"Buku itu investasi masa depan," begitu kata Ayah saat saya pertama kali menginjakkan kaki di perguruan tinggi Gadjah Mada. Saya sangat bodoh waktu pertama kali mendengar kata-kata Ayah saya dengan lalu. Saya belum menyadari arti penting dari kata-kata beliau. Pertama kali saya memasuki dunia perkuliahan, dosen saya selalu menekankan pentingnya membaca. "Jika kalian mau lebih pintar dari saya, baca buku lebih banyak dari saya!" begitu kata beliau menandai permulaan perjalanan perkuliahan saya. Bahan bacaan yang banyak sekali di perkuliahan memaksa saya untuk terus membaca dan membaca, apapun medianya, koran, buku, hingga artikel-artikel di internet. Dan saat itulah saya mulai menyukai buku.
Saat pertama kali kuliah, entah berapa banyak buku yang saya paksakan untuk beli agar tidak tertinggal dengan teman-teman yang lain. Maklum, saya sewaktu SMA bukanlah orang yang gemar membaca, dan teman-teman kuliah saya ini, saya juga baru tahu pada tahun kedua, banyak yang suka membaca. Ayah saya dengan senang hati mendukung saya untuk membeli buku dengan mengganti berapapun uang yang saya keluarkan untuk membeli buku kuliah. Dari sekedar Rp. 60.000,- hingga diatas Rp. 300.000,-. Bagi saya itu jumlah yang luar biasa untuk membeli buku dan Ayah saya tidak keberatan dengan itu. Saya mulanya sangat benci membaca, tertidur di tengah-tengah saat membaca. Atau bahkan meninggalkan buku yang saya baca saat saya rasa sudah tidak lagi menarik atau membosankan. Lama-kelamaan saya terbiasa, baik dengan kebosanan gaya penulisan, apalagi buku-buku teori, hingga mengerti arti dari kata-kata atau istilah yang saya jarang dengar dalam pembicaraan sehari-hari.
Ayah saya juga sebenarnya bukan seseorang yang suka membaca buku, tapi beliau selalu membaca koran setiap pagi saat libur kerja atau sore sepulang kerja. Saya selalu memperhatikan bagaimana beliau membaca dengan seksama maupun hanya membaca dengan sekilas. Menggunakan kacamata bacanya yang khas dan tentunya minuman teh atau kopi sebagai pelengkap. Saya selalu teringat kebiasaan itu setiap kali saya membaca. Jika Ayah saya rajin sekali membaca, kenapa saya tidak? Ternyata sekarang saya mulai merasakan kebiasaan itu menurun ke saya.
Sejak memasuki semester 6, saya berhenti membaca koran dan mengandalkan televisi untuk berita-berita terkini, namun saya lebih fokus kepada buku. Saya menjadi lebih sering membaca dan membeli buku. Kemudian lahirlah komunitas IR Book Club yang saya dan teman-teman saya dirikan. Bacaan saya jadi mulai meranah ke genre-genre asing. Buku-buku yang jarang orang lain baca, dan itu menarik perhatian saya. Dengan berdiskusi bersama teman-teman yang juga suka membaca buku seperti itu, gairah saya untuk membaca semakin meningkat dan terus meningkat hingga sekarang.
Menjadi Hobi
Dulu saya tidak mengerti apa sebetulnya hobi saya. Perbincangan dengan beberapa teman membuat hati saya tersentil. Teman-teman dengan lancar dan ringan sekali membicarakan apa yang menjadi kesukaan atau hobi mereka. Ada yang suka otomotif, fotografi, hingga gigs. Kata salah satu dari mereka, "lelaki itu harus punya hobi,". Lalu, apa hobi saya?
Saya kemudian curhat dengan pacar saya mengenai ini. Apa sebenarnya hobi saya? Pacar saya kemudian mengatakan bahwa hobi itu adalah sesuatu yang kita suka lakukan dengan sukarela, tanpa ada rasa terbebani, senang rasanya jika dilakukan, dan tanpa sadar kita melakukannya. Apakah saya benar-benar suka membaca buku? Ya namanya tidak sadar, jadi mana saya tahu. Kemudian hal yang paling menyadarkan saya adalah ketika saya melihat rak buku saya di kos. Betapa banyaknya buku yang berjejer di sana, belum lagi buku-buku yang sedang dipinjam oleh teman-teman saya. Padahal saya masih ingat dulu waktu pertama kali kuliah, rak buku saya hanya ada satu dan itu kosong (tak ada buku). Sekarang saya berencana membeli rak ketiga, karena dua rak buku saya sudah penuh. Ternyata saya benar-benar suka membaca.
Sekarang, saya tidak pernah lagi membatasi diri untuk membeli buku dengan jumlah harga di luar akal sehat (saya pernah menghabiskan hampir 1 juta untuk membeli buku). Namun saya tetap menjaga diri agar sebisa mungkin sebulan sekali saja ke toko buku. Karena setiap kali saya ke toko buku, saya selalu tertarik untuk membeli buku, padahal masih banyak buku yang belum saya selesaikan.
Tapi hobi yang baru saya sadari ini belum menjadikan saya seseorang yang benar-benar gila buku. Ada banyak teman saya yang lebih gila lagi, dan saya sadar saya belum ada apa-apanya. Saya masih sering lupa dengan isi buku yang sudah saya baca, jadi saya harus membaca isinya secara garis besarnya dulu sebelum menjelaskan ke orang lain. Hal ini kemudian yang memantik saya untuk menulis. Menulis review atau resensi buku sangat membantu untuk mengingat isi buku itu. Ternyata memang benar bahwa membaca dan menulis itu dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Sekarang saya sedang berlatih untuk menulis review atau resensi buku-buku yang telah saya baca. Tapi lagi-lagi, rasa malas adalah musuh utama.
Satu hal yang negatif dari hobi saya ini adalah saya menjadi benci sekali dengan teman-teman yang meminjam buku saya dan lupa mengembalikannya, apalagi buku saya yang dipinjam oleh teman saya, dipinjamkan lagi ke temannya (jadi tangan ketiga). Bukan kepalang bencinya saya ketika mengetahui itu. Saya merasa buku-buku itu adalah harta karun saya, dan seharusnya orang yang saya pinjamkan itu menyadari betapa saya sangat menghargai mereka dengan membolehkannya meminjam harta karun saya. Makanya setiap kali ada teman yang ingin meminjam buku, saya menjadi ragu dan merasa enggan. Saya menjadi egois. Padahal ketika teman saya ada yang memiliki buku yang bagus, saya juga kerap meminjamnya (tapi pasti saya kembalikan). Yah, namanya juga manusia.
Saya juga sering merasa ada yang kurang setiap kali saya selesai membaca buku pinjaman. Saya merasa harus memilikinya. Ini mengakibatkan saya harus membeli buku yang serupa atau memfotokopinya. Namun saya rasa ini bukanlah hal yang negatif. Rasanya senang sekali jika koleksi buku saya bertambah. Ada kebahagiaan tersendiri yang mengalir di nadi saya. Ini memunculkan ide di masa depan agar saya memiliki perpustakaan pribadi. Wah, pasti senang sekali rasanya melihat koleksi buku saya semenjak menjadi mahasiswa kelak.
Saya juga sering merasa ada yang kurang setiap kali saya selesai membaca buku pinjaman. Saya merasa harus memilikinya. Ini mengakibatkan saya harus membeli buku yang serupa atau memfotokopinya. Namun saya rasa ini bukanlah hal yang negatif. Rasanya senang sekali jika koleksi buku saya bertambah. Ada kebahagiaan tersendiri yang mengalir di nadi saya. Ini memunculkan ide di masa depan agar saya memiliki perpustakaan pribadi. Wah, pasti senang sekali rasanya melihat koleksi buku saya semenjak menjadi mahasiswa kelak.
Menjaga Konsistensi
Sebagai penutup, saya ingin memberikan tips kepada teman-teman yang masih merasa kesulitan untuk membaca buku. Sebenarnya kuncinya ada di konsistensi kalian untuk membaca. Sebagai contoh, saya menjaga konsistensi membaca saya dengan selalu membaca satu jam sebelum saya tidur. Tapi jika memang kalian sedang ingin membaca lebih, silahkan. Saya kadang juga agak keterlaluan dengan tidak mengenal tempat untuk membaca (kadang di kamar mandi, kantin kampus, atau bahkan di lapangan), tapi tidak apa, itu artinya kalian sedang tertarik, dan jangan redupkan gairah kalian untuk membaca itu.
Memang pada awalnya akan sangat sulit dan terasa sangat malas untuk melakukannya. Tapi jika kalian memang benar-benar ingin membaca, paksakanlah. Jika itu tidak menjadi hobi kalian, atau sekedar kewajiban untuk membaca bahan kuliah, saya rasa tips saya itu akan berguna. Ingat, membaca itu penting! Buku adalah jendela dunia, dan istilah itu benar! Setelah kalian membaca, bagikanlah ilmu kalian dengan orang lain, diskusikan, lalu menulislah! Kemajuan peradaban manusia dimulai dari cara mereka berpikir, dan mampu menuliskan ide mereka agar bisa dimengerti oleh orang lain.