinya? Haruskah runtuh? Gawat! Inikah arti kesetiaan? Inikah arti cinta? Inikah rasa yang kelak akan menjadi-jadi ketika aku menikah? Ataukah ini arti dari obsesi? Oh tidak!
Aku mencintaimu, tapi aku ingin bebas. Ini masalahku yang tak pernah terselesaikan dari dulu. Aku melihat yang lain dengan pembenaran atas nama kebebasan. Aku terjebak, lagi. Dalam euforia menuju satu tahun, ini semakin menjadi-jadi. Apakah kau mengakses seluruh akun media sosialku? Apakah kau terus membuntutiku? Apa gerangan yang membuatmu seperti ini? Apakah kau tak lagi percaya padaku? Aku takut.
Ya, aku takut tak bisa mencintai yang lain. Aku takut pintu kesempatan yang diceritakan orang-orang itu akan tertutup selamanya, tapi aku juga takut kehilanganmu. Takut kehilangan seluruh perhatianmu dan seluruh cintamu.
“Ketika kita kehilangan harta, kita hanya kehilangan sedikit. Ketika kita kehilangan kesehatan, kita kehilangan banyak. Tetapi ketika kita kehilangan karakter diri kita, kita kehilangan segalanya.”
Guru saya pernah mengatakan hal tersebut ketika saya duduk di bangku SMP. Pernyataan yang sangat membingungkan saat pertama kali saya dengar. Bagaimana bisa ketika kita kehilangan harta, kita hanya kehilangan sedikit? Padahal harta merupakan akumulasi kekayaan dan kepemilikan dari usaha kita selama bertahun-tahun. Dan sakit, ya, kata lain dari kehilangan kesehatan, mengapa kita bisa kehilangan banyak? Padahal kita dengan cepatnya bisa sembuh dari suatu penyakit. Dan karakter? Apa itu karakter? Mengapa ketika kita kehilangannya kita akan kehilangan segalanya? Sekiranya begitulah pemikiran saya ketika duduk di bangku SMP.
Seiring berputarnya waktu, kata-kata guru saya terus terngiang di pikiran saya. Setiap kali saya melihat berita mengenai kebakaran di suatu tempat di televisi, pada akhir berita sang pembawa berita akan selalu berkata, “Kerugian dari kebakaran mencapai...”, dan jika beruntung, “Tidak ada korban dalam peristiwa kebakaran tersebut”. Kata-kata tersebut kembali berputar di pikiran saya. Mengapa harus beruntung? Bukankah mereka tetap saja kena sial akibat kebakaran tersebut? Bayangkan, mereka kehilangan tempat tinggal, harta, dan mungkin masa depan mereka. Kenapa sang pembawa berita masih mengatakan itu suatu keuntungan?
Hingga tiba suatu saat ketika bos ayah saya menjadi korban tindak kriminal. Ketika itu beliau sedang mengendarai mobil pribadinya, beliau berhenti di lampu merah, dan tepat pada saat malam yang sepi itu mobilnya dikelilingi oleh banyak pemuda. Tanpa menunggu, pemuda-pemuda tersebut memecahkan kaca mobil beliau dan membajak mobilnya. Beliau pun keluar dari mobil dengan tangan hampa. Dompet, telpon genggam, dan seluruh arsip bisnisnya hilang bersama mobilnya yang dibajak. Ketika cerita tersebut disampaikan, secara refleks saya bertanya kepada ayah saya, “Kenapa tidak melawan?”, kemudian ayah saya hanya tersenyum dan mengusap rambut saya.
Ternyata hidup tidak semurah itu. Hidup tidak bisa dibeli dan juga tidak bisa dijual. Hidup merupakan suatu berkah dan kutukan di saat yang bersamaan. Saya sadar bahwa harta bisa dicari lagi ketika hilang, tetapi kesehatan merupakan hal yang mungkin hanya Tuhan yang bisa memberikannya kembali kita ia hilang. Itulah mengapa ketika kita kehilangan kekayaan, kita kehilangan sedikit, namun ketika kita kehilangan kesehatan, kita kehilangan banyak.
Lalu bagaimana dengan karakter?
Manusia tercipta begitu berbeda, kita tak ada yang sama persis ketika diciptakan oleh Tuhan. Kita menjadi pionir-pionir penggerak dari hal-hal yang kita percayai. Kita melakukan apa yang menjadi minat dan bakat kita. Kita bersosialisasi dan mencari kehidupan yang kita inginkan melalui hal-hal tersebut. Karakter adalah ciri khas, dia adalah gambaran mengenai siapa kita. Analogi dan manifestasi dari pikiran kita. Kita dipercaya dan saling mempercayai karena karakter. Dari sinilah saya bisa mengatakan pentingnya karakter.
Saya tidak bisa melihat sisi lain dari karakter kecuali kepercayaan. Kepercayaan yang terbangun dari karakter yang secara konsisten terus ada. Konsistensi karakter yang terbentuk karena kejujuran kita terhadap apa yang kita rasakan. I’m sad when I’m sad, I’m happy when I’m happy, I’m angry when I’m angry. Kita tidak boleh berbohong kepada diri kita sendiri. Kita berperilaku apa adanya, karena hanya dengan begitulah karakter kita bisa terbentuk. Kepercayaan akan terjalin, dan orang-orang mengetahui kejujuran kita.
Ketika kita berbohong kepada diri sendiri, kita kehilangan karakter kita. Kita kehilangan kepercayaan yang kita butuhkan untuk mendapatkan hidup yang kita inginkan. Kita kehilangan harta dan kehidupan, kita kehilangan segalanya. Maka, jujurlah kepada diri sendiri. Kita merasa sedih, kecewa, dan menyesal saat kita kehilangan. Apapun bentuk dari kehilangan tersebut, jujurlah, dan orang-orang di sekitarmu akan mengerti.
Sejatinya pria adalah serigala. Kami adalah pemburu hebat yang siap menerjang mangsa, sendiri maupun berkelompok. Kami bisa bekerja sama, namun satu-dua dari kami mungkin menginginkan jatah yang lebih banyak ketimbang yang lain. Bukankah para serigala licik?
Kami pandai merayu, seperti alunan panggilan kepada sang rembulan di saat malam penuh bintang. Kami bisa menjadi manja tetapi tetap bisa diandalkan. Kami adalah serigala yang setia jika kebutuhan kami terpenuhi. Tetapi kami ekspansionis, tak mudah merasa puas, dan terkadang sangat ambisius. Kami mengejar kesempurnaan di tengah ladang sang penggembala domba. Yang putih, yang mulus, yang sintal dan menggoda. Ketika kami sudah berhasil mendapatkan satu, kami tetap memandang rerumputan hijau itu yang penuh dengan domba. Mata penggembala yang semakin larut semakin merapat memberi kesempatan untuk mencuri satu-dua domba, lagi?
Tak akan ada habisnya jika bercerita tentang para serigala. Matanya yang menyala setiap malam menarik mangsanya mendekat penuh rasa penasaran. Ya, kami memang penuh dengan daya tarik. Daya tarik yang memikat dan mematikan. Kami mencium kalian penuh dengan gairah, mencengkeram kalian dengan cakar-cakar kami yang manis. Hitungan detik, kalian tak akan merasakan sakit lagi.
Beberapa dari kami mungkin lebih licik lagi. Ada yang mengenakan bulu-bulu domba demi berada di tengah ladang. Sang penggembala mungkin tahu atau mungkin tidak. Berpura-pura menjadi domba mungkin terdengar menggelikan tapi beberapa dari kami berhasil melakukannya. Kami tetap mendapatkan daging kalian yang lezat. Oh ya, jangan lupa hati kalian yang lembut, bagian favorit kami. Kami mungkin menyantapnya di awal atau akhir masa berburu.
Aku tak ingin menjadi serigala lagi, aku ingin belajar menjadi manusia. Menjadi tuan para serigala, menjadi penggembala domba yang baik. Yang mengalunkan nada seruling bambu lebih indah dari alunan kepada sang rembulan. Aku ingin menjadi satu yang setia. Tapi naluri tak pernah bisa berbohong. Aku juga pernah, dan mungkin akan menjadi salah satu dari para serigala itu, lagi.
Saya percaya bahwa di setiap hati semua orang hadir sesosok setan kecil yang nakal dan kadang suka menggoda kita. Hanya saja orang-orang kadang malu untuk mengakuinya atau saya lebih suka menggunakan istilah naif. Setan kecil ini merupakan kumpulan dosa-dosa idaman kita, sesuatu yang terlarang tetapi ingin sekali kita lakukan dan kita penuhi.
Kenapa sih saya nulis kayak beginian di tengah malam?
Dulu saya pernah berpikir bahwa untuk menjadi yang terbaik, saya harus mengalahkan kakak saya. Mengalahkan dalam artian positif. Kakak saya adalah seseorang yang menurut saya paling dekat untuk saya bisa lampaui. Beliau gagal masuk PTN waktu itu, dan ketika saya telah berhasil masuk PTN, saya beranggapan bahwa misi telah sukses. Tapi waktu terus bergulir, kadang terasa lama, kadang terasa sangat cepat. Kemudian tibalah waktu saya untuk berbicara dengan orang tua saya. Sewaktu itu saya kesal sekali, jengkel karena dari kecil hingga sekarang saya tidak pernah mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pekerjaan orang tua saya, saya tidak pernah diajari apa yang mereka kuasai, dan tidak pernah tahu apa yang dimiliki orang tua saya. Kala itu, ayah saya dengan singkat berbicara seperti ini, "Buat apa sih kamu tahu? Kamu mau sombong? Ini belum saatnya. Ada saatnya nanti kamu tahu, baik tahu dari kami maupun dari orang lain. Kami cuma ingin membuat kamu tetap rendah hati". Sejak saat itulah saya tahu bahwa saya harus bisa melampaui dan menjadi lebih baik dari orang tua saya.
Terus apa kaitannya dengan setan kecil yang tadi kita bicarakan di awal tulisan?
Sebetulnya agak memalukan jika saya harus berkata bahwa saya sedang mengalami krisis kepribadian. But the hell with that, saya orang yang terbuka dan saya pikir ini perlu untuk ditulis. Berkaitan dengan cerita saya tadi, saya sadar bahwa ada satu lagi tahap yang harus bisa saya lalui sebelum bisa melampaui orang tua saya. Ya, ini akan terdengar sangat klise, tapi sebelumnya kita harus bisa mengalahkan diri kita sendiri. Dan sekarang saya berada di fase ini. Saya berdiri di depan tembok kokoh bertuliskan "Aku" yang menghalangi jalan saya. I'm stuck.
Belakangan ini saya senang bermain-main dengan setan kecil di hati saya. Saya selalu menganalogikan dia sebagai sesosok pria keren, pintar, kuat secara fisik, dan berengsek di saat yang bersamaan. Kenapa berbentuk seperti itu? Karena saya ingin diri saya seperti itu. Hasratlah yang membentuk setan kecil ini, bukan kebutuhan. Saya percaya setiap orang punya analogi yang berbeda-beda tentang bentuk setan kecil mereka. Analogi simpelnya seperti Naruto dan Kyuubi-nya. Back to the topic, bagaimana saya bisa bermain dengan setan kecil saya? Simply dengan mengizinkan dia menggunakan tubuh saya. Teknisnya saya membiarkan diri saya memenuhi hasrat saya, saya membiarkannya berkembang. Dan ini yang menjadi masalah, he grows too strong to be handled. Akuilah, kita rindu dengan setan kecil kita di hati yang paling dalam. Setan kecil ini ikut memberikan warna ke dalam hidup kita. Dia terlibat dalam pembentukan karakter kita, dia adalah suara hati yang tak terdengar. Dia adalah bisikan jahat yang menggoda. Dia adalah mimpi dan impian kotor kita. Akuilah. Tak ada yang salah dalam mengakuinya, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita menghadapinya. Dan inilah tembok "Aku" yang perlu saya lewati.
Saya selalu melihat diri saya sebagai sebuah forum. Di sana ada saya, saya, dan banyak lagi saya. Saya berpakaian dalam tema yang berbeda. Saya yang mengenakan baju formal, saya yang mengenakan baju religius, saya yang mengenakan baju santai, dan lain-lain. Mereka adalah impian saya, karakter saya yang terlepas dari tubuh inti saya dan hidup sendiri-sendiri namun satu. Itulah wujud multi-personality kita. Terkadang kita ingin menjadi sesuatu, seseorang, atau sosok yang bahkan mungkin kita tidak pernah bisa wujudkan. Mereka membentuk kita, mereka adalah kita.
Dua hal yang saya mengerti, saya harus mampu menjadi lebih baik dari saya yang lain untuk bisa melewati tembok "Aku". Tapi ingat, si setan kecil ini akan selalu ada, dia hidup dan menunggu waktu untuk meng-take over tubuh kita. Setan kecil yang lucu dan nakal. Dia yang sedih karena menjadi kambing hitam dari pembenaran dosa-dosa kita. Dia yang tidak pernah diizinkan bermain. Berbicaralah sesekali dengannya di cermin, dia akan tersenyum padamu. Dan jika tergoda, dia akan berbicara seperti ini kepada kita: "Kenapa sih kamu lakukan hal-hal yang baik? Kamu bisa jadi aku yang lepas, bebas, dan bahagia. Dirty things you've done will be my fault. Salahkan semua dosa kepadaku, biarkan aku menjadi kamu."
I always keep the little devil inside me alive. I play with him. It's to remind me not to be like him. To remind me that I can use him. I am better than just a little devil. Or maybe I already am a devil?