Hello! How are you? It's been awhile isn't it? Sudah empat tahun ternyata saya menulis di blog and still counting. Kalo saya lihat statistik jumlah pengunjung total blog ini rasanya hampir tidak percaya. Masih ingat dulu saya senang sekali ketika angka di pojok kanan atas situs blog saya ini mencapai angka 100. Untuk kalian para pembaca blog saya, terima kasih karena sudah membaca tulisan-tulisan yang sedikit berguna dan banyak omong kosongnya ini. Maaf saya tidak sekeren blogger lainnya yang konsisten dan menawarkan konten menarik seputar kehidupan pribadi, hobi, maupun tips-tips spesial dalam mengatasi permasalahan seks, wait, are you seeking of it on internet? Haha, gotcha! Anyway, selamat tahun baru 2015 bagi kita semua! Semoga apa-apa yang kita targetkan, kita impikan di tahun ini dapat tercapai, amen to that!
Sebelum menuliskan maksud hati saya pada postingan kali ini, saya ingin bercerita tentang awal mula kegiatan menulis saya di blog ini dan kemajuannya hingga saat ini. Semua bermula saat saya masih duduk di bangku kuliah, ketika saya mulai menyadari bahwa saya suka membaca dan perlu untuk menuliskan 'sesuatu' agar saya dapat bertahan dalam menghadapi dunia (ini lebay).
Masa kuliah adalah masa-masa yang paling mengasyikkan dalam hidup saya, tugas sedang banyak-banyaknya, teman sedang banyak-banyaknya, dan pacar juga sedang banyak-banyaknya, wait, it sounds wrong. Kuliah di UGM membuat saya tersadar bahwa saya hidup di dunia yang kompleks dengan keberagaman yang sangat hebat! Saya bertemu orang-orang luar biasa dan berbagi cerita dengan mereka. Tapi terkadang ada beberapa cerita yang tidak bisa dibagikan dengan sembarangan orang, dan pemikiran yang tidak bisa diterima juga oleh sebagian orang. Menulis di blog menjadi sebuah pelarian yang bagus bagi saya untuk berbagi cerita, meski saya tidak pernah tahu siapa saja yang membaca blog saya ini. Beberapa cerita di blog saya adalah kejadian nyata yang dikemas ulang dengan nama samaran maupun sedikit aksi hiperbola. Saya berusaha sebisa mungkin untuk menyampaikan kesan dan pesan dalam sebuah kisah yang saya temui kepada kalian, semoga kita mendapatkan pesan yang sama.
Setelah beberapa lama saya menulis ternyata cerita-cerita saja tidak cukup, puisi dan opini menjadi opsi bagi saya untuk meramaikan pengunjung blog ini, hey, siapa sih yang gak mau terkenal? Anyway, intinya saya ingin mengucapkan terima kasih atas kunjungan dan cerita yang sama-sama sudah Anda bagi dengan saya. Saya ingin tetap menulis selama saya bisa melakukannya dan tidak akan berhenti untuk berbagi kisah dengan kalian. It's kinda pathetic sih nulis kayak gini, but hell with that! I know you read my blog somewhere, haha. Well, semoga postingan pertama di tahun 2015 bisa memberikan kalian kegalauan seperti yang sedang saya rasakan sekarang. Have a good read!
Film Seri "House" dan Awal 2015
"Staring death in the face has changed my life, what a cliche,"
Begitulah kira-kira ucapan dr. House kepada dr. Wilson sahabatnya yang berubah 180 derajat ketika divonis mengidap kanker. For your information, malam ini adalah kali pertamanya saya menonton film seri "House", dan langsung di season terakhir, season 8, dan episode-episode terakhir. Gak ragu sih kemudian jika banyak yang mengagumi sosok House, sebagaimana saya mengagumi sosok Harvey Spectre di fim seri Suits.
Saya suka sekali dengan pembawaan House yang begitu apa adanya, tapi saya lebih tertarik untuk menerjemahkan karakter Wilson. Karena saya tidak menonton House dari season awal, saya jelas tidak mengetahui bagaimana kepribadian Wilson, namun di episode 20, Wilson mengaku menyesali hidupnya yang dia nilai terlalu baik dan terlalu peduli. Wilson kemudian berubah menjadi seseorang yang ignorance dan selfish sebagai bentuk balas dendam kepada takdir. Dia mengaku ingin menjadi Kyle, yang ternyata di akhir cerita merupakan seorang lelaki yang berhasil mendapatkan wanita idaman Wilson saat SMA dulu.
Ironi yang terjadi pada Wilson (sebagai dokter, dia terkena kanker, dan ternyata Wilson takut mati di rumah sakit ataupun di ambulan) merupakan kisah yang sering kita temui di kehidupan nyata, atau dalam kesempatan ini, kehidupan saya. I always wanted to be a warm person, dikelilingi oleh banyak teman, dan selalu disambut hangat oleh semua orang. Tapi kejadian resign teman-teman kantor saya (ya, sekarang saya cuma berdua di kantor kecil mungil yang tadinya berdelapan) kemarin benar-benar memukul saya. It is very stressful to see the office empty, no more laugh, dan gak ada lagi kawan ngerokok.
Ketika teman-teman seperjuangan saya di kantor memutuskan untuk resign rame-rame, saya berkonsultasi dengan banyak orang, keluarga, pacar, teman dekat, maupun menggalau di media sosial. What I found interesting is I was regretting my decision to stay because of my parents' reasons. Tapi kalo boleh mengkritisi diri sendiri, mungkin ini juga salah satu sifat blaming others saya yang tidak pernah sembuh. Saya masih belum bisa menerima bahwa saya takut dalam mengambil keputusan untuk mengejar kebahagiaan ketimbang kesuksesan. Saya masih berpikir, "It's okay if they choose to resign, as long as I still have this job and still get paid." Orang tua saya yang berpikir "Yang penting kerja dan gak nganggur" sepertinya benar-benar mendorong saya ke tembok penyesalan. Saya tidak pernah mempertimbangkan bahwa lingkungan kerja juga sangat penting dalam menyeimbangkan tingkat stres dalam meneruskan kehidupan.
Ironi berlanjut dengan realita bahwa saya hanya memiliki sedikit sekali teman di Jakarta, ya saya juga gak punya banyak teman di Jogja, tapi setidaknya lebih banyak daripada di Jakarta, why we keep talking about this? It's a little bit tricky talking about friends. Sometimes we think of them as friends, but they don't. Anyway, kembali lagi, saya menemui tembok transisi kehidupan saya menuju seseorang yang baru lulus kuliah dan baru memasuki dunia kerja. Saya merasa sangat menyesal untuk bisa lulus kuliah terlalu cepat. Saya memilih untuk mempercepat laju hidup ketika yang lain belajar untuk memahami dan menikmati hidup mereka. Bukan berarti saya tidak menikmati, hanya saja saya merasa ini terlalu cepat. Dulu ketika teman-teman saya memilih untuk exchange, saya berpikir, "Ah, ngapain exchange, memperlambat kelulusan. Lagipula nanti juga bisa keluar negeri pakai duit sendiri." Ketika teman-teman lain memilih bolos kuliah untuk leha-leha atau sekedar main bersama, saya memilih untuk belajar. Ketika yang lain sedang asyik-asyiknya liburan, saya magang dan menjauh dari keluarga. Those things still haunting me and now I barely can enjoy my life.
Sekarang nasi udah jadi bubur, keringet udah keburu asin (emang kapan manisnya). Kebahagiaan saya sepulang kerja hanyalah bermain FM di kosan, menyedihkan sekali bukan. Now I still thinking about resigning myself and slowing my life's pace down. Masih banyak yang ingin dilakukan, masih ingin senang-senang, dan saya mulai berpikir saya tumbuh terlalu cepat. Saya masih ingin keliling semua provinsi di Indonesia, masih ingin membeli hal-hal kecil seperti sepatu dan baju, bukannya berpikir untuk menikah, membeli rumah atau mobil. But well, mungkin "nanti" ada jalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar