Sudah beberapa malam ini aku sangat merasa kosong. Kosong dengan jadwal yang melompong, skripsi yang tertunda karena harus menunggu dosen untuk kembali ke tanah Jogja. Pagi ini lima temanku telah diwisuda. Tak terasa waktu berlalu cepat ya? Aku mulai menghitung waktu dan rasanya sangat janggal. Terkadang terasa sangat cepat berlalu, tapi lebih sering terasa sangat lama. Ketiadaan aktivitas membuatku rapuh dan membuatku terhenti, seperti jam dinding tua yang berkarat.
Temanku sekarang hanya ada satu, pena dengan tinta yang menodai waktu. Yang lain berpencar mencari hikmah dalam hidupnya sendiri-sendiri. Ada yang terjebak, mengutuk, bahagia, dan tak sedikit yang kembali ke awal. Sekarang rasanya aku bisa memahami arti "teman hidup". Di saat-saat terakhir, mereka bilang, kita akan mengingat awal. Sepi sudah rasanya tanah Jogja malam ini. Apakah aku yang memang benar-benar sendiri atau pikiranku yang sedang menjebakku?
Sering aku berkata, "Kasihan ya mereka yang tidak merantau, tidak tahu rasanya 'hidup'" dan aku sadar aku begitu sombong. Sekarang setiap aku melihat cermin yang tepat berada di depanku, ia seakan berkata, "Kasihan ya, kamu sendiri". Dan baru sadar aku bahwa kebosanan adalah penjara yang paling menakutkan. Ketika buku tak lagi memberikan arti, serta kekasih yang hanya bermakna esensi dan tiada eksistensinya. Menemani dari jauh, hanya sekedar kata tanpa sentuhan. Sekarang yang ada hanya kata melanjutkan, sesal telah tertinggal, karena pilihan telah diambil. "Tahun pertama dan kedua, kalo bisa main sama teman-teman terus. Kalo sudah tahun-tahun terakhir 'kan sudah sendiri-sendiri, baru cari pacar yang bisa nemenin bikin skripsi," begitu yang kuingat kata-kata dari seorang senior yang sekarang entah mencari rezeki di mana.
Aku begitu iri dengan banyak orang yang menghinaku berlebihan, yang memikirkan hal-hal yang lebih penting dan hal-hal yang lebih sederhana dariku. Mungkin ini yang dirasakan para filsuf zaman dulu. Aku sudah menghitung hari, kemudian kusadari, aku tak bisa pulang lagi. Rumahku tak akan sama lagi. Aku telah berada di tengah-tengah, di saat-saat ragu untuk menyikap masa depan dan tak ada jalan pulang. Sekarang inilah rumahku. Kamar 3x4 yang sejak dua tahun lalu aku berpindah. Seiring aku menulis ini, pikiran kecil menyelip ke dalam hati, "Semua begitu indah pada waktunya kurasa, sekarang saatnya melakukan simplifikasi: toga, kerja, menikah, tua."
Tapi, lagi-lagi kutanya, "Apa iya hidup manusia sesimpel itu?"
Nietzsche, "Kesepian adalah rumahku"
BalasHapusYah, begitulah lip...
BalasHapus