Hari ini saya baru saja menghadiri sebuah diskusi mengenai isu UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang sedang marak di seluruh universitas se-Indonesia. Sebuah konsep yang "niat"-nya dapat mengurangi beban mahasiswa dan keluarganya dalam masalah biaya pendidikan. Namun, ternyata masih banyak anomali terhadap kebijakan yang sedang dirancang oleh pemerintah ini dan konsep keadilan akhirnya pun dipertanyakan kembali.
Apa sebenarnya arti keadilan? Saya mendapatkan gambaran umum mengenai keadilan saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya sewaktu itu mendapatkan uang saku yang relatif lebih sedikit ketimbang kakak-kakak saya yang sedang mengenyam pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Kenapa saya harus mendapatkan uang saku yang lebih sedikit? Jawabannya ternyata dijelaskan hanya dengan satu kata oleh guru saya, "kebutuhan".
Kebutuhan menjadi faktor utama penentu jumlah uang saku saya waktu itu. Ya jelas saja jika saya diberikan uang saku yang lebih sedikit, toh kebutuhan saya masih sedikit, paling mentok cuma jajan minuman es, dan waktu yang saya habiskan untuk belajar di sekolah setiap hari juga singkat, pulang langsung ke rumah. Berbeda dengan kakak saya yang mungkin memiliki kebutuhan lebih banyak. Namun untuk menentukan kebutuhan juga merupakan suatu hal yang relatif. Manusia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, dan kebutuhan bisa ditekan sedemikan rupa untuk tetap menjaga keadaan ekonomi yang sehat. Dari pengalaman saya tersebut, saya memahami keadilan sebagai hal yang sangat relatif. Keadilan bukan berarti memukul rata semua hal menjadi sama, tetapi bagaimana melihat kebutuhan dari "objek" keadilan tersebut dan berusaha untuk memenuhinya.
Sejalan dengan berkembangnya waktu, konsep keadilan yang saya pegang ini diuji dengan berbagai teori dan perspektif di kelas-kelas kuliah saya. Sosialis-komunis dan liberalisme mungkin menjadi pilihan cara melihat keadilan. Saya selalu beranggapan bahwa membentuk nasib yang sama atau menyamaratakan kesejahteraan adalah suatu hal yang mustahil, namun dimungkinkan. Dalam berbagai cerita kasus negara komunis, penyamarataan kesejahteraan menjadi sesuatu hal yang kejam karena menghilangkan aspek "kesempatan". Dan di liberalisme-lah saya melihat kesempatan bersinar terang meski berada dibalik jeruji besi kapitalisme. Saya percaya bahwa manusia seharusnya dihargai sesuai dengan kemampuan dan usahanya untuk mengembangkan diri melalui kesempatan yang ia ambil. Dan liberalisme (dengan kebebasan individualnya) menjawab itu.
Perjalanan saya berlanjut dengan pembicaraan mengenai urgensi untuk "mengawal" isu UKT ini dengan seorang teman saya. Dia bertanya kepada saya, "kenapa kamu tertarik dengan isu yang bahkan tidak memiliki dampak langsung denganmu? Apa urgensimu?". Pertanyaan yang mengetuk kedua pintu otak dan hati saya ini mengembalikan saya kepada konsep keadilan yang sudah saya jelaskan tadi. Hendaknya pintu kesempatan terus dibuka dan dijaga untuk tetap ada sebagai kunci menuju keadilan. Memberikan kesempatan yang sama adalah arti keadilan yang sesungguhnya bagi saya. Saya hanya berusaha menjamin kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi terus terbuka lebar bagi siapapun, dan menjamin kualitas pendidikan yang baik bagi generasi selanjutnya.
Sudahkah Anda, saya, kita berlaku adil?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar