"Kenapa ya bu, kenapa bisa begini," kata anak muda itu dengan wajah penuh kekecewaan.
"Ibu kan sudah bilang, hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di televisi," sang ibu berkata sambil mengelus rambut anak semata wayangnya itu.
"Kenapa materi, harta, benda, bisa membuat kita bersikap sangat berbeda terhadap manusia lainnya bu?" tangannya mulai mencari-cari batu di taman untuk dilempar ke kolam sebagai pelampiasan kekesalannya.
Sang ibu hanya tertegun. Sore itu, ia harus menjelaskan pahitnya hidup kepada anak semata wayangnya yang masih terlalu muda. Sembari merangkai kata, kenangan akan dosa-dosanya di masa lalu menghiasi pikirannya.
. . .
"Aku gak mau jalan sama kamu, kalo kamu gak bawa mobil," wanita muda itu meronta mencoba melepas tangannya dari genggaman seorang pria sebayanya.
"Kamu kok matre banget sih?" pemuda itu tak juga melepas genggamannya.
"Lepasin! Kalo gak nanti aku teriak!" si wanita mengancam.
"Oke, oke! Aku kecewa sama kamu, pikiran kamu sempit!" akhirnya pemuda itu melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan si wanita.
"Sempit? Mungkin kamu ya yang belum sadar. Aku ini wanita, senjata utamaku ya kecantikanku. Aku harus jaga asetku dong! Lagipula, kalo memang benar kamu anak orang mampu, pastinya kamu punya mobil!"
"Aku ga pernah bilang sama kamu kalo aku punya mobil,"
"Kalo begitu, aku yang salah. Maaf ya, aku gak bisa jalan sama kamu,"
"Mau sampai kapan kamu memberikan harapan-harapan palsu ini kepada para lelaki, hey Laila?"
"Sampai aku menemukan dia yang bisa menjagaku, merawatku, mengerti kebutuhanku. Sadarlah Amin, hidup itu mahal, dan laki itu gak cuma kamu. Wajar saja jika aku menebar kecantikanku, bukan cuma untuk kau seorang,"
"Berarti semua ini hanya masalah materi?"
"Amin, ayolah. Aku tahu kau pintar,"
"Tapi aku mencintaimu Laila! Aku mencintaimu apa adanya!"
"Kamu tahu aku harus tampil cantik kan? Dan biaya untuk kecantikan itu mahal. Bagaimana aku bisa tetap tampil cantik dengan menaiki motormu itu? Polusi, debu, kotoran, iyuuuh. Aku hanya mengambil jalan tengah. Jujurlah pada dirimu sendiri Amin, kau tidak akan mencintaiku jika aku jelek kan?"
Pemuda itu terdiam mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut manis si wanita cantik itu. Kata-katanya seperti menusuk hati dan membolak-balikkan pikirannya. Apa iya cinta itu datang dari mata? Apa iya cinta harus dipupuk dengan harta? Apakah hidup semahal ini?
"Sudahlah, kembalilah ketika kamu punya mobil sendiri," sang wanita pun pergi, tertutup kabut kenangan.
. . .
"Ibu, ibu," anak muda itu mengguncang tubuh ibunya yang membatu sesaat.
"Iya nak? Maaf ya, ibu melamun tadi,"
"Aku lapar,"
"Ayo, kita makan di restoran favoritmu. Panggil pak Juki untuk mengantar kita,"
"Pak Juki!" anak muda itu memanggil supirnya.
"Iya mas?" lelaki tua dengan kumis lebat datang dengan tergesa-gesa.
"Tolong antar aku sama ibu ke restoran ya,"
"Baik mas,"
"Oh iya, aku lupa menaruh sepeda motor ayah tadi, tolong masukkan sekalian ya pak," anak muda itu dengan nada lembut menyuruhnya. Langkah tergesa-gesa pun menghiasi kaki tua pak Juki selepas mendengar perintah majikannya itu.
Setelah pak Juki memasukkan motor majikannya ke garasi, ia mengeluarkan mobil mewah majikannya dan membukakan pintu untuk mereka.
"Pak Juki, besok pagi jangan lupa jemput bapak ya di bandara," sang ibu berkata sesaat sebelum menaiki mobil.
"Baik bu, besok pagi saya akan jemput pak Amin," kata si supir sambil menutup pintu mobil.