"Mengapa para pemuda ini merasa terjebak dengan adat-istiadat yang bukan milik mereka?" Aku berbicara kepada Mama.
"Adat kehormatan sudah ada sebelum Islam. Jika kita bertahan pada budaya dengan mengatasnamakan Islam, maka kita sama saja menyembah apa yang manusia, bukan Tuhan, ciptakan? Bukankah itu disebut menyembah berhala?"
Mama menghela napas, "Itulah kebodohan."
Percakapan di atas saya kutip dari buku "Allah, Liberty, & Love" karya Irshad Manji dalam salah satu babnya, yakni Pelajaran Ketiga: Budaya itu tidak sakral. Irshad Manji, salah seorang penulis reformis muslim kontemporer secara gamblang menunjukkan bagaimana mendamaikan iman dan kebebasan dalam dunia yang dipenuhi dogma-dogma represif atas nama identitas, budaya, maupun kehormatan keluarga. Irshad Manji mencoba untuk memberikan kita pilihan dan kapasitas untuk mewujudkannya.
Seorang wanita yang memutuskan untuk tidak mengenakan jilbab ataupun hijab tidak menandakan dirinya sebagai seorang non-Islam. Masalah agama memang sejak dulu menjadi isu yang sangat sensitif di dunia, terlebih lagi di Indonesia. Namun itu tidak menjadikannya sebagai sebuah isu yang tidak dapat dibicarakan. Saya mulai tertarik untuk melihat permasalahan jilbab semenjak saya masuk ke dalam dunia HI (Hubungan Internasional). Ini bukan berarti saya menolak penggunaan jilbab, tapi lebih kepada bagaimana muslim mencermati keadaan sekitarnya.
Pelarangan penggunaan jilbab di Perancis menjadi isu yang lumayan sering dibicarakan dalam lingkar studi HI, terutama bagi mereka yang memberi perhatian lebih terhadap isu agama. Peraturan yang disahkan semenjak tahun 2011 itu menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Ada yang menentangnya atas nama agama dan kebebasan, namun juga ada yang mendukungnya sebagi bentuk war on terrorism. Memang sejak peristiwa 9/11 di Amerika muslim mendapatkan citra yang buruk sebagai teroris dan dunia memandang Islam sebagai 'sebuah' aktor antagonis dalam studi keamanan dunia. Istilah islamophobia kemudian nyaring terdengar di dunia Barat.
Tren di Indonesia
Kaum muslim di seluruh dunia mengalami dilema yang sama, yakni antara kukuh mempertahankan ajaran yang mereka pahami (terkadang seadanya) atau memperbaiki citranya sebagai penganut agama pembawa perdamaian di dunia. Dari sini kemudian saya memulai dari memperhatikan permasalahan jilbab sebagi faktor budaya di Indonesia.
Penggunaan jilbab sepertinya menjadi sebuah tren di kalangan pelajar Indonesia, khususnya ketika mereka telah mengenyam pendidikan tinggi di universitas. Tanpa melihat alasan di balik penggunaannya, saya lebih suka untuk melihat wanita apa adanya. Saya percaya bahwa tubuh dan segala perlengkapan yang menutupinya tidak dapat dijadikan faktor utama dalam menilai seseorang apakah dia baik atau tidak. Sayangnya, ada tren kontradiktif yang terjadi di Indonesia, yakni penggunaan kekerasan atas nama agama dan penggunaan agama sebagai alat politik (atau sebaliknya, agama dipolitisasi). Kebanyakan orang menilai orang lain dari pakaiannya maupun latar belakangnya (biasanya keluarga dan agama) tanpa mengindahkan perilaku sehari-hari individu tersebut. Ketika dunia mengalami krisis kepercayaan dan demonisasi terhadap Islam akibat 9/11, muslim Indonesia malah sibuk mencap yang lain kafir dan sesat.
Islam mengajarkan umatnya untuk menutup alat vital dan berpakaian sopan. Ini dapat dimaknai dengan sangat luas. Saya tidak menyalahkan maupun menganjurkan untuk tidak mengenakan jilbab sebagai salah satu interpretasi ajaran Islam, tetapi bagaimana mengakalinya untuk dapat 'lolos' menghadapi rintangan seperti di Perancis. Jilbab, hijab, dan cadar memang menjadi pilihan yang paling efektif (karena menutup seluruh bagian tubuh) ketimbang menggunakan baju lengan panjang ataupun topi untuk menutupi rambut. Namun hal tersebut dapat memberikan dampak negatif psikologis terhadap orang lain yang curiga dan berprasangka buruk bahwa pengguna jilbab, hijab, ataupun cadar sebagai bentuk penutupan diri ataupun menyembunyikan sesuatu.
Menghindari pria untuk terangsang juga sering menjadi alasan penggunaan jilbab, hijab maupun cadar. Tetapi bagi saya hal ini menjadi kurang masuk akal di tengah pergolakan arus globalisasi. Beberapa teman pernah berargumen bahwa di zaman globalisasi dimana rok mini, hot pants, dan kaos tak berlengan telah menjadi hal yang biasa digunakan wanita dan merupakan konsumsi sehari-hari, yang menurut kaum feminis, tidak bisa dijadikan alasan memprovokasi pria untuk memperkosa wanita. Adalah tuntutan yang berlebihan memang bagi kaum lelaki untuk menerima argumen tersebut, tapi saya percaya bahwa banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut ketimbang memaksa wanita menggunakan jilbab, hijab, maupun cadar.
Islam tidak pernah memaksa
Saya masih ingat perkataan kakak saya bahwa Islam itu tidak pernah memaksa. Islam adalah agama yang bebas, membutuhkan pendalaman, penafsiran, dan interpretasi yang luas. Kebebasan individu menjadi patokan utama saya hingga saat ini. Mau menggunakan jilbab ataupun tidak pada akhirnya Islam itu adalah pilihan masing-masing individu.
Dibuat untuk rubrik opini IR UGM Book Club
Menurut saya, jilbab berkaitan dengan identitas. Untuk membedakan yang A dan yang B. Juga sebuah bentuk kontrol sosial. Bahwa karena seseorang beridentitas A, maka masyarakat pun akan menilainya dengan rangkaian norma dan nilai yang A-is. Itulah saya pikir, salah satu tujuan dari perintah dan berkembangnya wacana jilbab bagi wanita. Dan satu hal lagi, saya pikir ada reduksi di sini bahwa Islam tak memberi gambaran spesifik bagian yang selayaknya ditutup. Tapi memang tak bisa dipungkiri, ada salah kaprah dalam makna jilbab bagi masyarakat kita. Begitu. Cuma komentar Mas, hehe.
BalasHapusBetul sekali mas alip, interpretasi mengenai jilbab memang sering menuai kontroversi. Toh memaknai "menutup aurat" bisa sangat luas dan berbeda kan antara yang di Indonesia dan di Arab? Mungkin memang sudah mental kita buat meniru kali ya, hehe.
BalasHapus