11/12/14

Ide Gila Mengabu-Abukan Minoritas

Kondisi geografis Indonesia membuat kita menjadi bangsa dengan ragam budaya yang sangat kaya. Sudah seharusnya kita menganut paham multikultur dan pluralisme. Namun perbedaan budaya yang muncul dan hadir di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita juga memiliki efek samping yang pastinya juga dirasakan oleh negara lain. Minoritas menjadi istilah umum yang kita dengar hampir setiap harinya, baik di media massa maupun di literatur akademik. Penanganan minoritas menjadi sangat penting mengingat kesamaan hak bagi setiap warga negara. Pemerintah dan lembaga pendidikan tidak pernah berhenti mencari akal untuk menanamkan multikultur dan pluralisme kepada setiap generasi muda bangsa Indonesia.

Permasalahannya adalah apakah kita sudah benar-benar mengerti apa yang dimaksud dengan istilah multikultur, pluralisme, ataupun minoritas? Kaum-kaum terdidik selalu memasukkan istilah-istilah ini ke dalam perbincangan mereka sehari-hari, cas cis cus membicarakan keadaan negara yang katanya memiliki lebih dari 100 ragam budaya ini. Kata-kata yang terungkap terkadang hanyalah kesombongan semata karena bisa membaca literatur dari bahasa lain atau sekedar bisa masuk ke universitas bergengsi di dalam maupun luar negeri. Kata-kata yang terlontar hanyalah sepintas kata tanpa makna.

Apa itu multikultur dan pluralisme? 
Saya akan memberikan contoh sederhana yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari. Kita datang ke sebuah tempat ibadah bersama teman kita yang berbeda agama. Ketika saya ingin beribadah kemudian ditanya oleh orang lain, "Mas, temennya ga ikut ibadah juga?", lalu saya menjawab, "Oh, dia agamanya beda, mas," itu disebut multikultur. Ketika orang itu tahu bahwa teman saya berbeda agama, dia tidak memaksa teman saya untuk beribadah dengan caranya, maka itu disebut pluralisme. Multikultur adalah sebuah pengakuan terhadap perbedaan orang lain. Bahwa "mereka" berbeda dengan "kita". Namun multikultur tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pluralisme. Pluralisme sendiri memiliki makna sebagai penghargaan atas adanya perbedaan. Multikultur tanpa adanya pluralisme hanya menciptakan perdamaian semu antara etnis, ras, ataupun pemeluk agama yang berbeda. Di tengah-tengah itulah lahir toleransi.

Kembali ke permasalahan minoritas, masyarakat Indonesia pada umumnya hanya mengenal minoritas dalam arti kuantitas atau jumlah, padahal arti minoritas lebih luas dari itu. Minoritas bisa berarti sekelompok individu yang tidak memiliki hak yang sama dengan yang lain, ada represi, atau tekanan yang berlebih kepada mereka, hanya karena mereka berbeda. Selama ini pembahasan minoritas di Indonesia berputar di isu orang-orang "Cina" dan orang-orang "Kristen". Sepertinya makna minoritas menjadi sesempit, "Minoritas itu ya Cina, minoritas itu ya Kristen". Sampai-sampai Presiden SBY melarang penggunaan kata-kata Cina dan menggantinya menjadi Tiongkok karena konotasi negatif yang melekat di kata Cina.

Mengabu-abukan Minoritas
Saya percaya bahwa seluruh lapisan masyarakat sudah berusaha begitu keras untuk menegakkan multikultur dan pluralisme. Sejak kita kecil kita diberitahu bahwa kita hidup dengan keberagaman budaya, kita diajarkan untuk menghargai perbedaan, namun apakah itu semua sudah cukup? Satu hal yang saya ingin sampaikan pada kesempatan ini sebenarnyan adalah sebuah ide, pendapat, opini gila yang terlintas di benak saya setiap kali mendengar kata minoritas. Saya melihat minoritas dari kacamata mayoritas selalu dari sisi multikultur dan pluralisme. Namun masih banyak sekali kejanggalan yang saya temukan dalam usaha saya meleburkan minoritas.

Apakah mengakui dan menghargai minoritas sebatas kewajiban bagi kita? Bahwa kita memberikan mereka ruang untuk berkembang tanpa ada usaha bagi kita untuk meleburkan mereka menjadi bagian dari kita? Kasus yang saya temukan dari "sekedar" mengakui dan menghargai minoritas adalah terciptanya eksklusivitas yang berlebih bagi mereka. Padahal, multikultur dan pluralisme hadir dengan harapan terciptanya toleransi. Toleransi itu sendiri memiliki banyak arti, dan pada akhirnya akan jatuh kepada choice (pilihan). Memberikan kebebasan memang merupakan tindakan yang paling romantis di kehidupan, maka dari itu pilihan tersebut harus tetap dijaga agar selalu ada, bukan hanya berujung kepada keterpaksaan.

Ketika ada dua perbedaan: A dan B, keduanya saling mengakui dan menghargai adanya perbedaan, yang terjadi memang penghilangan suatu sekat di antara keduanya, namun masih menyisakan batasan. Yang A tetap akan dengan yang A, yang B tetap akan dengan yang B, tidak boleh ada penyeberangan. Penyeberangan inilah yang saya coba modifikasi untuk menjadi satu leburan baru. Leburan A dan B, yakni C. Usaha untuk melebur keduanya inilah yang saya namakan mengabu-abukan minoritas. Bayangkan, sebuah komunitas, negara, tanpa adanya pengertian minoritas, ketika semua menjadi satu tanpa adanya batas keberagaman atau keberagaman yang membatasi, maka satu-kesatuan unity menjadi sempurna.

Saya tidak berusaha untuk mengaplikasikan kegilaan saya ini kepada orang lain, tapi saya hanya berusaha untuk tetap menghadirkan pilihan tersebut ada. Pilihan untuk tetap menjadi A, B, ataupun C harus terus dijaga. Dari situlah negara memegang peranan penting sebagi pemerintah, pengatur kehidupan masyarakat, sebagai penjaga pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar