Malam itu sebuah acara di saluran televisi swasta sedang membahas mengenai pembebasan Pollycarpus selaku pihak pelaku dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Tidak lama kemudian pembahasan mengarah kepada bagaimana hukum "dimainkan" di Indonesia. Lagi-lagi, konklusinya berakhir di "Jokowi harus memperkuat institusi penegak hukum". Padahal banyak asisten Jokowi yang bisa melaksanakan tugas ini, Kapolri misalnya.
Selepas acara itu, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya adalah "mengapa harus selalu Jokowi?"
Saya jadi ingat beberapa waktu lalu ketika saya masih berada di Yogyakarta, saya sempat bertukar pikiran dengan seorang sahabat. Mengapa orang-orang Jakarta selalu menyalahkan kondisi Jakarta kepada Jokowi yang terlihat tidak melakukan perubahan di masa jabatannya sebagai Gubernur? Jika kita tarik kembali benang merah kondisi perkotaan di Indonesia, maka kita telah mendapatkan banyak suri tauladan yang baik seperti Walikota Surabaya dan Bandung, ibu Risma dan pak Ridwan Kamil. Dari sana kita bisa melihat bagaimana peran Walikota bisa merubah segalanya. Saya tidak pernah mendengar bagaimana orang-orang Bandung protes terhadap Gubernur Jabar, ataupun orang-orang Surabaya dengan Gubernur Jatim mereka. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah "apakah orang-orang Jakarta tidak tahu bahwa mereka memiliki Walikota?"
Sekarang Jokowi sudah menjadi seorang Presiden. Presidennya wong cilik, bukan keturunan pejabat, apalagi politisi handal. Jokowi hanya seorang pengusaha dari Solo yang sederhana kemudian dengan bantuan "keajaiban" bisa duduk di kursi orang nomer satu di Indonesia. Apa yang membuat Jokowi begitu berbeda? Mengapa Jokowi begitu fenomenal, dipuja tapi juga dibenci? Argumen saya simpel, karena dia dikenal sebagai orang yang mau mendengar dan mau merespon.
FoE dan FoR
"Dasar anak muda, kamu itu ngeyel terus," begitulah kira-kira bagaimana bos saya menghentikan ke-sok-tahuan saya di kantor. Sebagai anak muda yang masih berapi-api, saya begitu semangat meluapkan pengetahuan saya kendati tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Orang-orang yang pandai berbicara memang jelas memiliki kelebihan. Untuk dapat berbicara, membalas perbincangan dengan baik, kita harus memiliki apa yang disebut sebagai FoE dan FoR mengenai isu yang sedang diperbincangkan.
Apa itu FoE? FoE adalah Field of Experience yang jika dibahasa Indonesiakan berarti kumpulan pengalaman kita mengenai isu yang sedang diperbincangkan. Istilah "hormati yang tua" tidak lepas dari pembahasan FoE. Umur selalu diidentikkan dengan pengetahuan yang luas. Meski tidak selalu benar, tapi pengalaman memang tidak bisa disangkal merupakan guru terbaik. Umur tidak pernah berbohong dalam membahasakan pengalaman. Dengan keberagaman hidup yang dialami semua manusia, sebuah kemustahilan kita bisa mengetahui pengalaman apa saja yang sudah dilalui seseorang. Siapa yang tahu bahwa seorang Kyai Haji dulu pernah menjual narkoba atau sebaliknya, seorang pencuri yang ternyata hanya berusaha menghidupi anak dan istrinya?
Apa itu FoR? FoR adalah Field of Reference yang jika dibahasa Indonesiakan berarti kumpulan pengetahuan kita mengenai isu yang sedang diperbincangkan. "Buku adalah jendela dunia" katanya, dan itu benar seada-adanya. Hanya dengan membaca kita bisa mengetahui pengalaman puluhan tahun seseorang atau mengetahui hasil penelitian yang bisa memakan seumur hidup usia seseorang. Buku mengakselerasi pengalaman kita yang tadinya butuh waktu lama menjadi sangat singkat. Tentu benar adanya orang yang membaca banyak buku juga memiliki banyak pengetahuan layaknya pengalaman.
Ketika kita berbincang dengan seseorang, secara sadar maupun tidak sadar, kita pasti akan menggunakan salah satu atau keduanya. "Dulu gue pernah...," atau "dulu gue baca di buku ini...," sering terucap di bibir kita. Kita selalu berusaha untuk berbicara dengan dasar yang kuat, dan dasar itu kita dapatkan baik dari FoE maupun FoR yang tadi secara singkat saya jelaskan sebelumnya.
Semua Serba Jokowi
Lalu apa kaitannya dengan Jokowi? Mengacu kepada argumen saya, Jokowi adalah orang yang dipercaya sebagai seorang pendengar yang baik dan mau merespon informasi yang dia terima serta mengkombinasikannya dengan informasi yang dia miliki menjadi sebuah aksi. Kita pasti juga pernah bertemu dengan orang-orang seperti Jokowi, baik itu sahabat kita, keluarga, atau psikiater. Kita memerlukan orang-orang yang mau mendengarkan kita. Sekedar mendengar saja sudah senang, apalagi jika permintaan kita dikabulkan bukan? Bayangkan Anda sedang ingin sekali suatu barang, Anda ceritakan dengan pasangan Anda, kemudian suatu hari dia membelikannya untuk Anda. Senang bukan kepalang pastinya!
Kebanyakan politisi lupa bahwa mendengar adalah salah satu cara paling efektif untuk memperkuat FoE ataupun FoR kita. Jangankan politisi, saya pribadi sangat sulit untuk mendengarkan orang lain. Saya lebih suka berbicara, karena saya merasa paling tahu dan saya ingin orang lain mengikuti perkataan saya, bukannya membuat sebuah dialog yang kondusif untuk mencari jalan tengah yang dapat saling menguntungkan.
Saya acungkan keempat jempol saya untuk Jokowi karena tidak pernah lelah blusukan untuk hanya sekedar mendengar keluh kesah rakyatnya. Kita terlalu sibuk mencari orang untuk beraksi demi kita, tapi kita lupa bahwa orang itu tidak akan beraksi untuk kita jika ia tidak mau mendengarkan kita. Indonesia kekurangan pemimpin yang mau mendengar. Cukuplah sudah kita berteriak keras-keras memprotes ini dan itu. Sudahkah kita menjadi pendengar untuk lingkungan kita? Jika sudah, maka jadilah penggerak aksi, tidak usah menunggu orang lain apalagi pemerintah. Pemerintah sudah cukup banyak kerjaannya. Mari belajar jadi masyarakat mandiri.
Sebagai penutup, saya ingin menitip pesan baik untuk diri saya sendiri maupun untuk Anda, jadilah pendengar yang baik. Kita lebih dulu belajar mendengar sebelum belajar berbicara bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar