Sore yang mendung di langit Yogyakarta membawa saya ke puing-puing mimpi ditemani lembutnya selimut. Maksud hati mengistirahatkan kepala saya sejenak yang agak pusing, namun ternyata gagal dan membuat mata ini terus menatap acara di salah satu stasiun televisi. Apa boleh buat, sudah kadung terbawa suasana acara tersebut, jadi menontonnya hingga selesai.
Pada bulan September saya kembali ke tanah Jawa setelah menunaikan kewajiban saya kepada kampus. Belitung, tanah Laskar Pelangi menjadi tujuan saya untuk melaksanakan kegiatan KKN-PPM (Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat). Selama dua bulan saya menghabiskan waktu bersama masyarakat Belitung, tujuan sebenarnya adalah untuk membantu pembangunan daerah dengan pemanfaatan sumber daya mahasiswa bersama berintegrasi dengan masyarakat. Menciptakan kondisi mutualisme bagi keduanya, mahasiswa memantik semangat membangun masyarakat, dan masyarakat memberi pengalaman kepada mahasiswa. Meski pada akhirnya lebih berat yang kedua, saya rasa program kampus saya ini berhasil membuat saya, khususnya, mengerti sepersekian persen gambaran kehidupan masyarakat di daerah yang jauh dari perkembangan dan bagaimana sebenarnya sumber daya orang-orang terdidik itu sangat diperlukan di sana.
Garis Depan
Acara sebuah stasiun televisi yang saya tonton menceritakan tentang sebuah tim kesehatan yang dikirim ke sebuah daerah perbatasan terluar Indonesia dengan Papua New Guinea, bernama Semografi. Daerah yang jika saya tidak salah memiliki jumlah keluarga di bawah seratus ini sangat memperihatinkan. Bayangkan kehidupan tanpa pasokan listrik dan tiada akses komunikasi dan informasi.
Tim kesehatan yang terdiri dari satu dokter dan beberapa perawat ini menempuh perjalanan selama delapan jam dari kota untuk menuju kampung Semografi. Melewati dua gunung dan 19 sungai, tim kesehatan ini sudah sangat cocok sekali menjadi anak buah Ninja Hatori. Perjuangan mereka diceritakan dan digambarkan sangat apik dalam acara tersebut.
Berbagai macam tantangan dihadapi oleh tim kesehatan ini. Dari permasalahan suplai obat-obatan yang hanya bisa minta diantarkan melalui jasa komunikasi militer setempat (via helikopter) atau harus ke kota yang notabene mengulang perjalanan Ninja Hatori mereka hingga masalah komunikasi dengan masyarakat setempat yang kurang menyadari pentingnya arti kesehatan. Penyakit yang diidap oleh masyarakat setempat didominasi oleh penyakit pernapasan akibat cara tradisional merokok (rokok terbuat dari tembakau yang dikeringkan kemudian digulung dengan tembakau, tanpa kertas, tanpa filter. Bayangkan seberapa beratnya daya rusak yang dihisap oleh mereka!) dan penyakit kulit akibat sistem sanitasi yang buruk serta kebiasaan membuang ludah dan sampah sembarangan.
Proses pemberian pengobatan benar-benar menjadi perhatian khusus saya dalam acara tersebut. Coba bayangkan, meskipun mereka sudah diberikan pengobatan gratis oleh tim kesehatan, masih saja banyak yang belum mengerti atau malah ngeyel. Kebiasaan hidup sehat dan bersih serta meminum obat-obatan masih menjadi hal yang asing bagi mereka. Ini dapat kita mengerti dengan melihat rendahnya tingkat pendidikan di sana. Disuruh minum obat tiga kali sehari sangat sulit, minum sehari satu kali saja sudah untung, itu jika tidak lupa.
Bupati daerah setempat yang mengerti akan kesulitan-kesulitan ini, untungnya, memiliki inisiatif yang sangat bagus dengan memberikan insentif kepada tim kesehatan tersebut berupa gaji sebesar 30 juta rupiah per bulan, bersih ditambah uang makan yang akan diberikan selama mereka di sana. Tapi tetap saja, apa gunanya uang di sana, wong gak ada tempat untuk menghabiskan uang atau sekedar berbelanja di sana.
Butuh Otak dan Niat
Saya sangat mengagumi orang-orang yang berani bekerja di daerah perbatasan. Mereka bukanlah orang sembarangan yang hanya punya niat baik. Orang-orang ini dituntut untuk memiliki ilmu serta pengetahuan lebih untuk bisa memahami kehidupan masyarakat setempat. Begitu juga halnya dengan niatan. Tanpa niat, daerah perbatasan hanyalah sebuah titik tak terlihat bagi mereka di peta Indonesia.
Saya mencoba melihat kembali pengalaman saya di tanah Laskar Pelangi. Program KKN-PPM yang saya jalankan selama dua bulan sepertinya belum ada apa-apanya dibandingkan orang-orang Garis Depan ini. Saya hanya baru melihat 1% kehidupan mereka dari kacamata seorang mahasiswa yang masih diberikan uang dan dijamin keselamatannya oleh orang tua dan kampus. Sedangkan orang-orang ini bertaruh nyawa dan (saya rasa) tidak memikirkan imbalan atau gaji mereka.
Sekarang ini memang sudah mulai tumbuh program-program sejenis yang mencoba memantik para pemuda maupun profesional untuk mengabdi kepada negeri di daerah-daerah perbatasan negara Indonesia. Namun tidak jarang saya temukan mereka yang tidak peduli, tidak tahu, dan bahkan menghindari hal-hal seperti ini. Saya pun kembali mempertanyakan diri kembali, apakah saya bagian dari mereka? Apakah kesadaran yang tumbuh ini selamanya hanya akan menjadi kesadaran tanpa tindakan? Saya masih ingat, saya dulu berniat untuk KKN-PPM di daerah perbatasan juga, tapi mungkin saya yang belum siap atau mungkin juga takdir punya jalannya sendiri, jadi saya berangkat ke Belitung kemarin.
Kemajuan Bangsa
Banyak dari kita (termasuk saya) terus mengeluh betapa lambannya bangsa kita ini berkembang, baik itu dalam bidang akademi, teknologi, bisnis, peradaban, maupun toleransi dan multikulturalisme, tanpa melakukan apa-apa bagi bangsa. Saya berakhir pada sebuah kesimpulan yang sangat menyakitkan saat selesai menonton acara tersebut, bagaimana bangsa kita ini bisa maju jika masih banyak daerah yang tertinggal? Bagaimana kita bisa berbicara masalah penjualan iPhone 5s jika di Semografi saja masyarakat belum tahu apa itu ponsel genggam? Lalu, apakah pantas kita iri dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, ataupun Korea Selatan yang memiliki wajah perkembangan teknologi maju, sedangkan masih banyak borok-borok bangsa ini yang perlu disembuhkan, diperhatikan, dimajukan? Ternyata perjalanan bangsa kita masih panjang ya.