Isabel, kita telah sampai pada suatu masa yang penuh tanya. Generasi "Y" kata para pendahulu kita, kata para kakak-kakak kita. Kita bertanya-tanya dalam kesesatan. Kesesatan yang kita buat-buat. Kesesatan yang kita imajinasikan. Kita membuatnya seolah benar-benar nyata, seolah benar-benar terjadi. Kita kemudian mempercayainya sebagai sebuah kultus. Sebuah kejadian traumatis diri yang rasanya perlu dibagikan kepada orang lain. Menuliskannya, menggambarkannya, seolah ingin berbicara dengan keras, "Ini lho aku! Lihat masalah-masalahku!"
Kenapa kita menjadi seperti itu? Apakah ini semua akibat ketiadaan tragedi atas dunia? Ataukah memang tiada lagi yang berarti selain diri sendiri? Mengapa kita tersesat oleh jalan pikiran kita sendiri?
"Lihat buku-buku itu, juh!" kata seorang teman. Kita tak bisa lagi berbicara seperti generasi pendahulu kita saat perang dunia terjadi. Kita tak bisa lagi bertanya-tanya tentang bagaimana caranya bangkit membangun hidup, bangkit membangun kenyataan. Apakah karena kita simply tidak menderita? Kita tak lagi bertanya-tanya tentang bagaimana dunia akan berputar seperti saat perang dingin terjadi. Kita tak lagi mencoba meraba-raba masa depan. Yang ada sekarang kita tersesat.
Rasanya kita hanya berpikir tentang cinta yang tak terlihat. Tentang penderitaan diri yang tak berhasil menuai simpati. Membicarakan masalah-masalah jati diri yang tidak memberikan solusi. Kita lebih waspada dan perhatian terhadap diri sendiri, tidak ada orang lain sepertinya di dunia ini. Kita berlomba-lomba mengukir kata yang indah untuk sebuah penderitaan. Mencari celah-celah di hati yang mudah diombang-ambing ini.
Bertukar pikiran rasanya sulit sekali. Semua memiliki referensi yang berbeda, kacaunya lebih banyak yang memilih untuk bertukar pikiran dengan diri sendiri ketimbang dengan orang lain. "Ini buku gue banget!", menjadi landasan dasar retorika berpikir kita. Kalo tidak sama, tinggal saja. Lawan debat bukan lagi menjadi teman berpikir, tetapi menjadi musuh ideologi abadi.
Generasi "Y" kata mereka. Apakah iya kita ini hanya bisa bertanya tanpa bisa memberi jawaban? Dunia apakah benar-benar sudah berhenti? Ataukah kita hanya bisa menunggu ada kejadian besar, yang lagi-lagi, bukan generasi kita yang menjadikannya nyata. Kita benar-benar tersesat, Isabel. Aku tak mau menjadi bagian dari itu. Aku ingin terus membaca buku dan membagikannya dengan yang lain, dengan dirimu. Aku tak mau tersesat dengan pikiranku sendiri. Atau sekedar dengan naif berkata, "Membaca buku ini mungkin bisa memperbaiki diriku". Tidak, Isabel. Selamatkan aku! Selamatkan aku dari kesendirian, dari buku yang memenjarakan aku dalam ruang gelap tanpa cahaya nurani bernama kamar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar