Sore ini saya menghadiri Obrolan Sabtu, sebuah acara talkshow ataupun sharing yang diadakan oleh organisasi Forum For Indonesia. Tema yang diangkat adalah Social Media Campaign dan Volunteerism. Tiga orang pembicaranya adalah teman-teman saya yang saya kagumi karena inspiratif dan ahli di bidang yang mereka sukai. Pembicara pertama, Ghufron Mustaqim memberikan penjelasan teoritis serta berbagi ilmunya mengenai literatur-literatur yang telah ia baca selama ini mengenai volunteerism. Pembicara kedua, Shofi Awanis berbagi pengalamannya menjadi sukarelawan sewaktu studi di Amerika Serikat dan Singapura. Pembicara ketiga, Andin Rahmana, memberikan penjelasan mengenai social media campaign. Tema yang menarik ini berhasil memikat saya dan beberapa peserta yang tidak biasa karena kebanyakan adalah orang-orang hebat serta aktivis di organisasinya masing-masing.
Saya pribadi sangat tertarik ketika Shofi berbagi pengalamannya mengenai volunteerism di luar negeri. Saya baru tahu kalo ternyata di Amerika Serikat, volunteerism bukanlah hal yang sering dilakukan oleh pemuda, melainkan merupakan program rehabilitasi para narapidana. Tentunya ini merupakan tantangan tersendiri untuk bisa bekerjasama dengan narapidana dalam melakukan kegiatan relawan sambil diawasi oleh polisi bersenjata. Kalo saya sih, udah ketar-ketir duluan liat narapidananya, haha. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan memang variatif, seperti membagikan makanan kepada orang-orang tidak mampu, menghabiskan waktu bersama para panti jompo, hingga bergotong-royong membangun atau memperbaiki rumah masyarakat. Jangan salah ya teman-teman, ukuran orang mampu di sana dan di sini beda. Kalo kata Shofi, orang tidak mampu di sana masih punya dan mengendarai mobil. Hal yang sangat unik bahwa jarang sekali terlihat pemuda melakukan kegiatan relawan di negara semaju Amerika Serikat. Kalo di Indonesia, dimana-mana selalu ada kegiatan volunteerism yang targetnya adalah pemuda.
Shofi kemudian melanjutkan pengalamannya berbagi ketika di Singapura. Nah, yang unik lagi adalah bahwa di Singapura program relawan seperti ini memiliki birokrasi yang rumit dan sulit. Pertama-tama kita harus registrasi dulu yang biasanya bersifat online, kemudian melakukan training atau masa seleksi. Di Indonesia kalo mau jadi relawan sepertinya tidak seribet itu. Namanya juga relawan, yang rela ya mari gabung. Hal ini tentunya dapat dimengerti karena organisasi yang melakukan hal tersebut ingin mendapatkan relawan yang sesuai dengan kebutuhan dan berkomitmen penuh untuk kegiatan tersebut. Ini menjadi perhatian saya juga yang akhirnya membawa saya ke sebuah pertanyaan yang tidak saya tanyakan dalam kesempatan itu, "Apakah kedua hal ini perlu dipertimbangkan untuk dilakukan di Indonesia?"
Saya beranggapan bahwa dua pengalaman Shofi ini sangat berharga untuk diketahui oleh organsisasi-organisasi berbasis relawan di Indonesia serta untuk pemerintah. Yang pertama, kegiatan relawan untuk program rehabilitasi para narapidana adalah pilihan yang berani untuk dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Sebetulnya ini bisa dilakukan juga di Indonesia, tentunya dengan sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu serta adanya jaminan pengamanan yang ketat. Sudah sejak lama persoalan rehabilitasi narapidana diperdebatkan, terutama bagaimana caranya membuat para narapidana ini kelak setelah bebas dapat diterima kembali oleh masyarakat. Program ini bisa menjadi jawabannya jika pemerintah dan kepolisian berani berkomitmen untuk melakukannya. Yang kedua, sistem pendaftaran dan seleksi di dalam sebuah organisasi juga menjadi perdebatan panjang semenjak pertama kali saya mencoba memasuki sebuah organisasi. Apakah perlu diadakannya sistem pendaftaran yang rumit dan lama, serta uji coba seleksi atau pelatihan? Saya rasa perlu.
Indonesia adalah negara yang bangga dengan asas bergotong-royongnya. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam organisasi yang hadir dengan basis relawan. Sayangnya, ini membuat suatu dilema akan pertanyaan sebuah komitmen. Ya, mari kita akui bersama bahwa sebagai pemuda kita sangat ingin mencoba-coba hal yang baru, termasuk bergabung dengan organisasi-organisasi berbasis relawan. Ini mengakibatkan banyak pemuda Indonesia mengikuti lebih dari satu organisasi. Beberapa pendapat akan mengatakan "Ya, enggak apa-apa. Kan buat menambah pengalaman,". Betul! Pengalaman memang akan bertambah, keahlian juga pasti akan berkembang sesuai dengan bidangnya. Tetapi bagaimana dengan waktu? Dengan komitmen atas program-program yang harus dijalani? Lagi, beberapa pendapat akan mengatakan "Selama bisa mengatur waktu, ya tidak masalah,". Jawaban yang klise atas sebuah pertanyaan komitmen. Tapi benarkah itu cukup?
Seringkali saya temui teman-teman yang di tengah jalan mengundurkan diri dari jabatannya di organisasi ataupun dikeluarkan karena tidak bisa memenuhi komitmennya. Alasannya beragam, dari masalah keluarga, pendidikan, hingga ingin fokus ke organisasi yang lain. Apakah alasan ini dapat diterima? Bagi saya yang termasuk kaum pasifis-utopis yang percaya dengan asas liberal (lakukanlah apapun sesukamu asalkan tidak merugikan orang lain) John Stuart Mill, sah-sah saja bagi seseorang untuk keluar atau masuk suatu organsisasi yang bersifat relawan atau tak digaji ini. Toh ini juga tidak boleh menjadi batasan bagi seseorang untuk terus berkembang bukan? Tapi bagaimana dengan kerugian yang ditimbulkan? Nah, ini yang perlu mendapat perhatian khusus serta menjadi pertimbangan kita.
Kerugian yang ditimbulkan tentu adalah rasa kecewa dan rasa percaya yang terlukai. Orang-orang yang telah kita "khianati" tentunya akan mencatat ini sebagai sebuah peringatan, bahwa "Mungkin orang ini, jika bekerja sama lagi denganku, akan melakukan hal yang sama jika dia tidak suka dengan keadaan yang ada,". Kepercayaan sebagai modal utama kerjasama juga secara otomatis akan terlukai. Bagi saya inilah inti masalah dari kerelawanan. Sejauh mana komitmen Anda akan terus berjalan? Apakah ketika ada masalah akan langsung berhenti? Apakah ketika ada sesuatu yang lebih menarik atau dirasa dapat mengembangkan kemampuan kita maka kita akan berhenti? Ataukah memang ketika benar-benar kewajiban atau amanah yang telah dipercayakan selesai kita jalankan baru kita berhenti? Bahkan di beberapa kasus, saya sendiri contohnya, masih terus menaruh perhatian atas organisasi yang telah saya tinggalkan karena masa jabatan, kewajiban, atau amanah saya terselesaikan.
Saya harus akui bahwa banyak organisasi di Indonesia yang berbasis relawan telah memahami permasalahan ini dan mengambil jalan tengah yang sangat bijak. Forum For Indonesia, misalnya, memberlakukan open volunteerism di beberapa program kerjanya. Artinya, orang-orang yang ingin mengabdi secara singkat dan tidak terikat secara penuh dengan Forum For Indonesia dapat ikut berkontribusi dalam program kerjanya. Sedangkan para penanggung jawab program kerja adalah mereka yang menjabat, berkomitmen, dan terikat penuh dengan Forum For Indonesia. Para penanggungjawab inilah yang kemudian harus diberlakukan sistem pendaftaran, registrasi, pelatihan, serta seleksi yang sulit dan rumit. Hal ini untuk menanamkan benih komitmen yang dalam dan diharapkan tumbuh tinggi hingga selepas masa jabatannya pun masih menaruh perhatian serta kasih sayangnya kepada organisasi tempat belajarnya dulu.
Terakhir, saya ingin menutup tulisan saya dengan sebuah pesan. Teman-teman, organisasi berbasis relawan adalah tempat kita belajar untuk mengabdi. Mengabdi kepada teman-teman sesama anggota, mengabdi kepada masyarakat (target program kerja), serta mengabdi kepada diri sendiri. Mengapa diri sendiri? Karena saya tahu, berkomitmen itu sangat sulit, apalagi untuk masa waktu yang lama. Kita tentunya akan mengalami kesulitan serta keraguan untuk terus menjalankan komitmen tersebut. Kuatlah, percayalah, dan yakini apa yang telah menjadi keputusan kita.