Malam ini dengan tubuh yang kurang sehat saya memutuskan untuk menonton sebuah film yang selalu saya lihat sepotong demi sepotong (entah karena saya mencari "scene" tertentu atau memang saya takut menontonnya) tanpa sepenuhnya saya ikuti. American Psycho, sebuah film yang diangkat dari sebuah novel karya Bret Easton Ellis ini mengemas kehidupan Amerika (New York) di tahun 1980an. Film yang bergenre serial killer ini menakutkan namun menimbulkan rasa penasaran bagi saya akan hal yang ingin disampaikan oleh sang penulis.
Bercerita tentang seorang eksekutif muda Wall Street yang sempurna secara fisik (tampan, kaya, memiliki segalanya) namun cacat secara psikologis (psychopath), film ini sarat akan pesan sosial. Manusia/masyarakat telah melupakan jati dirinya dan ter-consumed oleh kekayaan dan ketidakpedulian. Pembunuhan berantai yang dilakukan oleh sang aktor utama menggambarkan kehancuran sistem sosial masyarakat Amerika saat itu. Ya, ketidakpedulian menjadi sebuah penyakit yang menular dan sangat berbahaya. Semua orang sangat self-obsessed dan tidak mendalami orang yang lainnya.
Sejak awal film, penonton akan digiring kepada tingkat individualitas yang tinggi. Dari rutinitas hingga aktivitas komunikasi yang, menurut saya, mengalami kecacatan karena selalu salah menyebut nama/mengenal orang lain (meskipun terkesan telah kenal/berteman lama). Pesan "hancurnya sistem sosial masyarakat" tersampaikan ketika seluruh kasus pembunuhan yang dilakukan oleh sang aktor utama tidak kunjung terungkap dan malah dilupakan oleh masyarakat. Penggunaan apartemen sebagai tempat "penyimpanan" mayat menjadi suatu hal yang tidak berarti bagi pemiliki apartemen ketika ingin menjual kembali apartemen tersebut demi harga jual.
Pada akhirnya film ini akan memutar kembali pemikiran kita mengenai "profit vs humanity". Sejauh mana kepedulian Anda terhadap orang lain? Sejauh mana kepedulian orang lain terhadap Anda? American Psycho telah membawa "humanity" ke dalam tingkat yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar