06/09/13

Memilih Untuk Pulang ke Jogja

Layanan pesan singkat itu sungguh mengganggu. Di tengah obrolan dengan teman-temanku, hanya pesan-pesan darinya yang menggangguku. Seperti laron yang suka dengan cahaya lampu dan datang hanya ketika hujan. Mungkin kamu bisa kusamakan dengan itu.

. . .

"Hello mom!" sapaku seperti biasa.
"Halo le. Piye kabarmu? Apik ta?" suara ibu terdengar merdu.
"Ya beginilah mom, hehe. Sehat?" kataku basa-basi.
"Iya, sehat. Adekmu ini lho makin subur. Kamu kapan pulang?" tanya ibu diiringi suara adik yang masih berumur lima bulan.
"Tanggal tiga September pulang, tapi aku langsung ke Jogja ya mom," jawabku.
"Lho kenapa? Main dulu ke Jakarta, ketemu papa, kakak-kakakmu, sama adikmu juga," ibu terus mengejarku.
"Yah, langsung masuk kuliah aku mom, maaf ya," aku berbohong.
"Ya sudah, kuliah yang benar ya, cepat lulus." ibu mengakhiri perbincangan kami.

. . .


Jogja sangat asing bagiku. Dua bulan telah berlalu tanpa dirinya. Sepertinya aku bisa melewati masa yang lebih lama tanpa dirinya. Yang sudah dikorbankan, yang hilang, hanya tinggal masa lalu dan harapan. Kita seperti bermain layangan. Menunggu dan melawan angin. Tarik dan ulur. Aku tak keberatan terluka. Tapi luka ini akan butuh tempat dalam memori hati.

Aku ingin memeluk ibuku, ayahku, kakak-kakakku, dan adikku. Cinta memang buta. Manusia memang bisa melakukan tindakan irasional. Dan aku salah satunya. Kenapa aku memilih untuk pulang ke Jogja yang palsu tanpa jaminan ketimbang Jakarta yang penuh kepastian dari keluargaku? Entahlah. Tak ada gunanya menyesal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar