28/09/13

Dimana Ayah?

Malam itu aku sedang menunggu temanku sambil menenggak segelas coklat hangat rasa hazelnut di tengah dinginnya malam. Aku memilih untuk membuka youtube sebagai pembunuh waktu. Tanganku terus bergerak mencari-cari video yang mungkin akan membuatku berhenti bernapas sejenak dan mengalihkan perhatianku dari lampu jalan yang menerangi langkah para pejalan kaki dan pengendara motor. Aku melihat satu video yang tak umum, bergambar dua buah boneka dengan figur ayah dan anak yang duduk di sebuah sofa.
"Stromae - Papaoutai"
"Ah! Bahasa Perancis," pikirku melihat judul video itu. Baru-baru ini aku memutuskan untuk kursus bahasa Perancis. Entah itu karena motif untuk menunjang karir atau hanya iseng belaka, tak ada ruginya bagiku di tengah penantian kepastian untuk pengerjaan skripsiku. Mungkin aku bisa sambil mempraktekkan hasil dua kali pertemuan kelas bahasa Perancisku dengan melihat video ini dan kemudian mencari liriknya.

Aku mulai menyetel video itu. Dengan nada yang mudah dicerna dan ucapan si musisi yang mudah diikuti membuatku suka dengan video ini. Video yang awalnya kukira cukup lucu dengan adegan-adegan orang tua yang berjoget bersama anaknya ini kemudian membuatku mulai merasakan sesuatu setiap kali si musisi menyanyikan reff lagu.
"Où t'es? Papa, où t'es? Où t'es? Papa, où t'es? Où t'es? Papa, où t'es? Ou t'es, ou t'es où papa, où t'es?"
Aku tidak mengerti artinya, bagaimana tidak, aku kursus bahasa Perancis saja baru dua kali pertemuan, dan itu saja aku masih dalam tahap awal sekali. Aku kemudian memutuskan untuk mencari lirik beserta artinya di internet. Ternyata lagu ini bercerita tentang seorang anak yang mempertanyakan eksistensi ayahnya. Ya, eksistensi. Mungkin itu adalah kata yang terlalu berat untuk menginterpretasikan lagu ini. Tapi setelah melihat lirik serta membaca forum-forum yang membahas arti lagu ini (banyak yang memperdebatkannya, selain karena lagu ini berbahasa Perancis yang notabene sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga karena video ini terlalu abstrak untuk diterjemahkan secara harafiah), aku berkesimpulan bahwa lagu ini memang membahas tentang eksistensi seorang ayah.

Ada bagian lirik yang sangat menyentilku di dalam lagu ini.
"Tout le monde sait (everyone knows)
Comment on fait des bébés (how to raise a child)
Mais personne sait (but nobody knows)
Comment on fait des papas (how to raise a dad)"
Ingatanku mulai berputar mengenang masa-masa yang telah aku habiskan bersama ayahku. Aku sadar aku merindukannya dan aku sadar bahwa sedikit sekali waktu yang telah aku habiskan bersamanya. Aku baru sadar bahwa aku sebenarnya tidak mengenal siapa ayahku secara dalam. Karena selama ini dia selalu jauh, bekerja setiap waktu dan sibuk dengan hobinya. Aku mulai mengenang itu semua dan kembali haus akan perhatian orang tuaku. Apa yang terjadi? Apakah semua orang tua seperti itu? Semua seperti tergambar dengan jelas dalam video ini.

Aku mulai berpikir secara analitis, "apa yang akan aku lakukan jika aku berada di posisi ayahku?". Pertanyaan itu membawaku ke sebuah diskusi kecil yang pernah aku lakukan dengan seorang temanku. "Menjadi orang tua di zaman seperti ini serba salah," katanya. Benarkah? Ya. Aku sering berpikir bahwa aku tidak akan pernah siap untuk menjadi orang tua, seorang ayah, sekaligus pembimbing hidup bagi keturunanku, darah dagingku. Begitu berat tanggung jawab yang akan dipikul. Aku harus bisa memastikan anak-anakku kelak hidup dalam kenyamanan tanpa harus mengurangi tingkat moralitas maupun intelegensia mereka. Aku ingin mereka hidup nyaman dalam mempelajari hidup, agar mereka siap untuk hidup. Aku ingin mereka menjadi lebih baik dariku, dari semua aspek yang aku miliki. Tapi di sisi yang lain, aku juga harus bisa memastikan diriku memiliki waktu untuk mereka semua.

Begitu banyak angan-angan mengenai menjadi ayah yang baik yang kumiliki, namun selalu terbang terbawa angin realita. Seringkali aku melihat orang tua-orang tua yang belum bisa memenuhi angan-angan itu. Begitu sulit, dan mungkin sepertinya hampir tidak mungkin. Kemudian aku mulai dipenuhi rasa pesimis, mungkin aku tidak akan pernah bisa menjadi ayah yang baik, atau mungkin malah aku tidak akan menjadi seorang ayah.

Cerminku menjadi saksi begitu egoisnya diriku ini, yang ingin memiliki segalanya tanpa berbagi. Begitu banyak keinginan diriku yang belum terpenuhi, ingin punya apartemen pribadi, mobil pribadi, semata-mata untuk membanggakan diri kepada orang lain atas keberhasilan diri sendiri. Pikiran sepeti ini apakah patut ada di dalam benak seorang ayah yang baik? Tidak. Jalanku menuju kesuksesan masih panjang dan berat. Aku tidak bisa mengambil konsekuensi dengan membawa beban lebih. Aku harus bisa menyelesaikan urusanku dulu sebelum menjadi seorang ayah. Aku ingin memberikan segalanya untuk anak-anakku kelak. Aku ingin selesai dengan diriku sendiri dan memberikan hidupku untuk anak-anakku. Aku ingin menjadi bijak sebelum belajar membesarkan anak.

Bagian lirik lagu ini sepertinya memiliki banyak intepretasi,
"Où est ton papa? (Where are you, Dad?)
Dis moi où est ton papa! (Tell me, where are you papa?)
Sans même devoir lui parler (Without even talking to him)
Il sait ce qui ne va pas (he knows what he did wrong)
Hein sacré papa! (It's holy papa!)"
Tapi aku memiliki intepretasi pribadi tentang bagian ini,
"Dimana dirimu ayah? Katakan padaku, dimana dirimu ayah? Kau tak pernah berbicara denganku, apapun yang kau kerjakan untuk menghidupi kami, kami tahu kau tahu konsekuensinya. Semua ini untuk kita, tak apa ayah. Apapun yang kau lakukan itu suci."
Begitu banyak ayah-ayah yang memilih jalan pintas demi memberikan anak-istrinya kehidupan yang nyaman, atau hanya sekedar bertahan hidup. Begitu berat tanggungan yang akan dipikul, karena seorang ayah tak lagi akan memikul satu beban kehidupan, namun juga kehidupan anak-istrinya. Bisakah? Bisakah aku menjadi seorang ayah? Atau hanya seorang lelaki?

"Stromae - Papaoutai"

19/09/13

Pemuda Bertindak, Negara Bergerak

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Seharusnya hal ini memberikan rasa toleransi yang tinggi di antara masyarakatnya, lalu mengapa kita masih sering mendengar berita mengenai konflik agama di sekitar kita? Jawabannya karena kita masih merasa nyaman dalam lingkaran komunitas agama kita dan enggan melakukan interaksi/hubungan dengan orang di luar lingkaran komunitas agama kita. Ashutosh Varshney, seorang peneliti politik pernah berkata bahwa ketegangan antar umat agama sebenarnya dapat dikurangi dengan meningkatkan intensitas interaksi di antara mereka. Oleh karena itu, merupakan suatu kesempatan sekaligus kewajiban bagi pemuda Indonesia untuk menjaga harmonisasi bangsa dengan menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput.

Harus Dimulai dari Pemuda
Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya! Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia!”, begitulah ucapan Soekarno dalam menggambarkan betapa hebatnya kemampuan pemuda dalam mengubah dunia. Pemuda Indonesia sejak dulu telah memiliki peran penting dalam memajukan bangsa ini dan sekarang pun pemuda masih memiliki peranan dalam mewujudkan serta menjaga harmonisasi bangsa, khususnya dalam menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput. Pemuda memiliki peluang yang dapat digunakan dan dioptimalkan untuk melakukan hal tersebut. Kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap pemuda dan banyaknya akses yang dimiliki pemuda untuk memperluas wawasannya merupakan beberapa dari banyaknya peluang yang dimiliki oleh pemuda untuk menggiatkan dialog lintas agama.

Indonesia memiliki lebih dari 30 organisasi/komunitas yang digerakkan oleh pemuda. Organisasi-organisasi tersebut bergerak di berbagai bidang yang berbeda-beda namun secara garis besar memiliki tujuan yang sama, yakni memajukan bangsa Indonesia. Selain dari organisasi, institusi pendidikan seperti universitas pun ikut memberdayakan pemuda melalui berbagai macam aktivitas. Badan Eksekutif Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa berbagai universitas di Indonesia melalui berbagai macam program kerjanya mulai bersentuhan langsung dengan masyarakat. Bahkan di beberapa universitas tertentu dengan adanya program KKN (Kuliah Kerja Nyata) menjadi bukti nyata kontribusi pemuda kepada masyarakat Indonesia. Dengan seluruh program dan kegiatan yang telah berlangsung, baik yang dampaknya telah terasa maupun belum terasa oleh masyarakat luas, kepercayaan masyarakat terhadap pemuda secara perlahan terus meningkat. Ditambah lagi tren yang sedang marak di tengah masyarakat Indonesia, yakni menyusutnya kepercayaan masyarakat terhadap elit politik yang diwakili oleh partai politik, membuat masyarakat menumpahkan kepercayaannya kepada pemuda.

Pemuda, khususnya mahasiswa, memiliki akses yang tak terbatas untuk memperluas wawasan mereka dewasa ini. Internet dan beasiswa menjadi contoh nyata yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari pemuda. Internet membebaskan siapapun untuk dapat mengakses berbagai sumber ilmu pengetahuan menembus batasan negara. Dan beasiswa, selain mempermudah pemuda dan keluarganya dalam pembiayaan pendidikan, juga dapat memperluas wawasan pemuda mengenai toleransi dan memahami kehidupan masyarakat di negara lain melalui beasiswa program pertukaran pelajar antar negara maupun konferensi internasional yang nantinya diharapkan dapat menjadi solusi alternatif berbagai macam persoalan yang ada di Indonesia.

Dengan mengoptimalkan peluang yang ada, pemuda dapat menggiatkan dialog lintas agama. Kepercayaan masyarakat terhadap pemuda yang tinggi seharusnya membuat pemuda dapat meyakinkan masyarakat bahwa dialog lintas agama adalah sesuatu yang harus dilakukan demi menjaga harmonisasi bangsa. Sedangkan akses yang tak terbatas untuk memperluas wawasan membuat pemuda dapat mengsosialisasikan kepada masyarakat tentang apa yang sebaiknya perlu dilakukan untuk mengatasi konflik antar agama dan langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk menggiatkan dialog lintas agama.

Bukan Halangan, Namun Tantangan
Selain peluang, pemuda juga memiliki tantangan untuk menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput. Tantangan yang ada bukan berarti menjadi sebuah halangan, namun menjadi kesempatan untuk pemuda mengembangkan serta mengoptimalkan potensi dirinya. Beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pemuda dalam usahanya menggiatkan dialog lintas agama adalah kesadaran dan keinginan pemuda itu sendiri untuk melakukannya, pola pikir masyarakat yang lebih menyukai keadaan apa adanya ketimbang perubahan, dan isu agama yang bersifat sangat sensitif dan tabu. Tantangan-tantangan ini haruslah dipandang sebagai sebuah batu loncatan bagi perkembangan pemuda dan bangsa Indonesia, karena dengan adanya tantangan-tantangan inilah pintu kesempatan untuk berubah menjadi individu serta bangsa yang lebih baik lagi terbuka lebar di depan mata kita.

Inge Amundsen berbicara mengenai political will/keinginan politik sebagai dasar untuk melakukan perubahan dalam konteks memerangi korupsi. Kita dapat belajar satu hal yang penting dari Amundsen, yakni will/keinginan. Segala macam perubahan harus dimulai dari diri sendiri dan perlu ada keinginan yang besar untuk melakukannya, begitu juga dalam usaha menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput. Pemuda harus mengerti betul keadaan yang ada sekitar mereka sekarang ini, dan segera mengumpulkan niatnya untuk melakukan perubahan. Sayangya, gelombang globalisasi telah menggerus kepedulian pemuda terhadap lingkungannya. Banyak pemuda yang menjadi sangat individualistik dan tidak peduli terhadap isu yang beredar di sekitar mereka. Untuk itu, tantangan pertama yang harus dijawab oleh pemuda dalam menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput adalah untuk mengumpulkan niat/keinginan mereka agar lebih peduli, lebih memahami, dan mau bergerak.

Merubah pola pikir/mindset masyarakat adalah hal yang telah diakui banyak orang sulit, namun masih mungkin untuk dilakukan. Masyarakat cenderung merasa nyaman dengan keadaan yang ada ketimbang menerima gerakan perubahan yang dapat mengancam kenyamanan kondisi mereka saat ini. Meskipun begitu, argumen tersebut belum tentu berlaku di seluruh golongan masyarakat. Biasanya pendidikanlah yang menjadi faktor utama diterimanya gerakan perubahan dengan baik di tengah masyarakat. Avadhesh Agrawal menjelaskan dengan sangat baik bagaimana merubah pola pikir seseorang itu bisa menjadi sangat sulit ataupun sangat mudah. Agrawal percaya bahwa pola pikir positif dapat menangani perubahan pola pikir dengan mudah. Sedangkan pola pikir yang negatif akan mempersulit perubahan pola pikir. Untuk merubah pola pikir masyarakat, pemuda harus membawa pola pikir yang positif dan memang ditujukan untuk perubahan yang lebih baik. Berawal dari sana, pemuda dapat menarik masyarakat menuju pola pikir baru yang lebih terbuka dan toleran. Cara penyampaian juga menjadi kunci kesuksesan dalam merubah pola pikir masyarakat yang tidak boleh terlupakan.

Agama merupakan isu yang sensitif dan tabu untuk dibicarakan tidak hanya di Indonesia, namun di dunia. Agama adalah doktrin tertua di dunia yang menjadi fondasi utama kehidupan banyak manusia. Karen Armstrong dalam seminarnya di TED (sebuah organisasi yang bertujuan mengundang orang-orang yang ahli dalam bidangnya untuk menyampaikan pemikirannya ke masyarakat umum) menjelaskan permasalahan dialog lintas agama terletak di rasa toleransi para pemeluk agama. Agama merupakan pena yang menentukan hitam dan putih lembaran kertas kehidupan manusia, dimana benar dan salah adalah dua hal yang pasti dan dapat dipisahkan. Dialog lintas agama seharusnya berpusat kepada pembangunan rasa toleransi antar agama dan pembahasan ruang abu-abu yang belum terlihat di dalamnya.

Banyaknya tantangan yang dihadapi oleh pemuda untuk menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput membuka kesempatan bagi pemuda dan bangsa Indonesia untuk maju menjadi negara yang lebih baik lagi. Kesadaran dan keinginan dari pemuda sendiri merupakan tantangan pertama yang perlu dijawab oleh pemuda. Perubahan pola pikir masyarakat menjadi tujuan utama pemuda dalam menggiatkan dialog lintas agama. Dan terakhir, dialog mengenai agama itu sendiri merupakan tantangan yang perlu dilewati. Mengangkat isu agama menjadi isu yang tidak lagi sensitif dan tabu menjadi langkah awal membangun toleransi antar umat beragama dan harmonisasi bangsa.

Pemuda Bertindak, Negara Bergerak
Pemuda memiliki berbagai macam peluang dan tantangan dalam menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput. Kesadaran generasi muda akan toleransi antar agama harus terus digalakkan demi harmonisasi bangsa di masa depan. Melalui berbagai macam cara pemuda dapat menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput, dengan atau tanpa bantuan dari pemerintah. Terakhir, mengutip perkataan Karen Armstrong dalam seminarnya di TED:
“...saat dimana ideologi tidak mampu memunculkan rasa akan pemahaman global dan sikap saling apresiasi secara global mengalami kegagalan saat ini, agama harus dijadikan sebagai pendorong harmoni dunia, dan memang mampu menjadi demikian karena adanya etika timbal balik: “Jangan lakukan pada orang lain apapun yang kamu tidak ingin orang lain lakukan terhadap kamu”. Sebuah etos yang harus diterapkan secara global... Saya pikir inilah saatnya kita bergerak bukan sekedar demi toleransi, tetapi bergerak menuju apresiasi terhadap orang lain.”
Sudah saatnya bagi pemuda untuk bertindak, menggiatkan dialog lintas agama di kalangan akar rumput untuk mewujudkan harmonisasi bangsa dan turut serta berperan aktif dalam harmonisasi dunia. Semua dimulai dari sini, menggiatkan dialog lintas agama di sekitar kita: keluarga kita, teman-teman kita, dan lingkungan kita. Dimulai sejak sekarang, sejak detik ini, sejak Anda selesai membaca tulisan ini. Jika pemuda bertindak menuju arah yang lebih baik, maka tentu negara akan bergerak ke arah yang lebih baik.

REFERENSI 
Sumber dari buku
Agrawal, A., Throw Away Your Thoughts and Change Your Life: A Spiritual Journey, AuthorHouse, Bloomington, 2012.
Amundsen, I., Political corruption: An Introduction to the Issues, Chr. Michelsen Institute, Bergen, 1999.
Varshney, A., Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India, Yale University Press, New Haven.

Sumber dari internet: 
Armstrong, K., ‘Karen Armstrong makes her TED Prize wish: the Charter for Compassion’, TED, 2008, diakses 10 April 2012. 
Cahyono, H., J., ‘Puluhan komunitas sosial luncurkan Forum Jogja Peduli’, ANTARANEWS, 3 Maret 2013diakses 9 Maret 2013. 
Sasmita, I., ‘Pemilu 2014, Kepercayaan Rakyat ke Parpol Menyusut’, Republika Online, 20 Februari 2013, diakses 3 April 2013.

N.B:
Dibuat untuk mengikuti Lomba Karya Tulis (LKT) mengenai Dialog Lintas Agama 2013 yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Februari 2013 lalu.

17/09/13

Takemoto dan Sepedanya

Lelaki itu terus mengayuh sepedanya. Di benaknya selalu terpikir, "seberapa jauh aku bisa mengayuh tanpa melihat ke belakang?". Sebuah pertanyaan yang tak satu orang pun tahu tujuannya. Waktu berlalu sangat cepat, tahun pertama, tahun kedua, ia terus menimba ilmu di negeri bunga Sakura dengan segenap jiwanya. Ia bertemu dengan orang-orang hebat yang akan mewarnai hidupnya sekarang dan nanti. Dan juga seorang wanita yang akan mengajarinya arti cinta dan pengorbanan.

Tahun ketiga adalah tahun terakhirnya mengayuh sepeda itu. Kali ini dia tak bertanya seberapa jauh ia bisa mengayuhnya tanpa melihat ke belakang. Dia hanya terus mengayuh. Keringat dan panas matahari tak menghentikannya hingga ke ujung pulau negeri. Sebuah perjalanan yang awalnya bermula dari pelarian diri atas tugas akhir dan masalah cinta, malah membawanya ke sebuah desa kecil tempat di mana ia belajar tentang arti hidup. Dia pergi sebagai seorang bocah yang tak tahu apa-apa dan meragukan segalanya. Dia pulang sebagai lelaki yang kuat dan siap menghadapi kehidupan.

Aku ingin menjadi seperti Takemoto. Yang kuat untuk bangkit ketika dikecewakan, yang tak malu untuk menangis karena kesedihan, dan yang selalu siap membantu teman-temannya. Takemoto belajar banyak dari kehidupan kuliahnya. Meskipun ilmu yang ditimba bukanlah hasratnya, namun lingkungan membangunnya menjadi manusia yang baru. Tanpa memperdulikan masa depan, ia terus mengayuh sepedanya menuju kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan oleh dirinya maupun orang lain.

15/09/13

Raja Midas

Katakan padaku, apakah dia berdosa? Dia hanya meminta apa yang telah ditawarkan oleh dewa. Dia meminta emas, seperti yang semua manusia impikan. Dia tidak naif, tapi hanya sedikit serakah. Apakah itu hukuman? Atau itu hanyalah hiperbola para penyair Yunani yang ingin dikenang seumur hidupnya?

Midas yang senang hatinya, Midas yang terkutuk takdirnya. Kau begitu tidak beruntung di hadapan sejarah manusia dan dewa. Kau meminta tangan manusiamu agar bisa mengubah semua menjadi emas. Kau ubah piring-piring dan gelas-gelas, satu per satu dengan sentuhan yang lembut menjadi emas, tapi kau tak puas. Kau sentuh lantai dan dinding-dinding istanamu, terlapis oleh emas dalam seketika. Namun kau lupa dengan konsekuensi yang Dionysius telah tegaskan, "semua akan menjadi emas". Istri dan keturunanmu menjadi korban konsekuensi nyata sang dewa.

Apakah itu semua hanya bermula dari niat baikmu memberikan anggur terbaik untuk si pemabuk? Atau itu memang hanya lelucon buatan para dewa untuk membuatmu terkutuk? Manusia dan dewa tak ada bedanya, kita semua suka bercanda. Ah, Midas, kau adalah legenda keserakahan manusia.

13/09/13

ARK & PIF

Sekembalinya saya dari pulau Laskar Pelangi yang penuh dengan rasa kekeluargaan dan keakraban, saya kembali kepada realita dunia modern yang individualis dan egois. Kepedulian menjadi sebuah hal yang langka ditemukan bahkan di kota pelajar ini. Saya jadi teringat oleh dua film yang menggadang dua konsep solutif atas permasalahan ketidakpedulian masyarakat kota, yakni Evan Almighty dan Pay It Forward. Dua konsep yang sekembalinya saya ke Jogja saya coba terapkan.

Act of Random Kindness (ARK)
Film Evan Almighty adalah film tentang sosok nabi yang dihadirkan dalam kehidupan modern, dikemas dalam bentuk humor dan menyenangkan untuk ditonton oleh semua umur. Satu hal yang saya sorot adalah ketika sang Tuhan (Morgan Freeman) menuliskan tiga huruf, "A-R-K" yang bermakna Act of Random Kindness. Sebuah konsep kebaikan, yang dilakukan dalam situasi tak menentu/random. Intinya tidak jauh berbeda dengan ikhlas, namun momentum yang digunakan sangatlah tidak menentu.

Dalam kehidupan nyata, saya seringkali melihat pengemis, atau bahkan mahasiswa yang sedang mengumpulkan dana untuk acara. Di saat-saat seperti itu, uang yang ada di dompet kita tentunya akan kita berikan kepada salah satu di antaranya atau bahkan dua-duanya dengan pertimbangan tertentu. Mungkin melihat dari motivasi keduanya, atau bahkan dari perilaku/busana keduanya. Terkadang, kebaikan dalam memberikan bantuan materi dapat disalahgunakan. Banyak orang-orang yang meminta bantuan dana atas nama pembangunan masjid/tempat ibadah atau yayasan yatim-piatu kepada kita tetapi nyatanya tempat itu tidak ada, atau dengan kata lain kita dibohongi. Atau juga di kasus yang lain, saya pernah dimintai oleh pengemis dengan perilaku yang tidak menyenangkan dan cenderung memaksa, saya terpaksa harus membentak untuk menegaskan penolakan saya. Hal-hal semacam ini menjadi pertimbangan tersendiri tanpa mengurangi rasa ikhlas. Tentunya kita semua ingin uang/bantuan yang diberikan bermanfaat serta tepat sasaran bukan?

Pay It Forward (PIF)
Konsep kedua yang saya temukan di dalam film Pay It Forward adalah sebuah revolusi atas tindakan kepedulian. Pay It Forward bercerita tentang sebuah proyek kelas yang diinisiasi seorang guru untuk anak-anak SD yang harus dilalui sebagai syarat kelulusan. Anak-anak SD ini diminta membuat sebuah ide untuk membantu orang lain yang dapat memberikan dampak global. Satu anak berhasil membuat revolusi dengan ide Pay It Forward. Sebuah ide untuk membalas kebaikan orang lain, namun membalasnya kepada orang yang tidak sama. Kebaikan yang dilakukan tidak harus sama bentuknya, seperti contoh di filmnya, ada seorang kaya raya yang sebelumnya dibantu oleh orang lain dalam masalah antrian rumah sakit (anaknya sakit parah), kemudian membalasnya dengan memberikan mobilnya (beserta surat-suratnya) kepada orang lain ketika dia membutuhkan. Di akhir film sayangnya si anak SD yang menemukan ide ini terbunuh.

Sebuah ide membalas kebaikan yang luar biasa ini sepertinya belum bisa diterapkan tanpa kesadaran yang sama, namun ini masih dapat dimungkinkan. Ide ini dapat menjadi kolaborasi terhadap konsep ARK yang sebelumnya telah dibahas.

Tentang Ikhlas
Kondisi kehidupan kota yang semakin individualis dan egois memang perlu perbaikan tanpa merusak sisi privat. Banyak orang yang senang hidup di kota karena asas "urusanmu, urusanku", namun sejatinya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain ketika diperlukan. Memang dalam kedua konsep ini keikhlasan dipertanyakan kembali motivasinya. Sejak saya mengenal orang-orang atheis yang lebih peduli terhadap manusia atau istilahnya humanis ketimbang orang-orang beragama yang lebih memilih untuk membantu sesama penganutnya saja atau hanya orang-orang terdekatnya, saya jadi memikirkan kembali esensi ikhlas. Benarkah kita selama ini ikhlas memberikan pertolongan? Ataukah kita memberikan pertolongan karena berharap mendapat pahala di akhir zaman kelak? Bukankah itu artinya kita tidak ikhlas? Karena selama ini yang ada di benak saya, ikhlas itu artinya membantu tanpa mengharap imbalan. Kalau kata teman saya, memberikan pertolongan karena "kasihan".

Dulu guru saya pernah bercerita tentang belajar ikhlas. Beliau bilang belajarlah ikhlas dari kamar mandi. Ketika kita buang air besar, kita tidak mengharapkannya atau bahkan menginginkannya kembali ke perut bukan? Itulah ikhlas kata beliau.

07/09/13

Untuk Yang Berkerudung

Dia menatap langit yang biru dari belakang kerudungnya
Menatap cakrawala melalui matanya yang indah
Bermain dengan pasir bersama tangannya yang kelak akan membantu umat manusia

Kita menyusuri mercusuar saat awan mulai menggelap
Derap menggergap, tiap langkah menderu bangunan tua itu
Kita sampai di angka 18, menggapai puncak dunia

Terlukis senyum di wajahmu, puas langkah ini terbayar
Kita bercerita tentang dunia yang tak ada habisnya
Kita akan lupa tentang waktu yang telah lalu

Kau akan tetap di sana, di puncak dunia
Dan aku akan tetap melihatmu dalam lukisan bersama indahnya pulau Lengkuas

06/09/13

Memilih Untuk Pulang ke Jogja

Layanan pesan singkat itu sungguh mengganggu. Di tengah obrolan dengan teman-temanku, hanya pesan-pesan darinya yang menggangguku. Seperti laron yang suka dengan cahaya lampu dan datang hanya ketika hujan. Mungkin kamu bisa kusamakan dengan itu.

. . .

"Hello mom!" sapaku seperti biasa.
"Halo le. Piye kabarmu? Apik ta?" suara ibu terdengar merdu.
"Ya beginilah mom, hehe. Sehat?" kataku basa-basi.
"Iya, sehat. Adekmu ini lho makin subur. Kamu kapan pulang?" tanya ibu diiringi suara adik yang masih berumur lima bulan.
"Tanggal tiga September pulang, tapi aku langsung ke Jogja ya mom," jawabku.
"Lho kenapa? Main dulu ke Jakarta, ketemu papa, kakak-kakakmu, sama adikmu juga," ibu terus mengejarku.
"Yah, langsung masuk kuliah aku mom, maaf ya," aku berbohong.
"Ya sudah, kuliah yang benar ya, cepat lulus." ibu mengakhiri perbincangan kami.

. . .


Jogja sangat asing bagiku. Dua bulan telah berlalu tanpa dirinya. Sepertinya aku bisa melewati masa yang lebih lama tanpa dirinya. Yang sudah dikorbankan, yang hilang, hanya tinggal masa lalu dan harapan. Kita seperti bermain layangan. Menunggu dan melawan angin. Tarik dan ulur. Aku tak keberatan terluka. Tapi luka ini akan butuh tempat dalam memori hati.

Aku ingin memeluk ibuku, ayahku, kakak-kakakku, dan adikku. Cinta memang buta. Manusia memang bisa melakukan tindakan irasional. Dan aku salah satunya. Kenapa aku memilih untuk pulang ke Jogja yang palsu tanpa jaminan ketimbang Jakarta yang penuh kepastian dari keluargaku? Entahlah. Tak ada gunanya menyesal.