Wah, sudah lama tidak menulis di blog. Semester yang sibuk, kamar kos yang gak kerawat, dan berbagai macam masalah yang ditimbulkan oleh si merah (motor). Oke, jadi beberapa hari belakangan ini saya sedang banyak membaca buku. Diantaranya ada Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis, 9 Summers 10 Autumns karya Iwan Setyawan, Three Cups of Tea karya Greg Mortenson, dan yang belum saya selesaikan adalah The Art of Power karya Thich Nhat Hanh.
Sebetulnya selama di Jakarta saya ingin mengulas sedikit tentang isi dari masing-masing buku tersebut yang menarik perhatian saya, tetapi karena waktu tidak mengizinkan, ya maka saya cuma bisa nulis ini sekarang, haha. Oke, kali ini saya ingin mencoba mengulas tentang arti diam setelah sempat membaca The Art of Power karya Thich Nhat Hanh bab Taking Care of Nonbusiness.
Kalo kata pepatah, "diam itu emas." Atau dalam bahasa Inggrisnya, "silence is gold." Berapa banyak sih dari kita (termasuk saya) yang tahu betul arti dari pepatah ini?
Kita seringkali melihat pepatah ini sebagai jalan untuk mengelak dari suatu permaslahan. Kalo kata Thich Nhat Hanh, masalah itu harus dihadapi, bukannya dihindari. Saya tidak bermaksud untuk menghakimi, tetapi seringkali orang-orang diam untuk menghindari masalah. Come on guys, grow up, it'll haunt you. Kebenaran mau bagaimanapun akan terungkap, diam itu memiliki arti yang lebih dari sekedar ucapan kata palsu.
Lebih baik diam daripada sok tau, terkadang kata-kata ini agak menyesakkan memang. Tapi bagi saya yang masih mahasiswa, sok tau itu wajar, karena saya masih belajar (tapi tahu kadar lah). Masalah diam itu memang sangat berkaitan erat dengan eksistensi kita, ada orang yang diingat karena dia menulis, karena dia berpidato, dan lain-lain. Tapi apa ada orang yang diingat karena diam? Tidak. Diam memang tidak akan membawamu maju, tapi dia akan membawamu pada dirimu sendiri, untuk mendengarkan orang lain, mendengarkan jiwa kita.
Diam memberikan kita waktu untuk sadar bahwa kita hidup. Kita tidak bisa terus berbicara tanpa mendengarkan. Biarkan orang menyepelekan kita karena kita diam, tapi diam kita harus memiliki arti. Kita membaca dalam diam, kita mendengarkan dalam diam, dan yang ajaib adalah kita bisa berbicara dalam diam. Thich Nhat Hanh dalam bukunya The Art of Power bercerita bahwa ia seringkali datang ke sebuah rumah seorang ahli matematika hanya untuk menikmati teh di musim dingin di depan perapian. Ya, hanya sekedar meminum teh, tanpa berbicara, selama kurang lebih satu setengah jam kalo saya tidak salah ingat.
Pernah terpikir oleh kita untuk melakukan itu? Malah kita sering berpikir sebaliknya bukan? Dalam keadaan diam seringkali kita merasa tidak nyaman dengan orang lain, inginnya berbicara untuk memecah suasana. Memang sulit melakukan berbicara dalam diam. Kita hanya bisa melakukannya dengan orang-orang tertentu. Contohnya dengan orang yang kita sayang. Ya, terkadang kita tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun untuk memberitahu bahwa kita cinta dengan pasangan kita, melalui diam kita berinteraksi. Diam bisa berbicara dalam seribu bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar