23/01/14

Economic Hit Man

Sebenarnya tulisan ini saya maksudkan untuk menjadi usaha pertama saya untuk melakukan review terhadap buku yang sudah saya baca. Sudah sejak lama saya mengumpulkan niat untuk menuliskan review buku-buku yang sudah saya baca, namun memang rasa malas ini ada saja alasannya untuk mengahalangi niat saya. Baiklah, review saya kali ini mengambil buku "Confessions of An Economic Hit Man" karya John Perkins yang baru saja saya selesai baca dua hari yang lalu.

Hit Man?
Pertama kali saya berniatan untuk membeli buku ini sebenarnya datang dari seorang teman kos saya, Bara. Seperti biasa saya sering bertanya kepada orang-orang yang suka membaca, buku apa yang bisa dia rekomendasikan kepada saya. Buku inilah yang kemudian Bara sarankan kepada saya. Saat mendengar judulnya, terlintas di pikiran saya mengenai arti Hit Man. Apa sebenarnya arti Hit Man? Saya hanya pernah mendengar istilah tersebut dari sebuah game PC mengenai seorang pembunuh bayaran. Lalu dengan dibumbui Economic, apakah artinya buku ini akan bercertita mengenai pembunuh yang bergerak dalam bidang ekonomi? Yap, pikiran dangkal saya hanya bisa mengantar saya hanya sampai di titik itu sebelum saya membuka lembaran pertama dari buku karya John Perkins.

Economic Hit Man (EHM), seperti yang ditulis oleh John Perkins, adalah seorang profesional yang dibayar tinggi untuk mencurangi negara-negara di dunia dalam jumlah milyaran dollar. Mereka menggunakan laporan keuangan, pencurangan pemilihan umum, ekstorsi, seks, dan pembunuhan sebagai cara mereka mencapai tujuan. Sebuah definisi yang sangat mengerikan untuk sebuah istilah, bukan? John Perkins menyadari bahwa selama lebih dari 30 tahun masa produktifnya telah dihabiskan untuk mencurangi negara-negara berkembang agar jatuh ke tangan ekonomi dunia atau saya bisa menyebutnya kerajaan Amerika Serikat (John Perkins menyebutnya sebagai American Empire) dengan cara membuat mereka berhutang. Dengan begitu akan mudah bagi Amerika Serikat mengambil "pound of flesh" dari setiap negara-negara yang telah bangkrut karena jumlah hutang yang tak mungkin dapat dibayar dengan cara mengambil kekayaan alam atau sumber daya manusia negara-negara tersebut dengan harga murah atau bahkan gratis.

Buku ini bercerita menggunakan sudut pandang orang pertama, yakni John Perkins itu sendiri sebagai seseorang yang secara sadar betul (karena di tengah cerita, John Perkins menceritakan bagaimana sistem EHM telah berkembang dan membuat seseorang tidak sadar bahwa dia adalah seorang EHM untuk meminimalisir pergolakan jiwa seperti yang ia hadapi) melakukan perannya sebagai salah satu EHM paling berbahaya di dunia. John Perkins menceritakan pengalamannya secara detail mengenai bagaimana perjalanannya menjadi seorang EHM. Dari masa kecilnya, kehidupan remaja, lika-likunya dengan NSA, hingga akhirnya membawa dia menjadi seorang EHM di sebuah perusahaan Amerika Serikat.

Misi Pertama, Indonesia
Salah satu bab yang paling saya sukai dan paling mengagetkan saya adalah mengenai misi pertamanya di Indonesia. Dalam bukunya dia menulis "Indonesia: Lessons for an EHM", satu bab yang menceritakan pengalaman misi pertamanya sebagai EHM. Indonesia yang di buku itu diceritakan sedang dalam masa pemerintahan Soeharto, menjadi potensi bagi Amerika Serikat untuk dijadikan korban. Negara kita terkenal dengan kekayaan alamnya sejak zaman Majapahit, ditambah lagi dengan jumlah populasi penduduknya yang besar dapat dijadikan target pasar atau bahkan buruh murah.

John Perkins berangkat ke Indonesia belum sepenuhnya sebagai EHM. Misi pertamanya sebenarnya sangatlah mudah, yakni membuat laporan mengenai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 25 tahun ke depan. Dia pergi sebagai peneliti lapangan, belum sebagai EHM. Laporan tersebut kemudian akan disampaikan kepada bosnya agar dapat dijadikan basis mengapa Indonesia perlu atau berpotensi untuk diberikan hutang (hutang di sini memiliki arti untuk memberikan bantuan pinjaman uang, pembangunan infrastruktur, transfer of knowledge, hingga pengiriman para ahli untuk membantu pembangunan bangsa) dan kemudian diharapkan dapat diambil "pound of flesh"-nya 25 tahun mendatang.

Yang unik dari bab ini bukan hanya target operasinya yang berlokasi di Indonesia, namun juga mengenai konflik batin atau pergolakan jiwa John Perkins dalam tahap awalnya menjadi EHM. John Perkins merupakan tipe orang yang suka bergaul atau taruhlah suka bersosialisasi. Dia sangat terbuka atas informasi apapun yang sekiranya dapat membantunya. Negara kita yang terkenal dengan keramahannya meninggalkan kesan yang tidak mudah baginya. Sewaktu berada di Indonesia, John Perkins berteman dengan beberapa mahasiswa yang ramah dan sering mengajaknya untuk lebih mengenal Indonesia. Konflik batin mulai muncul ketika keramahan tersebut mengusik moralitas serta tanggung jawabnya sebagai EHM untuk mencurangi Indonesia, atau kasarnya membawa Indonesia kepada kehancuran melalui kebagkrutan negara. Dia, seperti banyak EHM lainnya, mulai membuat keputusan penting di misi pertamanya ini. Dia mulai mengafirmasi tindakannya sebagi suatu hal yang benar karena dia melakukannya untuk kepentingan negara, membawa bangsanya menuju kemajuan.

Kisah Nyata atau Fiksi?
Yang terlintas pertama kali setelah membaca buku ini adalah, apakah cerita ini nyata? Saya membagi pemikiran ini kepada beberapa teman, dan memang banyak yang berkata bahwa buku ini tidak sepenuhnya benar. Namun, saya tidak berhenti sampai di sana. Footnote-footnote yang digunakan John Perkins sangat menyakinkan, data-datanya visible dan bisa diakses. Setelah mencari konfirmasi atas kebenaran keberadaan John Perkins dan ceritanya di internet, saya mendapati kenyataan yang pahit sekaligus melegakan. Cerita buku ini ternyata memang terjadi, John Perkins memang terdaftar di perusahaannya, artikel-artikel yang memuat tentang lika-likunya sebagai EHM ada dan terarsipkan.

Memang ketika membacanya, terkesan sangat konspiratif dan sangat berpihak kepada John Perkins (yang pada akhirnya merasa bersalah dan berusaha membayarnya dengan membuat buku ini), namun buku ini meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi saya. Keberadaan EHM memang benar-benar ada, bangsa kita telah masuk ke dalam perangkapnya, dan tidak banyak yang bisa kita lakukan atas hutang-hutang tersebut. John Perkins memang memberikan banyak cara untuk menghadapi EHM di akhir bukunya, namun untuk skala pejabat negara memang diperlukan keberanian untuk membuat keputusan yang kontroversial. Saya baru menyadari bahwa kita sudah masuk dalam era baru EHM yang lebih berbahaya dari zaman John Perkins.

Pada akhirnya, buku ini membawa saya kepada pertanyaan moral seperti yang dirasakan oleh John Perkins. Apakah kita ini punya hak sebegitu besarnya untuk menghancurkan negara orang lain untuk kepentingan kita sendiri? Apakah kita sebegitu liciknya untuk mencapai tujuan kita? Apakah menjadi kaya adalah satu-satunya cara untuk dapat bahagia di dunia yang semakin materialistis ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat saya jawab, dan akan menjadi pekerjaan rumah kita masing-masing. Buku ini sangat recommended bagi siapapun saya rasa. Masyarakat negara-negara maju saya rasa sudah mengalami shock effect yang cukup setelah terbitnya buku ini, namun saya masih ragu dengan masyarakat Indonesia. "Boro-boro baca/beli buku, wong makan saja susah mas" kata-kata tersebut mungkin yang akan sering saya dengar jika kita mulai mempromosikan buku ini.

20/01/14

Generasi "Y"

Isabel, kita telah sampai pada suatu masa yang penuh tanya. Generasi "Y" kata para pendahulu kita, kata para kakak-kakak kita. Kita bertanya-tanya dalam kesesatan. Kesesatan yang kita buat-buat. Kesesatan yang kita imajinasikan. Kita membuatnya seolah benar-benar nyata, seolah benar-benar terjadi. Kita kemudian mempercayainya sebagai sebuah kultus. Sebuah kejadian traumatis diri yang rasanya perlu dibagikan kepada orang lain. Menuliskannya, menggambarkannya, seolah ingin berbicara dengan keras, "Ini lho aku! Lihat masalah-masalahku!"

Kenapa kita menjadi seperti itu? Apakah ini semua akibat ketiadaan tragedi atas dunia? Ataukah memang tiada lagi yang berarti selain diri sendiri? Mengapa kita tersesat oleh jalan pikiran kita sendiri?

"Lihat buku-buku itu, juh!" kata seorang teman. Kita tak bisa lagi berbicara seperti generasi pendahulu kita saat perang dunia terjadi. Kita tak bisa lagi bertanya-tanya tentang bagaimana caranya bangkit membangun hidup, bangkit membangun kenyataan. Apakah karena kita simply tidak menderita? Kita tak lagi bertanya-tanya tentang bagaimana dunia akan berputar seperti saat perang dingin terjadi. Kita tak lagi mencoba meraba-raba masa depan. Yang ada sekarang kita tersesat.

Rasanya kita hanya berpikir tentang cinta yang tak terlihat. Tentang penderitaan diri yang tak berhasil menuai simpati. Membicarakan masalah-masalah jati diri yang tidak memberikan solusi. Kita lebih waspada dan perhatian terhadap diri sendiri, tidak ada orang lain sepertinya di dunia ini. Kita berlomba-lomba mengukir kata yang indah untuk sebuah penderitaan. Mencari celah-celah di hati yang mudah diombang-ambing ini.

Bertukar pikiran rasanya sulit sekali. Semua memiliki referensi yang berbeda, kacaunya lebih banyak yang memilih untuk bertukar pikiran dengan diri sendiri ketimbang dengan orang lain. "Ini buku gue banget!", menjadi landasan dasar retorika berpikir kita. Kalo tidak sama, tinggal saja. Lawan debat bukan lagi menjadi teman berpikir, tetapi menjadi musuh ideologi abadi.

Generasi "Y" kata mereka. Apakah iya kita ini hanya bisa bertanya tanpa bisa memberi jawaban? Dunia apakah benar-benar sudah berhenti? Ataukah kita hanya bisa menunggu ada kejadian besar, yang lagi-lagi, bukan generasi kita yang menjadikannya nyata. Kita benar-benar tersesat, Isabel. Aku tak mau menjadi bagian dari itu. Aku ingin terus membaca buku dan membagikannya dengan yang lain, dengan dirimu. Aku tak mau tersesat dengan pikiranku sendiri. Atau sekedar dengan naif berkata, "Membaca buku ini mungkin bisa memperbaiki diriku". Tidak, Isabel. Selamatkan aku! Selamatkan aku dari kesendirian, dari buku yang memenjarakan aku dalam ruang gelap tanpa cahaya nurani bernama kamar.

11/01/14

Rentan

Tangannya berkeringat, matanya sendu, dan hatinya ragu setelah menerima telepon. Bingung untuk bercerita, malu untuk meminta tolong, adalah kemanusiawian yang sering kita alami di dunia yang semakin individualis. Sekitar jam dua malam ia memberanikan diri mengetuk pintu bernomor tujuh itu. Dengan perasaan yang campur aduk, ketiadaan pilihan, dan keterdesakan, dia akan menerima semua konsekuensi atas apa yang akan dia lakukan ini.

. . .

Lelaki itu telah berusia mungkin sekitar 30an sekarang. Dia telah lama memutuskan untuk meninggalkan desa kelahirannya, merantau ke ibukota yang katanya mengabulkan mimpi-mimpi mereka yang mencari rezeki. Bermodalkan ijazah SMP tak banyak yang bisa dia harapkan dari janji manis ibukota.

Perbaikan jalan dan pembangunan gedung-gedung tinggi menghiasi wajah ibukota. Bertanya dari satu orang yang tak dikenal hingga orang tak dikenal lainnya demi mengharap mendapatkan pekerjaan yang bisa memberikannya rezeki halal telah membawanya menjadi seorang buruh bangunan. Tak terlalu besar, namun gajinya cukup untuk menghidupinya hari ke hari. Mengisi perutnya yang kosong dengan sedikit nasi, dan ayam mungkin jika dia cukup beruntung mendapat panggilan di sebuah proyek besar. Kos adalah pilihan paling cerdas untuk bertahan hidup.

"Apalah enaknya hidup di ibukota," pikirnya setelah hidup berbulan-bulan dengan kondisi ekonomi yang tidak membaik namun malah cenderung memburuk. Sejatinya dia enggan meninggalkan desanya yang ramah, yang komunal, dan saling mengenal. Namun nasib berkata lain.

Cintanya yang tak disambut baik oleh sang mertua karena masalah ekonomi membuatnya memberontak dari desakan sosial. Dengan gigih ia mengejar cintanya, ia akhirnya berhasil memenuhi sunah nabi. Hati manusia memang tidak pernah ada yang tahu, hingga suatu hari ia harus menghadapi konsekuensi perbuatannya. Baru ia sadar sang istri memiliki kelainan jiwa. Setiap kali ia membuat belahan jiwanya marah atau sekedar kecewa, ia akan menerima luka. Luka fisik yang pikirnya tak akan sebanding dengan dua buah hatinya. Mulai dari memar, hingga luka sayatan pisau. Akhirnya ia menyerah kepada keadaan, ia menceraikannya. Sayang takdir kembali mengujinya, pengadilan memutuskan dua buah hatinya akan diasuh oleh sang belahan jiwa. Hancur sudah harapan, mimpi, dan hidupnya. Maka, ibukota menjadi pelarian.

. . .

"Ada apa, mas?" pemuda itu membuka pintunya.

"Maaf, mengganggu, tapi boleh saya minta waktu sebentar?" tanyanya.

"Oh, boleh! Silahkan masuk." pemuda itu mempersilahkannya masuk ke ruang seluas 3x4.

"Anak saya sakit, kata dokter kena paru-paru basah," ia mencoba menahan emosinya. "Kemarin sudah dirawat tiga hari, saya pikir sudah bisa pulang, tapi ternyata malah harus masih dirawat," kepalanya menunduk ke bawah. "Saya sudah kehabisan uang, mas. Biayanya membengkak, rawat inap, obat, dan belum lagi kontrol setelah pulang ke rumah," sang pemuda mulai mendapatkan maksudnya. "Kalo saya boleh, saya mau meminjam uang yang dulu mas janjikan kalo saya perlu bantuan," akhirnya keluar kata-kata itu dari mulutnya. Perasaannya lega, meski ia tahu tidak ada kepastian sang pemuda memiliki uang yang telah ia janjikan sebulan sebelumnya untuk perihal kemanusiaan seperti ini.

"Oalah, sebentar ya mas, saya ambilkan dulu. Tapi saya hanya punya sedikit," pemuda itu menyatakan ketidaksempurnaannya.

"Gak apa, asal mas ikhlas, saya sudah sangat berterima kasih," katanya. 

"Ini mas. Semoga anak mas lekas sembuh ya," sang pemuda memberikan uangnya tanpa meminta kepastian darinya untuk mengembalikan. Baginya rezeki adalah pemberian Tuhan, manusia hanya bisa berusaha. Untuk kebaikan, uang akan kembali, itu prinsipnya.

Malam itu dingin dan sang surya masih terlelap, lelaki itu mengenakan jaketnya dan menaiki motor bebek tuanya menuju desa kelahirannya. Dengan harapan dan doa-doa dipanjatkan kepada sang Ilahi, ia berangkat menghadapi kenyataan.

05/01/14

Ramalan Sang Menara

"Tik... Tok... Tik... Tok..." bunyi dentangan jam tangan Christopher membuat lamunannya menjadi-jadi. Sudah setengah jam sepertinya ia melamunkan momen yang baru dua hari ia lewati itu. Tugasnya di tanah kaum Gipsi telah berakhir, dan siang ini harusnya dia telah berada di kamar apartemennya yang hangat dan nyaman. Langit sedang tidak dalam mood yang baik dan memaksa para penumpang pesawat di bandara menunggu, termasuk Christopher. Ia kemudian kembali merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu tarot bertuliskan The Tower. Mungkin sudah kesekian kalinya ia melihatnya di tengah penantian cuaca yang tak kunjung membaik. Melihat kartu itu kembali membuat lamunan dan ingatannya menjadi satu: tentang sebuah ramalan.

. . .

Aku akan menceritakanmu sebuah rahasia yang mungkin tidak akan menjadi rahasia lagi. Tentang hal-hal tabu yang orang-orang modern bilang tak pantas untuk dipercayai atau hanya untuk sekedar dipertimbangkan. Tentang hal-hal yang oleh orang-orang yang mengaku berpendidikan sebagai suatu omong kosong tak berakal.

Malam itu seharusnya aku bertemu dengan seorang klien untuk urusan pekerjaan. Tepat jam delapan malam aku tiba di restauran yang tak terlalu ramai, tempat kami berjanji untuk bertemu. Restauran yang dihiasi oleh ornamen-ornamen kuno berwarna hitam dengan dinding-dinding yang didominasi warna hijau, serta penerangan yang tidak optimal memberi kesan 'mengerikan' jika aku boleh mengatakan. 

Sebagai seorang dewasa yang profesional adalah sebuah kewajiban untuk datang tepat waktu dalam urusan bisnis, namun entah apa yang dipikirkan oleh klienku ini sehingga membuatnya datang satu jam lebih lambat. Anehnya, dia datang tidak dari pintu utama restauran seperti yang kulakukan. Dia turun dari tangga pojok restauran yang tidak diperbolehkan untuk umum.

"Maaf ya saya terlambat, urusan saya ternyata belum bisa selesai seperti yang saya rencanakan," sapa orang itu sambil menjabat tanganku.

"Seharusnya Anda mengabari saya jika Anda akan datang terlambat," balasku tegas.

Perbincangan bisnis kami berjalan lancar tanpa ada masalah yang berarti. Aku menutupnya dengan tanda tangan klienku diatas kertas perjanjian.

"Anda sudah menikah?" tiba-tiba klienku bertanya. Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Aku menggeleng perlahan sambil tersenyum. "Pekerjaan Anda sepertinya sudah mumpuni untuk membangun bahtera rumah tangga," lanjutnya sambil mengernyitkan dahi. "Saya sebenarnya sudah disini dua jam lebih dulu dari Anda, namun waktu belum pas untuk kita berbicara bisnis. Begitu kata dia," klienku berdiri dan memberiku jabatan tangan. "Cobalah ke atas, dan jika dia bertanya, bilang saya yang memintamu kesana. Anggap saja sebagai rasa terima kasih sudah mau datang jauh-jauh ke sini," katanya mengakhiri pertemuan kami dengan misteri.

Sambil membereskan dokumen-dokumen di atas meja, pikiranku terbang menuju tangga di pojok restauran yang bertuliskan 'dilarang naik'. Kata-kata klienku mengganjal di benakku dan sudah terlanjur membawa kakiku ke lantai dua restauran itu. Sebuah pintu hitam menantiku dengan gagang emas yang memiliki ukiran indah. Pintu itu terbuka persis sesaat sebelum aku mengetuknya. Seorang wanita dengan ikat kepala khas Gipsi menyapaku.

"Silahkan masuk," katanya cepat tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara.

Berbeda dengan restauran di lantai satu, ruangan ini jauh lebih terang dengan warna dinding cerah mengelilinginya. Ruangan sebesar 3x4 itu hanya berisikan satu lemari buku yang penuh dengan buku-buku tentang ramalan dan dua tempat duduk berhadap-hadapan yang dipisahi oleh sebuah meja kotak kecil dengan kain hijau menutupinya. Jendela dengan tirai berwarna hitam terbuka di pojok ruangan membawa masuk angin malam yang dingin.

"Kamu cuma punya waktu dua jam untuk bertanya, dan akan dimulai dari pertanyaan pertamamu," wanita itu duduk sambil menyalakan rokok.

"Anda peramal?" tanyaku penuh keraguan.

"Haha... Pertanyaan pertama yang bagus! Berarti hitungan waktu sudah dimulai!" tangannya mengambil kartu tarot yang ada di atas meja dan mengacaknya. "Ya, aku seorang peramal," lanjutnya sambil mempersilahkanku duduk. "Jangan kaget. Aku tak suka dengan ruangan gelap, kesannya terlalu 'mistis'," dia menghisap rokoknya sambil tersenyum. "Silahkan, tanyakan apa yang ingin kau tanyakan,"

"Bagaimana masa depan karirku?" tanyaku. Aku masih belum bisa berpikir pertanyaan lain selain diriku. Wanita itu kemudian mengisyaratkanku untuk mengambil tiga kartu dengan jari-jarinya.

"Hmm, lumayan. Kamu punya tingkat rezeki di kisaran 70 dari 100. Angka yang bagus," wanita itu mulai menerjemahkan ketiga kartuku. "Kamu orang yang memiliki ambisi. Itu bagus, tapi selesaikan dulu satu-satu, jangan serakah," lanjutnya. "Jangan terlalu sering menghabiskan uangmu untuk hal tidak penting seperti sepatu dan pakaian, tabunglah untuk ambisimu yang berikutnya," dia menutup ketiga kartuku dan menaruhnya di luar kumpulan kartu yang lainnya. "Ada lagi?"

"Tebakan wanita ini bagus juga," pikirku. Maklum, dengan tingkat pendidikanku sudah seharusnya aku tidak terlalu terbawa dengan permainan kartu tarot ini. Kupikir ini hanya tebakan yang beruntung saja. Tapi perjumpaan yang tak pernah direncanakan dan tanpa perkenalan ini membuatku penasaran dan ingin melanjutkannya. "Bagaimana kabar ayah dan ibuku?" aku melanjutkan pertanyaan. Sekarang wanita itu menyuruhku mengambil empat kartu.

"Orang tuamu pekerja keras. Hidup mereka tidak pernah lepas dari pekerjaan, suatu hal yang positif. Rezeki terus mengalir dan sepertinya ada celah untukmu masuk. Tidak tertarik untuk melanjutkan bisnis keluarga?" tanyanya di tengah penjelasan. Aku menggeleng ragu. "Belum ya sepertinya, tapi akan. Coba kita lihat ibumu. Ah! Sedang berbahagia karena anggota keluarga baru ya? Selamat!" sekarang dia menjabat tanganku. "Sekarang kita lihat ayahmu, hmm... Dosa lama telah terampuni, sekiranya begitu menurutku, usahanya sudah cukup keras untuk menebus dosa-dosanya," katanya sambil menatap mataku. "Ada lagi?"

Sekarang otakku mulai berpikir irasional. Wanita ini seperti membuka bajuku hingga telanjang! Dia melihat orang tuaku seakan mereka ada di depannya. Aku tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menggeleng-geleng takjub. Wanita itu tersenyum melihatku. "Hubungan asmaraku, bisakah kau melihatnya?" aku tidak bisa menahan pertanyaan ini. Pertanyaan yang mungkin sudah 1000 pasang kekasih tanyakan setiap kali mereka pergi ke para peramal. Tapi tetap saja aku tidak bisa menahannya.

"Sebegitu beratnyakah?" tiba-tiba wanita itu berbicara sambil mengecek wajahku. "Kita coba ya, ambil enam kartu," perintahnya aku turuti. Dia mulai membukanya satu-satu. "Ambil lagi satu," kembali aku turuti. "Satu lagi," perintahnya lagi membuatku semakin penasaran.

"Kisah cinta yang indah. Kalian sangat bahagia menjalani hubungan kalian. Sama-sama merasa nyaman ya. Namun masalah sangat besar menanti kalian dan sangat pasti menahan kalian dari jenjang yang lebih serius. Lihat kartu ini," dia menunjukkan kartu dengan gambar seseorang memasuki hutan. "Hutan ini akan sangat menyesatkanmu, membawamu kepada keraguan, tapi kamu akan bertahan, pasti," wanita itu memijat kepalanya sendiri. "Tapi malapetaka menantimu di ujung hutan, sang menara akan membawamu pada keputusasaan," sekarang dia menunjukkan kartu dengan tulisan 'The Tower'.

Aku berusaha mencerna apa yang telah diterjemahkan. Tapi aku masih merasa kurang dan masih ingin mencari tahu apa sebenarnya yang akan menjadi penahan serta malapetaka bagiku. "Bisakah ini berakhir dengan indah?" tanyaku.

"Bisa, tapi sungguh sulit. Hanya segelintir orang yang mampu merubuhkan sang menara," wanita itu menatapku dengan tatapan simpatik. "Sungguh malang jiwa muda yang tampan," dia mengelus pipiku.

"Aku ingin melihat orang tua kekasihku," tanyaku memberanikan diri. Wanita itu tersenyum dan menyuruhku mengambil enam kartu.

"Sebuah masa lalu yang sulit telah dijalani, namun dosa-dosa yang lalu belum pernah ditebus secara tuntas. Sekarang api kecil sedang menyala di bahtera rumah tangga mereka. Sekarang coba kamu perhatikan, apa yang mendominasi kartu-kartu ini?" dia menunjuk ke kartu-kartu yang sedang diterjemahkan.

"Koin?" jawabku ragu.

"Pentacles, pintar! Uh, keluarga yang bergelimang harta. Kasihan, cahayanya membuat silau mata mereka dan membutakan mereka untuk melihat jiwa baik di depanku," katanya sambil tersenyum melihatku. "Mari kita lihat sang ayah. Ah! Raja koin, sebuah anugerah atas tebusan mahal di masa lalu hidupnya. Kekerasan di masa lalu menempanya menjadi seperti sekarang. Semua serba duit, serba uang, keduanya dipersatukan oleh koin-koin kecil yang menumpuk. Dia akan melakukan segalanya untuk mempertahankan singgasananya. Mari kita lihat si ibu. Hmm... Ratu yang ingin dipuja. Masa lalu menghantui dirinya yang tak akan pernah puas. Sepertinya api kecil di bahtera mereka berasal dari kecemburuan sang ratu di masa lalu," dia melihatku seakan tahu bahwa aku akan bertanya.

"Apakah ini artinya penahanku adalah harta? Apakah aku tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka? Bukankah angka yang kau berikan tadi bagus?" aku langsung memcecarnya.

"Tidak akan pernah cukup untuk memuaskan mereka," dia menatapku tajam. "Ambil satu kartu," aku menurutinya. Dia membuka kartu itu dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya sesaat setelah dia melihatnya. "Baru kali ini aku melihat kisah yang seperti ini," dia bergumam sendiri.

"Ada apa? Kenapa?" tanyaku.

"Tidakkah kau ingin melihat kekasihmu?" dia malah berbalik bertanya. Aku mengangguk, kemudian dia menyuruhku mengambil tiga kartu. "Kekasihmu sangat bahagia denganmu. Tapi dia akan tetap bahagia tanpamu pada akhirnya," katanya menerjemahkan ketiga kartu tersebut. Wajah wanita itu sungguh lesu dan sedih. Terlihat seperti seseorang yang baru saja menonton film dengan akhir yang tidak bahagia.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya termenung dan mencoba mencerna semuanya. "Apa makna satu kartu yang sebelumnya?" tanyaku.

"The Hanged Man," dia menunjukkan kartunya. "Artinya pengorbanan. Orang tua kekasihmu bersedia mengorbankan apapun untuk menjaga singgasana koin mereka, meskipun itu artinya mengorbankan anak mereka sendiri," sekarang wanita itu memegang tanganku sambil melemparkan pandangan simpatik.

"Maksudnya mengorbankan?" tanyaku tak mengerti.

"Perjodohan. Itu yang paling mungkin akan terjadi. Pada akhirnya kekasihmu juga akan melakukan pengorbanan. Entah mengorbankan keluarganya untuk cinta atau sebaliknya. Pribadi yang semakin tersakiti akan menjadi sangat kuat dan keras. Karena itulah, pada akhirnya dia akan tetap bahagia. Dia akan membuka hatinya untuk sang calon suami, siapapun itu," tangan kanannya terus memegangi kartu The Hanged Man. "Renungkan ini, kekasihmu adalah pihak yang akan paling tersakiti," dia menatapku dengan mata penuh kesedihan. "Sungguh tega. Manusia macam apa yang tega membinasakan cinta demi harta," wanita itu merapikan kartu-kartunya.

Otakku berputar sangat cepat dan jantungku hampir meledak rasanya. Setelah semua tebakannya atas diriku, aku ragu dapat meragukan tebakannya atas masa depanku.

"Waktumu sudah habis. Kuberikan kesempatan terakhir untuk mengambil satu kartu," kali ini wanita itu mengeluarkan kartu yang berbeda dan mengacaknya. Aku mengambilnya.

"The Sign," dia menunjukkan kartunya. "Kamu sudah diberi petunjuk oleh sang Ilahi. Cermatilah sekitarmu," katanya mengakhiri penjelasan kartu terakhir.

Aku menghela napas mencoba menenangkan diri. "Tuan Christopher, pilihan Anda adalah yang terbaik, yakini itu, dan semua bisa terjadi," kemudian tangannya menutup mataku.

.

Aku tak tahu apa yang terjadi, setahuku aku sudah berada di kamar hotelku pukul enam pagi. Aku terbangun dengan mimpi yang aneh tentang aku berada di hutan dan kekasihku disekap di sebuah menara. Aku kemudian mengenakan jaketku untuk pergi sarapan. Ada sesuatu di sakuku. Dan ternyata itu kartu The Tower.

. . .

Christopher masuk ke dalam pesawat sambil memegangi kartu itu di sakunya. Dia menebak-nebak dan meragu atas keberadaan kartu itu. Dua hari yang lalu berjalan seperti sebuah mimpi, namun jika begitu, kenapa kartu itu bisa ada di sakunya? Christopher sangat ingin menceritakan pengalaman ini kepada Carmen, tapi sepertinya belum saatnya. Dan meskipun jika nanti Carmen mengetahuinya, Christopher berharap tak akan ada pertanyaan yang terlontar untuknya. Karena dia hanya mengetahui semua ini sebatas 'ramalan'.