30/11/13

Tentang Membaca Buku

"Buku itu investasi masa depan," begitu kata Ayah saat saya pertama kali menginjakkan kaki di perguruan tinggi Gadjah Mada. Saya sangat bodoh waktu pertama kali mendengar kata-kata Ayah saya dengan lalu. Saya belum menyadari arti penting dari kata-kata beliau. Pertama kali saya memasuki dunia perkuliahan, dosen saya selalu menekankan pentingnya membaca. "Jika kalian mau lebih pintar dari saya, baca buku lebih banyak dari saya!" begitu kata beliau menandai permulaan perjalanan perkuliahan saya. Bahan bacaan yang banyak sekali di perkuliahan memaksa saya untuk terus membaca dan membaca, apapun medianya, koran, buku, hingga artikel-artikel di internet. Dan saat itulah saya mulai menyukai buku.

Saat pertama kali kuliah, entah berapa banyak buku yang saya paksakan untuk beli agar tidak tertinggal dengan teman-teman yang lain. Maklum, saya sewaktu SMA bukanlah orang yang gemar membaca, dan teman-teman kuliah saya ini, saya juga baru tahu pada tahun kedua, banyak yang suka membaca. Ayah saya dengan senang hati mendukung saya untuk membeli buku dengan mengganti berapapun uang yang saya keluarkan untuk membeli buku kuliah. Dari sekedar Rp. 60.000,- hingga diatas Rp. 300.000,-. Bagi saya itu jumlah yang luar biasa untuk membeli buku dan Ayah saya tidak keberatan dengan itu. Saya mulanya sangat benci membaca, tertidur di tengah-tengah saat membaca. Atau bahkan meninggalkan buku yang saya baca saat saya rasa sudah tidak lagi menarik atau membosankan. Lama-kelamaan saya terbiasa, baik dengan kebosanan gaya penulisan, apalagi buku-buku teori, hingga mengerti arti dari kata-kata atau istilah yang saya jarang dengar dalam pembicaraan sehari-hari.

Ayah saya juga sebenarnya bukan seseorang yang suka membaca buku, tapi beliau selalu membaca koran setiap pagi saat libur kerja atau sore sepulang kerja. Saya selalu memperhatikan bagaimana beliau membaca dengan seksama maupun hanya membaca dengan sekilas. Menggunakan kacamata bacanya yang khas dan tentunya minuman teh atau kopi sebagai pelengkap. Saya selalu teringat kebiasaan itu setiap kali saya membaca. Jika Ayah saya rajin sekali membaca, kenapa saya tidak? Ternyata sekarang saya mulai merasakan kebiasaan itu menurun ke saya. 

Sejak memasuki semester 6, saya berhenti membaca koran dan mengandalkan televisi untuk berita-berita terkini, namun saya lebih fokus kepada buku. Saya menjadi lebih sering membaca dan membeli buku. Kemudian lahirlah komunitas IR Book Club yang saya dan teman-teman saya dirikan. Bacaan saya jadi mulai meranah ke genre-genre asing. Buku-buku yang jarang orang lain baca, dan itu menarik perhatian saya. Dengan berdiskusi bersama teman-teman yang juga suka membaca buku seperti itu, gairah saya untuk membaca semakin meningkat dan terus meningkat hingga sekarang.

Menjadi Hobi
Dulu saya tidak mengerti apa sebetulnya hobi saya. Perbincangan dengan beberapa teman membuat hati saya tersentil. Teman-teman dengan lancar dan ringan sekali membicarakan apa yang menjadi kesukaan atau hobi mereka. Ada yang suka otomotif, fotografi, hingga gigs. Kata salah satu dari mereka, "lelaki itu harus punya hobi,". Lalu, apa hobi saya?

Saya kemudian curhat dengan pacar saya mengenai ini. Apa sebenarnya hobi saya? Pacar saya kemudian mengatakan bahwa hobi itu adalah sesuatu yang kita suka lakukan dengan sukarela, tanpa ada rasa terbebani, senang rasanya jika dilakukan, dan tanpa sadar kita melakukannya. Apakah saya benar-benar suka membaca buku? Ya namanya tidak sadar, jadi mana saya tahu. Kemudian hal yang paling menyadarkan saya adalah ketika saya melihat rak buku saya di kos. Betapa banyaknya buku yang berjejer di sana, belum lagi buku-buku yang sedang dipinjam oleh teman-teman saya. Padahal saya masih ingat dulu waktu pertama kali kuliah, rak buku saya hanya ada satu dan itu kosong (tak ada buku). Sekarang saya berencana membeli rak ketiga, karena dua rak buku saya sudah penuh. Ternyata saya benar-benar suka membaca.

Sekarang, saya tidak pernah lagi membatasi diri untuk membeli buku dengan jumlah harga di luar akal sehat (saya pernah menghabiskan hampir 1 juta untuk membeli buku). Namun saya tetap menjaga diri agar sebisa mungkin sebulan sekali saja ke toko buku. Karena setiap kali saya ke toko buku, saya selalu tertarik untuk membeli buku, padahal masih banyak buku yang belum saya selesaikan.

Tapi hobi yang baru saya sadari ini belum menjadikan saya seseorang yang benar-benar gila buku. Ada banyak teman saya yang lebih gila lagi, dan saya sadar saya belum ada apa-apanya. Saya masih sering lupa dengan isi buku yang sudah saya baca, jadi saya harus membaca isinya secara garis besarnya dulu sebelum menjelaskan ke orang lain. Hal ini kemudian yang memantik saya untuk menulis. Menulis review atau resensi buku sangat membantu untuk mengingat isi buku itu. Ternyata memang benar bahwa membaca dan menulis itu dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Sekarang saya sedang berlatih untuk menulis review atau resensi buku-buku yang telah saya baca. Tapi lagi-lagi, rasa malas adalah musuh utama.

Satu hal yang negatif dari hobi saya ini adalah saya menjadi benci sekali dengan teman-teman yang meminjam buku saya dan lupa mengembalikannya, apalagi buku saya yang dipinjam oleh teman saya, dipinjamkan lagi ke temannya (jadi tangan ketiga). Bukan kepalang bencinya saya ketika mengetahui itu. Saya merasa buku-buku itu adalah harta karun saya, dan seharusnya orang yang saya pinjamkan itu menyadari betapa saya sangat menghargai mereka dengan membolehkannya meminjam harta karun saya. Makanya setiap kali ada teman yang ingin meminjam buku, saya menjadi ragu dan merasa enggan. Saya menjadi egois. Padahal ketika teman saya ada yang memiliki buku yang bagus, saya juga kerap meminjamnya (tapi pasti saya kembalikan). Yah, namanya juga manusia.

Saya juga sering merasa ada yang kurang setiap kali saya selesai membaca buku pinjaman. Saya merasa harus memilikinya. Ini mengakibatkan saya harus membeli buku yang serupa atau memfotokopinya. Namun saya rasa ini bukanlah hal yang negatif. Rasanya senang sekali jika koleksi buku saya bertambah. Ada kebahagiaan tersendiri yang mengalir di nadi saya. Ini memunculkan ide di masa depan agar saya memiliki perpustakaan pribadi. Wah, pasti senang sekali rasanya melihat koleksi buku saya semenjak menjadi mahasiswa kelak.

Menjaga Konsistensi
Sebagai penutup, saya ingin memberikan tips kepada teman-teman yang masih merasa kesulitan untuk membaca buku. Sebenarnya kuncinya ada di konsistensi kalian untuk membaca. Sebagai contoh, saya menjaga konsistensi membaca saya dengan selalu membaca satu jam sebelum saya tidur. Tapi jika memang kalian sedang ingin membaca lebih, silahkan. Saya kadang juga agak keterlaluan dengan tidak mengenal tempat untuk membaca (kadang di kamar mandi, kantin kampus, atau bahkan di lapangan), tapi tidak apa, itu artinya kalian sedang tertarik, dan jangan redupkan gairah kalian untuk membaca itu.

Memang pada awalnya akan sangat sulit dan terasa sangat malas untuk melakukannya. Tapi jika kalian memang benar-benar ingin membaca, paksakanlah. Jika itu tidak menjadi hobi kalian, atau sekedar kewajiban untuk membaca bahan kuliah, saya rasa tips saya itu akan berguna. Ingat, membaca itu penting! Buku adalah jendela dunia, dan istilah itu benar! Setelah kalian membaca, bagikanlah ilmu kalian dengan orang lain, diskusikan, lalu menulislah! Kemajuan peradaban manusia dimulai dari cara mereka berpikir, dan mampu menuliskan ide mereka agar bisa dimengerti oleh orang lain.

26/11/13

Alien di Antara Kita

"Di Indonesia ada alien. Di Mall di pusat kota Jakarta itu terlihat banyak rombongan manusia2 aneh yang deduksi dan induksi dari pengalaman hidup untuk membaca orangku nggak mampu menalarkan dengan utuh selain asumsi kalau mungkin: ini kasta baru manusia Indonesia, hedonis tingkat murni, pureblood, yang punya takdir kekayaan milyaran sejak baru lahir. Orang2 ini sepertinya nggak pernah merasakan susah, mereka dan lingkungannya menciptakan lingkungan eksklusif terlindung dan aman dari proses-proses sosial dan segala hal yang akan berkaitan tentang kesadaran ke-Indonesiaan atau pun keduniaan. Bahkan isu2 ham dan lingkungan yang biasanya ada di kalangan elitis dan kelas menengah terlihat nggak menyentuh mereka. Putih, bersih, berkelas, bebas, dengan nilai moral sendiri, rule of social sendiri, dengan setiap gerik mencoba menciptakan keanggunan, merapihkan rambut, menjaga gestur badan, tebaran pesona. Alien2 ini orang2 yang asing dengan Indonesianya. Hahaha. Hati2, kita ribut urusan rakyat mayoritas sementara kasta baru ini menguasai aset2 dan kekayaan kapital gila2an."

Tulis status Facebook seorang senior yang terkenal menjadi aktivis kampus ini membuat saya tertegun sejenak dan memutar otak mengenai keberadaan alien ini. Apakah benar mereka benar-benar ada? Mereka yang tak tersentuh, yang ekslusif, dan bahkan tak memikirkan "kita". Keberadaan alien ini ternyata sungguh dekat. Bahkan di nadi jantung kota pendidikan Yogyakarta pun saya rasa ada. Mereka mulai memasuki relung pernapasan kita, mempengaruhi detak jantung kita, dan mungkin lama-kelamaan akan membentuk pemikiran dan perkembangan otak kita.

Di tengah ketakutan itu saya mencoba melihat kembali mimpi-mimpi saya yang ingin saya capai di Jakarta. Ya, Jakarta. Ibukota Indonesia yang telah menjadi pemikat para perantau di nusantara. Pusat perputaran ekonomi dan arus keuangan bangsa kita sebagian besar terletak di sana. Saya ingin menjadi bagian darinya. Mengambil sebanyak mungkin uang yang ada di sana dengan ilmu yang telah saya pelajari di kota Gudeg. Apakah iya hidup saya hanya sedangkal itu? Tanpa ada maksud dan takdir lain dari Tuhan yang menempatkan saya di jantung kota pergerakan mahasiswa Indonesia? Saya mulai merenungkan kembali semuanya.

Mimpi dangkal saya itu saya dapatkan dari sebuah hal yang sangat simpel. Beberapa bulan yang lalu sepulangnya saya dari tanah laskar pelangi, saya mendapatkan sebuah film serial bagus yang mungkin dapat menggambarkan kehidupan alien ini, Suits. Kehidupan yang nyaman, mobil mewah, apartemen mewah, kehidupan kalangan atas eksklusif, yang digambarkan dari kehidupan seorang pengacara. Indahnya hidup seperti itu. Tapi apakah tujuan hidup akan berhenti sampai sana?

Membaca status senior saya di atas membuat saya menjadi takut akan menjadi salah satunya. Atau jangan-jangan saya sudah menjadi bagian dari mereka? Sudah mulai terpengaruh virus alien-alien itu? Saya sangat takut. Sangking takutnya, hari ini saya memaksakan diri menonton film Laskar Pelangi di tengah kesibukan untuk mengingatkan saya tentang mimpi-mimpi yang ingin dicapai, prosesnya, dan untuk siapa mimpi itu akan berdampak. Saya menginjeksikan vaksin kepedulian ke dalam diri saya, meski dalam dosis yang terhitung sedikit. 

Saya tak ingin menjadi alien! Apa jadinya bangsa ini jika kita semua menjadi alien? Apakah kita pantas mengatakan diri kita ini manusia jika kepedulian sudah hilang dari kamus kita?

03/11/13

Lelaki

"Tidak aku tahu lelaki begitu mudah ditipu oleh perempuan,"

Begitu tulis Mochtar Lubis mengantarku kepada akhir cerita pendeknya. Malam ini aku memutar otakku yang kaku oleh emosi. Terjaga oleh kesadaran yang terbangun dalam lima jam tidurku sejak matahari terbenam. Melihat wajah yang cantik di album foto ponsel genggamku, tak terasa waktu telah lebih lama menahan rasa cinta ini untuknya dari praduga awalku.

"Emotion is good, but you should back it up with some cold hard facts,"

Menemani bulan sambil mengulang kembali episode-episode dari kisah seri tentang seorang pengacara tak berhati yang mengejar kemenangan. Selalu terbayang tentang mimpi menjadi dirinya yang tak peduli dunia dan wanita. Bagaimana seseorang bisa menghilangkan emosinya? Menjalin hubungan hanya sebatas kebutuhan fisik tanpa ada campur tangan cinta. Aku ingin seperti itu, tapi itu bukan aku.

Dunia terus berubah dan membawaku kepada kehidupan yang semakin kompleks. Perempuan mengangkat equality ke permukaan. Bukannya takut, tapi ragu. Apakah kita semua paham arti equality? Mengaitkannya dengan anatomi tubuh dan menganalisa perilaku berdasarkan ilmu biologi. Apakah kita memang benar-benar equal? Perempuan ingin selalu dimengerti, tapi apakah mereka pernah mau mengerti tentang lelaki? Yang tak hanya memerlukan kebutuhan fisik seperti yang selama ini selalu menjadi prejudis mereka, namun lebih dari itu. Tentang aktualisasi diri dan pengakuan. Tentang emosi dan egoisme. Tentang suka dan tidak suka. Tentang menjadi sensitif dan tak peduli.

Mungkin aku telah kacau dan kehilangan identitas di tengah krisis hidup menuju ke kedewasaan seperti yang kau bilang. Aku akan menjadi sesuatu yang aku inginkan, dan mungkin juga seperti yang kau harapkan. Aku ingin menenggelamkan "aku" yang kini sedang dalam badai emosi. Membuangnya begitu saja seperti tisu yang basah dipakai untuk membersihkan percikan sperma. Aku ingin mengukir raut wajah ini, seperti lelaki-lelaki yang katanya telah merasakan manis pahitnya kehidupan. Menyembunyikan sifat asliku dalam tindakan yang tak akan pernah dapat dimaafkan. Bukankah begitu penyakit lelaki yang seharusnya? Mengalihkan apa yang seharusnya ditunjukkan ke dalam tindakan yang bajingan? 

Seperti kata pepatah Belanda, "semakin tinggi status sosial dan tingkat intelektual seseorang, semakin tinggi tingkat kebinatangannya". Seperti lelaki-lelaki yang terhimpit oleh kekuatan sosial untuk menjadi "lelaki", namun melakukan ke"lelaki"annya kepada hal yang tak sepantasnya dilakukan seorang lelaki. Dipaksa untuk menghilangkan apa yang sebenarnya menjadikannya lelaki. 

Tak aku tahu bahwa harga kebebasan sebegitu mahalnya. Menjadi seorang lelaki pun tidak bebas begitu saja menjadi. Membentuk identitas diri dari apa yang diinginkan oleh orang lain. Kita bukanlah kita yang apa adanya, melainkan kita yang terbentuk oleh mata-mata orang lain yang melihat kita.

Apakah kau pernah bertanya kepadaku, sayang?
Tentang hal yang aku suka, tentang hal yang aku benci?
Apakah kau pernah bertanya kepadaku, sayang?
Tentang apa yang kurasa dan apa yang kuinginkan?
Dan apakah kau pernah bertanya kepadaku, sayang?
Tentang aku yang ingin menjadi apa, tentang siapa aku sebenarnya?
Tenggelam dalam badai emosi,
Mencoba menghapusnya dan bertahan dalam lingkar kebinasaan,
hidup,
Sulit menjadi apa yang seharusnya kita ini diciptakan,
Karena mata-mata yang tak pernah melepasmu dalam kebebasan.