Sebenarnya tulisan ini saya maksudkan untuk menjadi usaha pertama saya untuk melakukan review terhadap buku yang sudah saya baca. Sudah sejak lama saya mengumpulkan niat untuk menuliskan review buku-buku yang sudah saya baca, namun memang rasa malas ini ada saja alasannya untuk mengahalangi niat saya. Baiklah, review saya kali ini mengambil buku "Confessions of An Economic Hit Man" karya John Perkins yang baru saja saya selesai baca dua hari yang lalu.
Hit Man?
Pertama kali saya berniatan untuk membeli buku ini sebenarnya datang dari seorang teman kos saya, Bara. Seperti biasa saya sering bertanya kepada orang-orang yang suka membaca, buku apa yang bisa dia rekomendasikan kepada saya. Buku inilah yang kemudian Bara sarankan kepada saya. Saat mendengar judulnya, terlintas di pikiran saya mengenai arti Hit Man. Apa sebenarnya arti Hit Man? Saya hanya pernah mendengar istilah tersebut dari sebuah game PC mengenai seorang pembunuh bayaran. Lalu dengan dibumbui Economic, apakah artinya buku ini akan bercertita mengenai pembunuh yang bergerak dalam bidang ekonomi? Yap, pikiran dangkal saya hanya bisa mengantar saya hanya sampai di titik itu sebelum saya membuka lembaran pertama dari buku karya John Perkins.
Economic Hit Man (EHM), seperti yang ditulis oleh John Perkins, adalah seorang profesional yang dibayar tinggi untuk mencurangi negara-negara di dunia dalam jumlah milyaran dollar. Mereka menggunakan laporan keuangan, pencurangan pemilihan umum, ekstorsi, seks, dan pembunuhan sebagai cara mereka mencapai tujuan. Sebuah definisi yang sangat mengerikan untuk sebuah istilah, bukan? John Perkins menyadari bahwa selama lebih dari 30 tahun masa produktifnya telah dihabiskan untuk mencurangi negara-negara berkembang agar jatuh ke tangan ekonomi dunia atau saya bisa menyebutnya kerajaan Amerika Serikat (John Perkins menyebutnya sebagai American Empire) dengan cara membuat mereka berhutang. Dengan begitu akan mudah bagi Amerika Serikat mengambil "pound of flesh" dari setiap negara-negara yang telah bangkrut karena jumlah hutang yang tak mungkin dapat dibayar dengan cara mengambil kekayaan alam atau sumber daya manusia negara-negara tersebut dengan harga murah atau bahkan gratis.
Buku ini bercerita menggunakan sudut pandang orang pertama, yakni John Perkins itu sendiri sebagai seseorang yang secara sadar betul (karena di tengah cerita, John Perkins menceritakan bagaimana sistem EHM telah berkembang dan membuat seseorang tidak sadar bahwa dia adalah seorang EHM untuk meminimalisir pergolakan jiwa seperti yang ia hadapi) melakukan perannya sebagai salah satu EHM paling berbahaya di dunia. John Perkins menceritakan pengalamannya secara detail mengenai bagaimana perjalanannya menjadi seorang EHM. Dari masa kecilnya, kehidupan remaja, lika-likunya dengan NSA, hingga akhirnya membawa dia menjadi seorang EHM di sebuah perusahaan Amerika Serikat.
Misi Pertama, Indonesia
Salah satu bab yang paling saya sukai dan paling mengagetkan saya adalah mengenai misi pertamanya di Indonesia. Dalam bukunya dia menulis "Indonesia: Lessons for an EHM", satu bab yang menceritakan pengalaman misi pertamanya sebagai EHM. Indonesia yang di buku itu diceritakan sedang dalam masa pemerintahan Soeharto, menjadi potensi bagi Amerika Serikat untuk dijadikan korban. Negara kita terkenal dengan kekayaan alamnya sejak zaman Majapahit, ditambah lagi dengan jumlah populasi penduduknya yang besar dapat dijadikan target pasar atau bahkan buruh murah.
John Perkins berangkat ke Indonesia belum sepenuhnya sebagai EHM. Misi pertamanya sebenarnya sangatlah mudah, yakni membuat laporan mengenai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 25 tahun ke depan. Dia pergi sebagai peneliti lapangan, belum sebagai EHM. Laporan tersebut kemudian akan disampaikan kepada bosnya agar dapat dijadikan basis mengapa Indonesia perlu atau berpotensi untuk diberikan hutang (hutang di sini memiliki arti untuk memberikan bantuan pinjaman uang, pembangunan infrastruktur, transfer of knowledge, hingga pengiriman para ahli untuk membantu pembangunan bangsa) dan kemudian diharapkan dapat diambil "pound of flesh"-nya 25 tahun mendatang.
Yang unik dari bab ini bukan hanya target operasinya yang berlokasi di Indonesia, namun juga mengenai konflik batin atau pergolakan jiwa John Perkins dalam tahap awalnya menjadi EHM. John Perkins merupakan tipe orang yang suka bergaul atau taruhlah suka bersosialisasi. Dia sangat terbuka atas informasi apapun yang sekiranya dapat membantunya. Negara kita yang terkenal dengan keramahannya meninggalkan kesan yang tidak mudah baginya. Sewaktu berada di Indonesia, John Perkins berteman dengan beberapa mahasiswa yang ramah dan sering mengajaknya untuk lebih mengenal Indonesia. Konflik batin mulai muncul ketika keramahan tersebut mengusik moralitas serta tanggung jawabnya sebagai EHM untuk mencurangi Indonesia, atau kasarnya membawa Indonesia kepada kehancuran melalui kebagkrutan negara. Dia, seperti banyak EHM lainnya, mulai membuat keputusan penting di misi pertamanya ini. Dia mulai mengafirmasi tindakannya sebagi suatu hal yang benar karena dia melakukannya untuk kepentingan negara, membawa bangsanya menuju kemajuan.
Kisah Nyata atau Fiksi?
Yang terlintas pertama kali setelah membaca buku ini adalah, apakah cerita ini nyata? Saya membagi pemikiran ini kepada beberapa teman, dan memang banyak yang berkata bahwa buku ini tidak sepenuhnya benar. Namun, saya tidak berhenti sampai di sana. Footnote-footnote yang digunakan John Perkins sangat menyakinkan, data-datanya visible dan bisa diakses. Setelah mencari konfirmasi atas kebenaran keberadaan John Perkins dan ceritanya di internet, saya mendapati kenyataan yang pahit sekaligus melegakan. Cerita buku ini ternyata memang terjadi, John Perkins memang terdaftar di perusahaannya, artikel-artikel yang memuat tentang lika-likunya sebagai EHM ada dan terarsipkan.
Memang ketika membacanya, terkesan sangat konspiratif dan sangat berpihak kepada John Perkins (yang pada akhirnya merasa bersalah dan berusaha membayarnya dengan membuat buku ini), namun buku ini meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi saya. Keberadaan EHM memang benar-benar ada, bangsa kita telah masuk ke dalam perangkapnya, dan tidak banyak yang bisa kita lakukan atas hutang-hutang tersebut. John Perkins memang memberikan banyak cara untuk menghadapi EHM di akhir bukunya, namun untuk skala pejabat negara memang diperlukan keberanian untuk membuat keputusan yang kontroversial. Saya baru menyadari bahwa kita sudah masuk dalam era baru EHM yang lebih berbahaya dari zaman John Perkins.
Pada akhirnya, buku ini membawa saya kepada pertanyaan moral seperti yang dirasakan oleh John Perkins. Apakah kita ini punya hak sebegitu besarnya untuk menghancurkan negara orang lain untuk kepentingan kita sendiri? Apakah kita sebegitu liciknya untuk mencapai tujuan kita? Apakah menjadi kaya adalah satu-satunya cara untuk dapat bahagia di dunia yang semakin materialistis ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat saya jawab, dan akan menjadi pekerjaan rumah kita masing-masing. Buku ini sangat recommended bagi siapapun saya rasa. Masyarakat negara-negara maju saya rasa sudah mengalami shock effect yang cukup setelah terbitnya buku ini, namun saya masih ragu dengan masyarakat Indonesia. "Boro-boro baca/beli buku, wong makan saja susah mas" kata-kata tersebut mungkin yang akan sering saya dengar jika kita mulai mempromosikan buku ini.