31/12/14

Catatan Kecil Kantor: Batang Rokok Terakhir

"Sebats lagi ye, abis itu naik ke kantor,"
"Sebatang rokok lu sama juga dua batang rokok gue,"

Itulah kata-kata yang sering gue lontarkan ke Aldo dan dibalas olehnya. Seorang teman, rekan kerja, suami bagi istrinya, bapak dari kedua anaknya, dan anak dari kedua orang tuanya. Enam bulan sudah gue kerja bareng dengan orang-orang luar biasa dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di ruangan yang sempit, para konsultan dan admin berbagi tugas, cerita, canda, dan tawa. Kita berbagi banyak suka dan duka dalam waktu yang singkat. I share wonderful times with you all guys.

Pertama kali masuk, gue bener-bener buta tentang dunia PR, dan gue ternyata gak sendirian. Empat konsultan, semua benar-benar murni tanpa pengalaman kerja di bidang PR. Kita belajar dan saling mengajari dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan bantuan para admin dan sekretaris yang seksi, kita berhasil menembus ruang dan waktu. Pernah satu waktu kita menginap di kantor karena mempersiapkan media kit untuk sebuah acara. Kita berbagi cerita dan kemudian saling memaki nasib.

Hari ini, tinggal gue yang tersisa di kantor. Sedikit cerita mungkin bisa kali ya gue tulis tentang kalian, biar everlasting, haha. 

. . .

Billy
Kita ketemu di ruang tunggu untuk interview bareng. Setelah berbincang sedikit, ternyata orang satu ini adalah orang aseli Jogja. Di balik perawakannya yang "laki", ternyata doi juga penggiat bisnis kulit yang cinta dengan dunia fashion. Well, Bil, we have common interest! Meski kemudian kita menemui jurang pemisah mengenai etika kerja, kita bisa mengatasinya dengan dialog. Memang orang satu ini menyebalkan sekali, tapi kalo mau mencari wejangan, he is the right guy to be asked. Semoga sukses dengan bisnis lu ya Bil!

Valen
Ah, ini sekretaris seksi kesukaan gue! Paras cantik dan sifat keibuannya bakalan everlasting di memori gue. Valen adalah pejuang terlama di kantor, dia sudah melewati dua generasi. Untung udah punya pacar, kalo belum bisa gue cariin pacar juga lu Len, haha. Valen adalah "ibu" kita di kantor. Pernah suatu waktu kita berantem cuma gara-gara kursi ketuker-tuker, dan dengan sigap Valen langsung nempelin nama kita di setiap kursi, wow. Valen berani menegur para konsultan yang nakal jarang isi absen dan menjadi penyelamat kita dari marabahaya para bos, muahahaha. VALEN I MISS YOU! CEPET-CEPET NIKAH YA BIAR PUNYA BABY!

Anisa
Anisa adalah orang paling menyebalkan yang pernah gue temui: batu, cerewet, dan ambekan. Anisa adalah seorang sarjana jurusan sejarah yang lulus dengan masa studi tiga tahun, TIGA TAHUN. Aseli Garut dan masih jomblo tidak membuatnya gentar merantau ke ibukota. Sering banget nih gue berantem sama Nisa, kadang untuk hal yang besar, dan kadang bahkan untuk hal yang kecil. Pernah gue tegur doi tentang sepatunya yang berserakan dan menimbulkan bau tak sedap di kantor, dan doi pun langsung marah seharian. Well, semoga kamu dapat apa yang kamu cari di Garut ya Nis.

Aldo
This guy is awesome! Orang yang super gaul, super lucu, dan super geblek ini adalah sahabat ngerokok gue. Doi ngajarin banyak banget hal yang gak bisa gue temuin di buku-buku. Dari hal yang waras sampe yang gak waras. Apalah artinya kantor tanpa lu Do. Aldo adalah gerbang gue menuju dunia luar. Tanpa dia, gue gak akan kenal banyak orang di luar kantor. Meskipun begitu, doi adalah orang paling geblek karena kerjaannya gak pernah rapih dan secara segan pernah gue tegur. Perjalanan hidupnya adalah one of a kind, mungkin bisa lu bikin jadi novel Do, ahaha. Sukses selalu ye Do, buat acara segila mungkin!

Ivan
Ivan adalah sosok manusia gaib. Desain grafis yang sejatinya ahli foto ini jarang ngomong. Mukanya serius tapi bisa bikin sakit perut kalo udah bercanda. Ivan katanya pernah punya niatan nonjok gue, ahahaha. Orang ini sangat menolong dalam mempercantik proposal. Van, sepeninggalan lu, gak ada satupun proposal yang enak dilihat. Anyway, orang ini udah lama gak ada kabarnya. Semoga doi sukses selalu dalam menekuni passion-nya dalam fotografi. Inget, jangan kebanyakan foto cewe bugil Van.

Tia
Admin yang satu ini adalah wanita pendiam yang manis tapi ternyata juga bisa bercanda. Tia adalah orang yang kelihatannya sabar sekali. Kerjaannya selalu beres, kalo gue minta apa, beres. Support yang sangat didamba-dambakan. Kesukaannya makan mie dan yang pedes-pedes. Tia adalah pecinta lelaki berseragam, meskipun masih jomblo sampe sekarang, muahahahaha. Doaku padamu Ti, sukses selalu di tempat yang baru. Ayo diinget lagi bahasa Perancisnya, masa sarjana sastra Perancis kalah sama yang les baru dua bulan.

Yuni
Gue kenal Yuni sangat sebentar karena doi udah langsung keluar sebulan gue masuk. Yuni adalah admin yang, lagi-lagi, pendiam. Selain itu, tidak ada yang bisa dijelaskan.

Yeni
Yeah, I'm stuck in here with her. YOU GUYS HAPPY?!

. . .

Sekian yang bisa gue bagi. Tadinya gue mau mengemas tulisannya jadi sesuatu yang mellow, tapi the hell with that! Kenapa harus sedih kalo bisa happy? Semoga sukseslah kalian semua.

I have through a wonderful journey with you all. It was nice. It was......
priceless......



11/12/14

Ide Gila Mengabu-Abukan Minoritas

Kondisi geografis Indonesia membuat kita menjadi bangsa dengan ragam budaya yang sangat kaya. Sudah seharusnya kita menganut paham multikultur dan pluralisme. Namun perbedaan budaya yang muncul dan hadir di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita juga memiliki efek samping yang pastinya juga dirasakan oleh negara lain. Minoritas menjadi istilah umum yang kita dengar hampir setiap harinya, baik di media massa maupun di literatur akademik. Penanganan minoritas menjadi sangat penting mengingat kesamaan hak bagi setiap warga negara. Pemerintah dan lembaga pendidikan tidak pernah berhenti mencari akal untuk menanamkan multikultur dan pluralisme kepada setiap generasi muda bangsa Indonesia.

Permasalahannya adalah apakah kita sudah benar-benar mengerti apa yang dimaksud dengan istilah multikultur, pluralisme, ataupun minoritas? Kaum-kaum terdidik selalu memasukkan istilah-istilah ini ke dalam perbincangan mereka sehari-hari, cas cis cus membicarakan keadaan negara yang katanya memiliki lebih dari 100 ragam budaya ini. Kata-kata yang terungkap terkadang hanyalah kesombongan semata karena bisa membaca literatur dari bahasa lain atau sekedar bisa masuk ke universitas bergengsi di dalam maupun luar negeri. Kata-kata yang terlontar hanyalah sepintas kata tanpa makna.

Apa itu multikultur dan pluralisme? 
Saya akan memberikan contoh sederhana yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari. Kita datang ke sebuah tempat ibadah bersama teman kita yang berbeda agama. Ketika saya ingin beribadah kemudian ditanya oleh orang lain, "Mas, temennya ga ikut ibadah juga?", lalu saya menjawab, "Oh, dia agamanya beda, mas," itu disebut multikultur. Ketika orang itu tahu bahwa teman saya berbeda agama, dia tidak memaksa teman saya untuk beribadah dengan caranya, maka itu disebut pluralisme. Multikultur adalah sebuah pengakuan terhadap perbedaan orang lain. Bahwa "mereka" berbeda dengan "kita". Namun multikultur tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pluralisme. Pluralisme sendiri memiliki makna sebagai penghargaan atas adanya perbedaan. Multikultur tanpa adanya pluralisme hanya menciptakan perdamaian semu antara etnis, ras, ataupun pemeluk agama yang berbeda. Di tengah-tengah itulah lahir toleransi.

Kembali ke permasalahan minoritas, masyarakat Indonesia pada umumnya hanya mengenal minoritas dalam arti kuantitas atau jumlah, padahal arti minoritas lebih luas dari itu. Minoritas bisa berarti sekelompok individu yang tidak memiliki hak yang sama dengan yang lain, ada represi, atau tekanan yang berlebih kepada mereka, hanya karena mereka berbeda. Selama ini pembahasan minoritas di Indonesia berputar di isu orang-orang "Cina" dan orang-orang "Kristen". Sepertinya makna minoritas menjadi sesempit, "Minoritas itu ya Cina, minoritas itu ya Kristen". Sampai-sampai Presiden SBY melarang penggunaan kata-kata Cina dan menggantinya menjadi Tiongkok karena konotasi negatif yang melekat di kata Cina.

Mengabu-abukan Minoritas
Saya percaya bahwa seluruh lapisan masyarakat sudah berusaha begitu keras untuk menegakkan multikultur dan pluralisme. Sejak kita kecil kita diberitahu bahwa kita hidup dengan keberagaman budaya, kita diajarkan untuk menghargai perbedaan, namun apakah itu semua sudah cukup? Satu hal yang saya ingin sampaikan pada kesempatan ini sebenarnyan adalah sebuah ide, pendapat, opini gila yang terlintas di benak saya setiap kali mendengar kata minoritas. Saya melihat minoritas dari kacamata mayoritas selalu dari sisi multikultur dan pluralisme. Namun masih banyak sekali kejanggalan yang saya temukan dalam usaha saya meleburkan minoritas.

Apakah mengakui dan menghargai minoritas sebatas kewajiban bagi kita? Bahwa kita memberikan mereka ruang untuk berkembang tanpa ada usaha bagi kita untuk meleburkan mereka menjadi bagian dari kita? Kasus yang saya temukan dari "sekedar" mengakui dan menghargai minoritas adalah terciptanya eksklusivitas yang berlebih bagi mereka. Padahal, multikultur dan pluralisme hadir dengan harapan terciptanya toleransi. Toleransi itu sendiri memiliki banyak arti, dan pada akhirnya akan jatuh kepada choice (pilihan). Memberikan kebebasan memang merupakan tindakan yang paling romantis di kehidupan, maka dari itu pilihan tersebut harus tetap dijaga agar selalu ada, bukan hanya berujung kepada keterpaksaan.

Ketika ada dua perbedaan: A dan B, keduanya saling mengakui dan menghargai adanya perbedaan, yang terjadi memang penghilangan suatu sekat di antara keduanya, namun masih menyisakan batasan. Yang A tetap akan dengan yang A, yang B tetap akan dengan yang B, tidak boleh ada penyeberangan. Penyeberangan inilah yang saya coba modifikasi untuk menjadi satu leburan baru. Leburan A dan B, yakni C. Usaha untuk melebur keduanya inilah yang saya namakan mengabu-abukan minoritas. Bayangkan, sebuah komunitas, negara, tanpa adanya pengertian minoritas, ketika semua menjadi satu tanpa adanya batas keberagaman atau keberagaman yang membatasi, maka satu-kesatuan unity menjadi sempurna.

Saya tidak berusaha untuk mengaplikasikan kegilaan saya ini kepada orang lain, tapi saya hanya berusaha untuk tetap menghadirkan pilihan tersebut ada. Pilihan untuk tetap menjadi A, B, ataupun C harus terus dijaga. Dari situlah negara memegang peranan penting sebagi pemerintah, pengatur kehidupan masyarakat, sebagai penjaga pilihan.

08/12/14

Kenapa Harus Selalu Jokowi?

Malam itu sebuah acara di saluran televisi swasta sedang membahas mengenai pembebasan Pollycarpus selaku pihak pelaku dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Tidak lama kemudian pembahasan mengarah kepada bagaimana hukum "dimainkan" di Indonesia. Lagi-lagi, konklusinya berakhir di "Jokowi harus memperkuat institusi penegak hukum". Padahal banyak asisten Jokowi yang bisa melaksanakan tugas ini, Kapolri misalnya.

Selepas acara itu, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya adalah "mengapa harus selalu Jokowi?"

Saya jadi ingat beberapa waktu lalu ketika saya masih berada di Yogyakarta, saya sempat bertukar pikiran dengan seorang sahabat. Mengapa orang-orang Jakarta selalu menyalahkan kondisi Jakarta kepada Jokowi yang terlihat tidak melakukan perubahan di masa jabatannya sebagai Gubernur? Jika kita tarik kembali benang merah kondisi perkotaan di Indonesia, maka kita telah mendapatkan banyak suri tauladan yang baik seperti Walikota Surabaya dan Bandung, ibu Risma dan pak Ridwan Kamil. Dari sana kita bisa melihat bagaimana peran Walikota bisa merubah segalanya. Saya tidak pernah mendengar bagaimana orang-orang Bandung protes terhadap Gubernur Jabar, ataupun orang-orang Surabaya dengan Gubernur Jatim mereka. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah "apakah orang-orang Jakarta tidak tahu bahwa mereka memiliki Walikota?"

Sekarang Jokowi sudah menjadi seorang Presiden. Presidennya wong cilik, bukan keturunan pejabat, apalagi politisi handal. Jokowi hanya seorang pengusaha dari Solo yang sederhana kemudian dengan bantuan "keajaiban" bisa duduk di kursi orang nomer satu di Indonesia. Apa yang membuat Jokowi begitu berbeda? Mengapa Jokowi begitu fenomenal, dipuja tapi juga dibenci? Argumen saya simpel, karena dia dikenal sebagai orang yang mau mendengar dan mau merespon.

FoE dan FoR
"Dasar anak muda, kamu itu ngeyel terus," begitulah kira-kira bagaimana bos saya menghentikan ke-sok-tahuan saya di kantor. Sebagai anak muda yang masih berapi-api, saya begitu semangat meluapkan pengetahuan saya kendati tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Orang-orang yang pandai berbicara memang jelas memiliki kelebihan. Untuk dapat berbicara, membalas perbincangan dengan baik, kita harus memiliki apa yang disebut sebagai FoE dan FoR mengenai isu yang sedang diperbincangkan.

Apa itu FoE? FoE adalah Field of Experience yang jika dibahasa Indonesiakan berarti kumpulan pengalaman kita mengenai isu yang sedang diperbincangkan. Istilah "hormati yang tua" tidak lepas dari pembahasan FoE. Umur selalu diidentikkan dengan pengetahuan yang luas. Meski tidak selalu benar, tapi pengalaman memang tidak bisa disangkal merupakan guru terbaik. Umur tidak pernah berbohong dalam membahasakan pengalaman. Dengan keberagaman hidup yang dialami semua manusia, sebuah kemustahilan kita bisa mengetahui pengalaman apa saja yang sudah dilalui seseorang. Siapa yang tahu bahwa seorang Kyai Haji dulu pernah menjual narkoba atau sebaliknya, seorang pencuri yang ternyata hanya berusaha menghidupi anak dan istrinya?

Apa itu FoR? FoR adalah Field of Reference yang jika dibahasa Indonesiakan berarti kumpulan pengetahuan kita mengenai isu yang sedang diperbincangkan. "Buku adalah jendela dunia" katanya, dan itu benar seada-adanya. Hanya dengan membaca kita bisa mengetahui pengalaman puluhan tahun seseorang atau mengetahui hasil penelitian yang bisa memakan seumur hidup usia seseorang. Buku mengakselerasi pengalaman kita yang tadinya butuh waktu lama menjadi sangat singkat. Tentu benar adanya orang yang membaca banyak buku juga memiliki banyak pengetahuan layaknya pengalaman.

Ketika kita berbincang dengan seseorang, secara sadar maupun tidak sadar, kita pasti akan menggunakan salah satu atau keduanya. "Dulu gue pernah...," atau "dulu gue baca di buku ini...," sering terucap di bibir kita. Kita selalu berusaha untuk berbicara dengan dasar yang kuat, dan dasar itu kita dapatkan baik dari FoE maupun FoR yang tadi secara singkat saya jelaskan sebelumnya.

Semua Serba Jokowi
Lalu apa kaitannya dengan Jokowi? Mengacu kepada argumen saya, Jokowi adalah orang yang dipercaya sebagai seorang pendengar yang baik dan mau merespon informasi yang dia terima serta mengkombinasikannya dengan informasi yang dia miliki menjadi sebuah aksi. Kita pasti juga pernah bertemu dengan orang-orang seperti Jokowi, baik itu sahabat kita, keluarga, atau psikiater. Kita memerlukan orang-orang yang mau mendengarkan kita. Sekedar mendengar saja sudah senang, apalagi jika permintaan kita dikabulkan bukan? Bayangkan Anda sedang ingin sekali suatu barang, Anda ceritakan dengan pasangan Anda, kemudian suatu hari dia membelikannya untuk Anda. Senang bukan kepalang pastinya!

Kebanyakan politisi lupa bahwa mendengar adalah salah satu cara paling efektif untuk memperkuat FoE ataupun FoR kita. Jangankan politisi, saya pribadi sangat sulit untuk mendengarkan orang lain. Saya lebih suka berbicara, karena saya merasa paling tahu dan saya ingin orang lain mengikuti perkataan saya, bukannya membuat sebuah dialog yang kondusif untuk mencari jalan tengah yang dapat saling menguntungkan.

Saya acungkan keempat jempol saya untuk Jokowi karena tidak pernah lelah blusukan untuk hanya sekedar mendengar keluh kesah rakyatnya. Kita terlalu sibuk mencari orang untuk beraksi demi kita, tapi kita lupa bahwa orang itu tidak akan beraksi untuk kita jika ia tidak mau mendengarkan kita. Indonesia kekurangan pemimpin yang mau mendengar. Cukuplah sudah kita berteriak keras-keras memprotes ini dan itu. Sudahkah kita menjadi pendengar untuk lingkungan kita? Jika sudah, maka jadilah penggerak aksi, tidak usah menunggu orang lain apalagi pemerintah. Pemerintah sudah cukup banyak kerjaannya. Mari belajar jadi masyarakat mandiri.

Sebagai penutup, saya ingin menitip pesan baik untuk diri saya sendiri maupun untuk Anda, jadilah pendengar yang baik. Kita lebih dulu belajar mendengar sebelum belajar berbicara bukan?