"Tidak aku tahu lelaki begitu mudah ditipu oleh perempuan,"
Begitu tulis Mochtar Lubis mengantarku kepada akhir cerita pendeknya. Malam ini aku memutar otakku yang kaku oleh emosi. Terjaga oleh kesadaran yang terbangun dalam lima jam tidurku sejak matahari terbenam. Melihat wajah yang cantik di album foto ponsel genggamku, tak terasa waktu telah lebih lama menahan rasa cinta ini untuknya dari praduga awalku.
"Emotion is good, but you should back it up with some cold hard facts,"
Menemani bulan sambil mengulang kembali episode-episode dari kisah seri tentang seorang pengacara tak berhati yang mengejar kemenangan. Selalu terbayang tentang mimpi menjadi dirinya yang tak peduli dunia dan wanita. Bagaimana seseorang bisa menghilangkan emosinya? Menjalin hubungan hanya sebatas kebutuhan fisik tanpa ada campur tangan cinta. Aku ingin seperti itu, tapi itu bukan aku.
Dunia terus berubah dan membawaku kepada kehidupan yang semakin kompleks. Perempuan mengangkat equality ke permukaan. Bukannya takut, tapi ragu. Apakah kita semua paham arti equality? Mengaitkannya dengan anatomi tubuh dan menganalisa perilaku berdasarkan ilmu biologi. Apakah kita memang benar-benar equal? Perempuan ingin selalu dimengerti, tapi apakah mereka pernah mau mengerti tentang lelaki? Yang tak hanya memerlukan kebutuhan fisik seperti yang selama ini selalu menjadi prejudis mereka, namun lebih dari itu. Tentang aktualisasi diri dan pengakuan. Tentang emosi dan egoisme. Tentang suka dan tidak suka. Tentang menjadi sensitif dan tak peduli.
Mungkin aku telah kacau dan kehilangan identitas di tengah krisis hidup menuju ke kedewasaan seperti yang kau bilang. Aku akan menjadi sesuatu yang aku inginkan, dan mungkin juga seperti yang kau harapkan. Aku ingin menenggelamkan "aku" yang kini sedang dalam badai emosi. Membuangnya begitu saja seperti tisu yang basah dipakai untuk membersihkan percikan sperma. Aku ingin mengukir raut wajah ini, seperti lelaki-lelaki yang katanya telah merasakan manis pahitnya kehidupan. Menyembunyikan sifat asliku dalam tindakan yang tak akan pernah dapat dimaafkan. Bukankah begitu penyakit lelaki yang seharusnya? Mengalihkan apa yang seharusnya ditunjukkan ke dalam tindakan yang bajingan?
Seperti kata pepatah Belanda, "semakin tinggi status sosial dan tingkat intelektual seseorang, semakin tinggi tingkat kebinatangannya". Seperti lelaki-lelaki yang terhimpit oleh kekuatan sosial untuk menjadi "lelaki", namun melakukan ke"lelaki"annya kepada hal yang tak sepantasnya dilakukan seorang lelaki. Dipaksa untuk menghilangkan apa yang sebenarnya menjadikannya lelaki.
Tak aku tahu bahwa harga kebebasan sebegitu mahalnya. Menjadi seorang lelaki pun tidak bebas begitu saja menjadi. Membentuk identitas diri dari apa yang diinginkan oleh orang lain. Kita bukanlah kita yang apa adanya, melainkan kita yang terbentuk oleh mata-mata orang lain yang melihat kita.
Apakah kau pernah bertanya kepadaku, sayang?
Tentang hal yang aku suka, tentang hal yang aku benci?
Apakah kau pernah bertanya kepadaku, sayang?
Tentang apa yang kurasa dan apa yang kuinginkan?
Dan apakah kau pernah bertanya kepadaku, sayang?
Tentang aku yang ingin menjadi apa, tentang siapa aku sebenarnya?
Tenggelam dalam badai emosi,
Mencoba menghapusnya dan bertahan dalam lingkar kebinasaan,
hidup,
Sulit menjadi apa yang seharusnya kita ini diciptakan,
Karena mata-mata yang tak pernah melepasmu dalam kebebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar