Tragedi "penyerangan" TNI ke Lapas Sleman Yogyakarta mendapat banyak perhatian para pemerhati politik maupun keamanan Indonesia belakangan ini. Beberapa hari yang lalu bahkan seorang teman saya mengadakan diskusi santai mengenai isu ini yang dibungkus rapi dalam tema militerisme Indonesia. Apa yang terjadi sebenarnya di belakang fenomena ini dapat dilihat dari berbagai macam perspektif, dan saya akan meneceritakan satu perspektif dari saya pribadi yang mungkin bisa dikaitkan dengan latar belakang saya, yakni HI.
Beberapa hari yang lalu saya diundang seorang teman yang (sepertinya) bergabung dalam organisasi pembela buruh. Beliau juga mengajak beberapa aktivis buruh untuk ikut dalam diskusi tersebut sebagai pembicara. Singkat kata, saya diajak melihat peristiwa ini dari perspektif yang berbeda dan hasilnya saya sangat kaget sekali. Selama ini saya selalu memandang TNI sebagai tameng utama pertahanan dan keamanan Indonesia dari segi internasional. Jelas, laskar Garuda di satuan pasukan penjaga perdamaian dunia PBB menjadi salah satu laskar yang ternama karena (katanya) keramahan dan kemampuan untuk menyatu dengan penduduk sekitar (meski berbeda bahasa dan kebudayaan). Pemerintahan SBY pun mengamini hal tersebut dengan membangun pusat pelatihan pasukan perdamaian Indonesia dengan biaya yang kalo tidak salah berjumlah milyaran rupiah. Saya pikir, dari berita semacam ini mengenai TNI dan pasukan penjaga perdamaiannya dalam lingkup internasional, kita tidak akan menghadapi isu domestik mengenai militer. Ternyata saya salah.
Sesaat sebelum saya menghadiri diskusi tersebut, saya berbincang-bincang dengan beberapa teman HI saya mengenai ini. Dan kami sepakat untuk mengatakan bahwa TNI sepertinya kehilangan "musuh" atau kami dari HI biasa menggunakan istilah the face of the enemy. Apakah hal tersebut benar? Apakah TNI memang tidak lagi memiliki musuh yang jelas sehingga masalah domestik juga menjadi masalah TNI diluar isu separatisme dan perbatasan? Menurut saya, ya. Dengan maraknya isu terorisme dan peristiwa pengeboman di berbagai daerah Indonesia beberapa dekade belakangan ini, TNI "mungkin" merasa bahwa polisi sebagai "pengurus" masalah domestik kurang bisa menyelesaikan masalah tersebut. Tentu sejarah mengenai perselisihan polisi dan TNI sudah cukup panjang. Bahkan, semenjak awal Orde Baru sudah ada perselisihan yang dimulai dari dwifungsi ABRI. Singkat kata, mungkin TNI kurang mendapat pekerjaan dan mulai melihat bahwa persoalan sosial domestik menjadi masalah pertahanan dan keamanan.
Argumen ini masih saya pegang hingga saya ikut ke dalam diskusi teman saya ini. Ternyata saya dihajar dengan berbagai fakta yang mengagetkan mengenai TNI dan kegiatannya. Indonesia mengenal yang namanya sistem pertahanan semesta. Sistem ini membuat TNI memiliki berbagai pangkalan di seluru derah Indonesia. Dulu, katanya, istilah ini lebih sering disebut sebagai "TNI masuk desa". Pertama kali saya mendengar ini dari salah satu peserta diskusi, saya berpikiran positif, tetapi ternyata sistem ini dimulai sejak Orde Baru, yang tidak lain berguna sebagai "pengawas" pemilu saat itu. Seiring dengan berjalannya diskusi, saya mulai melihat sisi lain dari TNI, dan saya kaget sekali mengetahui bahwa TNI memang didesain sedemikian rupa untuk menjaga keamanan domestik Indonesia (contohnya seperti invasi) ketimbang lebih fokus terhadap perbatasan. Saya memang seharusnya tidak boleh kaget, karena dari sudut HI saya diajarkan bahwa kecenderungan bangsa besar bersikap ofensif dengan kekuatan militer yang aktif (melakukan ekspansi). Namun, semenjak Orde Baru kita memang mengadopsi politik luar negeri yang low profile, sehingga pilihan untuk ekspansi adalah hal yang menggelikan dengan situasi domestik saat itu.
Salah satu argumen yang dipakai oleh peserta diskusi dalam menjelaskan fokus domestik TNI adalah mengenai biaya militer kita yang sangat sedikit dan tidak memungkinkan Indonesia memiliki sarana dan prasarana untuk menjaga perbatasan atau bahkan melakukan ekspansi. Dan seperti yang kita ketahui, Angkatan Darat adalah satuan TNI yang paling diperhatikan pemerintah karena lebih fokus kepada sumber daya manusianya saja, tidak terlalu melihat alat persenjataan berat. Logikanya, jika pemerintah dan TNI memang mau berfokus kepada perbatasan, seharusnya Angakatan Udara dan Angkatan Laut-lah yang mendapat perhatian lebih besar dengan membeli atau menjaga kondisi alat-alat persenjataan mereka, seperti kapal laut dan pesawat tempur. Kita tidak bisa memungkiri bahwa isu illegal fishing sangat kental di daerah perbatasan dan telah lama tidak menjadi fokus utama TNI.
Diskusi kami berlanjut hingga membahas posisi TNI di depan hukum Indonesia. Polisi yang seharusnya menjadi garda terdepan penegak keadilan, dalam kasus penyerangan Lapas ini kita bisa melihat bahwa polisi tidak bisa berbuat apa-apa. TNI sejak lama telah berada di atas supremasi hukum. Saya masih percaya dengan melihat keadaan yang ada bahwa TNI merindukan romansa Orde Baru saat mereka memiliki dwifungsi. Berdasarkan kejadian-kejadian di era Orde Baru, kita bisa melihat supremasi TNI atas hukum.
Perbincangan kami berhenti (karena saya harus kuliah) pada pembahasan MoU Badan Intelijen dengan Kemenakertrans (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Para pembicara diskusi yang notabene merupakan aktivis buruh melihat hal ini sebagai hal yang kurang relevan dan tidak masuk akal. Mengapa BIN membuat MoU dengan Kemenakertrans? Apakah kita akan kembali ke masa otoriterian, ketika kita tidak boleh lagi mengekspresikan pendapat kita? Dan mahasiswa tidak lagi dapat berdiskusi secara bebas?
Ah, perbincangan ini membuat saya semakin pusing saja. Sebagai pengingat, tulisan ini hanyalah bersifat opini dan jangan dijadikan dasar pengetahuan Anda, karena belum ada bukti tertulis yang saya cantumkan. Jika Anda tertarik untuk mendalami isu ini, silahkan cari sumber lain. Saya hanya ingin mengutarakan pendapat, dan semoga ini membantu Anda juga.dalam memahami isu di sekitar kita :)