10/03/14

Terima Kasih, Neil Strauss

Saya telah menyelesaikan salah satu buku yang saya beri poin penuh (bintang lima) di akun Goodreads saya. Buku berjudul "The Game: Penetrating The Secret Society of Pickup Artists" karya Neil Strauss ini memakan waktu satu bulan bagi saya untuk menyelesaikannya. Saya sangat antusias membacanya dan 452 halaman tidak menjadi masalah serius bagi saya. Dan pada akhirnya, seperti buku-buku bagus lainnya yang memberikan saya lebih dari sekedar cerita, tidak ada yang dapat saya katakan selain berkata, "Terima kasih, Neil Strauss."

The Game
Suatu kebetulan memang ketika saya menemukan buku ini di rak bawah toko buku Periplus Malioboro. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk mencari buku-buku yang aneh-aneh di setiap toko buku, dan untungnya saya dipertemukan oleh buku yang tersisa satu ini ketika itu. Berwarna hitam dengan tulisan berwarna emas langsung menarik perhatian saya. Ukurannya yang kecil ternyata tidak mencegah buku ini membawa dampak yang besar bagi kehidupan saya.

Buku ini singkatnya bercerita tentang seorang penulis majalah RollingStones yang mendapat tugas untuk menulis tentang sebuah komunitas pickup artists yang mulai tren di masanya. Diawali dengan ketidakpercayaan, Neil Strauss menerima pekerjaan tersebut dan menemukan bahwa dirinya telah tersedot dalam dunia yang selamanya akan merubah dirinya dan jutaan pembaca buku ini. Selama dua tahun penuh dia menyelami (sambil meminum juga) dunia pickup artists. Belajar mengenai trik-trik bagaimana untuk mendekati wanita hingga membawanya ke kamar (tidak selalu) untuk "dijelajah". Di tengah perjalanan, Neil Strauss bertemu dengan berbagai macam karakter yang di dalam bukunya hanya dituliskan dengan nama alias atau kode sandi mereka sebagai pickup artists, dan juga sempat berinteraksi dengan artis-artis papan atas Hollywood.

"To win the game was to leave it."
Ketika buku lain memberikan saya bagian-bagian favorit yang biasanya di awal atau di tengah cerita, buku ini memberikan efek yang luar biasa di akhir cerita. Saya tidak akan memberitahu Anda bagaimana buku ini akan berakhir untuk tetap menjaga ketertarikan Anda untuk membacanya, tapi saya ingin berbagi sedikit kesan saya terhadapnya. 

Neil Strauss berhasil menjalani mimpi mayoritas laki-laki normal di dunia untuk bisa tidur dengan berbagai macam wanita cantik di seluruh dunia. Sebuah dunia yang akhirnya harus dengan rela ia tinggalkan demi kebaikan hidupnya. Lalu apa yang menarik? Seperti yang tertera di sub bab tulisan saya ini, permainan usai ketika kita pergi meninggalkannya. Apa yang terjadi selama dua tahun dalam hidup Neil Strauss, dan mungkin juga kita yang sudah membacanya, bukan lain hanyalah sebuah permainan. Permainan yang harusnya kita mainkan dengan tujuan agar kita tidak terjebak di dalamnya untuk waktu yang lama. Permainan berbahaya yang mampu membuat siapapun rela meninggalkan hampir semuanya: kekayaan, kesehatan, waktu, pendidikan, bahkan masa depan untuk dapat bermain dengan sangat baik di dalam permainan ini.

Buku ini berhasil me-reset semua yang terjadi dalam pikiran pembacanya untuk kembali melanjutkan hidup dan berhenti memainkan permainan ini ketika kita selesai membacanya. Permainan ini, pada akhirnya, hanyalah sebuah alat bagi kita untuk mencapai tujuan awal untuk mempelajari dunia pickup artists. Apakah kita ingin menggunakannya hanya sekedar untuk bermain menemukan wanita yang berbeda setiap hari untuk menemani malam-malam yang sepi? Atau untuk mencari the one yang akan menemani kita hingga akhir hayat? Jawabannya ada di diri kita masing-masing.

Sekali lagi, "Terima kasih, Neil Strauss."

07/03/14

Nyanyian Kantin

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya sudah jarang sekali untuk pergi ke kampus. Yah, paling satu atau dua kali untuk sekedar bertemu dosen atau mengurus keperluan skripsi. Saya juga sudah tidak berurusan dengan politik kampus, fakultas, atau jurusan yang biasanya tidak saling peduli satu sama lain. Saya hanya sekedar mendengar angin gosip yang berterbangan tanpa punya kendali atau kekuatan yang valid sebagai pengurus organisasi ataupun semacamnya. 

Fakultas saya tercinta di Bulaksumur terlihat rindang-rindang saja dengan angin sayu yang mendayu. Gedung-gedung baru megah berdiri, tempat parkir yang meluas mengundang lebih banyak kendaraan untuk parkir di sana, dan tentunya didominasi oleh kendaraan para mahasiswanya. Siang ini saya ke kampus datang sekedar untuk main, bertemu dengan teman-teman yang masih mengambil mata kuliah. Selain itu saya juga ingin mengecek gosip tentang kantin fakultas saya yang hampir satu tahun ini "mati" tak bernyawa.

"Kamu tau gak sih, masa ibu penjaga kantin ada lagi lho!" kata seorang teman via telpon genggam.

"Ah, masa? Bukannya sudah ganti tender?" balasku sambil malas-malasan.

"Kesini deh, kita diminta dukungan untuk pengaduan masalah kantin sama si ibu."

"Siang ya aku kesana."

Siang datang, matahari tegap berdiri. Lantai yang berlapis ubin, beton-beton penyangga bangunan menyapa. Saya berjalan ke kantin untuk bertemu dengan teman-teman. Tanpa banyak bicara saya langsung mencoba salah satu penjaja makanan di kantin baru itu. Masih seperti dulu, membayar makanan pun harus ke kasir. Sejauh ini belum ada kecurigaan. Kemudian saya pun ke kasir, dan bertemu dengan ibu kantin.

"Hai bu," sapaku sambil membayar.

"Halo mas," si ibu mengambil kembalian. "Oh iya mas, saya mau minta tolong. Besok saya mau bertemu dengan pihak kampus ini, saya butuh dukungan mas dan teman-teman," si ibu memberikan buku dengan banyak catatan tangan dari mahasiswa-mahasiswi serta komplain mereka tentang kantin.

"Loh, loh, memang ada apa ya ini bu?"

"Aduh mas, gimana ya saya jelasinnya. Ya memang awalnya kontrak kami dulu kan sudah habis, lalu kan katanya mau ada perbaikan fasilitas, dicat ulang, bangku-bangku, meja-meja, dan stan-stan akan diperbaiki, diganti yang lebih bagus. Tapi ternyata kita toh tidak bisa jualan lagi."

"Walah, ini memang wewenang siapa sekarang bu?"

"Walah, mas. Saya ini wong cilik, masalah itu kan yang lebih tinggi yang tahu."

"Ini sudah saya tulis komentar saya. Coba ya bu nanti saya kasih tahu teman-teman saya yang gerak di organisasi, siapa tahu bisa bantu."

"Wah, matur nuwun lho mas!" kata si ibu terlihat senang.

Setelah itu saya kembali ke tempat duduk. Cerita yang mengalir ternyata memberi banyak informasi serta sedikit cross check. Ada yang bilang harga sekarang jauh lebih mahal dari yang dulu, ada yang bilang tidak seenak dulu, tapi juga ada yang bilang dulu sempat ada pengetesan makanan untuk penjaja di kantin oleh pihak kampus yang terbuka bagi mahasiswa. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi? Saya benar-benar bingung dan tidak tahu ada apa sebenarnya. Apakah semua orang seperti saya? Atau hanya saya yang seperti ini karena jarang ke kampus? Kalo iya, tak apa, tapi kalo tidak, wah, bahaya. Lalu mereka yang memberi dukungan itu apakah tahu betul apa duduk permasalahannya?

Di saat-saat seperti ini saya jadi gemes dengan organisasi-organisasi kampus yang katanya kerakyatan ini. Apakah mereka sudah tahu? Kalo sudah, mereka melakukan apa ya? Apakah sudah berusaha? Jika sudah, menghasilkan apa? Tak masalah jika gagal, tapi semua harus tahu apa yang terjadi. Informasi dan transparansi harus tetap dijunjung tinggi. Jangan menunggu untuk diminta menjelaskan, mulailah menjelaskan. Buat awareness di antara kita semua, bangkitkan rasa kepedulian. Bukankah itu tugas kita semua? Tidak perlu membeda-bedakan jurusan, apalagi agama. Daripada jauh-jauh membahas soal negara atau terlalu sering membicarakan seminar-seminar skala nasional atau internasional, bagaimana jika kita memberi sedikit perhatian bagi sekitar kita? Alangkah lebih baik jika ada edaran, public hearing, atau informasi berbentuk lainnya yang bisa menjelaskan semuanya dari semua organisasi mahasiswa yang tidak terlalu jauh aktif dari isu ini, atau yang anggotanya sering mengisi perut mereka di sini. 

Dulu sempat ada vandalisme yang mempertanyakan isu ini, namun entah sudah kemana hingar-bingarnya. Katanya bersatulah, katanya kerakyatanlah, katanya perjuanganlah, katanya kekeluargaanlah, apa artinya semua jika seperti ini sekarang? Alat makan tak bisa bicara, jangan biarkan mereka terbuang sia-sia hanya karena perut ini sudah kenyang. Dulu kita sempat dihina sebagai elit berotak yang hidup dibalik jeruji beton mewah ber-AC karena tidak mau pergi ke jalan. Sekarang tidak perlu pergi ke jalan untuk membantu, terlalu jauh, dan mungkin terlalu riskan. Coba lihat dan dengar mereka yang bernyanyi di kantin.