Malam ini saya bertemu dengan seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Seorang teman yang selalu ceria dan tersenyum tanpa memperlihatkan beban hidup yang ditanggungnya. Seorang teman yang sedang susah dan sedang gembira di saat yang bersamaan. Sambil menyantap makan malam di pinggir jalan kami bercerita satu sama lain tentang hidup dan kisah cinta yang tak pernah pasti. Dan kisahnya ini memikat saya seperti sebuah drama klasik:
. . .
Aku sudah berpacaran dengannya mungkin terhitung 5 tahun. Kami beda agama, namun itu tidak menjadi masalah yang signifikan bagi kami. Kami membuat kesepakatan sebelum kami mulai beranjak ke tingkat yang lebih serius selepas kelulusanku SMA. Orang tua kami sudah sepenuhnya memberikan tanggung jawab kepada kami.
"Kalian sudah besar, kalian sendiri yang menentukan, dan kami hanya bisa merestui," itulah yang terucap dari mulut orang tua kami ketika aku sengaja mempertemukan kedua orang tua kami di satu malam untuk makan bersama dan membahas hubungan kami.
Pada akhirnya aku mengatakan bahwa dia harus ikut denganku jika memang ingin cinta ini terus tumbuh. Tetapi sejauh ini kami berada di jalur masing-masing dahulu, memikirkan segalanya, karena hidup bukankah masih panjang? Semuanya terasa sempurna saat itu.
Masuknya aku ke jenjang perkuliahan menjadi titik balik bagi kami berdua. Saat itu ayahku masih bekerja dan orang tua pacarku masih berada pada masa kejayaannya. Seringkali teman-teman pacarku mengejekku karena hanya berkendaraan motor ke kampus sedangkan dia naik mobil, tetapi aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Yah, wajarlah, dia anak seorang pengusaha sukses dan wajahnya yang cantik memang sepantasnya mendapatkan perlakuan lebih. Toh dia sendiri tak ada masalah dengan aku yang hanya membawa motor, yang penting kan cinta yang kuberikan kepadanya.
Takdir ternyata memiliki rencana lain terhadap kehidupan kami berdua. Orang tua pacarku mengalami musibah, dan bisnisnya terpaksa harus terhenti. Pada awalnya semua masih bisa kami lalui bersama, dia masih kuat menghadapi situasi, dan aku masih bisa berkonsentrasi kuliah. Tetapi kemudian semua memburuk. Ketika masa ujian tiba, pacarku mengeluh tak bisa melaksanakan ujian. Setelah kuselidiki, ternyata dia belum membayar uang kuliah. Dengan kondisi seperti ini akhirnya aku meminta tolong orang tuaku untuk membantunya. Dan kehidupan terus berlangsung, dia tak lagi membawa mobil, hanya sepatunya yang bisa mengantarnya ke tempat tujuan.
Pernah suatu ketika dia mengeluh tidak bisa mengerjakan tugas karena tidak memiliki laptop dan harus meminjam kepada teman-temannya. Aku dengan sigap menawarkan laptopku untuk dia gunakan. Seminggu, dua minggu, ternyata tidak kunjung kembali dan aku merasa terganggu. Akhirnya aku berinisiatif untuk membelikannya laptop, yah, yang murah-murah saja. Keadaan ini pun terus bejalan dan berkembang ke tahap yang tidak aku inginkan. Entah kenapa aku sampai membelikannya sepeda motor waktu itu. Dia memang tidak pernah meminta, hanya mengeluh, tapi malah itu yang membuatku tidak berdaya. Dan dengan kondisi keuanganku yang masih disokong oleh orang tuaku mungkin aku terlalu sombong.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, semua masih berjalan seadanya. Tapi tiba-tiba takdir kembali mempermainkan kami. Ayahku mengatakan bahwa dirinya akan segera pensiun, dan aku menjadi satu-satunya yang bisa diharapkan untuk membiayai pendidikan kedua adikku. Terpaksa aku harus segera mencari pemasukan untuk hidupku dan adik-adikku. Dan setelah mencari kesana kemari akhirnya kesempatan datang juga. Dosenku menawarkanku untuk ikut dalam kegiatan proyeknya dan tanpa menunggu aku langsung mengikutinya. Aku sangat terbantu dengan itu.
Pertengahan tahun 2012 tibalah hari dimana aku harus ke luar negeri untuk studi banding. Dia sangat manja sebelum keberangkatanku dan aku menyukainya. Dia mengantarku ke bandara dan dengan penuh cinta dia mengikhlaskan kepergianku. Awalnya hubungan kami tidak ada masalah, tetapi kemudian hubungan kami terhambat. Dia mulai tidak membalas emailku dengan alasan sibuk ini dan itu. Aku merasakan ada sesuatu yang salah.
Ketika aku kembali ke tanah air, aku mencoba menghubunginya dan tidak bisa. Sebulan berlalu dengan hubungan kami yang dihiasi oleh alasan sibuknya. Hingga suatu hari aku berpikir untuk mengajaknya pergi ke luar negeri berdua selama seminggu. Dia tidak menolak, dan aku menyiapkan segalanya. Kami berdua bak seperti bulan madu, tak ada masalah yang berarti untuk menikmati terbitnya matahari di menara kembar. Kami sangat mesra dan melupakan segalanya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya di hari kepulangan kami, apa sebenarnya yang terjadi, dan masihkah dia menganggap serius hubungan kami? Dan dia pun menjawab bahwa dia tidak bisa menjalani hubungan ini lebih jauh lagi. Dia tidak bisa pindah agama dan mengikutiku. Aku mengerti akan hal itu, dan aku menerima tawarannya untuk mencoba terus menjalani hubungan kami apa adanya.
Sepulangnya kami ke tanah air, dia kembali menjadi orang sibuk. Tiga hari kemudian sahabat pacarku menelpon, "Kamu sebaiknya jangan lagi hubungi dia. Jauhi dia, dia tidak baik untukmu," kata sahabat pacarku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Lihat facebook," jawabnya.
Ternyata takdir belum selesai bermain denganku. Aku melihat statusnya dengan pria lain yang dulu pernah aku kenalkan di rapat organisasi. Ya, aku selalu mengajaknya untuk ikut rapat denganku jika dia tidak ada kegiatan. Hatiku hancur.
Aku menceritakan semuanya kepada orang tuaku, dan jodoh mungkin tidak datang secepat yang aku duga. Teman-temanku semua murka, mereka kenal siapa aku dan pacarku. Mereka tidak suka dengan semua ini dan ingin membantuku membalaskan dendam. Bagiku, apa artinya? Semua sudah terjadi dan tidak ada yang perlu dipaksa, apalagi kekerasan. Aku hanya bisa bersyukur sekarang. Coba jika semua ini tidak terjadi, apakah aku masih bisa membeli mobil ini? Apakah aku masih bisa membiayai adik-adikku? Bukankah takdir selalu memainkan permainan yang adil bagi semua? Toh sekarang dia sudah mendapatkan pacar yang diinginkannya, seorang anak pengusaha sukses yang mungkin bisa mengembalikan hidupnya seperti sedia kala.