Malam ini saya menghabiskan sekitar empat jam untuk berkumpul dan melepas tawa bersama teman-teman saya. Jogja yang malam ini dianugerahi hujan membawa kami pada suasana yang menyenangkan untuk melepas penat dengan segelas minuman hangat maupun dingin yang pas dengan lidah kami masing-masing. Kali ini saya ingin bergosip sedikit tentang dua isu yang terjadi di sekitar saya: wisuda dan agama.
Dua hari yang lalu baru saja UGM melakukan pelaksanaan wisuda gelombang pertama, yakni untuk gelombang bulan Februari. Kegiatan yang diiringi sukacita karena telah selesainya masa studi ini seharusnya menjadi ajang untuk berbenah diri, baik bagi yang wisuda maupun yang belum. Kenapa berbenah diri? Wisuda merupakan akhir dari masa studi namun juga merupakan awal bagi para sarjana memasuki dunia pekerjaan. Well, kecuali bagi mereka yang memang sudah bekerja saat sambil kuliah atau bahkan sebelum kuliah memang tidak akan terlalu kaget.
Saya setuju dengan postingan seorang teman yang mengatakan "Jangan sombong kalo kamu lulus duluan dengan IPK cumlaude, siapa tahu kamu nanti kerja di perusahaanku." Sombong memang suatu hal yang oleh siapapun harus dihindari. Tapi alangkah baiknya jika kita, baik yang wisuda maupun yang belum, menanggapi ini dengan hal positif. Pertama, bagi yang sudah wisuda memang suatu kebanggaan untuk bisa lulus, artinya kan sudah berhasil menyelesaikan masa studi, yang bagi beberapa mungkin dirasa berat. Ya mungkin saja terkadang kita sebagai manusia khilaf dengan artian berbangga hati dengan cara yang berlebihan. Kedua, untuk yang belum wisuda alangkah lebih baik jika kata-kata seperti itu tidak keluar, meski sebagai tujuan untuk pengingat. Wong, kita kan juga sama-sama manusia, sama-sama teman, masa sih harus sampai seperti itu? Kenapa kita tidak turut menjadi bagian sukacita tersebut? Seharusnya ajang wisuda bisa menjadi instropeksi bagi diri kita, "Apa ya yang salah dengan saya? Kok teman saya sudah lulus tapi saya belum?" dan menjadi cambuk semangat untuk kita menyelesaikan masa studi dan segera masuk ke dunia kerja.
Isu kedua yang ingin saya komentari sebenarnya terpantik oleh berita pencabutan larangan atheisme di UGM. Sebelum berkomentar ada baiknya kita membaca beritanya terlebih dahulu (yang memang agak jauh relevansi judul dengan isinya):
Berita tersebut sebenarnya ingin memberi kita informasi mengenai perubahan peraturan Rektor UGM. Perubahan pasal tersebut sebenarnya bukan diawali oleh dukungan untuk mempelajari atheisme dan keberagaman agama (yang sangat saya harapkan pada awalnya sebagai institusi pendidikan yang ternama), melainkan untuk menjaga ketertiban. Peraturan tersebut sebatas pelarangan mahasiswa untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Ya, kalo saya pribadi sih tidak terlalu mempersoalkan, namun pastinya banyak yang akan responsif terhadap "judul" berita yang rasanya tidak pas dengan isinya.
Pemahaman mengenai agama adalah suatu hal yang sangat fundamental dan terkadang sangat sulit dipisahkan antara mana yang faith dan mana yang bisa diperdebatkan. Bagi banyak orang, termasuk saya, agama adalah suatu hal yang dapat diperdebatkan, namun jika sudah menyentuh ranah faith itu menjadi soal lain. Faith di sini artinya adalah sebuah kepercayaan dari lubuk hati yang dibumbui pengalaman kerohanian. Suatu hal yang terkadang sangat sulit untuk dijelaskan. Hemat saya, sebelum berdebat mengenai pemahaman agama, kita perlu tahu terlebih dahulu apakah lawan kita mengerti mengenai pembedaan dari objek perdebatan itu.
Di negara yang katanya sekuler namun sangat religius ini, kita tidak bisa sembarangan memperdebatkan agama dengan orang lain. Rasa mudah tersinggung menjadi hal yang lumrah di Indonesia (yang mana juga menurut saya menghambat kemajuan kekritisan pemikiran kita). Banyak yang suka mengkritik namun masih banyak juga yang masih tidak mau dikritik (saya juga termasuk lho). Intinya, kita ya sama-sama belajar untuk saling memahami terlepas apakah kita memang benar-benar paham atau tidak mengenai agama. Setidaknya kita tetap berkembang tanpa harus menyakiti orang lain, kecuali jika memang orang itu ingin berkembang juga, maka dia harus menerima konsekuensi untuk mau dikritik.
Well, saya rasa itu komentar singkat saya atas gosip-gosip di sekitar saya. Shhhh! Coba perhatikan lebih baik! Lebih banyak mendengar membuat kita bisa lebih banyak berbicara lho! Lebih banyak membaca "seharusnya" membuat kita semakin bijak. Saya Iqbal, selamat malam!