Sekitar sebulan yang lalu, teman saya Ryan (biasa dipanggil Congor) merekomendasikan dua buku kepada saya. Satu buku direkomendasikan kepada saya dengan alasan karena saya berpandangan liberal, dan satu lagi buku direkomendasikan karena katanya akan cukup membantu untuk pengerjaan skripsi saya. Saya baru selesai membaca salah satunya, dan buku itu adalah buku yang kedua tadi saya telah jelaskan. Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi dengan Anda mengenai isi buku "Kredo Kebebasan Beragama" karya Zakiyudin Baidhawi dengan menuliskan review-nya.
Kredo?
Pertama kali saya membaca judul ini, sebenarnya saya tidak tahu apa arti dari kredo. Setelah saya mencari-cari artinya (yang tentu saja dijelaskan di buku ini), ternyata merupakan serapan dari bahasa Inggris (yang ternyata setelah saya konfirmasi dengan sahabat saya dari Amerika Serikat, juga diserap dari bahasa Latin), yakni Creed.
Kredo seringkali disalahartikan sebagai gaya hidup, namun sejatinya kredo memiliki artian sebagai tuntunan hidup (guidance). Tentunya kredo bukanlah suatu hal yang mesti atau saklek dipraktekkan sepenuhnya. Jikalau memang tidak pas dengan kita, maka hendaknya janganlah menjadikannya sebuah paksaan, namun hanya sebagai pertimbangan. Kredo kebebasan beragama berarti merupakan sebuah tuntunan atau bimbingan menuju sebuah masyarakat yang menghargai serta melindungi kebebasan beragama anggotanya. Zakiyudin Baidhawi dengan sangat baik menjelaskan serta membuat basis argumen kredo kebebasan beragama dengan menggunakan sudut pandang Islam atau sebagai seorang muslim. Memang pada akhirnya, buku ini terlihat sangat Islami, namun pandangan mengenai kebebasan beragama yang coba dijelaskan bersifat sangat universal dan saya rasa dapat diterima oleh semua penganut agama untuk dibaca.
Atheisme dan Proselytisme
Satu bab yang paling saya sukai dari buku ini adalah pembahasan mengenai atheisme dan proselytisme. Atheisme sendiri ditulis oleh Zakiyudin memiliki dua pengertian yang terbagi atas modernitasnya. Yang pertama, atheisme konsep lama atau kuno dimengerti sebagai paham "tidak ada Tuhan". Sedangkan atheisme konsep baru atau modern dimengerti sebagai "cara" atau "jalan" memercayai keberadaan Tuhan yang berbeda-beda secara individual maupun kelompok.
Yang unik dari pembahasan sub-bab atheisme adalah bagaimana Zakiyudin menceritakan sejarah perkembangan atheisme di dalam internal masyarakat muslim sendiri di Timur Tengah pasca zaman kenabian dan sikap serta tindakan para muslim dalam menghadapinya. Begitu banyak bias yang terjadi bahkan di dalam internal masyarakat muslim sendiri menunjukkan bahwa sebenarnya kebebasan beragama merupakan suatu arena pertarungan dialog yang kemudian diharapkan dapat menumbuhkembangkan bibit kehidupan keberagaman.
Islam ternyata tidak mengenal atheisme sebagai "anomali" yang bahkan sudah ada sejak dulu di dalam dirinya. Tapi perlu dicermati bahwa atheisme dalam Islam bukanlah suatu kepercayaan yang meniadakan Tuhan, melainkan meniadakan nabi (The Death of Prophet). Pemikiran yang berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan rasionalitas membawa Islam ke babak baru, yakni pemikiran bahwa hadirnya nabi sebagai pembawa wahyu tidak dapat diterima sebagai jawaban yang melebihi superioritas nalar atau rasionalitas.
Sub-bab proselytisme atau yang lebih kita kenal dengan istilah pemurtadan dan konversi memberikan cerita tersendiri atas awal mula agama berkembang di dunia. Perkembangan dua agama monotheistik terbesar di dunia, yakni Islam dan Kristen, ternyata memiliki dinamikanya tersendiri. Zakiyudin lagi-lagi memberikan penjelasan yang sangat baik serta argumen yang kuat tentang perkembangan dua agama tersebut dalam menyebarluaskannya di seluruh dunia. Yang unik, Zakiyudin berhasil menarik benang merah atas perdebatan perang agama yang terjadi ratusan tahun lalu, dan mengonfirmasinya sebagai sebuah tindakan politis yang sebenarnya bukanlah perang atas nama agama. Ini artinya memperkuat pernyataan Karen Armstrong bahwa sebenarnya perang/konlik yang selama ini kita yakini dilatarbelakangi motif agama itu salah. Agama berada pada posisi yang rawan memang dalam perdebatan mengenai mengapa terjadinya perang/konflik, namun sejatinya politik tetaplah menjadi alasan yang utama, dan agama merupakan korban dari politik.
Menuju Masyarakat Penjamin Kebebasan Beragama
Sebagai warga negara dari sebuah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, saya berani mengatakan bahwa buku ini dapat menjadi antidote atau obat penawar atas konflik berbasis agama di negara kita. Dengan penelitian literatur yang mendalam serta argumen yang kuat, Zakiyudin dapat merancang sepuluh poin kredo kebebasan beragama. Sepuluh poin tersebut bersifat sangat teknis dan tentunya tidak mustahil untuk diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sulit tentunya, namun perubahan merupakan suatu hal yang perlu kita lakukan menuju kehidupan yang lebih baik bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar