Akhirnya jalanan di kota mulai sepi. Lampu-lampu di pinggir jalan mengiringi langkahnya yang tenang. Angin malam sangat tidak bersahabat dan dia harus mengenakan jubah hitam barunya yang diberikan Secioria tiga hari yang lalu untuk menjaga badannya tetap hangat.
"Lalala~" lantunnya di bawah sinar bulan purnama.
Suaranya yang khas membuat semua kucing di kota itu mengikutinya. Dan dia berhenti di depan sebuah rumah tua yang lampunya sudah sangat redup.
"Coba kita lihat, ups, ini dia, rumah No. 58. Terima kasih sudah menemaniku kucing-kucing manis, sekarang biarkan aku melakukan pekerjaanku." gumamnya sambil tersenyum kepada kucing-kucing.
Kucing-kucing yang mengelilinginya pun berpencar tanpa suara. Selangkah kemudian dia berada tepat di depan pintu rumah No. 58. Dia membuka pintu rumah itu perlahan, semuanya gelap. Dia melangkah dengan tenang, matanya tertuju pada sumber cahaya di pojok lorong rumah itu.
"Siapa itu?" suara lirih dan berat mengisi rumah itu.
"Ini aku." jawabnya ringan.
"Oh."
Dia mendekati pria tua itu sambil tersenyum. Rambutnya telah memutih, kulitnya penuh dengan keriput, dan matanya telah merabun. Duduk tak berdaya di sofa merah kesayangannya, orang tua itu mengenakan kaos putih dan celana pendek bergaris-garis.
"Sudah waktunya ya?"
"Ya, maaf membuatmu menunggu lama." sambil tersenyum mencoba menenangkan orang tua itu.
"Tak apa. Sekarang apa? Akankah terasa sakit?"
"Dalam kasusmu mungkin tidak, kau bisa tidur sekarang."
"Boleh aku bertanya?"
"Ya, silahkan."
"Bagaimana kabar istriku? Apa kau pernah bertemu dengannya?"
"Ya, hanya sekali. Dia cantik sekali dengan gaun putihnya, dia merindukanmu."
"Ah, akhirnya aku bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lama." katanya sambil menutup mata.
Dia hanya tersenyum memandang orang tua itu. Siapa yang tahu orang tua itu hanya seorang diri semenjak istrinya meninggal dunia akibat penyakit leukimia. Dia belum sempat memiliki seorang keturunan, dan keluarganya telah lama pergi mendahuluinya. Dia adalah seorang veteran perang yang hidup dari uang pensiun negara dan sekarang telah divonis dokter mengidap penyakit kanker paru-paru stadium 4.
"Bisa kita berangkat sekarang? Aku takut terlambat untuk kencan dengan Sessy." sambil menggenggam tangan orang tua itu.
"Oh, baiklah." orang tua itu membuka matanya dan bangun dari tidurnya.
"Hati-hati, kau belum terbiasa."
Orang tua itu berdiri tidak menyentuh lantai, dia melayang. Masih menggenggam tangannya, dia menuntunnya keluar rumah.
"Aku kira akan terasa sakit." gumam orang tua itu sambil mencoba membiasakan diri.
"Tidak. Tergantung bagaimana kau melihatnya." jawabnya sambil tersenyum.
"Apakah selalu seperti ini? Kau sangat ramah."
"Tidak, terkadang aku harus memaksa. Dan kau tak ingin melihatku marah kan?"
Mereka berdua diam sejenak sambil meneruskan langkah mereka ke tengah kota. Cahaya matahari sudah mulai bersinar dari arah Timur.
"Sudah waktunya." katanya memecah keheningan.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Ikuti cahaya matahari dan kau akan sampai. Istrimu mungkin sudah menunggu di gerbang surga."
"Terima kasih." jawab orang tua itu ragu.
"Aku tahu kau punya banyak pertanyaan tentangku dan semuanya. Aku datang kepadamu untuk memenuhi janji Tuanku dan aku datang sebagai ingatan masa lalumu. Jangan terlalu dipikirkan." dia menutup kata-katanya sambil tersenyum.
Orang tua itu sekarang tersenyum dengan gembira. Dia mengikuti cahaya matahari dan perlahan-lahan menghilang.
Kisah orang tua itu telah berakhir. Tapi belum baginya, masih ada banyak janji yang harus dipenuhi. Sekarang matahari telah bersinar, orang-orang mulai keluar dari rumah dan beraktivitas seperti biasa. Tak ada yang tahu apa yang terjadi kepada penghuni rumah No. 58.
"Selamat pagi." sapa orang-orang di sekitarnya.
Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum, orang-orang telah menyadari keberadaannya. Dia harus kembali beraktivitas sebagai seorang pengusaha restoran yang hidup berkecukupan. Pagi ini cerah dan dia akan bertemu dengan kekasihnya.
"Semoga malam ini bukan Sessy, haha." dia bercanda dengan dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar