Sedih, bukan bosan. Kami bukannya tidak mau anakku, kami hanya takut jika kamu benar-benar pergi jauh dari pelukan kami. Pernarkah terbersit di pikiranmu semua ini? Tidakkah kamu akan rindu dengan kami?
Setiap kali kamu membuka pintu putih rumah kita, kamu menyalami kami dengan senyum dan mencium kedua pipi kami. Kami rindu kamu anakku, kami mungkin tidak mengatakannya, kami hanya mengekspresikannya. Mami buatkan kamu masakan yang kamu suka dan papa ajak kamu berbicara tentang hal-hal kesukaanmu, politik dan hukum. Kakak-kakakmu bukannya juga sudah mencurahkan rindunya padamu? Mereka mengajakmu pergi dan bermain. Tentu, malam adalah saat yang paling tepat untuk berkumpul. Papa dan kakak-kakakmu pulang kerja, dan mami selesai memasak masakan untuk makan malam. Kita bersenda gurau dan mengobrol bersama di atas meja makan kesayangan kita.
Sore itu, kamu bilang pada kami ingin mencari beasiswa ke luar negeri. Kami langsung sepakat berkata tidak usah. Bukan, bukan karena kami tidak memiliki cukup uang untuk membiayaimu, kamu sendiri juga memaksa mencari beasiswa penuh. Kami khawatir, khawatir kamu terpesona dengan dunia luar. Seperti ayah Siddharta Gautama, seperti kisah Bubble Boy, kami hanya orang tua yang khawatir.
Jika kamu sakit bagaimana? Apakah kamu sudah makan? Apakah di sana akan selalu dingin? Kami akan selalu ingat kebiasan-kebiasan kamu yang baik maupun buruk. Kami adalah darah dagingmu, kami tahu. Kamu suka sekali dengan selimut, meskipun ketika tidur malam, paginya kamu berkeringat kepanasan. Kami tahu kamu harus mandi selama 30 menit setiap pagi. Kami selalu ingat jam makan malammu yang ngawur jika kami tidak paksa. Jangan tanya bentuk kasih sayang, karena kami tidak bisa mendefinisikannya.
Mungkin memang kami yang tak mau kamu pergi. Maafkan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar