Kesempatan kali ini akan kugunakan untuk bercerita mengenai seseorang. Seseorang yang berjasa, mungkin secara tidak langsung, namun sangat besar jasanya bagi kami sekeluarga. Entah dengan sebutan apa yang pantas digunakan untuk memanggilnya. Keluarga kami bisa dibilang dekat, namun tidak terlalu dekat. Jauh, namun juga tidak terlalu jauh. Semenjak pertama kali bertemu dengan beliau, Ayah selalu memintaku memanggilnya "Mbah". Sebutan sopan untuk seseorang yang sepuh atau secara harafiah berarti "Kakek".
. . .
Saat itu matahari mulai terbenam, adzan maghrib telah selesai dikumandangkan, dan semua orang telah kembali ke rumah setelah menunaikan sholat ketika seorang pemuda dan ayahnya menghampiri rumah pejabat yang baru pulang dari Jakarta itu. Mereka mengetok pintunya beberapa kali.
"Assalammualaikum," sapa ayah pemuda itu.
"Wa'alaikumsalam, ada apa To?" tanya pejabat itu membuka pintu dengan sajadah di tangannya.
"Ini pak Bul, anak saya. Saya mau bapak bawa dia ke Jakarta"
"Oalah, mari-mari masuk dulu. Kita bicarakan di dalam. Na, tolong buatkan teh tiga, aku teh tawar ya" katanya kepada istrinya di dapur.
"Ah, terima kasih pak", dia tersenyum memegang tangan anaknya untuk dituntun masuk ke dalam rumah pejabat itu.
Rumahnya sederhana, dengan foto pernikahan bertengger di ruang tamunya. Pak Abul dan Bu Hasna adalah orang terpandang di desa. Pak Abul setiap harinya bekerja sebagai pegawai negeri yang berdinas di Jakarta. Setiap hari raya Islam dia selalu menyempatkan waktu untuk pulang kampung ke desa di tengah pedalaman pulau Jawa, seperti sekarang ini.
"Bagaimana kabar istri-istrimu To?" tanya pak Abul sambil menyeruput teh tawarnya.
"Baik-baik semua, saya baru mendapatkan satu lagi anak. Seorang putra dari istri muda saya." jawab pak Yanto terlihat bahagia sekali.
"Alhamdulillah, semoga menambah berkah keluarga ya. Ini anak yang ke berapa To?"
"Kedua pak, sudah besar"
"Iya, terlihat kuat seperti bapaknya ya. Jadi bagaimana?"
"Begini pak, toko sepertinya sudah tidak bisa lagi membiayai hidup tiga istri dan tujuh anak saya. Saya ingin anak saya ini bapak bawa ke Jakarta, cari nasiblah pak."
Pak Yanto adalah seorang pedagang sembako di desa. Istri pertamanya meninggal karena sakit, istri keduanya tidak bisa memberikannya anak. Semua anaknya dilahirkan oleh istri mudanya, istri ketiganya. Mereka semua diasuh bersama-sama oleh kedua istrinya.
"Berapa umurmu nak?" tanya pak Abul kepada pemuda yang dari setadi mendengarkan perbincangan mereka dengan serius sekali.
"18 tahun pak" jawab pemuda itu tegas.
"Mau kamu ke Jakarta?"
"Iya pak, kalo itu bisa membantu ayah saya"
"Anak pintar. Sudah lulus SMA kan kamu?"
"Ah, sudah pak. Pintar ini dia, tapi tukang kelahi" potong pak Yanto.
"Haha, wajarlah, namanya juga laki. Kayak kamu dan aku tidak saja dulu. Baiklah, saya coba hubungi orang rumah di Jakarta ya. Saya cek dulu masih ada kamar kosong tidak"
"Ah, dia bisa tidur dimana saja pak, ya kan?"
"Iya pak" jawab pemuda itu cekatan.
"Baiklah kalo begitu. Minggu depan saya kembali ke Jakarta, kamu siapkan baju dan lainnya. Pamitanlah kepada ibumu dan adik-adikmu"
"Terima kasih pak Abul, saya tidak tahu harus bagaimana"
"Hanya ini yang bisa saya lakukan pak Yanto, sisanya tinggal dia yang berusaha. Saya tidak bisa menjamin apa-apa"
"Ini sudah lebih dari cukup pak, saya hutang banyak sama pak Abul"
"Sudah-sudah, tidak usah begitu. Kita sama-sama manusia, sama-sama Muslim, mari saling bantu"
"Baiklah pak, kami pulang dulu" pamit pak Yanto menyuruh anaknya mencium tangan pak Abul.
Seminggu kemudian pak Abul kembali ke Jakarta bersama istri dan pemuda itu dengan bis murahan. Pak Abul adalah orang yang sederhana dan pandai menyimpan uang. Tak pernah ia naik pesawat untuk perjalanan dinasnya. Uang perjalanan yang diberikan oleh kantor, ditabungnya sedikit-sedikit dengan cara naik kendaraan yang lebih murah.
"Saya tidak bisa memberikanmu apa-apa, selain tempat tinggal dan makanan. Kamu cari kerja sendiri, ada masalah apa selesaikanlah sendiri" kata pak Abul di perjalanan.
"Iya pak, saya mengerti" jawab pemuda itu sambil menahan pusing kepalanya karena baru pertama kali naik mobil.
Sampai di Jakarta, pak Abul memperkenalkan pemuda itu dengan dua anak lakinya. Mereka bertiga ditempatkan sekamar. Semua orang di rumah pak Abul sangat ramah dengan pemuda itu. Dia menganggapnya seperti anak sendiri, anak-anaknya juga menganggapnya seperti kakak. Selama dua tahun lebih pemuda itu hidup di tengah keluarga pak Abul, bekerja serabutan dari pagi hingga malam, dari menjual nasi uduk bersama bu Hasna di pasar sampai ikut membantu mengemasi percetakan buku Yasin milik temannya anak pak Abul.
"Assalamualaikum," sapa seorang berjas kepada pak Abul.
"Wa'alaikumsalam. Walah Sep, sudah lama kamu tidak main kesini" jawab pak Abul sambil memeluk tamunya.
"Maaf pak Abul, saya sibuk sekali" jawab orang itu sambil tersenyum.
"Bagaimana perusahaanmu? Katanya ada masalah sama Tono" tanya pak Abul sambil menyuruh tamunya duduk.
"Baik pak, pesat malahan. Iya ini si Tono semakin hari, kami semakin sengit kelahi"
"Kalian ini rekan kerja, jangan begitu. Ada apa malam-malam kemari? Jauh pula rumahmu Sep" tanya pak Abul langsung.
"Begini pak Abul, saya butuh banyak sekali tenaga untuk proyek saya di Kelapa Gading. Mungkin pak Abul punya teman atau kenalan untuk bantu saya" jawab orang itu sambil membuka jasnya.
Pak Septa adalah seorang pengusaha properti yang berhutang jasa dengan pak Abul. Pak Abul kenal dengannya semenjak pak Septa memulai usahanya dari nol. Pak Abul-lah yang membiayai modal awal usahanya.
"Walah, kalo banyak sih saya tidak punya. Tapi saya mau titip orang satu boleh Sep? Yah, hitung-hitung bantu tenagalah" tanya pak Abul sambil melirik pemuda yang dia bawa dari desa itu.
"Waduh, maaf pak Abul, tapi dia bisa apa? Lulusan mana?" tanya pak Septa mencoba mengelak.
"Lulusan SMA, saya bawa dari desa. Apa sajalah, yang penting bisa bantu. Lihat, dia pekerja keras" jawab pak Abul menunjuk pemuda itu yang sedang mengemas buku Yasin untuk dikirim ke Cempaka Putih hingga sekujur tubuhnya berkeringat.
"Hmm, baiklah, mungkin bisa saya usahakan. Besok suruh langsung ke Kelapa Gading saja pak Abul"
"Baik, saya antar saja ya dia sekalian saya ke kantor"
"Walah, bukannya jauh pak kantor bapak dari Kelapa Gading? Sepertinya spesial sekali pemuda itu buat pak Abul"
"Ah, saya hanya ingin bantu. Lagipula saya lihat api semangatnya berkobar besar sekali di matanya. Saya seperti melihat diri saya beberapa tahun silam sewaktu pertama kali merantau ke Jakarta"
Mereka pun terus berbicara satu sama lain. Mengakrabkan diri dalam hawa panas malam Jakarta. Esoknya pak Abul mengantar pemuda itu ke Kelapa Gading untuk bertemu pak Septa.
. . .
Sepertinya sudah lama semenjak 100 hari meninggalnya kakek aku datang ke rumahnya. Ayah tak bisa datang waktu itu karena berada di Surabaya bersama ibu. Aku tak begitu mengenal kakek maupun ayah, hanya cerita ini yang aku miliki untuk bisa mengenal masa lalu mereka. Kakek bercerita itu sewaktu aku sunatan. Tanpa kakek, mungkin ayah masih di desa membantu ayahnya di toko sembako. Mungkin pria berjas itu akan bangkrut karena berselisih oleh rekan kerjanya sendiri yang membuat perusahaan baru lebih besar dari perusahaannya sekarang. Ayah menjadi sahabat sekaligus rekan kerja barunya semenjak itu, karena kejujuran dan kegigihannya dalam bekerja. Keberanian, kejujuran, dan kepedulian menghiasi cerita ini.
Selamat jalan kakek, semoga segala kebaikanmu terbayarkan di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar