Pertama kali saya berjumpa mas Iwan Setyawan kalo tidak salah tahun 2010 di Yogyakarta. Kala itu, Forum For Indonesia (organisasi tempat saya bernaung) mengadakan Grand Launching. Dan salah satu bintang tamunya adalah mas Iwan sebagai penulis buku "9 Summers 10 Autumns". Sejujurnya saya belum membaca dan bahkan tidak tahu tentang buku tersebut, haha. Saya mulai tertarik dengan bukunya setelah sesi materi dari mas Iwan di acara tersebut yang memukau. Tidak lama kemudian saya jadi candu dengan karyanya.
Buku "9 Summers 10 Autumns" bercerita mengenai perjuangan seorang anak sopir angkot yang bisa memperbaiki tak hanya taraf hidupnya, namun juga keluarganya. Tidak berhenti disana, baru-baru ini buku "Ibuk," juga sudah keluar dan baru selesai saya baca. Buku kedua tidak jauh berbeda dengan buku pertama mas Iwan, hanya saja lebih berfokus kepada perjuangan orang tua sang anak (yang sebenarnya adalah kisah nyata mas Iwan sendiri) untuk membesarkan anak-anak mereka agar memiliki nasib yang lebih baik. Gaya penulisan yang dipakai sangat mudah dimengerti, ini membuat keduanya bisa dibaca oleh semua kalangan. Untuk kritiknya, mungkin saya akan lebih menyorot bahasa Jawanya yang sering dipakai di buku kedua, haha. Yah, saya maklum karena mas Iwan kan aslinya orang Malang. Jalan ceritanya bagus, sangat dekat dengan kehidupan. Sayang, mas Iwan tidak bercerita lebih banyak tentang masa remajanya saat kuliah. Saya penasaran dengan gaya hidup dan lika-liku perjalanan remajanya, karena saya merasa sebagai mahasiswa memiliki banyak rintangan yang harus dihadapi.
Saya pribadi sangat suka dengan semua karya (walaupun karya pertama mas Iwan, yakni kumpulan foto-foto di Malang tidak saya beli) mas Iwan. Kedua bukunya menyisipkan pesan moral yang sangat kuat. Emosi saya terus diputar seiring dengan berjalannya cerita. Sebagai seorang lelaki, saya mendapatkan sentilan keras bahwa misi kita bukanlah hanya menjadi pribadi yang sukses untuk diri kita sendiri, namun juga untuk mereka yang kita sayangi. Dalam buku Ibuk, misi Bayek (tokoh utama) tidak berhenti sampai dia sukses bekerja di Jakarta hingga ke New York, Bayek ingin memenuhi janjinya kepada orang tuanya untuk membahagiakan mereka dan kakak-kakaknya. Buku Ibuk juga membuat saya lebih menyayangi orang tua saya, dan mencoba untuk tidak mengecewakan mereka atas setiap langkah yang saya ambil.
Semenjak saya bertemu mas Iwan dan membaca karyanya, saya jadi ingin menulis dan memulainya dari Blog. Dari tulisan mas Iwan saya mengerti sesuatu, mungkin apa yang telah kita lalui dan kita rasakan dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. Setiap orang adalah buku yang unik, memiliki jalan cerita dan tokohnya sendiri-sendiri. Jika ingin memulai untuk menulis, mengapa tidak mencoba dari menulis mengenai kehidupan/diri sendiri? Sekarang mimpi saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik dari mas Iwan, saya gak mau kalah, hehe.
Makasih mas Iwan, saya jadi rajin nulis gara-gara karyamu. Ditunggu ya karyanya yang lain! Indonesia membutuhkan lebih banyak kisah humanis dan real seperti karyamu, bukan novel cinta-cintaan yang cuma bisa bikin galau atau buku pencari simpati untuk kepentingan politik. Semoga mimpi mas Iwan untuk merubah nasib dua-tiga anak sopir angkot menjadi kenyataan. :)
Saya dan Iwan Setyawan saat acara Grand Launching FFI di Yogyakarta (ternyata orangnya lebih kecil dari yang saya bayangkan, haha)